Kang Deden

Tidak ada awal, akhir ataupun pertengahan, sebab yang ada hanyalah perjalanan.

Kang Deden

Orang besar ialah orang yang sudah selesai dengan dirinya sendiri.

Kang Deden

Berlarilah mengejar impian. Disana terdapat indahnya kehidupan.

Kang Deden

Berjalanlah, engkau akan mendapatkan banyak pelajaran.

Kang Deden

Tenangkan hatimu, karena itu sumber kebahagiaan.

Senin, 24 Maret 2014

Jangan Pakai Peci di Turki


REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Deden Mauli Darajat 
(Alumnus Universitas Ankara Turki/Dosen Komunikasi UIN Jakarta)

Hari pertama saya di Turki pada Oktober 2009 dibuka dengan shalat shubuh berjamaah di apartemen bersama warga asing lain dan warga Turki. Saya memakai peci haji saat shalat itu. 

Usai shalat kami sarapan bersama, dengan menu Turki yang sangat berbeda dengan menu masakan Indonesia. Usai sarapan yang asing itu, saya keluar menuju pelataran apartemen untuk melihat pemandangan sekitar.

Saya masih menggunakan peci saat duduk di pelataran apartemen. Tiba-tiba teman saya yang warga Turki itu mengatakan bahwa jangan menggunakan peci jika di luar apartemen. “Ini bisa bermasalah,” ungkap Cezmi pada saya. Saya pun kemudian melepas peci yang saya pakai. Sejumlah pertanyaan menyeruak dalam pikiran saya tentang peci ini.

Pertanyaan besarnya adalah mengapa Cezmi sampai melarang penggunaan peci di Turki sementara negaranya berpenduduk mayoritas muslim. Cezmi saat ditanya itu hanya menjawab bahwa ada pengawasan dari pihak berwenang akan penggunaan peci dan hal-hal yang berkaitan dengan simbol agama.

Seperti yang penah saya tulis pada catatan sebelumnya bahwa Turki berubah pandangan ideologi sejak tahun 1923 dari Islam menjadi sekuler, bahkan Andi Mallarangeng menyebutnya dengan extreme secularism. Perubahan ideologi ini mengubah budaya kehidupan masyarakat Turki, misalnya pemakaian jubah menjadi jas berdasi, peci berubah menjadi topi.

Ketakutan Cezmi ini beralasan. Pasalnya jilbab saja saat itu dilarang masuk kampus. Itu berarti peci juga dilarang digunakan di ruang publik. 

Tapi mengapa di sekitaran rumah ia juga seakan takut menggunakan peci, dimana saya yang menggunakan peci itu juga bukan warga Turki. Saya mencoba menjawab bahwa, apartemen yang saya tumpangi saat itu khawatir dicurigai sebagai apartemen milik orang yang berideologi Islam.

Meski demikian, orang-orang yang menggunakan peci di Turki bisa ditemui di jalan-jalan. Namun yang menggunakan peci itu adalah orang-orang tua yang lanjut usia dan orang yang pernah melaksanakan ibadah haji ke tanah suci Makkah.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa di Turki banyak apartemen yang disewa oleh organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam. Apartemen itu diisi oleh kader-kader ormas Islam yang setiap harinya mengaji dan mengkaji buku Islam, terkhusus karangan ulama besar Turki, Badiuzzaman Said Nursi, dengan buku yang terkenalnya Risalah Nur. Apartemen-apartemen ini menjadi semacam gerakan bawah tanah penyebar ideologi Islam di Turki.

Said Nursi lahir pada  tahun 1878 dan meninggal pada tahun 1960. Ia menjadi saksi sejarah bagaimana Kesultanan Turki Usmani berubah menjadi Republik Turki. Ia diasingkan oleh penguasa Turki saat itu, Mustafa Kemal Ataturk. Namun Said Nursi tetap berakwah menyebarkan nilai-nilai keislaman yang sudah mulai dilunturkan oleh penguasa di negeri semenanjung Anatolia itu.

Paradoks

Ada hal yang menarik dalam melihat Turki saat ini. Turki seperti terbagi dalam dua hal yang berseberangan. Meski menganut ideologi sekuler yang memisahkan negara dan agama, pemerintah Turki saat ini memiliki Kementerian Agama yang mengurus tentang haji dan imam khatib di masjid-masjid seluruh Turki.

