Kang Deden

Tidak ada awal, akhir ataupun pertengahan, sebab yang ada hanyalah perjalanan.

Kang Deden

Orang besar ialah orang yang sudah selesai dengan dirinya sendiri.

Kang Deden

Berlarilah mengejar impian. Disana terdapat indahnya kehidupan.

Kang Deden

Berjalanlah, engkau akan mendapatkan banyak pelajaran.

Kang Deden

Tenangkan hatimu, karena itu sumber kebahagiaan.

Minggu, 22 Juni 2025

Belajar pada Yunus Emre (Sebuah Puisi)

Di tanah Anatolia yang bersahaja,

terdengar nyanyian jiwa merdeka.

Yunus Emre, sang fakir mulia,

membawa cinta dalam tiap kata.


Ia tak menuntut mahkota dunia,

tak haus pujian, tak gila tahta.

Hanya seutas doa di dada,

dan kasih bagi sesama manusia.


“Tak perlu tinggi engkau bicara,

jika hatimu masih gersang tiada rasa.

Lebih mulia satu kasih yang nyata,

daripada sejuta teori tak bermakna.”


Ia menulis bukan untuk dipuja,

tapi agar manusia tak saling mencela.

“Siapa mencintai tanpa pamrih dunia,

itulah hamba sejati Sang Esa.”


Yunus tak mengenal kasta dan golongan,

baginya semua manusia bersaudara sepadan.

Ia peluk kafir dan mukmin dalam kedamaian,

karena Tuhan tak memandang perbedaan.


Ilmu bukanlah bekal semata,

jika tak menyentuh laku dan rasa.

"Adab dan kasih lebih utama,

daripada gelar dan pujian semu belaka."


“Jangan kau cari Tuhan di langit tinggi,

jika tetanggamu masih kau abaikan hati.

Karena Sang Cinta hadir di sini,

di wajah fakir, di tangan yang memberi.”


Ia ajarkan kita menjadi manusia,

bukan hanya pandai bercerita.

Tapi rendah hati seperti semesta,

yang memberi tanpa ingin disanjung jua.


O Yunus, namamu harum abadi,

meski ragamu telah lama pergi.

Kata-katamu menembus sunyi,

menggugah nurani kami yang sepi.


Kami belajar pada puisi sucimu,

pada tangis rindu dalam doamu.

Bahwa jalan menuju Yang Satu,

adalah cinta, sabar, dan hati yang bersatu.




Yunus Emre Enstitusu, Bintaro, 22 Juni 2024

Selasa, 17 Juni 2025

Kita yang Tak Pernah Jadi Apa-apa (Sebuah Cerpen tentang Cinta tanpa Status)

 Di bawah langit biru Jakarta yang gerah dan penuh polusi, kampus itu tetap menjadi tempat lahirnya gagasan dan pertemuan. Di sanalah Sarah dikenal sebagai sosok mahasiswi berparas menawan dan cerdas. Rambutnya yang sebahu, dibalut jilbab pastel, serta senyumnya yang menenangkan, menjadikannya sorotan banyak mata. Tapi bukan hanya parasnya yang memikat, ia juga ketua BEM—pembicara ulung, negosiator andal, dan tokoh mahasiswa yang disegani.

Namun ada satu wajah yang tak pernah tertarik menatap Sarah dengan kekaguman seperti lainnya. Wajah itu milik Karim—mahasiswa tingkat akhir, dikenal sebagai pemikir muda yang sering menulis opini di berbagai media nasional. Ia kerap menjadi pembicara dalam diskusi dan seminar di kampus, tetapi tetap menjaga jarak dari keramaian. Sosok yang teduh, tenang, dan tidak pernah terlihat terburu-buru.

Sarah memperhatikannya sejak pertama kali menghadiri seminar bertema “Krisis Etika dalam Kepemimpinan Politik Mahasiswa.” Saat itu Karim menyampaikan opini tentang peran mahasiswa bukan hanya sebagai pengkritik, tetapi pembangun narasi alternatif yang lebih sehat dan beradab. Sarah terpaku. Kata-katanya tak melengking, tapi menusuk. Ketika forum bubar, Sarah mendekatinya.

“Mas Karim, tulisan-tulisanmu di Media Arah Baru menarik. Kamu bicara pakai hati,” ujarnya, dengan tangan menyodorkan kartu namanya.

Karim tersenyum simpul. “Terima kasih, Mbak Sarah. Saya juga dengar kamu Ketua BEM yang paling tegas di angkatan kita.”

Sejak saat itu, mereka mulai sering bertukar pesan. Awalnya soal seminar, lalu artikel. Lama-lama berlanjut menjadi diskusi panjang tentang buku, film, bahkan mimpi. Meskipun Karim bukan tipe romantis, ia selalu tahu bagaimana membuat Sarah merasa dipahami. Sarah, di sisi lain, merasa Karim seperti labirin yang ingin ia selami lebih dalam.

Tanpa sadar, keduanya menjalin hubungan. Tidak pernah ada pengakuan formal. Tak ada kata “pacaran,” apalagi “kekasih.” Tapi semua tahu, bahkan sahabat-sahabat mereka tahu, ada sesuatu di antara mereka.

Karim menemani Sarah di balik layar ketika ia lelah rapat. Sarah duduk di deretan paling depan setiap kali Karim menjadi pembicara. Di sudut kantin, mereka sering duduk berdua, berbagi nasi goreng dan tawa. Dalam sepi, mereka saling menemukan tempat pulang.

Suatu malam, usai mengisi seminar tentang literasi digital, Karim berjalan bersama Sarah menuju parkiran.

“Kamu capek?” tanya Sarah, menatap langit yang mulai muram.

“Capek itu biasa. Tapi bisa bicara sama kamu bikin aku tenang.”

Sarah tertawa kecil. “Kamu tahu, kadang aku mikir, kalau hubungan kita ini punya nama, kira-kira apa?”

Karim diam. Lalu ia menatap mata Sarah dalam-dalam. “Mungkin... ketenangan yang belum punya rumah.”

Sarah mengangguk pelan, seperti mengerti. “Kalau suatu hari aku harus pergi, kamu bakal cari rumah yang lain?”

“Entah. Tapi rumah bukan cuma tempat tinggal. Kadang rumah itu orang yang bikin kita betah.”

Namun hidup selalu punya kejutan. Suatu pagi, ayah Sarah memanggilnya ke ruang tamu. Duduk di sana, seorang lelaki muda bersorban rapi, berdiri penuh wibawa. Ia adalah putra seorang tokoh agama yang cukup dikenal.

“Namanya Fahmi,” kata ayahnya. “Keluarga kita sudah lama kenal. Dia berniat serius. Sudah waktunya kamu dipertemukan dengan seseorang yang bisa menjaga kamu.”

Sarah menatap ayahnya, lalu menatap lelaki itu. Dalam dadanya, hatinya menjerit. “Tapi Ayah, aku masih kuliah...”

“Justru itu. Menikah bukan penghalang. Ayah cuma minta kamu pertimbangkan baik-baik. Ini bukan tentang menolak jodoh. Tapi membuka peluang kebaikan.”

Malam itu, Sarah tak bisa tidur. Pesan Karim belum ia balas sejak siang. Ia membuka galeri ponsel, melihat foto mereka berdua saat berbagi buku di taman kampus. Terlalu banyak kenangan yang tak bisa diceritakan kepada siapa pun.

Esoknya, Sarah menemui Karim di perpustakaan. Suasana sunyi, hanya derit kipas dan suara kertas yang terbalik.

“Mas...” panggil Sarah lirih.

Karim melihat wajah itu. Cantik, tapi kali ini tampak rapuh. Ada duka yang tak ia kenal.

“Ayahku ingin aku menikah,” kata Sarah, tanpa basa-basi.

Karim menatapnya, seolah tak mengerti. “Dengan siapa?”

“Putra teman lamanya. Ustaz muda dari Jawa Tengah. Mereka sudah bicara serius.”

Seketika, dunia Karim seolah hancur. Ia ingin marah, ingin menggenggam tangan Sarah dan membawanya lari. Tapi ia tahu, ia bukan siapa-siapa. Mereka tak pernah saling mengikat. Ia hanya ‘ketenangan tanpa rumah’.

“Kamu bilang... kamu belum siap menikah,” katanya lirih.

“Aku memang belum. Tapi di keluargaku, restu orang tua itu mutlak. Aku tidak bisa bilang tidak jika tak punya alasan yang lebih kuat...”

“Lalu aku ini apa?” suara Karim menegang.

Sarah menunduk, air matanya jatuh satu-satu. “Kamu rumahku. Tapi rumah yang tidak pernah kubangun fondasinya.”

Karim berdiri. Ingin berteriak. Ingin menantang dunia. Tapi yang keluar hanya satu kalimat: “Kalau aku datang ke ayahmu, kamu mau?”

Sarah menatapnya dengan mata bengkak. “Tapi kamu belum lulus. Kamu masih sibuk. Kita belum siap.”

“Lalu kenapa kamu biarkan aku masuk terlalu jauh?”

Mereka diam. Ruang hening. Cinta tak lagi bisa diucapkan, hanya tersisa perih yang membatu di dada.

Hari pernikahan Sarah berlangsung sederhana tapi sakral. Fahmi datang dengan senyum tenang. Keluarga besar berkumpul, doa-doa mengalir. Namun di hati Sarah, seperti ada petir menyambar di siang bolong. Dadanya kosong. Ia duduk di pelaminan dengan mata yang tak benar-benar melihat siapa pun.

Karim tidak datang. Ia memilih pergi ke perpustakaan kota, duduk sendirian membaca buku tebal tanpa bisa mencerna isinya. Ponselnya berdering, ucapan teman-teman yang tahu cerita mereka. Tapi ia diam. Hanya satu pesan yang ia kirim malam itu ke nomor Sarah:

"Rumah itu telah dibangun untuk orang lain. Tapi aku masih menyimpan pintunya."

Sarah membacanya, dan menangis lama setelah para tamu pulang. Ia tahu, ia telah kehilangan bukan sekadar cinta. Tapi kehilangan ketenangan yang pernah menjadikan hidupnya bermakna.

Beberapa tahun berlalu.

Sarah kini menjadi dosen muda di kampus yang sama. Suaminya orang baik, tetapi hatinya tak pernah serupa dengan Karim. Mereka hidup dalam damai, tapi bukan bahagia.

Sementara Karim, setelah menyelesaikan S2 di luar negeri, kini menjadi penulis dan dosen tamu di berbagai kampus. Ia tak pernah menikah. Ia mencintai ilmunya, mencintai dunianya, dan... mencintai kenangan itu diam-diam.

Suatu hari, mereka bertemu di seminar nasional. Karim menjadi pembicara utama. Sarah duduk di deretan kedua, bersama mahasiswa bimbingannya.

Mata mereka bertemu. Tak ada dendam. Tak ada amarah. Hanya dua insan yang pernah saling menjadi rumah, kini berdiri sebagai dua bangunan berbeda—kokoh, tapi berjauhan.

Sebelum Karim naik panggung, ia sempat membisik:

“Rumah itu pernah sangat indah, bukan?”

Sarah tersenyum pahit. “Dan petirnya juga tak pernah hilang dari ingatan.”



Sabtu, 07 Juni 2025

Early Birthday di Teluk Bayur (Sebuah Cerpen)



Udara senja Teluk Bayur mengalir lembut dari laut, menyisakan bau asin yang menempel di kulit dan debur ombak yang bersahut di kejauhan. Di bawah pohon ketapang yang menggugurkan daunnya perlahan, sebuah rumah makan sederhana berdiri. Plangnya sudah kusam, namun tetap kokoh bertuliskan: “Sate Padang Mak Upiak – Sejak 1998.”


