Kang Deden

Tidak ada awal, akhir ataupun pertengahan, sebab yang ada hanyalah perjalanan.

Kang Deden

Orang besar ialah orang yang sudah selesai dengan dirinya sendiri.

Kang Deden

Berlarilah mengejar impian. Disana terdapat indahnya kehidupan.

Kang Deden

Berjalanlah, engkau akan mendapatkan banyak pelajaran.

Kang Deden

Tenangkan hatimu, karena itu sumber kebahagiaan.

Rabu, 30 Mei 2012

Restu Sang Penentu


Doa yang kubaca untukmu
Pengganti hadirku
Saat dirimu merinduku


Dalam sujud kuminta
Pada Sang Pencipta
Agar kita selalu bersama


Memang semua masih
Dalam khayalan insani
Sebab kita tak mengerti takdir Ilahi


Yakinku bahwa apa
Yang diinginkan-Nya
Tak ada yang mampu menghalaunya


Diri selalu menyadari
Tak semua yang diinginkan terjadi
Tapi selalu izin Sang Hakiki


Kelok, tanjak dan turun adalah jalan
Langit kadang gelap berawan
Dan pekatpun menjadi hujan


Bulan dan matahari
Berganti menyinari bumi
Menjadi penawar di hati


Sampai satu waktu
Aku kan datang padamu
Tunjukan permintaanku


Inginku kau pun setuju
Dan semua beri restu
Termasuk Tuhan Sang Penentu


Ankara, 29 Mei 2012

Selasa, 29 Mei 2012

Alhamdulillah, Turki Kembali Ajarkan Alquran di Sekolah


(Dimuat di Republika Online, 29 Mei 2012)


Oleh Deden Mauli Darajat*


ANKARA -- Untuk pertama kalinya setelah seratus tahun, pemerintah Republik Turki akan mengajarkan Alquran dan huruf Arab di sekolah-sekolah negeri dan swasta. Hal itu terungkap dalam Simposium Internasional kelima bertema persatuan Islam yang berlangsung di Ankara, Turki, dan dilanjutkan workshop pada Senin (28/5).




Ali Kurt, ketua Yayasan Wakaf Hayrat, Turki, sebagai pelaksana simposium, menjelaskan, kementerian pendidikan nasional Turki telah meminta pihaknya untuk menyiapkan konsep dan tenaga guru untuk siswa dengan AlQuran dan tulisan Arab Utsmani di sekolah-sekolah dan madrasah di seluruh pelosok Turki. 


"Ini tugas berat yang kami tunggu-tunggu selama ini," katanya.


Seratus tahun lalu, ketika Mustafa Kemal Ataturk mendirikan Republika Turki setelah mengambil kekuasaan dari Kesultanan Turki Usmani, segala hal yang berbau Arab dan bersuasana Islam dihapuskan. Dia memperkenalkan pemerintahan sekuler dengan membuat undang-undang dan peraturan-peraturan yang sempat merugikan perkembangan Islam, diantaranya undang-undang yang menghapus pengajaran Al-Quran di sekolah-sekolah dan mengganti tulisan-tulisan Arab dengan tulisan latin.


Ketua Umum DPP Persatuan Umat Islam (PUI), Nurhasan Zaidi, menyatakan, niat baik Pemerintah Turki itu perlu didukung peraturan yang menghapus undang-undang lama tentang pelarangan pengajaran Al-Quran dan tulisan Arab. 


"Kami akan sampaikan usul ini ketika besok bertemu Parlemen Turki," kata Nurhasan Zaidi yang juga anggota DPR RI. Delegasi Indonesia yang berjumlah 25 utusan organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam memang berencana berencana bertemu dengan parlemen Turki pada Selasa (29/05/2012).


Menurut Nurhasan, pelarangan pengajaran Alquran dan bahasa Arab di sekolah-sekolah Turki selama seratus tahun telah membuat masyarakat Turki banyak yang tidak bisa membaca Al-Quran.  Selain itu, warga Turki juga jarang yang bisa menulis huruf Arab, apalagi mengucapkannya. Padahal, Turki pernah menjadi pusat peradaban Islam selama lima abad Kesultanan Turki Usmani.