Kementerian Agama Turki juga mengatur tentang khutbah-khutbah di masjid-masjid seluruh Turki. ada semacam penyeragaman dalam konten khutbah. Imam dan khatib di Turki adalah pegawai negeri sipil yang diseleksi oleh kementerian Agama. Di setiap masjid selalu ada imam dan khatib minimal satu orang. Jika masjid besar, semisal di Masjid Kocatepe Ankara, imam masjid mencapai tujuh orang.

Di lain sisi, pemerintah Turki juga memiliki departemen khusus bernama Milli Piyango, departemen yang mengurus tentang lotere nasional. Hampir di setiap keramaian kota, stand-stand kecil pemutar lotere dapat ditemui, baik di kota besar maupun kecil. Depertemen lotere ini menyumbang besar pada liga sepak bola Turki.

Jika hari besar, Milli Piyango ini menyediakan hadiah besar hingga ratusan juta rupiah. Selain lotere, Milli Piyango juga menyediakan tebak skor pertandingan bola dengan hadiah dari yang paling kecil 10 Turkish Lira atau senilai 10 ribu rupiah.

Di satu sisi, masjid-masjid dipenuhi para jemaah di bulan Ramadhan. Atau orang-orang berduyun-duyun datang ke masjid dalam acara peringatan hari besar Islam. Di sisi lain, kafe-kafe yang menyediakan minuman keras beralkohol juga dipenuhi oleh orang-orang. Bahkan ini terjadi di bulan Ramadhan. Yang lebih parahnya adalah ketika bulan Ramadhan kafe-kafe masih buka di siang hari dan ada saja orang yang makan dengan bebas di sana.

Redaktur : Fernan Rahadi
Sumber berita: klik

Kader Komunis Turki Belajar Bahasa Spanyol



REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Deden Mauli Darajat (Alumnus Universitas Ankara Turki/Dosen Komunikasi UIN Jakarta)

Peralihan dari Kesultanan Turki Usmani menjadi Republik Turki pada 1923 mengubah paham ideologi di semenanjung Anatolia. Turki pasca Perang Dunia I menjadi negara sekuler yang memisahkan antara negara dan agama, yang sebelumnya hampir lima abad berideologi Islam.

Adalah Safak, teman sekamar saya di asrama Cebeci di Ankara yang menempuh program studi (prodi) bahasa dan sastra Spanyol di Universitas Ankara. Saya bertanya kepada Safak, mengapa dirinya memilih jurusan bahasa Spanyol. Dalam bayangan saya, orang yang belajar bahasa Spanyol bertujuan ingin berkunjung ke Spanyol, bekerja di Spanyol, atau bekerja pada hal-hal yang ada kaitannya dengan Spanyol.

Di luar dugaan saya, Safak menjawab bahwa dia memilih prodi bahasa dan sastra Spanyol karena ingin berkunjung ke Kuba, bukan untuk bisa pergi ke Spanyol. Menurut Safak, Kuba adalah negara yang berideologi komunis. Dia bermimpi suatu ketika bisa belajar tentang komunis selama minimal setahun di Kuba. Karena mimpi itulah ia berusaha keras untuk dapat bisa berbahasa Spanyol, yang merupakan bahasa yang banyak digunakan di Kuba.

Safak mengaku sebagai kader Partai Komunis Turki (TKP). Suatu ketika saya diajak ke kantor TKP di Kizilay, pusat kota Ankara. Karena keingintahuan yang kuat, satu waktu saya menerima ajakannya untuk berkunjung ke kantor TKP. 

Setiap akhir pekan, papar Safak, di kantor TKP di Ankara selalu diadakan diskusi tentang komunis. Pembibitan kader partai di Turki, kata dia, memang dijaring sejak bangku SMA. Ada juga yang melakukan pengkaderan partai di Turki dimulai saat seseorang menjadi mahasiswa di Universitas. Para kader setingkat mahasiswa menjadi mentor bagi kader di tingkat siswa SMA.

Safak merupakan salah satu contoh bagaimana sistem pengkaderan partai di Turki dijalankan. Bagi para mahasiswa Turki yang tertarik dengan partai politik, mereka dapat langsung bergabung dengan partai itu. Bahkan di kamar saya di asrama, selain Safak ada juga ketua mahasiswa Partai Pergerakan Nasionalis (MHP), bernama Ibrahim, tapi teman-temannya memanggil dia dengan ‘Reis’ yang bermakna ketua atau pemimpin.

