Kang Deden

Tidak ada awal, akhir ataupun pertengahan, sebab yang ada hanyalah perjalanan.

Kang Deden

Orang besar ialah orang yang sudah selesai dengan dirinya sendiri.

Kang Deden

Berlarilah mengejar impian. Disana terdapat indahnya kehidupan.

Kang Deden

Berjalanlah, engkau akan mendapatkan banyak pelajaran.

Kang Deden

Tenangkan hatimu, karena itu sumber kebahagiaan.

Sabtu, 29 Desember 2012

Kakak Presiden SBY (India-4)


Kamis pagi, 20 Desember 2012, kami peserta simposium internasional PPI Dunia diundang sarapan pagi bersama Presiden Republik Indonesia di KBRI New Delhi, India. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY bersama beberapa menteri datang ke India untuk acara ASEAN-India Summit 2012. Sebelum menghadiri acara tersebut Presiden meluangkan waktunya untuk para delegasi PPI Dunia.

Sambutan yang pertama kali disebutkan bahwa presiden SBY sebagai kakak dari adik-adik pimpinan PPI se-dunia. Sebagai kakak, Presiden menyampaikan keinginannya agar para pelajar mempersiapkan diri menyongsong era globalisasi. Hanya ada dua pilihan yaitu apakah jadi pemenang atau menjadi pecundang. “Tidak bijak jika melihat globalisasi sebagai ancaman,” katanya.

Belajar dari sejarah bangsa-bangsa yang mampu bangkit dan berhasil, menurut SBY ada tiga kunci keberhasilan, yaitu pertama ekonomi yang kuat, kedua politik atau demokrasi yang stabil, dan ketiga peradaban yang maju dan unggul. Peradaban yang maju itu mampu dicapai jika masyarakatnya hidup rukun dan sumber dayanya unggul.

“Jemput dan bangun,” tegas SBY dalam menyongsong masa depan Indonesia yang lebih baik. Sebab, abad ini adalah abad Asia, dimana sudah terjadi krisis di Eropa dan Amerika. Sementara Asia menuju kebangkitannya. Indonesia saat ini sedang bergerak. Untuk itu dibutuhkan berpikir positif dan terarah. Meski masa jabatan tinggal dua tahun lagi, SBY berjanji melakukan yang terbaik untuk Indonesia.

SBY bercerita saat pembentukan PPI Dunia tahun 2007 di Australia ada yang bertanya dari PPI, apakah setelah selesai belajar di luar negeri harus kembali ke Indonesia atau menetap di luar negeri? SBY kala itu menjawab sepanjang bisa berkontribusi untuk negara lebih baik, sebaiknya kembali ke tanah air. Tetapi kalau menurut adik-adik menetap di luar negeri itu lebih baik, tidak ada paksaan untuk itu.

Kalau misalnya, lanjut SBY, negara memanggil adik-adik atau ada proyek tertentu di dalam negeri, barangkali pahalanya akan lebih tinggi. SBY mengaku baru-baru ini menonton film Habibie-Ainun yang bercerita tentang Habibie pulang ke Indonesia untuk membangun bangsa. “Sekali lagi, pilihan ada di tangan adik-adik,” tutur SBY.

Selagi di luar negeri, SBY berharap para pelajar Indonesia menimba ilmu sebanyak-banyaknya. Dengan ilmu dan pengetahuan yang banyak dapat bersaing di luar negeri dengan berbagai macam orang.

Dalam kesempatan itu juga SBY menyinggung soal dana pendidikan. Dari APBN tahun ini yang mencapai 1600 triliun, 20 persen adalah untuk dana pendidikan. Hadir dalam jamuan sarapan pagi itu tiga anggota DPR, satu anggota DPD, Menko Polkam, Menlu, Mendiknas, Menteri Perindustrian, Menteri Perdagangan, Menteri Perikanan dan Kelautan, Seskab, Kepala BKPM dan Kepala Kadin.

Demokrasi kita, menurut SBY, mau kemana dan harus apa? Urusan demokrasi adalah urusan rakyat, urusan mahasiswa dan lain-lain. Orang yang suka dan yang tidak suka dengan demokrasi haru tetap didengarkan suaranya. Karena itulah demokrasi.

Menurut Presiden, masyarakat yang baik dapat dicirikan dengan lima hal, pertama adalah masyarakat yang reliji, kedua masyarakat yang rukun dan toleran, ketiga masyarakat yang kuat akan pengetahuan dan wasasan, keempat masyarakat yang menghormati kesetaraan gender, dan kelima melakukan kebaikan untuk negaranya.

Usai sarapan kami berphoto bersama di halaman KBRI New Delhi. Setelah itu rombongan Presiden menuju tempat kegiatan ASEAN-India Summit 2012. Sementara kami para peserta SI PPI Dunia juga bergerak menuju kampus Universitas Jawaharlal Nehru untuk melanjutkan kegiatan kami. Di tengah jalan, saya berbisik kepada salah satu peserta simposium, “Ingat pesan Kakak Presiden.”

(bersambung)

Taksi tak Berspion (India-3)




Setelah Winter, panitia penjemput peserta SI PPI Dunia 2012, memesankan taksi untuk kami, taksi hitam yang kami tumpangi meluncur ke tempat penginapan dekat kampus Universitas Jawaharlal Nehru. Mata kami langsung melihat alam sekitar New Delhi. Ada beberapa orang yang duduk beristirahat di atas rumput taman kota. Jalanan dari bandara Indira Gandhi masih bersih dan lapang hingga kami sampai pada jalan yang penuh dengan kendaraan. Macet.

Seperti Jakarta yang doyan macet, begitu pun New Delhi. Kendaraan-kendaraan tua banyak menghiasi jalan-jalan di ibukota India itu. Agar tidak stress dengan macet saya mencoba mencairkan suasana dengan bertanya pada sopir taksi itu. Rahul nama sopir taksi kami. Ia katakan bahwa New Delhi sudah terbiasa dengan kemacetan.

Rahul tahu bagaimana menyimpan stress karena macet dan mengubahnya menjadi sebuah hiburan. Ia menyalakan musik India dan mulai berdendang. Tangannya bergerak seirama alunan lagu dengan memukul setir mobil seperti halnya pemain musik yang memukul kendang. Kepalanya bergoyang ke kanan dan ke kiri.