Warga Muslim Turki menyambut baik rencana pemerintahnya tersebut. “Tetapi untuk bertahan dan langgeng, kebijakan strategis tersebut harus didukung undang-undang,” demikian tegas Nurhasan Zaidi. Ia yakin, tak lama lagi warga Turki mampu mengembalikan kejayaan Islam sebagaimana dulu pernah dicapainya di masa keemasan Kesultanan Usmani.


Ahmad Rifai, wakil ketua Majelis Syuro PUI, menyatakan di depan forum workshop peserta Simposium Internasional Said Nursi, di Indonesia pengajaran huruf Arab sempat terbatas diajarkan di madrasah-madrasah. Bahkan pemerintah mengganti kebiasaan penulisan bahasa Arab yang dulu menjadi tradisi di madrasah dan pesantren dengan huruf latin. Akibatnya, tutur Rifai, kemampuan warga Indonesia untuk menulis huruf Arab dan bacaan Al-Quran sudah hilang dan lenyap. “Ini tragedi,” tegasnya.


Ahmad Rifai berharap, keinginan Pemerintah Turki untuk kembali mengajarkan tulisan Arab secara resmi dapat diikuti oleh Pemerintah Indonesia. “Kemampuan menulis dan mambaca huruf Arab merupakan dasar utama untuk memahami ajaran-ajaran Islam dari sumber aslinya,” ungkap Rifai. Ormas-ormas Islam dan kalangan politisi, tutur Rifai, harus mendorong Pemerintah Indonesia membuat kebijakan yang memungkinkan penulisan huruf Arab menjadi keharusan di ranah publik terutama di sekolah-sekolah dan madrasah-madrasah.


*Penulis: Mahasiswa Pascasarjana Universitas Ankara, Turki)

Senin, 28 Mei 2012

Persatuan Islam Bagai Bah tak Terbendung


(Dimuat di Republika Online, Senin, 28 Mei 2012)


Oleh: Deden Mauli Darajat* 


ANKARA - Simposium persatuan Islam sedunia berlangsung Ahad (21/5/2012) di Ankara, Turki, dihadiri para aktivis organisasi Islam dari berbagai negara. Delegasi Indonesia terdiri dari 25 orang berasal dari ormas-ormas Islam, antara lain Persatuan Ummat Islam (PUI), Mathlaul Anwar, Majelis Ulama Indonesia, Dewan Dakwah Islam Indonesia, PPSDM, Perpadi, Wanita Islam, dan Lembaga Pemberdayaan Ekonomi Ummat (L-Pemandu).


Tak kurang 20 pembicara tampil dalam simposium sehari yang diselenggarakan oleh Yayasan Wakaf Hayrat, organisasi penyebar pemikiran Badiuzzaman Said Nursi. Para pembicara memang seluruhnya membahas tema persatuan Islam dalam perspektif Said Nursi yang terkenal sebagai bapak Turki dan penulis kitab tafsir tematik Risalah Nur.


"Tema persatuan Islam sangat penting dibahas di tengah konflik yang dialami umat Islam di berbagai negara sekarang ini," kata Atty Ali Kurt, Wakil Sekjen Yayasan Hayrat dalam sambutannya di hadapan belasan ribu peserta yang memenuhi Stadion Arena Ankara.


Said Nuri Erturk, salah seorang murid Said Nursi yang masih hidup, tampak hadir di tengah-tengah ribuan hadirin peserta simposium. Dia berkali-kali mengusap air matanya ketika Muhammet Hamdawi dari Maroko mengungkit masa-masa sulit perjuangan Said Nursi pada awal tahun 1900-an. Kala itu, Kerajaan Khilafah Ustmani sedang mengalami masa kemundurannya, kemudian dilengapkan oleh kekuatan-kekuatan sekuler yang memberangus hampir seluruh warna Islam dari seluruh Turki. Itulah akhir khilafah Islam di dunia.


Sementara itu, ustadz Ahmad Syadzili Karim yang tampil mewakili Indonesia, mendapat tepuh tangan meriah saat mengatakan bahwa persatuan Islam kini sedang mengalami masa pertumbuhannya. 


"Segera persatuan Islam akan menjadi bah yang mengalir tanpa ada yang bisa mampu membendungnya," kata Syadzili Karim yang juga Ketua Umum Mathlaul Anwar. Dia menyebut persatuan Islam seakan bangunan kokoh yang saling mengikat seorang Muslim dengan lainnya, dan tak ada pihak manapun bisa menghancurkannya.