Anindi duduk di bangku kayu panjang, mengenakan sweater krem dan celana jins yang sudah beberapa kali digulung di ujungnya. Tangannya meremas-remas ujung lengan sweater, menahan dingin sekaligus resah. Di hadapannya, piring kosong menunggu sate yang belum dipesan. Ia melirik arloji kecil di tangannya. Pukul 18.45.


“Early birthday,” gumamnya, nyaris seperti doa yang tertelan angin. “Katanya sebelum jam 12 malam mau datang.”


Andi. Nama yang berulang kali ia ucap dalam doa, dalam harap, dalam pesan singkat yang hanya dibaca dua centang biru. Sejak tiga bulan lalu Andi bertugas ke luar kota, ke daerah pedalaman Sumatera untuk pekerjaan dokumentasi budaya. Sulit sinyal, katanya. Sibuk di lapangan, katanya. Tapi Andi sudah janji—janji yang direkam suara, diketik huruf demi huruf, dan disimpan Anindi dalam hati:


> “Aku nggak akan telat datang buat early birthday kamu. Sebelum jam 12 malam, aku harus udah duduk di sebelah kamu, pesen sate yang biasa. Sepuluh tusuk, pake kuah banyak.”




Rumah makan itu bukan tempat sembarangan. Di situlah mereka dulu saling menatap untuk pertama kali tanpa berkata, hanya tertawa melihat kuah sate yang tumpah ke baju. Sejak itu, setiap ulang tahun Anindi, mereka selalu makan sate di tempat yang sama. Andi menyebutnya ritual tahunan. Tapi tahun ini berbeda. Ia pergi.


Anindi menatap lampu jalan yang berpendar lembut di balik jendela. Pelayan datang menawarkan menu, namun ia hanya tersenyum dan berkata, “Nanti aja ya, tunggu teman saya.”


Jam menunjukkan 19.20. Ia membuka ponsel, tidak ada pesan baru. Foto Andi tersimpan sebagai wallpaper. Ia ingat betul wajah itu—dengan alis yang sedikit miring ketika tertawa, dan mata yang selalu menyipit saat menahan air mata.


Ia membuka galeri, menatap foto terakhir mereka: duduk berdampingan dengan sate di tangan, gigi mengunyah tanpa malu. Ia tersenyum kecil, tapi cepat-cepat menyeka mata yang terasa hangat.


Tiba-tiba ponsel bergetar. Satu pesan masuk.


> Andi (18.35): “Di jalan. Macet di Pelabuhan. Tunggu aku ya.”




Anindi membaca ulang pesan itu tiga kali. Macet? Di pelabuhan? Ah, tentu saja. Kapal ferry sering tiba tak sesuai jadwal. Tapi setidaknya, Andi menjawab.


Pukul 20.50.


Anindi mulai menggoyangkan kaki, duduk lalu berdiri, duduk lagi. Beberapa pelanggan lain sudah selesai makan. Mak Upiak, sang pemilik rumah makan, menghampirinya. Perempuan tua dengan keriput ramah itu menatapnya dengan iba.


“Kamu mau saya bungkusin sate-nya aja, nak?” tanyanya.


Anindi menggeleng. “Belum, Mak. Saya masih nunggu…”


Mak Upiak tersenyum dan menepuk bahu Anindi. “Kalau dia janji datang, dia pasti datang.”


Pukul 21.35.


Langit mulai menitikkan gerimis. Pelan, lalu deras, lalu kembali pelan. Anindi pindah ke meja dekat jendela yang lebih terlindung. Ia memesan teh hangat, hanya agar bisa memegang cangkir dan menghangatkan jemarinya.


Pukul 22.10.


Angin laut makin kencang. Anindi mulai merasa lelah. Tapi masih bertahan. Kalau Andi bilang akan datang sebelum pukul 00.00, maka ia akan percaya. Setidaknya untuk satu jam lima puluh menit lagi.


Hingga tiba-tiba, dari balik jendela, sebuah motor bebek berhenti. Helm dilepas. Rambut berantakan. Jaket lusuh. Tapi wajahnya…


“Andi!” seru Anindi, berdiri begitu cepat hingga hampir menjatuhkan teh di mejanya.


Andi tertawa lebar, berjalan cepat menghampiri. “Maaf, maaf banget. Ferry-nya telat, macet di pelabuhan, dan hujan—”


“Bodo amat hujan!” potong Anindi. “Kamu datang. Itu cukup.”


Mereka duduk, tertawa kecil di antara napas yang masih tersengal. Mak Upiak datang membawa dua piring sate.


“Lho, saya nggak pesen, Mak,” ujar Anindi.


Mak Upiak tersenyum lebar. “Tadi sore anak itu telepon dari warung tetangga. Katanya, kalau sebelum jam dua belas belum datang, sate-nya tetap keluar. Saya masakin dua porsi, kayak biasa.”


Andi tertawa, lalu menatap Anindi. “Janji adalah janji, Ndik. Meskipun harus terjang hujan dan pelabuhan macet.”


Mereka menyantap sate dalam diam yang nyaman. Kuah kuning kental memenuhi piring. Aroma daging dan rempah mencairkan segala penat yang menggantung sejak sore.


Jam menunjukkan 23.55.


Andi mengeluarkan sesuatu dari tas selempangnya—sebuah kotak kecil, dibungkus sederhana. “Ini hadiah early birthday kamu. Tapi bukanya harus pas lewat tengah malam.”


Anindi menerimanya dengan mata berbinar. “Kamu tahu, aku nyaris putus asa nungguin kamu.”


“Tapi kamu tetap nunggu,” bisik Andi.


Ia mengangguk pelan. “Karena satu tusuk sate, satu janji.”


Pukul 00.00.


“Selamat ulang tahun, Anindi.”


“Terima kasih, Andi.”


Dan di antara debur ombak Teluk Bayur yang tak pernah lelah menyapa malam, janji yang dibawa angin dan sate hangat itu pun menemukan tempatnya: di hati dua insan yang saling menunggu.


Rabu, 04 Juni 2025

ZAHRA DAN CAHAYA DI LANGIT BANDUNG (Sebuah Cerpen)

 Langit Bandung senja itu menggantungkan warna jingga keemasan yang jatuh perlahan di antara kubah masjid kampus. Zahra berdiri di balik tirai jendela asramanya, menatap siluet lelaki yang baru saja melangkah keluar dari masjid setelah memberi pengajian rutin ba’da Maghrib. Lelaki itu, Abdullah, Direktur Pesantren Mahasiswa dan alumnus Al-Azhar Kairo, tampak bersahaja dengan sorban putih yang melingkar rapi di lehernya dan gamis abu yang membentuk citra kharismatik.

Zahra bukan tipe perempuan yang mudah terpikat. Sejak pertama menginjakkan kaki di Universitas Bandung sebagai mahasiswi baru, ia telah menetapkan hati bahwa cinta bukanlah prioritas. Ia ingin menuntaskan cita-citanya sebagai akademisi dan aktivis dakwah, menjunjung nilai-nilai Islam dalam dunia pendidikan. Namun, ada sesuatu yang berbeda pada Abdullah. Bukan sekadar karisma atau tutur lembutnya saat mengisi pengajian, tapi keistiqamahannya dalam membina para santri, kedewasaannya dalam menata program dakwah kampus, dan kesederhanaannya yang memancar kuat.

Zahra mengingat pertama kali ia melihat Abdullah secara langsung. Saat itu, ia tengah mengikuti taklim perdana mahasiswi baru di aula pesantren kampus. Abdullah memimpin langsung. Suaranya tegas, tapi teduh. Setiap kalimat mengandung hikmah. Tak ada satu pun dari peserta yang bermain-main dengan ponsel, semua larut dalam materi dan diskusi. Di penghujung acara, Abdullah membacakan doa dengan khusyuk. Entah mengapa, Zahra merasa hatinya ikut luruh dalam lantunan itu.

Sejak saat itu, Zahra mulai aktif mengikuti setiap kajian yang diisi oleh Abdullah. Ia tak pernah melewatkan satu pun. Bahkan saat hujan deras mengguyur Bandung, Zahra tetap datang ke masjid kampus dengan jas hujan dan sepatu yang basah. Teman-teman asrama sering menggoda, “Kamu naksir, ya?”

Zahra hanya tersenyum dan menggeleng, walau hatinya sendiri tak bisa berdusta.


Setiap malam, Zahra menuliskan catatan harian. Tapi hanya satu nama yang konsisten muncul di setiap paragraf: Abdullah.

"Aku tahu, mencintai diam-diam seperti ini mungkin adalah cara paling bodoh untuk menyimpan harapan. Tapi apakah salah jika aku hanya ingin menyayangi seseorang karena Allah, tanpa meminta ia tahu, tanpa mengganggu jalan hidupnya?"

Ia sadar betul, posisi Abdullah bukan sosok sembarangan. Selain sebagai direktur pelaksana pesantren, ia juga dipercaya oleh rektorat sebagai penanggung jawab program spiritual kampus. Sosok seperti itu tak mungkin memperhatikan mahasiswi biasa sepertinya. Lagi pula, Zahra tak pernah berbicara langsung dengannya. Paling banter hanya mengangguk sopan saat mereka berselisih di lorong masjid atau saat panitia pengajian mengatur tempat duduk.

Di balik diamnya, cinta tumbuh. Tapi Zahra tahu, ia tak boleh menjadikan perasaan ini sebagai sumber fitnah. Ia menjaga jarak, menjaga pandangan, dan menjaga hati dengan doa. Setiap malam, ia menangis dalam tahajud, mengadukan gejolak yang terus bergetar.

“Ya Allah, jika dia memang baik untukku, dekatkanlah dengan cara-Mu. Tapi jika tidak, hilangkan rasa ini seiring waktu.”


Suatu sore, Zahra ditunjuk menjadi koordinator acara Haflah Khataman Mahasantri. Ia terkejut karena Abdullah sendiri yang memilihnya, melalui rekomendasi dari pembina mahasiswi. Ia gugup saat pertama kali masuk ruang kerjanya untuk presentasi persiapan acara. Kantor itu sederhana, penuh buku-buku Islam dan literatur Timur Tengah.

“Silakan duduk, Zahra,” kata Abdullah, lembut.

Zahra merasa lututnya lemas. Ini pertama kalinya mereka berbicara empat mata.

“Terima kasih, Pak Ustaz,” jawabnya pelan.

Abdullah tersenyum kecil. “Saya dengar dari Ibu Yuliani, kamu cukup aktif dan disiplin. Kita butuh figur seperti itu untuk acara sekelas Haflah. Bisa dijelaskan rencana kegiatannya?”

Zahra pun menjelaskan dengan suara gemetar namun terstruktur. Ia memaparkan susunan acara, susunan panitia, dan daftar undangan.

Abdullah mendengarkan dengan seksama. Tidak sekali pun ia menyela, hanya sesekali mencatat.

“Bagus,” katanya akhirnya. “Saya lihat kamu cukup matang dalam persiapan. Terus terang saya senang melihat ada mahasiswi yang bukan hanya cerdas, tapi juga punya ruh tanggung jawab.”

Zahra nyaris meneteskan air mata. Tapi ia tahan. Ia hanya menjawab dengan senyum penuh rasa syukur.

Sejak hari itu, intensitas interaksi mereka meningkat. Meski tetap dalam batas syar’i, Zahra merasa seperti dibawa angin lembut yang menghapus jarak. Setiap instruksi Abdullah dalam grup panitia ia baca berulang. Setiap pujian, sekecil apa pun, menjadi kebahagiaan tak ternilai.

Namun, semakin dekat, semakin besar pula luka yang ia takuti: kehilangan harapan.


Haflah Khataman berlangsung sukses. Semua berjalan lancar. Bahkan Abdullah menyampaikan apresiasi khusus kepada Zahra di hadapan seluruh peserta.

“Koordinator kita, Saudari Zahra, bekerja luar biasa,” kata Abdullah saat sambutan. “Semoga menjadi teladan bagi teman-teman mahasiswi lain dalam tanggung jawab dan keikhlasan.”