Kami yang berada di belakang Rahul senyum-senyum melihat tingkah laku sopir taksi hitam tua ini. Dan saya menyeletuk, “Kita kok kayak syuting film India saja.” Sontak kami tertawa bersama. Hahaha.

Tapi di pertengahan kemacetan Rahul melihat alamat yang diberikan oleh Winter. Rahul mengernyitkan dahi, tanda ia tak mengenal alamat itu. Ia turunkan kaca mobil dan bertanya kepada sopir mobil yang berada persis di sampingnya. Si sopir tetangga menggeleng kepala khas India tanda ia pun tak tahu alamat itu.

Rambut Rahul yang mengkilap dan tersisir rapi itu menandakan ia percaya diri. Meski ia terlihat ragu dengan alamat yang kami tuju, namun ia tetap maju dan tak berhenti kecuali terjebak macet dan lampu merah. Bahkan Rahul pun lihai dalam menyetir. Si hitam yang kami tumpangi ini hampir menyerempet mobil. Sangat tipis. Jaraknya hanya berkisar tiga sentimeter. Dan kami pun selamat sampai tujuan.

Setelah kami membayar taksi sebesar 600 rupe alias Rp 120 ribu (1 rupe samadengan Rp.200), Rahul menurunkan barang-barang bawaan kami. Ia sempat meminta tips tambahan. Tapi kami membayar sesuai perjanjian awal. Taksi yang kami tumpang itu sangat sederhana dan sudah tua, tak mimiliki argo dan tak ber-ac. Dan kami baru tersadar kalau taksi yang kami tumpangi itu tak berspion!

Pantas saja Rahul tenang saat menyalip mobil. Ia tak takut spionnya patah, karena memang tak memiliki spion. Dan tak takut mobilnya lecet karena memang mobilnya sudah tua. Dan mungkin banyak sopir di India seperti Rahul yang tidak pernah stress dengan kemacetan dan lebih memilih hiburan dengan musik India.

Rupanya polisi India tidak pernah mempermasalahkan tentang mobil yang tak berspion. Bahkan menurut teman kami, Rahma Nita, panitia dan alumnus S3 di India, setiap orang yang akan membeli mobil di India ditanya, apakah ia mau memakai spion atau tidak.

Para pemilik mobil yang tak berspion lebih memilih menggunakan cermin yang menggantung di dalam mobil untuk melihat kendaraan yang berada di belakangnya. Di jalan kami juga melihat mobil yang berspion tapi tidak digunakan dengan baik sebab spion itu ditekuk dan tidak terlihat cerminnya. Jadi jangan aneh jika anda melihat mobil-mobil di India yang tak berspion.

(bersambung)

Kuliner Keblenger (India-2)



Setelah kami menyelesaikan administrasi tempat penginapan di New Delhi yang kami buru pertama kali adalah kuliner India yang menggoda. Sebab, teman saya, Ahmad Faris mengatakan ada tiga hal yang penting dalam sebuah perjalanan  yaitu, manusia, alam dan kuliner. Dan catatan ini tentang kuliner.

Ada beberapa kendaraan umum yang bisa kita tumpangi di negara padat penduduk ini. Tapi saat itu kami memilih kendaraan umum yang merakyat yaitu bajaj. Saya katakan kepada sopir bajaj berapa ongkos yang harus kami bayar menuju pasar Yashwant Place. Si sopir menjawab perorang ongkosnya 35 rupe alias Rp. 7 ribu. Dan kami pun meluncur ke pusat perbelanjaan itu.

Jangan dibayangkan pusat perbelanjaan ini seperti mall besar. Pasar Yashwant yang jika diucapkan ‘jaswan’ ini adalah pasar tradisional seperti pasar-pasar tradisional di Jakarta yang dikelola oleh PD Jaya. Selain dikenal dengan tempat kuliner, Yashwant ini juga dikenal dengan pasar tas dan jaket kulit. Setiba di Yashwant kami langsung berburu satu nama yaitu; restoran Al-Kuresh.  

Yashwant dan Al-Kuresh adalah dua nama yang direkomendasikan warga Indonesia yang pernah tinggal di India selama enam tahun. Sebelum saya berangkat ke India saya bersilaturahim dengan orang itu yang biasa kami panggil Bi Kori. Dia yang kini tinggal di Ankara memberikan arahan tempat makan mana yang mesti saya singgahi.


Tidak susah mencari nama Al-Kuresh. Di restoran itu kami disodori sejumlah menu yang dilengkapi dengan harganya. Saya memesan Tandoori Chiken sejenis ayam bakar dan sepiring nasi putih. Tiga teman saya lainnya memilih menu yang berbeda-beda, ada yang memesan Mutton Biryani dan Chicken Biryani. Perbedaan pemesanan makanan ini agar kami bisa mencicipi semua masakan.

Mutton Biryani ini sejenis nasi goreng yang dicampur dengan daging kambing. Sedangkan Chicken Biryani nasi goreng yang dicampur dengan daging ayam. Daging-daging yang dicampur di nasi biryani ini biasanya besar dan bertulang. Tidak lupa kami juga memesan salad sebagai penyeimbang makanan berlemak.

Tidak semua orang India memakan biryani yang dicampur dengan daging. Sebagian mereka lebih memilih nasi biryani yang dicampur dengan sayuran alias vegetable biryani. Dalam pesawat yang saya tumpangi dari New Delhi, penumpang di samping saya memilih nasi biryani jenis ini. Sebab kuliner tidak bisa dipisahkan dengan budaya dan agama setempat. India adalah negara dengan kultur Hindu yang kental.


Hampir setiap hari kami makan nasi biryani di kampus Universitas Jawaharlal Nehru, tempat kami bersimposium internasional PPI Dunia 2012. Tidak siang, tidak malam. Menunya hampir sama. Bedanya, setiap hari ada perbedaan menu, semisal hari pertama ada telur balado besoknya ada menu lain, namun menu utamanya tetap nasi biryani dengan daging. Selian itu, panitia juga melengkapi menu makanan dengan roti India.

Biasanya roti India ini disajikan untuk sarapan pagi. Saya dan beberapa teman di satu pagi mampir ke tempat makanan penjaja sarapan. Kami memesan dua roti yang ditumpuk yang di tengahnya disisipi telur goreng dadar. Menurut Firman, mahasiswa Indonesia di Pakistan, menu sarapan ini juga serupa dengan di negara dimana ia belajar.