Ahmad Rifai, wakil Majelis Syura PUI mengaku agak terkejut dengan paparan Said Yavus tentang sejarah persatuan Islam di dunia Islam. Dalam makalahnya, Yavus dari Yayasan Hayrat menyebut Khilafah Umawiyah didirikan bukan di atas asas Islam. 


"Saya belum pernah menemukan penjelasan seperti itu di buku-buku sejarah," kata Rifai. Menurut Yavus, persatuan Islam yang hancur di masa Bani Umawiyah berhasil dibangun kembali ketika kekuasaan khilafah Islam berhasil direbut oleh Bani Abbasiyah.


Banyak lagi paparan tentang persatuan Isma dikemukakan oleh para pembicara, antara lain Prof. Dr. Mustafa Baloglu, Drs Mahmud Misri (Universitas Aleppo Syria), Prof Abdulnur Muhammed Elmahi (Univ Abdulaziz Saudi Arabia, Prof Ibrahim Noreyn Ibrahim Mohammed (rektor Univ Al-Quran dan Sains Islam Sudan), Prof Dr Muhammad Sa'd Abdulmecit Kasim (Univ Al-Azhar Mesir), Muhammad Saeed Khan (Fast National Univ Pakistan), dan lainnya.


*Penulis: Mahasiswa Pascasarjana Universitas Ankara, Turki

Delegasi Indonesia Hadiri Simposium Internasional Said Nursi


(Dimuat di Republika Online, Sabtu, 26 Mei 2012) 


Oleh: Deden Mauli Darajat*


ISTANBUL -- Delegasi Indonesia sebanyak 25 orang tiba di Istanbul, Turki, untuk menghadiri Simposium Internasional Said Nursi. Yayasan Wakaf Hayrat, selaku panitia pelaksana simposium, menerima delegasi di kantor pusatnya di Istanbul, Rabu (23/05/2012). 


Delegasi Indonesia terdiri dari berbagai organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam, antara lain Mathla’ul Anwar, Persatuan Ummat Islam (PUI), Wanita Islam, L-Pemandu, Mapadi, Nurul Fikri, dan Majelis Ulama Indonesia (MUI).




Ketua delegasi Indonesia, KH Ahmad Sadeli Karim, mengatakan, kedatangan delegasi untuk belajar dan berbagi pengalaman dan praktek persatuan Islam, terutama yang berasal dari pemikiran tokoh ideolog Turki Badiuzzaman Said Nursi. 


“Sesama muslim itu mestinya bersatu, karena mereka sesaudara,” ujar ketua Umum Pengurus Besar Mathla’ul Anwar ini. Kejayaan Islam, tambahnya, akan tiba saat umat muslim bersatu, seperti kejayaan Kesultanan Turki Usmani.


Ketua Dewan Pengurus Pusat PUI H Nurhasan Zaidi menjelaskan, “persatuan Islam yang menjadi tema simposium semakin relevan saat ini, ketika musuh-musuh Islam memanfaatkan berbagai cara yang canggih untuk memecah-belah kaum Muslimin.” 


Tema yang sama telah diperjuangkan banyak tokoh, termasuk Baiduzzaman Said Nursi, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan pendiri PUI KH. Abdul Halim dan KH Ahmad Sanusi sejak seabad lalu.


Kegiatan simposium internasional ke-5 yang akan dilaksanakan di Ankara pada Ahad dan Senin (27-28/05) mendatang memang menghadirkan tema persatuan Islam. Acara ini akan dihadiri lebih dari seribu peserta dari berbagai negara, di antaranya Indonesia, Malaysia, Arab Saudi, Mesir, Afrika Selatan, Afganistan, Suriah, Tunisia, Yaman, Irak, Kuwait, dan Uni Emirat Arab. Simposim akan dihadiri pula oleh ribuan jamaah Said Nursi dari seluruh pelosok Turki.


Selain simposium yang dilaksanakan di Ankara, delegasi juga melakukan kunjungan budaya dan keagamaan ke berbagai daerah di Turki, diantaranya, Istanbul, Ankara dan Bursa. Istanbul merupakan tempat yang paling bersejarah karena di sinilah ibukota Kesultanan Turki Usmani berdiri. Bursa dipilih karena merupakan daerah tempat dimulanya pendirian Kesultanan Turki Usmani lima abad silam. Sementara Ankara merupakan ibukota Republik Turki saat ini.