Tepuk tangan bergema. Zahra tersenyum, tapi matanya berkaca. Apresiasi itu seperti cahaya terakhir sebelum malam panjang.

Dua minggu setelah acara, desas-desus muncul. Beberapa teman mulai membicarakan bahwa Abdullah sedang dalam proses taaruf dengan seorang dosen muda dari Fakultas Syariah.

Zahra kaget. Ia menutup pintu kamarnya dan menangis sejadi-jadinya.

“Ya Allah, aku tak pernah ingin memiliknya. Tapi mengapa perih ini terasa seperti kehilangan?”

Ia menulis di buku hariannya:

“Aku hanya ingin mencintainya dalam diam. Tapi dunia terlalu keras untuk membiarkan cinta tumbuh tanpa ekspektasi.”

Malam itu, Zahra bersujud lebih lama dari biasanya. Ia merelakan semuanya. Ia ingin membunuh harapan dengan kerelaan. Bahwa cinta tak harus memiliki. Bahwa mencintai seseorang karena Allah adalah tentang menginginkan yang terbaik baginya, meski itu berarti tak bersamanya.


Tahun berlalu. Zahra lulus dengan predikat cumlaude dan langsung mendapat beasiswa S2 di luar negeri. Sebelum keberangkatannya, ia menyempatkan diri mengunjungi masjid kampus. Di sana, ia duduk diam dalam shaf pertama, seperti masa-masa dulu.

Abdullah keluar dari ruang imam setelah Maghrib. Ia mengenali Zahra, lalu mendekat dan menyapanya, “Apa kabar, Zahra?”

Zahra tersenyum. “Alhamdulillah baik, Ustaz. Saya akan berangkat S2 besok.”

Abdullah mengangguk bangga. “Masya Allah, semoga ilmu yang kamu cari menjadi cahaya untuk ummat.”

“Insya Allah,” jawab Zahra, lirih.

Mereka berbincang sebentar, dalam nuansa formal dan hangat. Lalu Abdullah berkata, “Kalau tidak keberatan, boleh saya titip buku ini untuk kamu baca selama di sana?”

Zahra menerima buku itu. Di halaman pertama, tertulis:

"Untuk Zahra, semoga tetap menjadi perempuan yang kuat, meski tak semua rasa perlu diucap. – A."

Zahra menatap langit malam Bandung dari halaman masjid. Air matanya menetes, bukan karena sedih, tapi karena merasa didengar Tuhan. Cinta diamnya memang tak menjadi kisah indah penuh romansa. Tapi ia tahu, cinta itu telah menjadikannya pribadi yang lebih dewasa, lebih sabar, dan lebih ikhlas.

Dan mungkin, dalam sunyi itu, Allah telah mencatat cinta yang tulus, lebih dari sekadar kisah dunia.




Senin, 02 Juni 2025

Reuni Alumni Gontor 2002: DIMULAI DENGAN TAHLILAN, PESAN DAMAI DARI POSO, HINGGA GORDUL KHOSH DARI ARAB SAUDI

Reuni Alumni Gontor 2002:

DIMULAI DENGAN TAHLILAN, PESAN DAMAI DARI POSO, HINGGA GORDUL KHOSH DARI ARAB SAUDI

Oleh: Deden Mauli Darajat (Ketua Umum Alumni 2002)


Syahdan, sabtu pagi dini hari, sebagian rombongan dari Depok sudah tiba di lokasi Reuni di Kampus 2 Universitas Islam Bandung (Unisba). Dalam rombongan tersebut terdapat salah seorang alumnus yang terbang dari Medan dan singgah di Jakarta kemudian ikut serta dalam rombongan Depok. 


Panitia Reuni Alumni Gontor 2002 di Bandung yang sejatinya akan menjemput di Sabtu pagi, ternyata harus sudah bekerja sejak Jumat malam karena sudah sibuk menjemput dan menerima kedatangan para peserta reuni dari berbagai daerah di Indonesia.


Saya berangkat dari rumah Sabtu pagi dengan transportasi publik, Whoos, dari Jakarta ke Bandung. Sabtu siang, setelah makan siang, para peserta berangkat menuju kolam renang Sabuga ITB. Sepulangnya dari Sabuga, panitia sudah menyiapkan Cuanki spesial yang sangat lezat.


Usai shalat magrib berjamaah, kami melaksanakan tahlilan dan doa bersama untuk para guru, para kyai, dan sahabat-sahabat alumni 2002 yang sudah wafat yang tercatat sebanyak 28 orang dari 672 alumni. Tahlilan ini dipimpin oleh Mustofa Ali Syibromalisi, cucu dari Guru Mughni, ulama besar Betawi yang sangat berpengaruh.


Makan malam sudah tersedia di dapur umum, kami pun kemudian mengantre layaknya santri, ini terasa sangat nikmat sekali. Kami saling sapa dan bercerita tentang perjalanan, tentang masa lalu di Gontor, dan tentang nilai nilai perjuangan.


Bagi kami reuni adalah ajang silaturrahmi, berbagi pengalaman, berbagi ilmu pengetahuan, berbagi nilai nilai perjuangan, selama kami menjadi santri maupun selepas menjadi alumni. 


Bahkan acara resmi pun dibingkai dengan canda dan tawa yang dibawakan oleh duet maut MC kawakan Rizky Ardiansyah dan Eka Sukandar. Yang membuat kami hanyut dalam nostalgia adalah ketika kami menyanyikan lagu Indonesia Raya dan Hymne oh Pondokku. Rasa rasanya baru kemarin kami belajar bersama di Gontor. Padahal sudah lebih dari 23 tahun menjadi alumni.


Ketua Umum IKPM Gontor Cabang Bandung Raya, M. Nurcholiq, memberikan sambutan pada malam itu. Ia bercerita tentang alumni Gontor yang tersebar di wilayah Priangan. Pun bercerita tentang jumlah pesantren alumni Gontor yang terus bertumbuh dan bertambah yang tercatat sekitar 30an pesantren di wilayah Bandung Raya.


Yang menarik adalah ketika salah satu dari kami yang datang dari Universitas Darussalam (Unida) Gontor, Cecep Sobar Rochmat. Cecep bercerita tentang pengalamannya menjadi wakil pengasuh pertama Gontor Cabang Poso.


Ia mulai bercerita saat dipanggil oleh Pak Kyai Syukri (Allahu Yarhamuhu). Saat itu sejatinya ia menyampaikan maksud kepada Pimpinan Gontor untuk melanjutkan Studi S2 di Malaysia. Semua rekan-rekannnya yang dipanggil itu diizinkan Pak Syukri melanjutkan S2 ke negeri Jiran, kecuali dirinya. 


"Kamu harus percaya sama saya. Kamu akan lebih dari S2 bahkan S3," kata Pak Kyai Syukri yang disampaikan Cecep. Sebagai santri, Cecep tidak punya pilihan dan menerimanya dengan takzim.


Cecep kemudian berangkat ke Poso, untuk memimpin Pesantren Cabang Gontor di sebuah daerah konflik di Sulawesi. Sebelum berangkat ia ditanya lagi sama Pak Kyai, "Cecep, apakah kamu siap mati di sana?" Ia jawab, "Siap Pak Kyai," ujar Cecep.


Ketika mengasuh pesantren Gontor di Poso, Cecep membuka komunikasi dengan para pimpinan masyarakat sekitar. Ia datang ke kediaman pemimpin-pemimpin masyarakat tersebut. Kedatangannya disambut baik oleh kedua belah pihak yang berkonflik.


Ketegangan dan konflik yang sudah lama terjadi di sana, mulai surut. Pesan-pesan kedamaian disampaikan 'Gontor' kepada pihak-pihak yang berkonflik. Kabar damai dari Poso selalu disampaikan secara reguler kepada Wakil Presiden Republik Indonesia Jusuf Kalla oleh Pak Kyai Syukri. 


Sebelum kembali ke Gontor dan menjadi Deputi Wakil Rektor Unida Gontor, Cecep sudah menyelesaikan studi doktoral nya di Palu, Sulawesi Tengah. Benar apa yang disampaikan Pak Syukri bahwa ia akan lebih dari sekadar S2 bahkan kembali ke Gontor sudah membawa gelar S3 Doktor.


Waktu menunjukkan pukul 23.30 WIB. Panitia Reuni Bandung sudah menyiapkan tajamu makrunah bisarden (makan mie instan bersama). Tajamuk makrunah biasa kami lakukan dulu saat menjadi petugas piket malam di Gontor. 


Usai penutupan acara malam itu masih terlihat beberapa orang melepas rindu tentang masa lalu. Panitia Bandung juga sudah menyiapkan nonton bareng (nobar) final Liga Champions Eropa yang dimenangkan PSG dengan skor telak 5-0.


Sholat subuh berjamaah kami laksanakan di masjid kampus Unisba. Kemudian kami berolahraga ringan, dilanjutkan 'muhadatsah shabahan' di pelataran asrama kampus yang berada di dataran tinggi Bandung, dengan cuaca yang cukup dingin. Panitia menyediakan kopi dan teh panas, juga gorengan untuk menghangatkan muhadatsah.


Kehangatan sangat terasa ketika salah satu dari kami didaulat untuk bercerita bagaimana bisa ia mendapat istri dari putri seorang Kyai. Nurohman namanya, tapi biasa dipanggil dengan Japra. Saat Japra bercerita, kami selalu tertawa. 


Japra memulai kisahnya saat ia berangkat tahun 2007 ke Arab Saudi setelah selesai masa pengabdiannya di Gontor Cabang Kendari. Di Arab Saudi ia mencari rezeki selama lebih dari tiga tahun. Selain bekerja ia pun aktif dan punya beberapa akun Facebook. 


Dari Facebook itu Japra berkenalan dengan banyak teman baru. Salah satunya adalah seorang perempuan dari Tasikmalaya. Salah satu unggahan di Facebook perempuan Tasik itu adalah foto para santri yang sedang nobar Piala Dunia 2010.


"Kamu anaknya Pimpinan Pesantren ya?" tanya Nurohman di akun Facebook perempuan itu. "Lastu (bukan saya)," jawab si empunya akun. Setelah diteliti lebih lanjut perempuan ini benar sebagai putri dari seorang Kyai.


Awal 2011, Nurohman pulang dari Arab Saudi ke kampung halamannya. Selang beberapa pekan ia datang ke Pesantren Riyadhul Ulum Wadda'wah Condong Tasikmalaya. 


Ia bertemu dengan Kyai Pesantren tersebut dengan menyampaikan 'Gordul Khosh' atau pesan khusus. Pesan itu pun diterima. Kyai itu kemudian mengirim utusan untuk menyelidiki tentang calon menantunya. 


Di pertengahan tahun 2011, Nurohman menikahi putri sang Kyai dari Tasikmalaya, yang ia kenal sejak di Arab Saudi melalui media sosial Facebook. Kini ia diberi amanah sebagai Wakil Rektor Institut Teknologi dan Bisnis Riyadhul Ulum, Condong, Tasikmalaya.


Usai muhadatsah kami sarapan dan bersiap untuk kembali ke rumah masing masing. Mengapa reuni dilaksanakan di Bandung? Karena amanat kesepakatan kami saat Reuni 2024 di UIN Jakarta adalah Reuni 2025 dilaksanakan di Unisba Bandung.


Sejak bulan Ramadhan tahun ini kami berkoordinasi untuk menyukseskan acara reuni di Bandung. Ketua panitianya adalah Amrullah Hayatudin, yang juga menjabat sebagai Wakil Rektor 3 Unisba Bandung. Amrullah, Abdullah Yazid, Ali Karta, Budi, dan teman teman panitia luar biasa telah menyiapkan perhelatan dengan sedemikian rupa.