Saya begitu menikmati kuliner di negara dengan penduduk 1,2 milar orang ini. Sebab, rasa dan bumbu yang disajikan dalam makanan ini hampir sama dengan masakan Indonesia. Jadi lidah ini tidak terlalu asing lagi. Berbeda dengan masakan khas Turki yang tidak ramai rempah. Dan kami serasa pulang kampung.

Bahkan oleh-oleh yang kami bawa untuk ibu-ibu di Ankara adalah bahan masakan seperti daun jeruk, serai, kunyit, lengkuas dan cabe merah yang pedas. Sebab kami pikir ini lebih berarti dan sangat dibutuhkan untuk memasak masakan Indonesia yang sangat susah ditemui di pasar-pasar di Ankara.

Saking ramainya rasa kuliner India ini saya keblenger. Dan ada satu minuman yang paling saya suka yaitu chai India alias teh India. Yang membedakan antara teh biasa dengan chai India adalah tehnya dicampur dengan susu. Jadi, chai India adalah teh susu. Apalagi jika dicampur dengan es batu. Slurup..

(bersambung)

Kamis, 27 Desember 2012

Namaste India





Salju turun lebat di Ankara di hari pemberangkatan kami menuju New Delhi, India. Setelah mendapat tiket pada Ahad (16/12/2012). Keesokan harinya kami terbang ke negara dengan penduduk kedua terbesar di dunia mengunakan pesawat Air Arabia. Sekitar delapan jam penerbangan dari Istanbul menuju New Delhi. Kami transit di Sarjah, salah satu kota di Uni Emirat Arab.

Memang mendadak. Baru Jumat (14/12/2012) siang keputusan PPI Turki untuk mengirim siapa delegasi dari Turki. Saya dan Ahmad Faris terpilih menjadi utusan PPI Turki untuk menghadiri Simposium Internasional PPI Dunia di New Delhi 18-22 Desember 2012. Dengan persiapan yang mendadak kami tetap berangkat membawa misi untuk Indonesia.

Beruntung hujan salju berhenti di sore hari, sementara penerbangan kami berlangsung malam hari. Ada keraguan dalam pikiran Faris, apakah kami bisa terbang dengan kondisi alam sedang bersalju. Saya katakan insya Allah kita akan tetap berangkat dan tidak terjadi apa-apa.

Kami terbang dari Bandara Esenboga, Ankara menuju Bandara Sabiha Gokcen, Istanbul. Dari Sabiha Gokcen kami terbang lagi menuju Sarjah, Uni Emirat Arab, baru kemudian kami tiba di Bandara Indira Gandhi, New Delhi, India.

Selasa siang kami tiba di Bandara Indira Gandhi dan mengurus visa on arrival. Setengah jam lebih kami habiskan waktu untuk mengurus visa ini. Maklum pengurusan visa oleh imigrasi India masih menggunakan cara manual. Mengisi formulir, menempelkan photo, membuat kwitansi pembayaran,  dan menyetempel visa di paspor kami. Untuk pembayaran visa India ini terbilang mahal yaitu sebesar 60 USD, sebab visa on arrival di Turki hanya 25 USD.



Keluar bandara kami langsung ditemui oleh panitia SI PPI Dunia 2012. Winter nama panitia penjemput delegasi ini. Ia baru enam bulan tinggal di India. Namun ia tak canggung mengurus kedatangan kami. Sebab di India hampir sebagian besar menggunakan bahasa Inggris.

Winter artinya musim dingin. Betul, kami datang pas musim dingin. Dan musim dingin di India tidak lebih dingin dibanding di Turki. Saat kami berangkat suhu di Turki mencapai 0 derajat selsius, sementara di India berkisar 9 derajat selsius.

Kami bertemu dengan delegasi lain saat mengurus visa on arrival yaitu Oky dan Mitra, delegasi BEM Universitas Sumatera Utara. Winter menawar harga taksi untuk kami berempat. Setelah harga disepakati Winter memberikan alamat tujuan kepada sopir taksi. Kami pun berempat meluncur ke tempat penginapan yang sudah disediakan panitia.

Penginapan Assam, begitu kami memanggilnya. Di Assam ini panitia sudah menunggu. Adhitya, panitia SI PPI Dunia, mengurus kami untuk mendaftar di penginapan sejenis asrama ini. Adhitya baru enam bulan tinggal di Hyderabad, selatan India. Ia jarang datang ke New Delhi. Untuk mencapai New Delhi dengan jarak sekitar 1650 KM dari Hyderabad, Adhitya menggunakan kereta dengan memakan waktu sekitar 24 jam. Kedatangannya ke New Delhi hanya untuk menyukseskan acara SI PPI Dunia 2012.

Di penginapan Assam ini kami bertemu dengan pelajar Indonesia yang menjadi delegasi dari berbagai PPI di seluruh dunia, seperti PPI Inggris, PPI Australia, PPI Malaysia, PPI Belanda, PPI Pakistan, PPI Mesir, PPI Jerman, PPI Thailand, dan PPI-PPI lainnya. Selain itu, di penginapan ini juga ada delegasi dari BEM di Indonesia dan delegasi Pemburu Beasiswa dari Indonesia. Penginapan Assam tidak jauh dari kampus.

Malam hari kami para delegasi berjalan kaki menuju Auditorium Universitas Jawaharlal Nehru. Semestinya panitia menyediakan kami bus untuk perjalanan menuju ke kampus itu. Namun, karena kami tidak mau menunggu akhirnya kami berjalan menuju Auditorium itu yang jaraknya sekitar tiga kilometer.



Di pekarangan gedung auditorium Universitas Jawaharlal Nehru kami memperkenalkan diri satu dan yang lainnya. Kami pun memberikan kesan pertama ketika datang ke India. Dalam sambutannya, panitia SI PPI Dunia melaporkan berapa peserta yang datang dan berapa hal teknis mengenai acara SI PPI Dunia. Tidak lupa ketua panitia SI PPI Dunia, Didi Rahmadi mengucapkan “Namaste India”.

Di Dalam kehidupan sehari-hari, penerapan namaste dapat dipadankan dengan “salam sejahtera”, dan dapat bermakna “semoga [dalam keadaan] baik”. Berbeda dengan berjabat tangan, berciuman, atau berpelukan dalam budaya lain, namaste adalah bentuk penghormatan tanpa kontak fisik dan dapat digunakan secara universal saat bertemu dengan orang lain dengan jenis kelamin, usia, maupun status sosial yang berbeda.