Para mahasiswa di asrama cebeci ataupun luar asrama yang menyebut dirinya sebagai kader atau partisan partai MHP sangat menghormati Reis. Pernah suatu kali Reis mengajak saya untuk ikut dalam kegiatan partainya. 

Ketika kapal Mavi Marmara milik Turki diserang oleh Israel dan menyebabkan sembilan warga Turki meninggal dunia pada 22 Mei 2010 lalu, para mahasiswa kader MHP berkumpul di suatu tempat untuk melakukan aksi protes kepada Israel. Reis mengajak saya ikut dalam aksi itu. Saya tertarik juga untuk mengetahui bagaimana aksi para mahasiswa, apa saja persiapan aksi tersebut. 

Saya bersama Reis datang ke sebuah apartemen di bilangan Dikimevi. Salah satu apartemen itu adalah kantor cabang Partai MHP. Dalam rapat itu Reis memberikan arahan kepada rekan-rekannya tentang bagaimana aksi atau demonstrasi yang akan dilakukan. Wibawa Reis begitu tinggi. Hal ini terlihat ketika tidak ada seorang pun yang berbicara selain Reis. Semua orang mendengarkannya dengan khusyuk.

Partai MHP adalah partai gerakan nasionalis. Meski berideologi nasionalis partai MHP juga sedikit religius dalam kegiatan yang dilakukan oleh kader setingkat mahasiswa yang dipimpin Reis. Setiap malam Jumat para kader MHP di asrama berkumpul di mushalla asrama untuk mengaji surat Yasin, yang dilanjutkan kemudian dengan diskusi. Pihak asrama Cebeci waktu itu tidak melarang akan kegiatan ini. 

Berlakunya ideologi sekuler di Turki, yang disebut oleh Andi Mallarangeng sebagai negara extreme seculerism, membuka paham ideologi apapun boleh masuk ke dalam negara tersebut. Meski begitu, konstitusi Turki tetap melarang ideologi Islam sebagai asas sebuah partai politik. Hal ini disebabkan dalam pemahaman ideologi sekuler agama harus terpisah dari negara. 

Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) yang merupakan pemenang Pemilu Turki tahun 2011 adalah partai yang didukung oleh masyarakat yang berideologi Islam. Namun demikian, petinggi Partai AKP mengaku bahwa partainya adalah partai nasionalis sekuleris bukan partai yang berideologi Islam. Hal ini menurut mereka sesuai dengan konstitusi Turki. Partai AKP pada pemilu 2011 mendapat suara terbanyak sebesar 49,95 persen suara. 

Sementara  itu Partai MHP pada pemilu 2011 mendapat suara terbanyak ketiga dengan perolehan suara sebanyak 12,98 persen. Sedangkan di urutan kedua ada Partai Rakyat Republik (CHP) yang mendapat suara sebesar 25,94 persen. Pemilu Turki pada 2011 itu diikuti oleh 24 partai politik dan menempatkan Partai Komunis Turki (TKP), yang Safak merupakan salah satu kadernya, mendapatkan peringkat ke-12 dengan perolehan suara sebesar 0,14 persen.

Redaktur : Fernan Rahadi
Sumber berita: klik

Jilbab Dilarang Masuk Kampus Turki



REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Deden Mauli Darajat (Alumnus Universitas Ankara Turki, Dosen Komunikasi UIN Jakarta)

Setibanya saya di Turki pada akhir 2009 lalu, saya sangat ingin mengunjungi kampus Universitas Ankara, dimana saya akan belajar. Namun keinginan itu tidak langsung terwujud karena saya harus menyelesaikan masalah administrasi untuk tinggal di asrama mahasiswa di bilangan Cebeci. Setelah selesai masalah asrama, saya juga harus menyelesaikan administrasi untuk kursus bahasa Turki selama setahun.

Setelah semua urusan beres dengan bantuan teman saya, Furqan Aulia, yang sudah dua tahun tinggal di Ankara, akhirnya saya bisa berkunjung ke kampus Universitas Ankara. Karena mayoritas warga Turki di Ankara berbahasa Turki, saya pun mengajak Furqan, karena selain sudah fasih berbahasa Turki ia juga adalah mahasiswa S2 Fakultas Teknik Universitas Ankara.

Setibanya di depan kampus, saya tercengang ketika berada di depan pintu gerbang Universitas Ankara di Tandogan. Pasalnya, sekelompok mahasiswi berkerudung berkumpul di sebelah kanan pojok pintu gerbang kampus. 