Tahun depan insyaallah Reuni akan dilaksanakan di Gontor dalam rangka memperingati 100 tahun Gontor. Didaulat saat penutupan reuni Bandung adalah Cecep Sobar Rochmat untuk menjadi ketua panitia reuni 2026 di Gontor. Secara simbolis Amrullah memberikan tongkat estafet kepada Cecep.


Peserta pun kemudian pamit satu persatu meninggalkan kampus Unisba yang asri. Saya diajak teman akrab sejak tahun 1996 bernama Yusuf, untuk mencicipi kuliner di Lembang. Sebelumnya kami membeli susu murni dari Lembang.


Ternyata kuliner yang dijanjikan Yusuf adalah makanan pangsit yang sangat lezat buatan istri nya. Ia dan istrinya menjadi pengusaha pangsit di kedai pelataran Mall Yogya di Lembang, Bandung, Jawa Barat. Saya sangat merekomendasikan Anda untuk mencicipi makanan ini.


Sore Ahad, kami kembali ke rumah. Dari reuni ini kami mendapat banyak pelajaran penting. Tidak terhitung betapa bersyukurnya kami pernah mengenyam pendidikan di Gontor, yang mengajarkan kehidupan dan persaudaraan, mengajarkan pentingnya ilmu pengetahuan, mengajarkan pentingnya perjuangan dan kemampuan beradaptasi, serta nilai nilai luhur untuk tetap menjadi manusia yang dapat bermanfaat untuk sesamanya. Tabik.



Kamis, 29 Mei 2025

Cinta di Tengah Politik (Sebuah Cerpen)


Langit mendung menggantung di atas kampus Universitas Nusantara. Edward berdiri di bawah pohon flamboyan, mengenakan jaket almamater biru tuanya yang mulai memudar. Di tangannya, selebaran kampanye tergenggam erat—dengan wajahnya yang tersenyum kaku dan slogan: “BEM Bersih, Mahasiswa Bangkit!”

Ia menatap kosong ke arah gedung rektorat. Dalam pikirannya, tidak hanya debat calon ketua BEM sore ini yang menghantui, tetapi juga pertemuan singkat dengan seorang mahasiswi bernama Indah—yang entah mengapa, justru lebih menggetarkan hatinya daripada seluruh panggung orasi yang pernah ia tapaki.

Edward bukan orang baru dalam dunia aktivisme kampus. Ia dikenal vokal, tegas, bahkan kadang keras. Ia berdiri melawan pungutan liar, menolak komersialisasi pendidikan, dan berani menyuarakan pendapat meskipun harus berhadapan langsung dengan birokrasi.

Tapi sejak memasuki arena pemilihan ketua BEM, atmosfernya berubah. Intrik, sindiran, bahkan fitnah mulai beredar. Dan Edward tahu, sebagian besar bersumber dari pesaing utamanya—Andre, aktivis populer dari fakultas ekonomi.

Hari itu, di koridor fakultas ilmu komunikasi, ia melihat Andre sedang tertawa lepas bersama beberapa simpatisannya. Edward melewati mereka dengan wajah dingin. Namun sesaat kemudian, sebuah suara lembut menghentikannya.

"Mas Edward."

Ia menoleh. Seorang perempuan berkerudung biru muda berdiri sambil membawa beberapa lembar kertas. Wajahnya tenang, matanya teduh. Dialah Indah, mahasiswi yang pernah ia lihat mengisi diskusi tentang etika kepemimpinan dalam Islam.

"Ada yang bisa saya bantu?" tanya Edward, mencoba menyembunyikan kekakuannya.

Indah tersenyum. "Saya cuma mau bilang, jangan terlalu larut dalam permainan. Politik kampus memang keras, tapi jangan sampai mengeras hati. Termasuk terhadap Mas Andre."

Edward mengernyit. "Dia sudah melewati batas. Fitnah, manipulasi, framing. Dia bukan sekadar lawan, tapi musuh."

Indah menunduk sejenak, lalu menatap Edward dengan lembut.

"Jangan pernah punya rasa dendam kepada kandidat lainnya, Mas. Sebab kita tidak tahu masa depan. Mungkin hari ini dia lawan, besok dia teman seperjuangan."

Kata-kata itu menghantam Edward lebih keras dari orasi apapun yang pernah ia dengar. Ia terpaku, mulutnya setengah terbuka, namun tak mampu membantah.

Hari-hari selanjutnya, Edward membawa kata-kata itu ke dalam batinnya. Setiap ia hendak membalas sindiran Andre, bayangan wajah Indah muncul dan menahannya. Setiap ia ingin memprovokasi balasan atas narasi kotor yang ditujukan padanya, ia ingat pesan itu: "Kita tidak tahu masa depan."

Lambat laun, ia mulai mengubah strategi. Ia tidak lagi menyerang Andre secara pribadi. Ia fokus pada program kerja, integritas, dan visi. Di setiap debat, ia mulai bicara lebih tenang, meski tetap tegas. Ia memilih jalan damai, bukan karena lemah, tetapi karena ingin menang tanpa menumbuhkan kebencian.

Indah tak pernah muncul lagi secara langsung. Tapi pesan singkatnya di pikiran Edward terus menuntun.

Sampai akhirnya hari pemilihan tiba. Mahasiswa memadati lapangan utama. Kotak suara berdiri kokoh di tengah, dijaga oleh panitia. Kampanye ditutup, suara-suara telah diberikan.

Malam itu, hasil diumumkan. Edward memenangkan suara terbanyak, selisih tipis dari Andre. Sorak-sorai membahana. Tapi yang lebih mengejutkan, bukan kemenangan itu—melainkan ketika Andre menghampiri Edward dan menjabat tangannya dengan tulus.

“Selamat, Edward. Kau layak memimpin.”

Edward tertegun. Ia menatap Andre, dan untuk pertama kalinya melihat bukan musuh, tapi sesama pejuang yang pernah berbeda langkah.

“Terima kasih, Andre. Aku harap kita tetap bisa berjuang bersama.”

Andre mengangguk.

Di antara kerumunan yang bersorak, Edward melihat sosok yang ia kenal. Indah berdiri di dekat pagar taman, mengenakan jaket angkatan dan memeluk beberapa kertas. Ia tersenyum kecil ke arahnya, lalu berbalik pergi.

Edward mengejar.

“Indah,” panggilnya.

Gadis itu menoleh, sedikit kaget.

“Kau benar tentang Andre,” ujar Edward. “Aku hampir tenggelam dalam dendam. Tapi... kata-katamu menyelamatkan aku. Dan lebih dari itu... entah kenapa, aku merasa seperti menemukan cahaya.”

Indah tersenyum, matanya berbinar. “Aku cuma menyampaikan apa yang menurutku benar.”

Edward menelan ludah. Jantungnya berdebar lebih cepat dari saat debat publik.

“Indah... setelah semua ini selesai, maukah kau... kita ngobrol lagi? Bukan tentang kampus atau pemilu. Tapi tentang kita. Tentang mimpi, dan langkah yang ingin kita ambil bersama?”

Indah tak langsung menjawab. Ia menatap Edward lama. Lalu tersenyum.

“Mungkin. Asal kau tetap jadi Edward yang tidak membenci, dan tidak lupa daratan setelah jadi ketua BEM.”

Mereka tertawa bersama.

Langit malam kembali cerah. Di tengah hiruk-pikuk kampus, dua insan berdiri menatap arah yang sama. Mungkin bukan hanya panggung yang akan Edward pimpin, tapi juga hatinya sendiri—yang kini menemukan arah karena sebuah nasihat sederhana, dari seorang perempuan yang bernama Indah.

Selasa, 27 Mei 2025

FREKUENSI RASA (Sebuah Cerpen)


Setiap malam pukul sembilan, udara Jakarta dipenuhi oleh suara yang dinanti banyak orang. Suara lembut namun tegas yang datang dari radio: Utami, penyiar Radio Swara Citra. Suaranya seolah memiliki sihir tersendiri—menenangkan, mengajak bicara, bahkan membuat para pendengarnya merasa tak sendiri dalam gelap malam yang panjang.

Tak terkecuali Hudi, pemuda 27 tahun yang bekerja sebagai editor audio di sebuah rumah produksi kecil. Baginya, malam hari adalah waktu terindah karena ia bisa mendengarkan suara Utami dari radio tua peninggalan almarhum kakeknya. Suara itu menemaninya saat menyelesaikan proyek-proyek, atau sekadar menyeruput kopi hitam sambil menatap langit-langit kamar.

“Selamat malam, para pendengar setia Swara Citra. Malam ini, kita kembali bersua dalam segmen ‘Nada dan Cerita’. Seperti biasa, saya akan putarkan lagu-lagu pilihan kalian, lengkap dengan pesan yang menyentuh hati. Mulailah malam dengan perasaan yang baik, karena suara hati kita pantas didengar,” suara Utami mengalun.

Hudi, seperti biasa, mengirim pesan ke radio lewat aplikasi resmi. Ia tak pernah mencantumkan nama aslinya, cukup dengan nama samaran: “Pengelana Malam”. Malam itu pun ia menulis, “Kak Utami, putarkan lagu ‘Aku Milikmu Malam Ini’ dari Pongki Barata, buat seseorang yang selalu menemaniku walau ia tak tahu. Suaramu adalah bagian dari malamku.”

Utami selalu membaca pesannya di akhir siaran, dengan suara yang menurun pelan, seolah ikut menyelami rasa si pengirim. Hudi tahu, ia hanya satu dari ratusan pendengar. Tapi ada kehangatan aneh setiap kali Utami menyebut “Pengelana Malam”.

Beberapa bulan berselang, Hudi mendapat undangan seminar komunikasi bertema “Masa Depan Radio di Era Digital” di kampus tempat ia dulu kuliah. Ia datang karena penasaran, apalagi nama pembicara utamanya adalah: Utami Putri Rachman.

Saat masuk ke ruangan seminar, Hudi tertegun. Di atas panggung, berdiri seorang perempuan berkerudung krem, dengan blazer hitam dan senyum yang begitu menenangkan—itu dia, Utami. Tak ada mikrofon yang mampu menyembunyikan kecantikannya yang sederhana, atau aura hangat yang terpancar saat ia berbicara tentang dunia radio yang dicintainya.

“Radio bukan sekadar suara. Ia adalah jembatan rasa. Ia hadir saat orang-orang merasa sendiri, dan tiba-tiba, mereka merasa ditemani,” ujar Utami di salah satu sesi.

Hudi duduk di deretan tengah, hanya berjarak lima baris dari panggung. Dadanya berdebar. Ingin sekali ia berdiri, menyapa, mengatakan bahwa ia adalah “Pengelana Malam”. Tapi keberanian itu menguap bersama udara pendingin ruangan.

Saat sesi tanya jawab, tangan Hudi sempat terangkat. Tapi ketika mikrofon mendekat, ia menunduk dan menggeleng pelan.

Di luar gedung seminar, Hudi berdiri lama. Ia melihat Utami berjalan bersama panitia, masih melayani obrolan para peserta. Lalu ia membuka ponsel, dan kembali menulis pesan seperti biasa.

Malam ini, aku ingin mendengarkan ‘Kisah Romantis’ dari Glenn Fredly. Untuk seseorang yang kutemui dari jauh hari ini. Dia tetap terdengar menakjubkan, seperti suaranya setiap malam. Salam dari Pengelana Malam.

Malam itu, suara Utami mengudara lagi.

“Untuk pesan terakhir malam ini, ada dari ‘Pengelana Malam’. Ia kirimkan lagu 'Kisah Romantis', katanya... untuk seseorang yang ia temui dari jauh hari ini. Wah, semoga seseorang itu bisa tahu bahwa ia begitu berarti. Terima kasih sudah setia di frekuensi ini.”

Utami diam sejenak sebelum melanjutkan.

“Kadang, ada rasa yang hadir diam-diam. Tak banyak kata, hanya pesan singkat dan lagu yang menyimpan makna. Tapi percayalah, kadang yang diam itu justru paling setia.”