Sikap namaste melambangkan keyakinan bahwa terdapat pijaran ilahi dalam tubuh setiap orang yang terletak di dalam cakra hati. Dalam bahasa Sanskerta, namaste terdiri dari kata namah + te = namaste (Dewanagari/Hindi: नमः + ते = नमस्ते) yang berarti “hormat [saya] kepadamu” - salam, takzim, atau sujud [saya] kepadamu. Ya, Namaste India!

(bersambung)

Kamis, 13 Desember 2012

Lagi, Soal Pendidikan

Gambar: infoedukasi.net

Sabtu lalu pembahasan di Gema Ilmiah Ankara alias GIA tentang pendidikan. Teman saya yang menyampaikan tema ini. Sebenarnya fokus kajian ini tentang kurikulum. Entah mengapa kemudian melebar kepada pendidikan umum di Indonesia. Beberapa pertanyaan yang dilontarkan pemateri soal, mengapa kita harus belajar atau sekolah hingga tingkat S1 S2 hingga S3?

Banyak peserta kajian GIA yang menjawab. Diantaranya sekolah yang untuk mencari ilmu. Ada juga yang menjawab. Sekolah untuk bisa bertahan hidup. Tapi bagi saya, saat itu menjawab, untuk bertahan hidup sebenarnya tidak mesti sekolah. Hewan dan tumbuhan bisa bertahan hidup dengan caranya masing-masing tanpa belajar atau sekolah.

Jadi sekolah bagi saya adalah untuk mengubah nasib. Karena dengan pendidikan yang baiklah nasib seseorang bisa berubah. Minimal mengubah nasib sendiri, syukur-syukur bisa mengubah yang lainnya.

Lalu ada lulusan S3 luar negeri kemudian menjadi menteri negara pemuda dan olahraga lantas kemudian menjadi tersangka korupsi. Dari sini kita bertanya, mengapa sudah sekolah tinggi-tinggi malah menjadi pecundang? Mementingkan diri sendiri? Apakah sekolah masih bisa bermanfaat?

Saya katakan bahwa sekolah dimanapun tidak pernah salah. Yang salah adalah oknum-oknum tertentu yang memandang menjadi orang pintar itu salah satu tujuan untuk ‘minterin orang’. Untuk berbuat curang kepada orang bodoh. Ini yang salah.

Guru itu terbagi menjadi dua. Pertama guru sebagai pengajar, kedua guru sebagai pendidik. Sayangnya di kita lebih banyak yang pertama. Yang datang ke kelas hanya mengajarkan pelajaran yang ada di buku-buku, dan setelah itu lepas tanggungjawab. Jarang guru yang kedua, yang memikirkan anak didiknya dari mulai di rumah hingga di sekolah, bahkan di lingkungan.

Sebab, menurut teman saya Ahmad Faris, guru yang baik itu bukan hanya mengajar tapi juga menginspirasi. Begitulah guru yang baik. Yang mengajar anak didiknya bukan hanya dengan pikiran namun juga dengan hati, dengan prilaku yang baik. Yang memang digugu dan ditiru.

Saya memang penyuka pendidikan. Karena pendidikan bagi saya bukan hanya di sekolah formal. Ada pendidikan yang lebih utama yaitu pendidikan di rumah. Kita mungkin masih ingat apa yang dikatakan Jean-Jacques Rousseau, bahwa anak itu seperti kertas putih yang siap menerima tinta apa pun untuk mengisinya.

Artinya pendidik yang paling pertamalah yang menentukan akan dibawa kemana anak itu. Dan pendidik yang pertama itu adalah keluarga. Keluargalah yang paling berpengaruh dalam menanamkan nilai-nilai yang baik untuk anak-anaknya.

Dan seperti ungkapan dalam bahasa Arab, ‘al-Ummu Madrasatul Ula’, ibu adalah pendidikan pertama bagi anak-anaknya. Inilah dasar sebuah pendidikan. Pada umumnya karakter dibentuk oleh seorang ibu. Jadi untuk mengubah pendidikan itu adalah mengubah ibu-ibu dan calon ibu-ibu menuju yang lebih baik. Tidak mudah memang.

Rabu, 12 Desember 2012

Amanah




(Disampaikan pada Kajian Islam Ibu-ibu KBRI Ankara, Rabu, 12.12.12)

Ada sebuah kisah tentang Amanah dari Imam Mazhab yang banyak dianut di Turki, yaitu Imam Abu Hanifah. Suatu hari sahabat Abu Hanifah bernama Kharijah bin Mush'ab menitipkan budak perempuannya, karena ia akan melaksanakan ibadah haji. Di Makkah Kharijah tinggal kurang lebih empat bulan. Sepulang dari haji, ia segera menemui Abu Hanifah.

Kharijah bertanya kepada Abu Hanifah, "Bagaimana engkau menilai pelayanan dan akhlak budak perempuan ini?"

"Barangsiapa menghafal Al-Qur'an dan menjaga ilmu tentang halal dan haram bagi masyarakat, niscaya ia harus menjaga dirinya dari fitnah. Demi Allah, sejak engkau berangkat haji sampai engkau pulang dari haji saat ini, aku belum pernah melihat budak perempuan yang engkau titipkan itu," jawab imam Abu Hanifah.

Jawaban Abu Hanifah sangat mengagetkan Kharijah bin Mush'ab. Setelah mengucapkan terima kasih kepada Abu Hanifah karena telah menjaga dan menampung budak perempuannya, Kharijah segera pulang membawa budaknya itu.

Setiba di rumah, Kharijah langsung menanyai budak perempuannya tentang akhlak dan kegiatan harian Abu Hanifah selama di rumah. Jawaban yang diberikan oleh budak perempuan itu sungguh lebih mengejutkan lagi. Kata budak perempuan itu, "Aku tidak pernah melihat dan mendengar orang sehebat dia. Sejak aku tinggal di dalam rumahnya, aku belum pernah melihatnya tidur di atas kasur (di waktu malam). Aku juga tidak pernah melihatnya mandi junub walau hanya sekali, baik di waktu siang maupun malam.

