Arman tidak pernah menyangka, hidupnya akan penuh kejutan di usia tiga puluh dua tahun. Ia seorang dosen muda di sebuah kampus negeri. Sederhana, tenang, dan lebih suka menghabiskan waktu membaca buku dibanding nongkrong. Itu sebabnya, meski banyak teman sebaya sudah berumah tangga, Arman masih sendiri.
“Man, kapan kamu nyusul?” tanya ibunya setiap kali ia pulang ke rumah di kampung.
Arman hanya tersenyum. “Doakan saja, Bu.”
Di balik senyum itu, ia tahu bahwa hatinya kerap resah. Ia bukan tidak ingin menikah, hanya saja pertemuan dengan calon yang tepat selalu kandas. Entah karena ketidakcocokan, atau sekadar pertemuan basa-basi tanpa kelanjutan.
Suatu hari, seorang teman lama mengajaknya ikut pengajian di rumah sahabatnya. Di sana, Arman berkenalan dengan Laila—perempuan ramah berusia akhir dua puluhan yang dikenal pandai menjodohkan teman-temannya. Bukan perjodohan dalam arti sempit, melainkan perantara: mempertemukan mereka yang sama-sama mencari.
“Bang Arman, insyaAllah saya bantu ya. Banyak kok teman saya yang baik, shalihah, cocok buat abang,” kata Laila sambil tersenyum.
Arman hanya mengangguk. Dalam hati ia geli. Baru kali ini ia dikenalkan seseorang yang tampak begitu percaya diri mengatur urusan jodoh orang lain.
Tak lama kemudian, Laila menghubungkan Arman dengan beberapa perempuan. Ada yang bekerja sebagai perawat, ada pula yang sedang menempuh S2. Semua baik, tapi entah kenapa Arman merasa hampa. Obrolan tidak mengalir, hati tak bergetar.
Suatu sore, Arman bertemu dengan salah satu calon, Dina, seorang perawat cantik dan sopan. Mereka duduk di sebuah kafe, ditemani teh hangat.
“Bang Arman, jujur saja… saya merasa abang orang baik,” kata Dina sambil tersenyum canggung.
“Alhamdulillah. Saya juga melihat Dina perempuan yang shalihah,” balas Arman.
Namun percakapan setelah itu terasa kaku. Arman berusaha mengulik, tapi selalu berujung basa-basi. Dina pun akhirnya menatapnya dalam.
“Bang, maaf kalau saya bicara terus terang. Saya merasa abang hadir di sini karena ingin mencoba, bukan karena benar-benar ingin mengenal saya. Betul?”
Arman terdiam. Kata-kata itu menamparnya. Ia ingin membantah, tapi hatinya tahu Dina benar.
“Iya, mungkin begitu. Saya minta maaf, Dina. Saya hanya ingin berusaha, barangkali ini jalannya.”
Dina menghela napas panjang, lalu tersenyum tipis. “Tak apa, Bang. Jodoh itu bukan soal dipaksa. Saya doakan abang menemukan orang yang benar-benar membuat hati mantap.”
Kalimat itu membekas dalam hati Arman. Saat ia berjalan pulang, bayangan yang muncul justru bukan Dina, melainkan Laila. Perempuan yang mempertemukan mereka, yang selalu setia mendengarkan keluh kesahnya.
Sejak saat itu, Arman mulai sadar. Laila bukan sekadar comblang. Ia teman yang mengerti, pendengar yang sabar, dan diam-diam pengisi ruang kosong di hatinya.
Malam-malam mereka dipenuhi obrolan panjang. Laila curhat tentang pekerjaannya sebagai guru, tentang mimpinya melanjutkan studi, bahkan tentang kesepiannya.
“Kadang saya iri sama orang lain, Bang,” tulis Laila suatu malam. “Saya bisa bantu banyak teman ketemu jodohnya, tapi diri saya sendiri masih begini-begini saja.”