Saya perhatikan mereka dan bertanya-tanya dalam hati mengapa mereka berkumpul di sana dan ada apa gerangan. Selidik punya selidik rupanya mereka sedang melepas jilbab mereka sebelum memasuki kampus Universitas Ankara. Sebagiannya lagi sedang menggunakan jilbab untuk keluar kampus. 

Sebenarnya larangan jilbab masuk kampus ini tidak berlaku bagi Fakultas Teologi Islam di seluruh universitas di Turki. Hanya di fakultas ini saja jilbab boleh masuk. Di fakultas lainnya tetap tidak boleh. 

Menurut pengamatan saya, ada beberapa tipikal orang ‘berjilbab’ masuk kampus. Pertama, mereka menggunakan wig atau rambut palsu yang dapat menutupi jilbabnya. Kedua menggunakan topi agar rambutnya bisa tertutup dan tidak terlihat. Ketiga, melepas jilbabnya secara utuh namun pakaian tetap tertutup rapat hingga ujung kaki.

Perubahan keadaan dari Kesultanan Turki Usmani menjadi Republik Turki sejak tahun 1923 memang begitu dahsyat. Presiden pertama Turki Mustafa Kemal Ataturk melarang semua yang bersangkutan dengan atribut keagaaman di ruang publik milik pemerintah seperti kampus, kantor pemerintahan dan parlemen. 

Ataturk juga mengubah bahasa Turki yang dahulu menggunakan abjad Arab kini menjadi abjad latin. Ia sendiri yang langsung mengajarkan bahasa Turki beserta gramatikalnya kepada sejumlah siswa di seantero Turki. Peci dan jubah ala Arab juga dihilangkan dan diganti menjadi topi dan jas berdasi. 

Perubahan ini tergambar dari film yang saya tonton di bioskop Turki berjudul Hur Adam. Dalam film tersebut juga digambarkan bagaimana ulama masyhur di zaman Ataturk, Said Nursi dilarang untuk berdakwah. 

Perubahan Konstitusi

Hampir setahun saya menetap di Turki, pada tanggal 12 September 2010, negara berpenduduk 70 juta itu mengadakan referendum. Dalam referendum itu warga Turki memilih untuk mencoblos ‘ya’ atau ‘tidak’ untuk perubahan Konstitusi Turki. Hasilnya, dimenangkan oleh ‘ya’ untuk perubahan konstitusi yang mendapatkan hasil 57,88 persen suara.

Tidak lama setelah referendum, di akhir tahun 2010, Dewan Pendidikan Tinggi (YOK) mengeluarkan surat edaran yang berisi pencabutan larangan jilbab masuk universitas. Sejak saat itu mahasiswi tidak lagi berkumpul di pojok pintu gerbang kampus untuk melepas atau mengenakan jilbabnya. Beberapa teman saya yang tadinya tidak berani berjilbab akhirnya mengenakan jilbab ke kampus.

Meski sudah diberlakukan jilbab boleh masuk kampus, beberapa mahasiswi Indonesia yang kuliah di Middle East Technical University (METU) yang mengenakan jilbab masih mengenakan wig untuk menutupi jilbabnya. Mereka beralasan, beberapa dosen mereka masih tidak menerima akan penghapusan larangan jilbab masuk kampus. “Daripada nanti bermasalah, mending pakai wig,” ujar Annisa Ike Rossmila asal Magelang.

Saya jadi teringat kata-kata yang diucapkan Andi Mallarangeng dalam sebuah diskusi ketika ia menjabat sebagai Menpora yang berkunjung ke Ankara Turki bersama rombongan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Juni 2010. Andi Mallarangeng saat itu mengatakan bahwa Turki adalah negara extreme secularism.

Redaktur : Fernan Rahadi

Sumber:klik

Minggu, 16 Maret 2014

Selamat Jalan Sahabat

Dari kanan, saya, Wahab (mengangkat dua jari), Andi, Mumu dan Muin, pada saat syukuran sebuah acara BEM di tahun 2007, dan yang mengabil gambarnya adalah Moko.

Saya dikejutkan dengan BBM dan BC yang masuk bertubi-tubi kemarin pagi. Kebiasaan saya mematikan hape sebelum tidur dan menghidupkannya lagi setelah bangun tidur, membuat pagi itu hati dan pikiran terlibat syok dan seakan tidak percaya.

Penyebabnya adalah kabar tentang meninggalnya sahabat saya, Ahmad Fathul Wahab, Jumat malam 14 Maret 2014. Dan kabar kematiannya setelah ia mengalami kecelekaan lalu lintas di Pondok Ranji-Ciputat yang terjadi di malam itu.