Jika hari Jum'at, ia berangkat untuk shalat Subuh, lalu kembali ke rumahnya dan mengerjakan shalat Dhuha secara ringan. Hal itu karena ia berangkat pagi-pagi benar ke masjid jami' untuk shalat Jum'at. Ia akan mandi Jum'at, lalu memakai minyak wangi dan berangkat shalat Jum'at. Selain itu, aku tidak pernah melihatnya makan di waktu siang. Biasanya ia makan di waktu sore, tidur sedikit sekali di waktu malam, kemudian berangkat ke masjid untuk shalat Subuh."

Pengalaman yang dilihat oleh budak perempuan itu selama empat bulan di rumah imam Abu Hanifah memang merupakan sebuah kenyataan yang sebenarnya. Budak itu tidak melebih-lebihkan ceritanya. Abu Hanifah biasa menghabiskan waktu malamnya dalam shalat malam, membaca Al-Qur'an dan sampai Shubuh wudhunya tidak batal. Di waktu malam, ia hanya sedikit tidur. Asad bin Amru berkata, "Sesungguhnya Abu Hanifah melaksanakan shalat Isya' dan Subuh dengan satu wudhu selama empat puluh tahun."

Dalam sebuah hadits dikatakan, Rasulullah saw. bersabda, “Tiada iman pada orang yang tidak menunaikan amanah; dan tiada agama pada orang yang tidak menunaikan janji.” (Ahmad dan Ibnu Hibban).

Allah berfirman dalam surat An-Nisa (4) ayat 58: “Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian untuk menunaikan amanah-amanah kepada pemiliknya; dan apabila kalian menetapkan hukum di antara manusia hendaklah kalian menetapkan hukum dengan adil.”

Amanah itu berasal dari bahasa Arab dan dari tiga huruf yaitu alif, mim dan nun, ketiganya memiliki hubungan yang erat, yaitu aman, amanah dan iman dan makna ketiganya hampir serupa yaitu menunjukkan kepada ketenangan atau tuma’inah. Amanah menunjukkan pada kepercayaan, dan kepercayaan adalah ketenangan, sedang aman adalah hilangnya rasa takut dan ini juga berarti ketenangan, kemudian iman bermakna pembenaran dan ketetapan (iqrar) serta amal perbuatan, yang didalamnya terdapat pula ketenangan.

Oleh karena itu Allah menyebut hamba-Nya dengan sebutan mukmin karena hanya orang mukmin saja yang dapat memelihara amanat Allah, menunaikan serta memegangnya dengan erat, sebagaimana difirmankan oleh Allah, artinya, “Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya.” (QS. Al-Mu’minun (23) ayat 8).

Amanah itu ada tiga macam, pertama amanah kepada Allah SWT, kedua amanah kepada Rasulullah SAW dan ketiga amanah kepada sesama manusia.

Amanah kepada Allah seperti yang tertulis pada surat Al-Ahzab (33) ayat 72, yaitu, “Sesungguhnya Kami menawarkan amanah kepada langit, bumi, dan gunung-gunung. Namun mereka menolak dan khawatir untuk memikulnya. Dan dipikullah amanah itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zhalim lagi amat bodoh.”

Amanah inilah yang diemban manusia di dunia ini. Amanah sebagai agen kebaikan agar tercipta kedamaian di dunia ini. Namun karena manusia zhalim dan bodoh, maka amanat ini banyak dilupakan. Maka Allah memberikan azabnya kepada manusia kecuali orang-orang yang beriman yang menunaikan amanah itu.

Kedua amanah kepada Rasulullah SAW. Nabi Muhammad SAW sebelum meninggal berwasiat untuk umatnya. Bahwa ada dua hal yang ia tinggalkan yang dengan dua hal itu ia akan selamat dunia akhirat yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadits.

Rasulullah sendiri adalah panutan umat manusia di dunia ini. Bahkan Rasulullah diurutkan di nomor satu dalam buku 100 tokok yang paling berpengaruh karya Michael H. Hart. Perilaku dan ungkapan utusan Allah itulah yang harus dicontoh dan sebagai amanah yang mesti kita lakukan.

Ketiga amanah kepada sesama. Ada sebuah cerita. Seorang penggembala kambing di sebuah kampung saat siang hari berteriak kepada warga kampung. “Serigala, serigala,” begitu teriakannya. Orang-orang kampung berdatangan. Dan ternyata tidak ada serigala satu pun. Orang-orang kecewa.

Karena penggembala senang dengan tipu dayanya. Ia mengulangi hal itu. Dan kembali orang-orang berdatangan. Dan mereka kembali kecewa. Suatu ketika serigala datang dan penggembala itu teriak ketakutan. Tapi warga tidak lagi percaya pada si penggembala itu dan ia akhirnya kehilangan kambing-kambingnya. Begitulah kepercayaan dan amanah.

Banyak permisalan tentang amanah kepada sesama. Seorang ayah memiliki amanah dari anak dan istrinya. Pemimpin memiliki amanah yang harus ditunaikan kepada anggota-anggotanya. Presiden harus amanah kepada rakyatnya. Dan seterusnya.

Kebalikan dari amanah adalah khianat. Seperti sabda Rasulullah SAW yang menyebutkan bahwa, “Tanda-tanda munafik itu ada tiga: jika bicara berdusta, jika berjanji menyelisihi janjinya, dan jika diberi amanah mengkhianati.” (HR Bukhori).

Dan kajian ini kita tutup dengan sebuah hadits Rasulullah SAW, yang juga diriwayatkan Imam Bukhori, “Jika amanat telah disia-siakan, tunggu saja kehancuran terjadi.” Ada seorang sahabat bertanya; ‘bagaimana maksud amanat disia-siakan? ‘ Nabi menjawab; “Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu.”

Demikian pemaparan singkat tentang amanah ini. Mohon maaf bila banyak kesalahan karena datangnya dari saya pribadi dan kebenaran mutlak milik Allah SWT.

Senin, 10 Desember 2012

Refleksi Satu Tahun Gema Ilmiah Ankara


Hari ini 10 Desember satu tahun lalu adalah hari perdana kajian keilmuan pelajar Indonesia di Ankara. Kajian yang kami sepakati bernama Gema Ilmiah Ankara (GIA) dilakukan setiap sabtu dua pekan sekali di kantor Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI).