Lagu pun mengalun.

Hudi memejamkan mata. Ia tak tahu apakah Utami tahu bahwa “seseorang itu” adalah dirinya. Tapi baginya, selama ia bisa menyapa lewat gelombang udara, itu sudah cukup.

Ia tetap akan menjadi penggemar rahasia, yang setia di frekuensi yang sama.

Minggu, 08 September 2024

Kesetiaan Allah SWT: Cahaya dalam Kegelapan Pengkhianatan


Dalam kehidupan, tak jarang kita menghadapi masa-masa sulit di mana rasanya dunia seakan menutup pintunya bagi kita. 

Teman-teman yang dulu dekat tiba-tiba menjauh, orang-orang yang kita percayai mengkhianati, dan seolah-olah kita ditinggalkan sendirian. 

Namun, dalam gelapnya kekecewaan tersebut, ada satu cahaya yang selalu menerangi jalan kita: 

Allah SWT, yang Maha Setia, yang tidak pernah meninggalkan hamba-Nya, bahkan ketika dunia tampaknya berbalik melawan kita.

1. Pengkhianatan dalam Kehidupan

Pengkhianatan adalah salah satu rasa sakit terdalam yang bisa dirasakan oleh manusia. Perasaan bahwa seseorang yang kita percayai, kita cintai, dan kita anggap sebagai bagian dari hidup kita, ternyata memanfaatkan atau menyakiti kita, bisa menghancurkan hati dan kepercayaan diri.

Ini sering kali membuat kita mempertanyakan diri sendiri, bahkan keyakinan kita pada kebaikan orang lain.Namun, dalam keadaan seperti itu, kita harus selalu ingat bahwa manusia, betapa pun baik atau dekatnya, tetaplah makhluk yang penuh keterbatasan.
 
Mereka bisa berubah, melakukan kesalahan, atau bahkan menyakiti kita, baik dengan sengaja maupun tidak. 

Tetapi, Allah SWT tidak pernah berubah. Allah SWT adalah satu-satunya yang senantiasa setia, tidak pernah berkhianat, dan tidak pernah meninggalkan hamba-Nya.

2. Kesetiaan Allah SWT

Allah SWT adalah satu-satunya tempat berlindung yang sejati. Bahkan ketika semua orang meninggalkan kita, Allah tetap ada di sana, mengawasi dan mendengar segala keluhan dan doa kita. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'an:

"Sesungguhnya Allah tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat kebaikan."
(QS. At-Taubah: 120)

Ayat ini menegaskan bahwa apapun yang terjadi, setiap usaha dan kebaikan yang kita lakukan tidak akan sia-sia di mata Allah. 

Allah selalu setia kepada hamba-Nya yang bertakwa dan berusaha keras dalam kebaikan. Bahkan ketika manusia mengecewakan kita, Allah tidak akan pernah mengecewakan.

3. Ujian dari Allah sebagai Tanda Cinta

Ketika kita merasa terpuruk, kehilangan segalanya, dan merasa dikhianati, ada satu hal yang harus selalu kita ingat: 

ini adalah bagian dari ujian kehidupan yang diberikan oleh Allah. 

Dalam Islam, ujian bukanlah tanda Allah marah kepada hamba-Nya, melainkan tanda cinta-Nya. Allah SWT menguji orang-orang yang dicintai-Nya agar mereka menjadi lebih kuat, lebih dekat kepada-Nya, dan lebih sabar.

Rasulullah SAW bersabda: "Barangsiapa yang dikehendaki oleh Allah menjadi baik, maka Dia akan memberinya cobaan."
(HR. Bukhari)

Ujian berupa pengkhianatan atau kehilangan adalah cara Allah mengingatkan kita bahwa hanya Dia yang abadi, hanya Dia yang layak menjadi tempat kita menggantungkan segala harapan dan kepercayaan. 

Ketika kita terlalu bergantung pada manusia, Allah mungkin menguji kita dengan cara melepaskan dukungan manusia tersebut, agar kita kembali kepada-Nya dan hanya bergantung pada-Nya.

4. Membangun Kembali Kekuatan dari Ketergantungan kepada Allah

Ketika kita menyadari bahwa Allah adalah satu-satunya yang setia, dan bahwa pengkhianatan dari manusia hanyalah bagian dari perjalanan hidup, kita akan menemukan kekuatan baru. 

Tidak ada yang lebih menenangkan selain mengetahui bahwa dalam keadaan apapun, Allah selalu ada untuk kita.Dalam QS. Al-Baqarah: 286, Allah berfirman:

"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya."

Ayat ini mengingatkan kita bahwa setiap ujian yang kita hadapi, termasuk pengkhianatan atau kehilangan, adalah sesuatu yang telah diukur oleh Allah sesuai dengan kemampuan kita. 

Allah tahu seberapa kuat kita, dan Dia tidak akan memberikan ujian yang melampaui batas kemampuan kita. 

Maka dari itu, daripada larut dalam kesedihan dan kekecewaan, kita sebaiknya memanfaatkan ujian tersebut sebagai sarana untuk lebih dekat kepada Allah dan memperkuat keimanan kita.

5. Memaafkan dan Melanjutkan Hidup

Salah satu ajaran penting dalam Islam adalah tentang memaafkan. Meskipun rasa sakit karena dikhianati sangat besar, Islam mengajarkan kita untuk selalu berusaha memaafkan orang yang bersalah kepada kita. 

Dalam QS. An-Nur: 22, Allah SWT berfirman: "Dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu?"

Memaafkan orang lain bukan hanya soal memberikan kesempatan kedua kepada mereka, tetapi juga tentang membebaskan diri kita dari rasa sakit dan dendam yang hanya akan membebani jiwa kita. 

Dengan memaafkan, kita membiarkan diri kita untuk melanjutkan hidup dengan tenang, dan fokus kepada hal-hal yang lebih baik.

6. Menjaga Hubungan dengan Allah

Saat segala sesuatu tampak berantakan, menjaga hubungan kita dengan Allah adalah yang terpenting. 

Berdoa, membaca Al-Qur'an, dan melakukan ibadah lainnya adalah cara untuk memperkuat ikatan kita dengan-Nya.

Saat kita merasa sendiri atau terluka, hanya kepada Allah lah kita mengadu, karena Dia Maha Mendengar dan Maha Mengetahui segala apa yang kita rasakan.

Allah SWT berfirman: "Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia berdoa kepada-Ku."
(QS. Al-Baqarah: 186)

Doa adalah kekuatan terbesar yang kita miliki. Tidak peduli seberapa buruk keadaan kita, tidak peduli seberapa dalam rasa sakit yang kita alami, Allah selalu dekat dan siap mendengar serta memberikan jalan keluar.

7. Penutup: Mengandalkan Allah di Atas Segalanya

Pada akhirnya, kehidupan ini adalah perjalanan yang penuh dengan cobaan dan ujian. Kita akan bertemu dengan berbagai orang, mengalami berbagai peristiwa, termasuk pengkhianatan.

Namun, dalam setiap detik perjalanan itu, Allah SWT selalu ada bersama kita. Dia adalah satu-satunya yang tidak pernah berubah, tidak pernah mengkhianati, dan selalu setia. 

Ketika kita telah kehilangan segalanya dan semua orang, Allah tetap ada, menyayangi kita, dan memberikan kekuatan kepada kita.Maka, jangan pernah merasa sendirian. 

Di saat paling gelap dalam hidup kita, ingatlah bahwa Allah SWT tidak pernah meninggalkan kita. 

Dia selalu ada, menunggu kita untuk kembali kepada-Nya, memohon pertolongan-Nya, dan menyerahkan segala beban hidup kita kepada-Nya. 

Hanya dengan cara inilah kita bisa menemukan ketenangan sejati di tengah badai kehidupan.

Selasa, 27 Agustus 2024

Jaga Kata-katamu Jika Kamu Mau Selamat

Belakang ini ada sebuah tranding topic pembicaraan tentang twit twit lama yang naik lagi ke permukaan dari salah seorang kandidat kepala daerah. Pasalnya cuitan ini tidak menguntungkan bagi si kandidat, malah justru melemahkannya. Maka saya ingat pelajaran Mahfudzat dulu bahwa:

سلامة الإنسان في حفظ اللسان

"Keselamatan Manusia dalam Penjagaan Lisannya"

Di era digital dan media sosial yang berkembang pesat, menjaga lisan atau kata-kata yang kita ucapkan dan tuliskan menjadi semakin penting. Lisan, dalam hal ini, tidak hanya merujuk pada apa yang kita katakan secara langsung, tetapi juga mencakup apa yang kita tulis di media sosial, pesan teks, dan platform digital lainnya. Kemampuan untuk mengendalikan lisan adalah salah satu aspek penting dari keselamatan manusia, baik secara pribadi maupun dalam hubungan sosial dan profesional.

Di dunia digital, setiap kata yang diucapkan atau dituliskan dapat memiliki dampak yang luas dan tahan lama. Pesan yang salah atau kurang bijaksana dapat dengan mudah disebarluaskan dan diterima oleh ribuan, bahkan jutaan orang dalam hitungan detik. 

Apa yang kita katakan atau tulis secara online dapat memengaruhi bagaimana orang lain melihat kita. Sebuah komentar yang tidak pantas atau salah dapat merusak reputasi seseorang dan bahkan mengancam karier mereka.
  
Lisan yang tidak terjaga dapat merusak hubungan sosial, baik dengan teman, keluarga, atau rekan kerja. Misunderstanding atau komentar yang tidak sensitif dapat menimbulkan konflik yang sulit diperbaiki.

Di beberapa negara, kata-kata yang diucapkan atau dituliskan di dunia digital dapat memiliki konsekuensi hukum. Misalnya, pencemaran nama baik, ujaran kebencian, atau penyebaran informasi palsu dapat membawa pelakunya ke ranah hukum. 

Media sosial memberikan kebebasan kepada siapa saja untuk mengekspresikan diri, tetapi kebebasan ini datang dengan tanggung jawab. Beberapa tantangan yang dihadapi dalam menjaga lisan di media sosial antara lain:

Anonimitas di internet sering kali membuat orang merasa aman untuk mengatakan hal-hal yang tidak akan mereka ucapkan dalam kehidupan nyata. Hal ini dapat menyebabkan perilaku yang tidak bertanggung jawab seperti bullying, trolling, atau penyebaran ujaran kebencian.

Media sosial mendorong pengguna untuk bereaksi dengan cepat terhadap suatu peristiwa atau isu. Namun, reaksi yang terburu-buru sering kali menghasilkan pernyataan yang kurang dipikirkan dan dapat menimbulkan masalah.

Komunikasi digital sering kali kurang dalam konteks non-verbal seperti ekspresi wajah dan nada suara, yang dapat menyebabkan salah pengertian dan interpretasi yang salah.

Menjaga lisan di era digital membutuhkan kesadaran dan disiplin. Sebelum mengirimkan pesan atau membuat posting, pikirkan terlebih dahulu dampak dari kata-kata tersebut. Apakah kata-kata itu bisa disalahpahami? Apakah ada kemungkinan menyinggung perasaan orang lain?

Jangan menulis atau berkomentar saat marah atau emosi. Tindakan yang diambil saat emosi sering kali tidak bijaksana dan dapat berakibat buruk.

Jangan menyebarkan informasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Hoaks dan ujaran kebencian hanya akan merugikan orang lain dan diri sendiri.

Berhati-hatilah dalam membagikan informasi pribadi di media sosial. Kata-kata yang tidak sengaja atau informasi pribadi yang dibagikan bisa saja disalahgunakan.