Arman tersenyum membaca pesan itu. Baru kali ini ia melihat sisi rapuh Laila. Biasanya perempuan itu selalu ceria, penuh semangat.
“Jangan gitu, La. Mungkin Allah menyiapkan yang lebih baik buat kamu,” balasnya.
Sejak saat itu, perasaan Arman tumbuh semakin kuat. Tapi ia takut mengaku. Bagaimana kalau Laila tersinggung? Bagaimana kalau ia kehilangan sahabat yang selama ini menjadi penguatnya?
Hingga suatu malam, Arman memberanikan diri mengajak Laila bertemu di sebuah kafe. Mereka duduk berhadapan, ditemani dua cangkir kopi hangat.
“La, saya mau bicara serius,” kata Arman membuka percakapan.
Laila menatapnya, agak terkejut. “Tentang calon lagi?”
Arman menggeleng. “Bukan. Tentang kamu.”
Laila terdiam.
“Saya sadar, beberapa waktu ini kamu sudah banyak membantu. Tapi di balik semua itu, saya merasa nyaman sama kamu. Entah kenapa, saya justru melihatmu… sebagai orang yang saya cari.”
Laila menunduk. Wajahnya memerah. “Bang, jangan bercanda. Saya ini cuma comblang.”
“Justru itu. Saya tidak mau pura-pura. Saya serius, La.”
Suasana hening sejenak. Laila menggigit bibir, menahan gugup.
“Jujur, saya juga sering merasa dekat dengan abang. Tapi saya takut, kalau ini cuma rasa sesaat. Bagaimana kalau nanti abang menyesal?”
Arman menatapnya mantap. “Kalau saya tidak mencoba, justru saya yang menyesal.”
Perjalanan setelah itu tidak serta-merta mudah. Laila sempat bimbang. Ia khawatir teman-temannya menganggap aneh: comblang malah menikah dengan orang yang hendak ia jodohkan. Namun perlahan, ia membuka hati. Ia menyadari bahwa bersama Arman, ia menemukan ketenangan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.
Beberapa bulan kemudian, Arman memberanikan diri datang ke rumah orang tua Laila. Dengan pakaian sederhana, ia menyampaikan niat baiknya.
“Pak, Bu, saya datang dengan niat melamar Laila,” ucapnya dengan suara bergetar namun tegas.
Kedua orang tua Laila saling pandang, lalu tersenyum haru. “Kami percaya pada pilihan Laila. Kalau dia yakin, kami pun merestui.”
Air mata Laila menetes. Ia masih tak percaya, lelaki yang dulu hanya ia bantu menemukan pasangan, kini justru menjadi jodohnya sendiri.
Hari pernikahan tiba. Aula sederhana itu dipenuhi keluarga dan sahabat. Arman duduk dengan tenang, menunggu ijab kabul. Di sampingnya, saksi dan penghulu sudah siap.
“Bismillahirrahmanirrahim. Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau, Arman bin Abdullah, dengan putri saya Laila binti Rahman, dengan mas kawin berupa cincin emas dibayar tunai.”
“Saya terima nikahnya Laila binti Rahman dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.”
Suara Arman lantang, membuat hadirin bersorak takbir. Tangis bahagia pecah.
Di kursi pelaminan, setelah acara usai, Arman berbisik pada Laila, “Ternyata benar, jodoh itu misteri. Siapa sangka, saya menikah dengan comblang saya sendiri.”
Laila tertawa kecil sambil menyeka air matanya. “Berarti saya comblang paling berhasil, karena akhirnya menjodohkan diri saya dengan kamu.”
Mereka tertawa bersama, lalu saling menggenggam erat. Hari itu, Arman belajar satu hal: kadang kita terlalu sibuk mencari jauh ke luar, padahal jodoh ada tepat di hadapan. Hanya butuh keberanian untuk melihatnya dengan hati.
0 komentar:
Posting Komentar