Pada kajian perdana itu saya memaparkan tentang Jurnalistik Dasar. Saat itu memang tidak terlalu banyak yang datang untuk berdiskusi, hanya belasan pelajar saja. Tapi berjalannya waktu, bertambah pula anggota yang datang untuk kajian ini. Hingga Sabtu 8 Desember kemarin ruang lantai 4 KBRI itu dipenuhi peserta diskusi hingga mencapai 50 orang lebih.

Berdirinya GIA ini awalnya dari obrolan ringan antara saya, Baiquni dan Ahmad Faris. Saat itu kami merasa sebagai pelajar tidak lengkap jika tidak ada diskusi diantara kami. Diskusi bagi kami, selain bercengkrama dengan ilmu pengetahuan juga dapat menambah kehangatan pertemanan dan persaudaraan diantara para pelajar.

Dari obrolan itu disepakati siapa yang memaparkan kajian untuk perdana, siapa yang mengundang peserta kajian dan siapa yang meminta ijin untuk tempat diskusi. Kami bertiga berbagi tugas. Saya menjadi pemateri pertama dan yang lainnya menyiapkan semuanya.

Dalam kajian perdana itu kami paparkan tentang keinginan kami akan adanya ruang diskusi bersama yang egaliter. Diskusi ilmiah yang tidak kaku, tidak formal. Kami ingin kajian yang kami lakukan ini berbentuk pemaparan yang dibingkai dalam bahasa yang lebih populer tanpa mengurangi inti dari sebuah kajian yang dipaparkan.

Kajian Perdana GIA

Dan saat itu kami sepakati wadah kajian ini bernama GIA sekaligus memilih siapa saja yang menjadi koordinator dan struktur lainnya yang dianggap perlu. Terpilihlah Chani, mahasiswi Hubungan Internasional di Universitas Bilkent sebagai koordinatornya yang dibantu juga oleh Putri, Husein, Juli dan lainnya.

Putri, Husein dan Juli sudah tidak aktif lagi pada semester ini. Putri dan Juli mendapat beasiswa Erasmus selama enam bulan di Belanda, sementara Husein sudah lulus kuliah. Semester depan bagian Chani yang akan berangkat ke Belanda juga dengan beasiswa Erasmus selama satu semester.

Meski begitu, tidak ada kata patah semangat meski sudah bergani pengurus. Sebab organisasi kajian ini diberdayakan layaknya kekeluargaan. Semuanya saling mengisi dan membantu. Agar kajian ini berjalan dengan lebih seru, kami semuanya sepakat untuk mengumpulkan dana sebanyak 1 TL (Rp. 5 ribu) dari setiap peserta pada setiap pertemuan.

Dana itu digunakan untuk membeli makanan dan minuman yang disajikan saat kajian berlangsung. Ada satu makanan yang selalu menyertai diskusi kami yaitu cekirdek alias kwaci. Saya juga termasuk penyuka cekirdek ini. Makannya awet tapi tidak membuat kenyang, hehehe.

Setelah berjalan sekitar tiga bulan, kajian kami mulai terdengar. Ibu-ibu KBRI Ankara yang biasa melakukan pengajian dan kajian Islam juga ada yang tertarik untuk mengikuti acara kajian GIA. Tapi lebih dari itu, ibu-ibu itu juga dengan sukarela memberikan makanan masakan Indonesia yang disajikan setelah kajian.

Pemberian makanan Indonesia ini sebenarnya bukan tujuan utama kami. Tujuan kami adalah adanya tempat belajar bersama. Menuntut ilmu. Bahwa kemudian ada pemberian makanan itu hanya sebagai hadiah untuk kami para pelajar yang jarang merasakan masakan Indonesia di Turki ini.

Harapan kami GIA tidak hanya berjalan dalam satu tahun saja tapi terus berlangsung hingga kapan pun. Hingga suatu saat GIA tidak hanya menginspirasi mahasiswa Indonesia di Turki tetapi juga mampu menjadi solusi bagi Indonesia. 

Minggu, 09 Desember 2012

Berdoa itu Penting

Photo: realmadrid.com


Berdoa itu penting. Begitulah arti dari gambar di atas. Mesut Ozil, bintang Real Madrid, adalah keturunan Turki yang berkebangsaan dan memperkuat timnas Jerman ini terlihat taat beragama. Beberapa kali ia terekam kamera saat berdoa di lapangan atau mau memasuki lapangan sebelum pertandingan.

Berdoa bagi saya adalah penyerahan diri makhluk kepada Tuhannya. Bahwa sehebat apa pun manusia berusaha jika Tuhan tidak berkehendak maka tidak akan terjadi. Sebab tidak ada sesuatu sekecil apapun tanpa sepengetahuan Tuhan.

Doa meski dalam hati adalah sebentuk beribadah yang paling ringan tapi berat timbangannya. Sebab dalam berdoa seseorang menghamba pada Tuhannya. Mengharap bantuanNya. Meminta ridhaNya.

Dan karena doanya, malam itu Ozil memasukan dua gol ke gawang Valladolid yang menentukan Madrid menang 3-2. Satu gol dilepaskannya dengan gocekan dan operan dari Benzema dan satu gol lagi ditendangnya dari bola mati.

Menyerah? Janganlah..

Gambar: pipszulu.com


Dulu di tahun 2009 ada lagu favorit saya yaitu 'Jangan Menyerah' D'Masiv. Saya suka lagu ini karena liriknya yang sederhana dan menggugah. Ada pesan moral di sana.

Apalagi saat itu saya sedang berjuang agar bisa menaklukan keangkuhan Jakarta. Saya yang baru saja lulus awal 2008 dari kampus harus bisa beradaptasi dengan lingkungan kerja yang sangat efisien.

Banyak sekali perbedaan saat menjadi mahasiswa dan pekerja profesional. Apalagi bagi mahasiswa aktivis yang banyak kenalan dan kegiatan. Meski banyak kegiatan tapi itu sangat menyenangkan.

Menyenangkan karena semua diprogram oleh kami sendiri. Semua kegiatan kami usahakan sendiri. Semua efeknya langsung. Dan benar peribahasa bahasa Arab ini: "taharrak fainna fil-harakati barakatun." 

Arti secara bebasnya adalah bergeraklah karena dalam pergerakan terdapat berkah. Ya, kami selalu bergerak untuk memanfaatkan waktu yang ada dengan kegiatan yang bisa mendatangkan berkah.

Berkah tentu saja bukan hanya berarti uang. Berkah yang paling besar adalah yang mampu menentramkan hati. Sebab dengan bergerak dan berbagi hati kita menjadi luas dan lapang. 