Penjagaan lisan di era digital dan media sosial adalah aspek penting dalam menjaga keselamatan manusia. Dengan perkembangan teknologi dan kebebasan berekspresi yang semakin luas, tanggung jawab untuk mengendalikan apa yang kita katakan dan tuliskan semakin besar. Dengan berpikir sebelum berbicara, mengendalikan emosi, dan selalu mempertimbangkan dampak dari setiap kata, kita dapat menjaga keharmonisan dalam hubungan sosial, melindungi reputasi pribadi, dan menghindari konflik atau masalah hukum yang tidak perlu. Menjaga lisan adalah salah satu kunci untuk keselamatan dan kesejahteraan di dunia digital yang kompleks ini.

Selesaikan Tugasmu Sebaik-baiknya



Dulu, ketika saya merasa berat untuk menulis tesis di Universitas Ankara Turki, Ibuku bilang, "selesaikan tugasmu dengan sebaik-baiknya, karena tidak ada yang kamu kejar, kecuali belajar." Kalimat ini menjadi jimat ketika semangat berkurang. Maka saya berusaha sekuat tenaga untuk menyelesaikan tugas sebaik baiknya, karena ini juga bagian dari pelajaran Mahfudzat di Gontor, إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالْخَوَاتِيمِ. Sesungguhnya pekerjaan-pekerjaan ini dengan selesai tuntas dikerjakan.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita dihadapkan pada berbagai macam pekerjaan dan tanggung jawab. Baik dalam konteks profesional maupun pribadi, pekerjaan selalu ada untuk diselesaikan. Namun, tantangan terbesar bukan hanya pada melakukan pekerjaan itu sendiri, tetapi juga bagaimana kita menyelesaikannya dengan baik. Sebuah pekerjaan tanpa penyelesaian tidak hanya berarti waktu dan tenaga yang terbuang sia-sia, tetapi juga bisa berdampak negatif pada hasil akhir yang kita harapkan.

Penyelesaian adalah bagian krusial dari setiap pekerjaan. Tanpa penyelesaian, sebuah tugas atau proyek hanya akan menjadi sekumpulan upaya yang tidak memiliki arah atau tujuan yang jelas. Menyelesaikan pekerjaan bukan hanya tentang "menyelesaikan tugas," tetapi juga memastikan bahwa setiap bagian dari pekerjaan tersebut mencapai standar kualitas yang diharapkan. Ketika sebuah pekerjaan selesai dengan baik, hasilnya dapat memberikan dampak yang signifikan, baik itu dalam bentuk kepuasan pribadi, pengakuan profesional, atau hasil konkret yang diinginkan.

Setiap pekerjaan memiliki tantangannya sendiri, dan untuk menyelesaikannya dengan sukses, diperlukan strategi yang tepat. Berikut adalah beberapa langkah yang bisa membantu:

Perencanaan yang Matang: Sebelum memulai pekerjaan, sangat penting untuk merencanakan langkah-langkah yang akan diambil. Perencanaan yang baik membantu mengidentifikasi tujuan, alur kerja, sumber daya yang dibutuhkan, dan potensi hambatan yang mungkin muncul.

Prioritas dan Manajemen Waktu: Setiap pekerjaan harus diprioritaskan berdasarkan urgensi dan dampaknya. Manajemen waktu yang efektif akan memastikan bahwa pekerjaan selesai tepat waktu tanpa mengorbankan kualitas.

Pemecahan Masalah: Tidak jarang dalam proses penyelesaian pekerjaan, kita dihadapkan pada masalah atau hambatan. Kemampuan untuk memecahkan masalah secara efektif adalah kunci untuk menyelesaikan pekerjaan dengan baik. Ini melibatkan kemampuan untuk berpikir kritis, mencari solusi alternatif, dan tetap tenang di bawah tekanan.

Kolaborasi dan Komunikasi: Banyak pekerjaan yang membutuhkan kerja sama dengan orang lain. Komunikasi yang jelas dan kolaborasi yang baik akan memastikan bahwa semua pihak yang terlibat memiliki pemahaman yang sama dan bekerja menuju tujuan yang sama.

Evaluasi dan Penyesuaian: Setelah pekerjaan selesai, evaluasi sangat penting untuk melihat apa yang berhasil dan apa yang tidak. Ini memungkinkan untuk melakukan penyesuaian di masa depan dan terus meningkatkan cara kita bekerja.

Menyelesaikan pekerjaan dengan baik memiliki banyak manfaat, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dari segi profesional, penyelesaian yang efektif dapat meningkatkan reputasi, membuka peluang karir, dan memberikan kepuasan atas pekerjaan yang dilakukan. Dari segi pribadi, ini memberikan rasa pencapaian dan kebanggaan diri.

Di tingkat organisasi, penyelesaian tugas dengan baik berkontribusi pada keberhasilan keseluruhan tim dan perusahaan. Pekerjaan yang diselesaikan tepat waktu dan dengan kualitas tinggi membantu mencapai tujuan organisasi, meningkatkan efisiensi, dan mendukung budaya kerja yang positif.

Konsistensi adalah kunci untuk memastikan bahwa setiap pekerjaan yang dilakukan tidak hanya selesai, tetapi juga diselesaikan dengan standar yang tinggi. Konsistensi dalam penyelesaian pekerjaan mencerminkan komitmen terhadap kualitas dan profesionalisme. Ini membangun kepercayaan baik dari rekan kerja, atasan, maupun klien.

Seringkali, kita dihadapkan pada hambatan yang dapat menghalangi penyelesaian pekerjaan. Ini bisa berupa kurangnya motivasi, gangguan dari luar, atau bahkan ketidakpastian dalam langkah-langkah yang harus diambil. Untuk mengatasi ini, penting untuk tetap fokus pada tujuan akhir, mencari bantuan jika diperlukan, dan tetap fleksibel dalam menghadapi perubahan atau tantangan yang muncul.

Setiap pekerjaan yang kita hadapi adalah kesempatan untuk belajar, berkembang, dan memberikan kontribusi yang berarti. Namun, nilai sebenarnya dari pekerjaan terletak pada penyelesaiannya. Dengan perencanaan yang baik, prioritas yang jelas, kemampuan memecahkan masalah, dan konsistensi, setiap pekerjaan dapat diselesaikan dengan baik dan membawa dampak positif yang signifikan. Penyelesaian yang efektif bukan hanya tentang menyelesaikan tugas, tetapi tentang bagaimana kita memastikan bahwa hasilnya memuaskan dan sesuai dengan tujuan yang kita tetapkan sejak awal. Dengan demikian, kita tidak hanya bekerja untuk menyelesaikan tugas, tetapi juga untuk mencapai hasil yang berkualitas dan bermakna.

Senin, 26 Agustus 2024

"Mustahil bukanlah fakta. Ia adalah pendapat,"


Ungkapan "Mustahil bukanlah fakta. Ia adalah pendapat," yang diucapkan oleh Muhammad Ali, adalah sebuah pernyataan yang mendalam dan menggugah, menggambarkan keyakinannya terhadap kemampuan manusia untuk melampaui batasan yang dipersepsikan. Ali, seorang petinju legendaris yang dikenal bukan hanya karena keterampilannya di ring, tetapi juga karena kepribadian dan pandangannya yang berani, menggunakan kalimat ini untuk menantang pandangan konvensional tentang apa yang mungkin dan tidak mungkin. 

Pada intinya, Ali ingin menegaskan bahwa batasan-batasan yang sering kita anggap sebagai 'mustahil' sebenarnya hanyalah konstruksi mental yang kita buat sendiri. Kita sering kali terbatas bukan oleh kenyataan yang ada di depan kita, melainkan oleh cara kita melihat kenyataan itu. Bagi Ali, "mustahil" bukanlah kenyataan objektif yang tidak bisa diubah, melainkan sebuah opini atau persepsi yang dapat kita tantang dan ubah.

Dalam kalimat ini, Ali membuat perbedaan yang tajam antara fakta dan pendapat. Fakta adalah sesuatu yang objektif dan tak terbantahkan, misalnya, matahari terbit dari timur setiap hari. Namun, "mustahil" bukanlah sebuah fakta seperti itu; ia adalah sebuah opini yang didasarkan pada pemahaman, pengetahuan, dan kepercayaan seseorang pada saat tertentu. Opini ini bisa berubah, terutama ketika seseorang memiliki tekad untuk mengubah keadaan.

Karir Muhammad Ali adalah bukti nyata dari keyakinannya ini. Banyak yang menganggap mustahil bagi seorang pria kulit hitam pada zamannya untuk mencapai kesuksesan dan pengaruh yang ia capai, terutama dalam dunia yang sarat dengan rasisme dan ketidaksetaraan. Ali menghadapi tantangan yang tampaknya mustahil, baik di dalam maupun di luar ring. Ketika ia pertama kali mengumumkan dirinya sebagai yang "terbesar," banyak orang yang meremehkannya, menganggap pernyataannya sebagai kesombongan. Namun, Ali tidak melihat batasan-batasan ini sebagai fakta yang tak terbantahkan. Ia melihatnya sebagai pendapat yang bisa dia tantang dan buktikan salah. 

Pesan ini juga relevan bagi kita semua. Ketika kita dihadapkan pada rintangan yang tampaknya tidak dapat diatasi, kita sering kali dengan cepat menganggapnya sebagai mustahil. Namun, jika kita mendekati tantangan dengan pola pikir bahwa "mustahil" hanya sebuah opini, kita membuka diri kita pada kemungkinan untuk berhasil. Misalnya, ketika seseorang berusaha mencapai tujuan yang sangat ambisius—seperti memulai bisnis dari nol, menaklukkan rintangan fisik, atau mengubah kebiasaan hidup yang buruk—ada banyak yang mungkin mengatakan bahwa itu mustahil. Namun, jika kita memandang ini sebagai pendapat, bukan fakta, kita bisa termotivasi untuk mencari jalan dan strategi baru yang pada akhirnya bisa membuat yang mustahil menjadi mungkin.

Ungkapan Muhammad Ali ini mengajarkan kita untuk tidak membiarkan batasan-batasan mental menghalangi kita. Dengan keyakinan yang kuat, tekad, dan keberanian untuk terus berusaha, kita bisa membuktikan bahwa apa yang dianggap mustahil hanyalah pendapat yang bisa diubah. Ali adalah contoh hidup dari filosofi ini, dan warisannya terus menginspirasi banyak orang untuk menantang apa yang mereka anggap tidak mungkin.

Jangan Jadi Kambing



Salah satu pesan yang masih kita ingat di Gontor adalah "Jangan jadi kambing," kata Kyai Kami, Dr. KH. Abdullah Syukri Zarkasyi, MA.

Jangan jadi kambing. Kambing mungkin memiliki kehidupan yang tampaknya nyaman: mereka memiliki kandang untuk berlindung, makanan yang cukup untuk dimakan, dan kemampuan untuk berkembang biak. Dari sudut pandang ini, hidup mereka tampak mirip dengan manusia. Mereka memenuhi kebutuhan dasar mereka, memiliki tempat tinggal, makanan, dan meneruskan keturunan. Namun, di sinilah letak perbedaannya—manusia tidak boleh menjalani hidup seperti kambing.

Sebagai manusia, kita memiliki kapasitas untuk berpikir, bermimpi, dan meraih sesuatu yang lebih dari sekadar memenuhi kebutuhan dasar. Manusia dilahirkan dengan potensi yang jauh lebih besar daripada sekadar makan, tidur, dan berkembang biak. Kita memiliki akal budi yang memungkinkan kita untuk merenung, berinovasi, menciptakan, dan membangun sesuatu yang memiliki dampak jauh melampaui kehidupan kita sendiri. Kita memiliki hati nurani yang memandu kita untuk bertindak dengan moral dan etika, untuk peduli terhadap sesama, dan untuk menjalani hidup dengan tujuan yang lebih tinggi.

Menjadi manusia berarti mengambil tanggung jawab atas hidup kita, untuk tidak sekadar mengikuti naluri dasar atau rutinitas yang monoton. Kita diajak untuk hidup dengan kesadaran penuh, untuk menemukan makna dan tujuan di balik tindakan kita, dan untuk berkontribusi kepada dunia di sekitar kita. Kehidupan yang hanya berfokus pada pemenuhan kebutuhan fisik tanpa memikirkan tujuan yang lebih besar adalah kehidupan yang terbuang sia-sia.