Sejak saya kembali ke Indonesia akhir tahun 2013 lalu, saya belum berjumpa dengannya. Terakhir kali berkomunikasi dengannya adalah ketika 2012 di bulan April. Saat itu saya sedang melalukan riset untuk tesis saya

Kami mantan aktivis BEM Fidkom berkumpul di rumah Andi di daerah Pondok Gede, hanya Wahab yang tak hadir. Kami menelepon Wahab mengabarkan tentang pertemuan itu. Kami ingin berkumpul bersama waktu itu, sayang Wahab sibuk dengan pekerjaannya. Sementara waktu saya singkat di Jakarta karena harus kembali ke Ankara Turki.

Ia pada 2004 memperkenalkan dirinya kepada saya dengan panggilan Wahab. Wahab satu angkatan bersama saya di Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Jakarta. Cuma kami berbeda jurusan, saya di Komunikasi Penyiaran Islam dan ia di konsentrasi Jurnalistik, angkatan pertama.

Kami aktif bersama di beberapa organisasi, terlebih di HMI Komfakda. Kami terlibat berdiskusi, berdebat, hingga tertawa bersama-sama. Puncak kedekatan kami adalah ketika saya menjadi Sekjen BEM Fidkom, ia berada di Divisi Komunikasi dan Informasi.

Hampir setiap kegiatan Wahab selalu aktif. Pernah kami mengadakan acara BEM Fidkom bekerja sama dengan Masjid Banten di Serang lama. Wahab, Andi, Muin, Moko  dan saya beberapa kali bulak-balik Ciputat-Serang untuk mempersiapakan acara itu. Saya sempat diajak mampir ke rumahnya di Serang yang berdekatan dengan Tangerang, usai kami mengadakan acara di Banten itu.

Entah berapa kali kita begadang bersama untuk diskusi dan mempersiapkan acara BEM. Ia yang mahir mendisain poster selalu bekerja dengan baik. Bahkan di kepengurusan kami BEM Fidkom membuat kalender khusus 2007 yang didisain oleh Wahab.

Yang paling berkesan adalah ketika kami berbincang di suatu sore di sekretariat BEM Fidkom. Saya sedang merebahkan badan di atas karpet dan ia datang ikut rebahan. Ia bertanya pada saya apakah saya tertarik untuk menjadi ketua umum (ketum) HMI Komfakda, saya bilang tidak. Saya hanya ingin menyelesaikan studi saya dengan cepat, dan tidak lagi tertarik dengan menjabat di organisasi intra maupun ekstra kampus.

Wahab menyatakan, jika saya maju untuk menjadi ketum HMI Komfakda, ia akan mendukung sepenuhnya dan semacam menjadi semacam ketua timses. Ia merasa cukup menjadi Sekum saja jika saya jadi Ketumnya. Tapi jika saya tidak maju ia akan maju sendirian dengan meminta dukungan saya. Saya dukung waktu itu. Namun ia gagal menjadi ketum HMI Komfakda.

Usai saya lulus dari UIN Jakarta pada Maret 2008, saya sudah jarang bertemu dengan teman-teman se-almamater. Apalagi sejak menjadi wartawan di Republika yang menyita waktu. Hanya sesekali saja menyambangi kampus dan tempat kumpul teman-teman di Ciputat. Terlebih ketika saya berangkat ke Turki, hanya melalui dunia maya kami bersapa.

Semasih saya belajar di Turki ia menikah dengan teman seangkatan kami di jurusan Bimbingan dan Penyuluhan Islam (BPI) bernama Dewi Novita Sari. Mereka dikarunia oleh Allah seorang putri yang baru lahir. Dewi harus kuat, insyaAllah Allah memberi kekuatan dan ketabahan untuk Dewi dan putrinya.

Dan ini doa saya untuk Wahab, Allahumma ighfirlahu warhamhu wa’afihi wa’fu ‘anhu. Ya Allah maafkanlah dosa-dosanya, terimalah semua amal baiknya, luaskanlah kuburnya, dan masukkanlah ia ke dalam surgaMu, serta semoga istri dan anaknya diberi ketabahan olehMu ya Allah. Amin ya Rabbaalamin.

Akhirnya adalah yang paling dekat memang kematian. Sesiapa pun dari kita akan menemukan itu kematian. Selamat jalan, sahabat. Semoga engkau tenang disana.