Sampai pada masa bakti itu selesai. Kami masih merasakan indahnya kebersamaan. Apalagi dalam organisasi kita dituntut untuk berbagi peran. Tak ada yang bisa dikerjakan sendiri. Semuanya dengan tim. 

Tim yang baik adalah tim yang saling menghargai, melaksanakan tugas dengan tuntas dan juga bisa menutupi kekurangan dalam tim itu. Perlu latihan dan keberlangsungan yang terus menerus agar tim ini terbentuk.

Saking enaknya menikmati waktu-waktu mahasiswa, ada beberapa aktivis yang enggan untuk segera lulus dan terjun bekerja. Alasannya, selain 'bebas' juga masih memiliki anggota.

Yang terakhir ini yang bahaya yaitu power syndrom. Takut akan kehilangan kekuasaan. Dimana, yang sudah mapan di atas mahasiswa lain dan memilki anggota atau junior, tiba-tiba saja hilang dan tidak bisa berbuat apa-apa lagi.

Seorang teman pernah bertanya pada saya mengapa saya cepat-cepat lulus? Buat apa? Memangnya sudah siap dengan kelulusan dan dunia pekerjaan? 

Saya memang tidak menjawab dengan konkret apa yang saya pikir dan inginkan waktu itu. Takut menjadi semacam janji. Padahal kita tidak tahu apa yang akan terjadi. Tapi dengan yakin saya katakan insya Allah semua ada jalannya, kawan.

Sebab mereka berpikir jika bekerja di profesional, maka kita harus siap menjadi bawahan terlebih dahulu. Tidak ada yang ujug-ujug langsung menjadi atasan. Sebab untuk menjadi senior maka ia harus melewati masa junior. Itu ketentuannya.

Sementara saat menjadi senior di sebuah organisasi mahasiswa semua junior di perkumpulan itu mau saja diarahkan seniornya itu. Apa pun itu. Padahal arti senior kata guru saya adalah singkatan dari seneng nipu orang. Hahaha.

Dan yang pasti di semua lingkungan pasti ada gesekan-gesekannya. Begitu kata guru saya yang lain. Sejak SD atau bahkan TK kita sudah dihadapkan dengan gesekan sosial diantara teman sejawat kita. Hingga kapan pun gesekan itu pasti ada.

Tapi sebenarnya bukan gesekan itu yang menjadi masalah. Sebab ini tergantung bagaimana kita melihat kepada gesekan itu. Kalau kita anggap sebagai penghambat maka kita akan lambat. Jika kita anggap sebagai pemicu maka kita akan maju.

Dan Jakarta adalah sebaik-baiknya gesekan. Sulit kita menemukan sahabat sejati yang bisa menguatkan kita bahwa gesekan itu adalah pemicu untuk maju. Hanya orang yang kuat lahir batin yang bisa melakukan itu.

Di Jakarta kita harus mandiri. Dan keterbatasan juga keterpaksaan akan menjadikan kita mandiri. Maka saking mandirinya kita kehilangan kehangatan hati. Karena sibuk memikirkan diri sendiri.

Dengan begitu susah kita membagi waktu apalagi membagi rejeki. Seakan-akan kita yakin bahwa rejeki itu mutlak kita yang cari. Kita lupa bahwa sebenarnya Tuhan yang memberi rejeki itu. Dan di setiap rejeki kita ada hak orang lain.

Yang membuat kita bisa bertahan di Jakarta atau dimana saja yang membuat kita berat menghadapi tantangan adalah harapan. Jangan pernah menghiraukan harapan. Sebab dengan harapan, apa yang kita lakukan memiliki makna.

Harapan ini pula yang membuat kita kuat dan bertahan dalam perjuangan. Maka tentu lagu D'Masih Jangan Menyerah ini menjadi semacam bumbu gurih yang bisa dinikmati dalam setiap helai perjuangan. 


Jumat, 07 Desember 2012

Bola dan Kita



Saya penyuka sepak bola meski saat ini jarang bermain bola. Dulu saat sekolah di SDN Komplek Multatuli setiap pekan saya selalu bermain bola di alun-alun Rangkasbitung bersama teman-teman sekelas. Bermain bola adalah cara kami untuk bersenang-senang.

Soal kalah menang itu soal lain. Itu soal sportivitas yang diajarkan guru olahraga kami. Bahwa dengan olahraga selain menyehatkan badan juga menanamkan jiwa legowo dengan menerima hasil dari sebuah pertarungan.

Saat itu sesibuk apapun belajar di sekolah, jika ada pertandingan antar kampung saya selalu berusaha menyaksikan pertandingan sepak bola itu. Lapangan desa yang tidak terawat tiba-tiba saja dirapikan dan disulap menjadi lapangan yang dilengkapi dengan gawang yang berjangkar.

Lapangan itu setiap sore di bulan Agustus dipenuhi para penonton, mulai anak kecil, pemuda-pemudi, bapak-bapak, ibu-ibu sampai kakek-nenek. Berbagai macam dagangan dijajakan di area lapangan hingga pinggir jalan.

Dan pemain bola antar kampung itu jika menang seakan menjadi pahlwan yang berjasa bagi kampungnya. Dan kami yang menonton pun selalu bercerita tentang permainan bola. Dan cerita itu tidak ada habisnya. Selalu diulang-ulang. Semua orang menjadi komentator akan pertandingan-pertandingan tahunan itu.

Tahun lalu saya menyaksikan pertandingan kualifikasi Euro 2012 antara Turki melawan Jerman di Stadiun Turk Telekom, Istanbul. Meski pada pertandingan itu Turki kalah 1-3 dari Jerman, namun orang-orang Turki yang memenuhi stadium Klub Galatasaray tetap memberikan dukungannya hingga akhir. Dan akhirnya Turki gagal menjadi peserta Euro 2012.



Selain stadiun Galatasaray yang penuh, semua kafe-kafe yang menyiarkan pertandingan itu juga dipenuhi para penonton fanatik sepakbola. Belum lagi rumah-rumah yang setia menyaksikan pahlawan negaranya memperjuangkan nama baik bangsa di kancah eropa.

Mereka tetap bangga sebab di tangan pemain timnas Turki pernah menjadi juara ketiga piala dunia 2002 melawan tuan rumah Korea Selatan. Pemain timnas Turki adalah orang-orang yang bermain di liga Turki. Ada juga bintang timnasnya yang bermain di liga Spanyol, Inggris dan negara Eropa lainnya.