Kambing hidup dengan mengikuti naluri, tanpa visi, tanpa impian, dan tanpa ambisi. Mereka menerima hidup apa adanya, terikat pada siklus dasar kelangsungan hidup. Tetapi manusia diberi kemampuan untuk memilih jalan hidupnya, untuk menentukan takdirnya sendiri, dan untuk berusaha mencapai sesuatu yang lebih dari sekadar eksistensi. Kita dipanggil untuk hidup dengan semangat, untuk mengejar mimpi, dan untuk meninggalkan jejak yang bermakna di dunia ini.

Maka dari itu, jangan biarkan diri kita terjebak dalam kehidupan yang serba monoton dan terbatas seperti kambing. Jangan hanya puas dengan kenyamanan atau rutinitas sehari-hari. Manusia tidak boleh hidup hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makan dan tidur. Kita harus terus mencari, belajar, dan berkembang. Kita harus menjalani hidup dengan semangat yang membara, selalu mencari cara untuk membuat dunia ini lebih baik, untuk menciptakan sesuatu yang akan dikenang, dan untuk menjalani hidup dengan penuh makna.

Menjadi manusia berarti lebih dari sekadar bertahan hidup—ini tentang mencapai potensi penuh kita, tentang menjalani hidup dengan integritas, semangat, dan tekad untuk membuat perbedaan. Jangan jadi kambing; jadilah manusia yang seutuhnya, yang hidup dengan tujuan dan makna, yang berjuang untuk sesuatu yang lebih besar daripada diri kita sendiri.

Orang yang tidak mau apa-apa, tidak akan dapat apa-apa, maka ia tidak bisa apa-apa, dan akhirnya tidak akan jadi apa-apa.



Orang yang tidak memiliki keinginan atau ambisi dalam hidup, tidak akan mendapatkan apa-apa. Mereka yang tidak berani bermimpi atau mengambil langkah untuk mencapai sesuatu, pada akhirnya akan terjebak dalam keterbatasan diri mereka sendiri. Tanpa keinginan, seseorang tidak akan memiliki dorongan untuk bertindak atau belajar. Tanpa tindakan, mereka tidak akan pernah mengembangkan keterampilan atau kemampuan. Dan tanpa kemampuan, mereka tidak akan pernah mencapai sesuatu yang berarti dalam hidup.

Keberhasilan tidak datang dengan sendirinya; ia memerlukan usaha, tekad, dan keyakinan bahwa apa yang kita inginkan dapat dicapai. Namun, ketika seseorang memilih untuk tidak menginginkan apa pun, mereka secara otomatis menutup pintu terhadap semua kemungkinan. Hidup mereka menjadi stagnan, terhenti di satu titik tanpa perkembangan atau pencapaian. Mereka mungkin akan merasa nyaman dalam zona aman, tetapi kenyamanan ini hanya sementara dan sering kali berujung pada penyesalan.

Lebih dari itu, tanpa keinginan atau tujuan, seseorang kehilangan arah dalam hidup. Mereka tidak memiliki sesuatu untuk dikejar, tidak ada alasan untuk berkembang, dan akhirnya mereka hanya mengapung di arus kehidupan tanpa arah yang jelas. Dan ketika hari-hari berlalu tanpa perubahan atau pertumbuhan, mereka akan menyadari bahwa mereka telah kehilangan banyak peluang.

Pada akhirnya, orang yang tidak mau apa-apa tidak akan menjadi apa-apa. Mereka tidak akan dikenal karena prestasi mereka, karena tidak ada yang mereka perjuangkan. Mereka tidak akan meninggalkan warisan atau dampak yang berarti, karena mereka tidak pernah mengambil langkah untuk membuat perbedaan. Hidup mereka mungkin tenang, tetapi tidak penuh; mereka mungkin tidak menghadapi banyak kegagalan, tetapi juga tidak pernah merasakan manisnya kesuksesan.

Maka dari itu, penting bagi setiap orang untuk memiliki keinginan, untuk bermimpi, dan untuk berusaha mewujudkannya. Keinginan adalah api yang menggerakkan kita menuju tujuan, dan dengan usaha serta ketekunan, kita dapat meraih apa yang kita inginkan, mengembangkan diri menjadi lebih baik, dan pada akhirnya, menjadi seseorang yang berarti.

Ini adalah penafsiran dari apa yang disampaikan Almarhum Dr. KH. Abdullah Syukri Zarkasyi, MA "Orang yang tidak mau apa-apa, tidak akan dapat apa-apa, maka ia tidak bisa apa-apa, dan akhirnya tidak akan jadi apa-apa."

Sabtu, 24 Agustus 2024

Kopi Pahit di Wailela

Di pinggir pantai Wailela, sebuah kafe kecil berdiri dengan tenang. Suara ombak yang bergulung-gulung menjadi latar belakang yang sempurna untuk sebuah pertemuan yang telah lama dinanti. Beta duduk di sudut kafe, menatap secangkir kopi pahit di depannya yang sudah mulai mendingin. Di luar jendela, matahari perlahan-lahan tenggelam, mewarnai langit dengan semburat jingga yang indah.

Beta telah menunggu Aprilia, perempuan yang selalu hadir di pikirannya sejak pertemuan pertama mereka. Hari ini seharusnya menjadi hari istimewa—hari di mana mereka akan bertemu kembali setelah sekian lama terpisah oleh jarak dan waktu. Namun, waktu terus berjalan, dan Aprilia belum juga datang.

Secangkir kopi yang semula hangat kini telah dingin. Beta menatap cangkir itu dengan perasaan campur aduk. Kopi pahit ini menjadi lambang dari harapan yang perlahan-lahan mulai memudar, seiring detik yang terus berdetak. Di setiap suara gesekan pintu kafe yang terbuka, Beta selalu berharap melihat Aprilia masuk dengan senyuman hangatnya, namun harapan itu pupus setiap kali melihat bahwa itu hanya pengunjung lain.

"Apakah dia akan datang?" pikir Beta. Pertanyaan itu terus berputar di kepalanya, seperti ombak yang tak pernah berhenti menerpa pantai. Semua kenangan bersama Aprilia kembali membanjiri pikirannya—senyumnya, tawa ringannya, cara bicaranya yang selalu tenang namun penuh makna. Beta merindukan semua itu, dan hari ini seharusnya menjadi momen di mana semua kenangan itu bisa kembali hidup.

Namun, hari semakin gelap, dan kafe mulai sepi. Satu per satu pengunjung pergi, meninggalkan Beta sendiri dengan secangkir kopi yang semakin dingin. Beta menghela napas, lalu menyesap kopi itu. Rasanya pahit, tidak lagi menyisakan kehangatan yang bisa menghibur hati. Sama seperti hatinya yang mulai merasa kosong.

Mungkin Aprilia memang tidak akan datang. Mungkin ada sesuatu yang menghalanginya, atau mungkin dia telah melupakan janji mereka. Beta menatap laut yang tenang, mencari ketenangan di balik ketidakpastian ini. 

Waktu terus berlalu, dan akhirnya Beta memutuskan untuk berdiri. Ia meninggalkan beberapa lembar uang di meja, lalu berjalan keluar dari kafe. Langit kini berwarna biru gelap, hanya diterangi oleh bintang-bintang yang mulai bermunculan. Dengan langkah yang perlahan, Beta meninggalkan kafe pinggir pantai itu, dengan hati yang sedikit lebih berat dari sebelumnya.

Namun di dalam hati kecilnya, Beta masih menyimpan harapan. Harapan bahwa suatu hari nanti, di tempat yang berbeda atau waktu yang lain, mereka akan bertemu kembali. Dan mungkin saat itu, kopi yang dinikmati tidak akan lagi menjadi dingin.

Sabtu, 17 Agustus 2024

Lelaki Berbaju Hitam di Kampus Inha University



Di kampus Inha University, Incheon, ada seorang lelaki yang dikenal dengan penampilannya yang mencolok. Namanya adalah Joon-suk, dan ia selalu terlihat dengan baju hitam, dari ujung rambut hingga ujung kaki. Dari jauh, ia tampak seperti sosok misterius yang sulit didekati, seakan-akan ia membatasi jarak antara dirinya dan orang lain dengan aura dingin yang mengelilinginya.

Joon-suk dikenal sebagai mahasiswa yang sangat cerdas dan berbakat, tetapi juga terkenal karena sifatnya yang sulit ditaklukkan. Ia jarang berbicara, jarang tersenyum, dan sering kali mengabaikan keberadaan orang-orang di sekelilingnya. Banyak yang bertanya-tanya tentang alasan di balik sikapnya yang misterius itu, tetapi tidak ada yang berhasil menguak rahasianya.

Segalanya berubah ketika Merve, seorang mahasiswi asal Turki, tiba di kampus Inha University untuk program pertukaran pelajar. Merve adalah sosok yang ceria, penuh semangat, dan selalu tersenyum pada setiap kesempatan. Keduanya bertemu untuk pertama kalinya di ruang perpustakaan saat Merve kebingungan mencari buku referensi untuk tugasnya.

“Apakah kamu bisa membantuku mencari buku ini?” tanya Merve dengan aksen Turki yang kental, sambil menunjukkan daftar buku di tangannya.

Joon-suk yang kebetulan berada di dekat rak buku, menoleh sejenak. Ia melihat ekspresi frustasi Merve dan tanpa berkata sepatah kata pun, ia berdiri dan mengambil buku yang dicari Merve dari rak.

Merve sangat berterima kasih. “Terima kasih banyak! Aku benar-benar tidak tahu harus mencari ke mana.”

Joon-suk hanya mengangguk dan kembali ke mejanya. Namun, Merve merasa ada sesuatu yang berbeda tentang lelaki itu dan penasaran. Ia tidak bisa mengabaikan perasaan bahwa di balik sikap dinginnya, ada sesuatu yang lebih.

Hari demi hari, Merve terus berusaha untuk mengenal Joon-suk. Ia sering kali mencoba mengajaknya berbicara, membawakan makanan khas Turki, atau sekadar menyapa. Joon-suk awalnya tetap menjaga jarak, tetapi perlahan-lahan ia mulai merespons sapaan Merve dengan sedikit senyum.

Suatu sore, saat hujan turun deras di luar, Merve terlihat kedinginan di halte bus. Joon-suk kebetulan lewat dan melihatnya. Tanpa berpikir panjang, ia menghampiri Merve dan menawarkan payungnya.

“Kenapa kamu masih di sini? Bus bisa datang kapan saja,” ujar Joon-suk dengan nada lembut yang jarang terdengar dari mulutnya.

Merve menatapnya dengan kejutan dan rasa terima kasih. “Aku hanya menunggu bus berikutnya. Terima kasih banyak.”

Hari-hari berikutnya, Joon-suk mulai lebih terbuka. Ia mulai membantu Merve dengan tugas-tugasnya, dan perlahan-lahan, Merve melihat perubahan yang signifikan dalam diri Joon-suk. Ia tidak lagi terlihat dingin dan tertutup; sebaliknya, Joon-suk menjadi lebih hangat dan peduli.

Suatu malam, saat mereka duduk bersama di kafe kampus setelah menghadiri acara budaya Turki yang Merve selenggarakan, Joon-suk membuka percakapan dengan lebih mendalam.

“Merve, aku ingin berterima kasih. Kamu telah mengubah banyak hal dalam hidupku,” katanya sambil memandang mata Merve yang penuh rasa ingin tahu.

Merve tersenyum. “Aku hanya menjadi diriku sendiri. Aku senang bisa membantu.”

Joon-suk mengangguk. “Aku merasa seperti ada sesuatu yang hilang dalam hidupku sebelum kamu datang. Sekarang aku merasa lebih baik. Terima kasih telah memberiku kesempatan untuk berubah.”