Ada tiga klub besar di Turki yaitu Galatasaray, Fenerbahce dan Besiktas. Di belakang ketiga klub asal Istanbul itu ada Trabzon Spor dan Bursa Spor. Sementara klub ibukota Ankara Gucu selalu di bawah klasemen liga Turki. Di akhir musim para pendukung klub yang menjadi juara liga selalu berarak-arakan merayakan kemenangan klub tersayangnya.

Saat saya belajar bahasa di kelas, guru kami pencinta klub Galatasaray. Padahal guru kami itu perempuan. Jika dalam kelas itu kami membicarakan klub Fenerbahce maka ia marah, meski hanya becanda saja. Dan guru kami bercerita bahwa sekeluarganya mencintai klub Fenerbahce itu.

Saya selalu mengelus dada dan menarik nafas jika kami berbincang tentang persepakbolaan Indonesia. Di kancah nasional maupun internasional. Beberapa tahun terakhir kita tak pernah menjadi juara di kancah internasional.

Tidak ada yang bisa dibanggakan. Tidak ada yang bisa kami ceritakan. Dan saya takut kita lupa bagaimana rasanya menang sepakbola di kancah internasional, bahkan untuk sekecil wilayah Asean.

Adanya dualisme kepemimpian sepakbola juga liga Indonesia membuat saya tak mau membaca lagi berita buruk itu. Sampai suatu ketika ada pemain asing Diego Medieta asal Paraguay meninggal dunia disebabkan tak punya dana untuk berobat. Gajinya sebagai pesepak bola tidak dipenuhi oleh klubnya Persis Solo.

Ini merupakan pukulan telak untuk pengurus PSSI dan semua pejabat yang bertanggung jawab akan persepakbolaan Indonesia. Kericuhan dan kekacauan manajeman sepak bola Indonesia memakan korban dengan meninggalnya pemain asing di nusantara. Menyedihkan!

Kami marah dengan semua ini. Mereka para pejabat itu tidak bertanggungjawab. Mereka telah berkhianat. Mereka telah mencuri hak paling dasar yaitu hiburan dan kebanggaan kami kepada timnas Indonesia.

Dan kekacauan semua ini berakhir dengan ditetapkannya Andi Alfian Mallarangeng, Menteri Negara Pemuda dan Olahraga RI menjadi tersangka oleh KPK karena kasus Hambalang. Semoga zaman kegelapan sepakbola akan kiamat dengan ditetapkannya menteri olahraga sebagai tersangka korupsi!

Sabtu, 01 Desember 2012

Rabu Mencari dan Memberi


Gambar: pustakaafaf.com
Setahun terakhir ini saya suka dengan hari Rabu. Spesial karena setiap Rabu diadakan pengajian dan kajian keislaman ibu-ibu. Saya katakan pada ibu-ibu bahwa saya selalu menunggu hari Rabu. Kita tak bisa melawan tesis ini, bahwa manusia adalah makhluk sosial. Bahwa manusia membutuhkan manusia lainnya.

Dan di sinilah saya berada saat ini. Di negeri antah berantah. Adanya dunia media sosial memang membantu akan tersambungnya manusia satu dengan yang lainnya. Namun pertemuan secara fisik adalah pertemuan yang nyata sebagai silaturrahim, menyambung kasih sayang.

Pertemuan, apalagi yang bermanfaat adalah sebuah hal yang kita butuhkan. Sebagai makhluk sosial kita tidak bisa melakukan semuanya dengan sendiri. Pasti dalam segala hal yang kita lakukan ada bantuan orang lain. Misalnya, kita bisa menulis di laptop, ada bantuan orang di sana, dimana laptop dibuatkan orang untuk memudahkan kita menulis.

Dan bantuan itu tidak selalu tampak dengan mata. Ada bantuan yang tak terkira dan kita tak bisa mengetahuinya yaitu bantuan doa dari orang-orang yang tak memberi tahu bahwa mereka mendoakan kita secara diam-diam. Apalagi jika doa itu dilakukan secara berjamaah, bersama-sama, niscaya Tuhan segera mencatat dan mengabulkannya.

Bulan puasa tahun lalu adalah awal dari pengajian ini. Berarti sudah setahun lebih pengajian ini berjalan. Saya banyak belajar dari pengajian ini. Belajar tentang berbagi, belajar tentang mencari, belajar tentang mensyukuri bahwa hidup ini adalah anugerah yang tak terbantahkan.

Dalam pengajian itu saya memang bukan siapa-siapa. Seringnya saya menjadi pendengar sebagai pencari ilmu, hanya sesekali saja menjadi penyaji dalam pengajian itu. Dari sini juga saya kembali membuka pelajaran yang sempat dipelajari beberapa tahun silam. Ilmu memang akan bertambah jiga dibagikan.

Dan untuk berbagi kita terlebih dulu harus memiliki. Maka sebelum berbagi kita mesti mencari. Dalam dunia pendidikan, seorang guru harus memiliki persiapan sebelum ia mengajar atau mendidik.

Bahkan, di Gontor, setiap hari kita harus membuat i’dad atau persiapan mengajar dan diserahkan kepada guru senior untuk diperiksa. Jika kita melanggarnya siap-siap saja dapatkan hukuman.

Begitupun di sini, saya harus kembali membuka catatan lama, atau membaca kembali beberapa literatur tentang apa yang akan disampaikan. Terkadang saya meminta bantuan saudara saya di Indonesia untuk mengirimkan bahan-bahan yang tidak saya dapatkan di sini.

Setiap Rabu pagi pukul 10 diadakan pengajian terlebih dahulu, beberapa pekan lalu sudah khatam satu Alquran. Baru sejam kemudian kajian keislaman dimulai. Yang mengisi pengajian adalah mahasiswa pascasarjana yang belajar di Ankara.

Jika tidak ada kegiatan sekolah atau lainnya saya selalu mengusahakan datang ke tempat pengajian yang setiap pekan digilir itu. Sebab datang ke sekolah atau datang ke pengajian sama mulianya jika diniatkan untuk ibadah mencari ilmu.

Dan ini yang menarik: setiap Rabu pula kami menikmati masakan Indonesia yang langka itu. Dapat ilmu juga dapat masakan Indonesia. Hehehe.