Merve hanya bisa tersenyum bahagia, melihat lelaki berbaju hitam yang dulu dingin dan sulit didekati kini telah berubah menjadi seseorang yang penuh perhatian dan peduli. Mereka terus berinteraksi dan menjalin persahabatan yang mendalam, dan Joon-suk menemukan bahwa cinta dan perhatian Merve telah membuka hatinya, menjadikannya pribadi yang lebih baik dan lebih bahagia.

Pertemuan Tak Terduga di Masjid Itaewon Seoul



Misbah menghela napas panjang ketika ia melangkah keluar dari stasiun kereta bawah tanah Itaewon. Udara musim gugur Seoul yang sejuk menyapu wajahnya, membawa aroma dedaunan yang mulai berguguran. Ia baru saja menyelesaikan tugas-tugas kuliahnya dan merasa perlu menenangkan pikiran. Masjid Itaewon, tempat yang sering ia kunjungi sejak tiba di Korea untuk program pertukaran pelajar, adalah tujuan utamanya hari itu. Di sana, ia selalu merasa damai, jauh dari hiruk-pikuk kehidupan kota yang sibuk.

Masjid Itaewon tidak pernah sepi dari pengunjung. Sebagai satu-satunya masjid besar di Seoul, tempat ini menjadi pusat bagi komunitas Muslim dari berbagai negara yang tinggal di Korea. Misbah menyukai keberagaman itu, karena selalu mengingatkannya pada rumahnya di Indonesia, di mana perbedaan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.

Ketika Misbah memasuki area wudhu, ia tidak menyangka akan bertemu dengan seseorang yang akan mengubah hari-harinya ke depan. Di sudut ruangan, seorang wanita muda berkerudung sedang membasuh tangannya dengan air dingin. Matanya yang sipit dan kulitnya yang pucat menunjukkan bahwa ia adalah orang Korea, tetapi kerudung yang dikenakannya mengundang tanya di benak Misbah.

Setelah selesai berwudhu, Misbah dan wanita itu secara bersamaan menuju ruang shalat. Mereka saling bertukar senyum singkat sebelum keduanya tenggelam dalam kekhusyukan ibadah. Usai shalat, mereka saling menatap sejenak, dan Misbah memutuskan untuk menyapa lebih dulu.

“Assalamu’alaikum,” sapa Misbah dengan senyum hangat.

“Wa’alaikumsalam,” jawab wanita itu dengan sedikit ragu, tetapi tetap tersenyum. 

“Apakah kamu orang Korea?” tanya Misbah dengan nada ramah.

Wanita itu mengangguk pelan. “Ya, namaku Jiyun. Aku baru saja menjadi mualaf beberapa bulan yang lalu,” katanya dalam bahasa Inggris dengan aksen Korea yang kental.

Misbah merasa kagum sekaligus penasaran. “Namaku Misbah. Aku dari Indonesia, dan sedang belajar di sini selama satu semester. Senang bertemu denganmu, Jiyun.”

“Senang bertemu denganmu juga, Misbah,” jawab Jiyun. “Aku selalu senang bertemu dengan sesama Muslim di sini. Rasanya seperti menemukan keluarga di tempat yang jauh.”

Mereka melanjutkan percakapan sambil berjalan keluar dari masjid. Misbah merasakan ketulusan dalam setiap kata yang diucapkan Jiyun. Ketika mereka sampai di luar, perut Misbah tiba-tiba berbunyi, membuat Jiyun tertawa kecil.

“Kau lapar, Misbah?” tanya Jiyun sambil tersenyum. “Ada rumah makan Turki di dekat sini yang menyajikan kebab terbaik. Mungkin kita bisa makan bersama?”

Misbah tidak bisa menolak tawaran itu. “Kedengarannya enak. Ayo!”

Mereka berjalan menyusuri jalan-jalan Itaewon yang ramai, hingga akhirnya tiba di sebuah rumah makan Turki yang sederhana namun nyaman. Aroma kebab yang menggiurkan langsung menyambut mereka ketika pintu rumah makan dibuka. Mereka duduk di meja di dekat jendela, memesan kebab, dan melanjutkan percakapan mereka yang sebelumnya tertunda.

Jiyun bercerita tentang perjalanannya menemukan Islam, tentang bagaimana ia merasa kosong meskipun memiliki segala yang ia butuhkan di dunia ini. Hingga suatu hari, ia menemukan sebuah buku tentang Islam di perpustakaan universitasnya, yang kemudian mengubah hidupnya selamanya. “Aku menemukan kedamaian yang selama ini kucari,” kata Jiyun dengan mata berbinar.

Misbah mendengarkan dengan penuh perhatian. Ia merasa kagum pada keberanian Jiyun untuk mencari kebenaran dan mengikuti hatinya, meski harus menghadapi banyak tantangan di negara yang mayoritas penduduknya bukan Muslim.

Malam itu, kebab yang mereka makan terasa lebih nikmat karena disertai dengan percakapan yang mendalam dan penuh makna. Misbah merasa ada sesuatu yang istimewa dalam pertemuan tak terduga ini. Mungkin, itu adalah perasaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya—perasaan cinta yang tumbuh dari hati yang saling memahami.

Hari-hari berikutnya, Misbah dan Jiyun semakin sering bertemu. Mereka tidak hanya menjadi teman baik, tetapi juga menemukan kenyamanan satu sama lain dalam menghadapi kehidupan di negeri orang. Mereka saling mendukung dalam menjalani ibadah, belajar, dan berbagi cerita.

Hingga suatu hari, di masjid yang sama tempat mereka pertama kali bertemu, Misbah memberanikan diri mengungkapkan perasaannya kepada Jiyun. “Jiyun, pertemuan kita di sini bukanlah suatu kebetulan. Aku merasa ada sesuatu yang lebih dalam antara kita. Aku mencintaimu, dan aku ingin kita terus bersama, bukan hanya sebagai teman, tetapi lebih dari itu.”

Jiyun terdiam sejenak, namun senyum lembutnya kemudian muncul di wajahnya. “Misbah, aku juga merasakan hal yang sama. Aku bahagia kita dipertemukan di sini, dan aku berharap kita bisa bersama-sama menjalani hidup ini dalam cinta dan iman.”

Dengan restu dari keluarga dan sahabat, Misbah dan Jiyun akhirnya menikah dalam sebuah upacara sederhana di Masjid Itaewon, tempat yang menjadi saksi pertemuan pertama mereka. Cinta mereka, yang dimulai dari pertemuan tak terduga di sebuah masjid di negeri asing, kini tumbuh semakin kuat, berakar dalam iman yang mereka bagikan, dan berkembang dalam kasih sayang yang tulus.

Begitulah, pertemuan tak terduga di Masjid Itaewon mengubah hidup Misbah dan Jiyun selamanya, menjadi kisah cinta yang indah antara dua hati yang dipertemukan oleh takdir, di bawah naungan cinta Ilahi.

Kisah Kasih antara Tokyo dan Ibaraki


Alya menatap keluar jendela kereta yang melaju cepat dari Tokyo menuju Ibaraki. Pemandangan kota yang padat perlahan berganti dengan hamparan sawah hijau dan perbukitan yang menenangkan. Perjalanan ini sudah menjadi rutinitas baginya, setiap akhir pekan ia selalu meluangkan waktu untuk berkunjung ke Ibaraki, bukan hanya untuk menenangkan diri dari hiruk-pikuk Tokyo, tetapi juga karena alasan yang lebih dalam—Ken.

Alya adalah seorang mahasiswi Indonesia yang sedang menempuh studi di Universitas Keio, salah satu universitas bergengsi di Tokyo. Awalnya, ia merasa canggung dan kesepian di negeri yang begitu jauh dari rumah, namun pertemuannya dengan Ken, seorang pemuda Jepang yang penuh kehangatan dan perhatian, mengubah segalanya. Mereka bertemu di sebuah seminar budaya yang diadakan oleh kampus, dan sejak itu, hubungan mereka tumbuh semakin dekat.

Ken adalah seorang arsitek muda yang tinggal di Ibaraki. Ia memiliki ketertarikan mendalam terhadap budaya dan bahasa Indonesia, yang membuatnya sering bertukar pikiran dengan Alya. Dari pertemuan yang sederhana di sebuah acara kampus, mereka mulai sering bertemu, berbicara tentang banyak hal—mulai dari seni, budaya, hingga kehidupan sehari-hari. Ketulusan Ken dalam mendengarkan dan memperhatikan membuat Alya jatuh hati. Namun, ada satu hal yang selalu menghantui pikirannya, yakni perbedaan keyakinan mereka.

Suatu hari, di tengah perjalanan mereka mengunjungi sebuah galeri seni di Tokyo, Ken mengungkapkan sesuatu yang membuat jantung Alya berdegup kencang. “Alya, aku selalu penasaran dengan keyakinanmu, dengan Islam. Aku ingin belajar lebih banyak, bukan hanya karena kamu, tapi karena aku merasa ada sesuatu yang memanggilku.”

Alya terkejut, namun juga merasa terharu. Ia tak pernah memaksa Ken untuk berubah, tetapi mendengar niat Ken yang tulus untuk memahami Islam membuatnya merasa lega. Mereka mulai berdiskusi lebih dalam tentang agama, dan Alya sering mengajak Ken ke Masjid At Taqwa di Ibaraki, satu-satunya masjid di daerah itu yang sering ia kunjungi saat merasa rindu dengan suasana keislaman.

Masjid At Taqwa di Ibaraki menjadi saksi perjalanan spiritual Ken. Setiap kali mereka berkunjung, Ken akan duduk di pojok, mendengarkan khotbah, dan sesekali bertanya pada imam masjid tentang hal-hal yang belum ia pahami. Perlahan, Ken mulai mengerti dan merasakan kedamaian dalam Islam. Alya melihat perubahan dalam diri Ken, dari seorang pemuda yang penasaran menjadi seseorang yang benar-benar ingin menemukan jalan hidup yang baru.

Akhirnya, pada suatu hari yang cerah, di hadapan para jamaah dan Alya yang berdiri di sampingnya, Ken mengucapkan dua kalimat syahadat di Masjid At Taqwa. “Ashhadu an la ilaha illallah, wa ashhadu anna Muhammadan rasulullah,” suaranya tenang dan penuh keyakinan.

Alya tak bisa menahan air mata kebahagiaannya. Di dalam hatinya, ia tahu bahwa ini adalah keputusan besar yang diambil Ken bukan karena cinta padanya semata, tetapi karena cinta pada kebenaran yang ia temukan dalam Islam.

Setelah prosesi tersebut, Ken dan Alya berjalan keluar masjid bersama, angin sepoi-sepoi Ibaraki menyambut mereka. “Terima kasih, Alya, karena telah membimbingku. Bukan hanya pada jalan Islam, tetapi juga dalam hidupku,” kata Ken sambil menggenggam tangan Alya.

“Ini semua adalah kehendak-Nya, Ken. Aku hanya menjadi jalan bagi pencarianmu,” jawab Alya dengan senyum yang menenangkan.

Hubungan mereka semakin erat, kini bukan hanya diikat oleh cinta yang mendalam, tetapi juga oleh keyakinan yang sama. Setiap perjalanan mereka dari Tokyo ke Ibaraki dan sebaliknya selalu diisi dengan perbincangan hangat, bukan hanya tentang kehidupan dan cinta, tetapi juga tentang iman yang kini mereka bagikan.

Kisah kasih antara Tokyo dan Ibaraki ini bukan hanya tentang dua hati yang bertemu, tetapi juga tentang perjalanan menemukan kebenaran, tentang bagaimana cinta dan keyakinan dapat berjalan seiring, dan bagaimana seorang pemuda Jepang bernama Ken menemukan kedamaian dalam Islam di bawah bimbingan lembut seorang mahasiswi Indonesia di Universitas Keio.