Pelaksana Simposium Said Nursi, Yayasan Wakaf Hayrat, didirikan pada 1974 oleh Ahmed Husrev Altinbasak, penerus Bediuzzaman Said Nursi di Istanbul. Yayasan Hayrat  bergerak dan melaksanakan kegiatan keagamaan yang bertujuan untuk penyebaran semangat dan nilai-nilai keislaman baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Selain misi utama bergerak dalam bidang pendidikan pelayanan Quran dan Iman, yayasan wakaf ini juga aktif terlibat dalam persatuan Muslim di tingkat nasional maupun internasional.


*penulis: Mahasiswa Indonesia di Turki

Selasa, 22 Mei 2012

Tentang Sebuah Catatan Perjalanan


Pembaca budiman, mungkin ada yang bertanya mengapa subjudul blog ini bertulisan 'sebuah catatan perjalanan'. Bagi saya, hidup adalah perjalanan. Blog ini merupakan kumpulan tulisan tentang apa saja yang ingin saya tulis atau renungan pemikiran yang dikemas dengan gaya bertutur. Gaya penulisan di blog ini juga tidak terpaku dengan cara penulisan ilmiah atau tata cara menulis dari berbagai buku. Saya hanya ingin tulisan itu mengalir.

Dalam sebuah perjalanan, kita membutuhkan sebuah perencanaan. Baik perjalanan itu pendek maupun panjang, tetap saja butuh perencanaan yang baik. Perencanaan yang baik adalah setengah dari perjalanan. Setengah lainnya adalah pelaksanaan perencanaan perjalanan itu. Dalam perencanaan kita pasti sudah mengetahui bagaimana akhir perjalanan yang akan kita lakukan. 


Barang bawaan rombongan kami saat di Oxford, Inggris tahun 2010.
Tidak lupa dalam perencanaan kita juga mencatat berbagai kebutuhan dan bermacam keinginan. Yang paling utama adalah kita mempersiapkan kebutuhan primer, baru kemudian kebutuhan sekunder dan keinginan-keinginan lainnya. Namun dalam hal ini juga kita harus tahu kapasitas diri kita dalam menapaki sebuah perjalanan. Setelah perencanaan dan persiapan perjalanan dilakukan dengan baik, selanjutnya adalah menapaki perjalanan.

Terkadang, tidak semua yang perjalanan yang direncanakan sesuai dengan keinginan kita. Namun, paling tidak dengan adanya perencanaan kita mengumpulkan data tentang kemungkinan-kemungkinan lainnya yang bisa kita lakukan jika tidak sempat menyiapkannya atau memang di luar dugaan kita. Kemungkinan itu bisa baik ataupun buruk. Dalam perjalanan inilah dibutuhkan sebuah keberanian. Seperti tulisan besar yang terpampang di sebuah reklam besar di Jl. Warung Buncit, Jakarta Selatan. "Ada 1001 kesempatan dan hanya butuh satu keberanian untuk melakukannya". Begitulah kira-kira tulisan itu yang terdapat gambar Hatta Rajasa-nya.

Beberapa waktu lalu di awal April 2012, dalam sebuah perjalanan Jakarta-Yogyakarta untuk menghadiri undangan pernikahan rekan kami Fernan Rahadi , misalnya, rombongan kami belum hapal betul jalan mana yang akan kita lalui. Apakah melalui jalur utara atau selatan. Karena waktu itu termasuk long weekend maka dipastikan di jalan manapun pasti tercadi kemacetan. Akhirnya kami memutuskan untuk melalui jalur selatan setelah meleweti Cirebon. 


Pernikahan Fernan di kampus UIN Yogyakarta, 8 April 2012.
Di tengah jalan, ada jembatan yang putus dan akhirnya kami harus memutar. Dan di jalan putaran itu ada lebih dari 17 titik dan di setiap titik-titik itu ada orang-orang yang meminta 'uang receh' di jalan yang ada kubangan atau lubangnya. Mereka memang menunjukkan kepada para pengemudi jalan yang berlubang. Karena pengalaman itu, maka pulangnya kami mengambil arah lain. Kami benar-benar melalui jalur selatan dari Yogyakarta terus Bandung kemudian Jakarta. Agar tidak nyasar maka kami menggunakan google maps dari Blackberry. Alhamdulillah perjalanan kami lancar dan selamat sampai tujuan di Jakarta.

Keberanian. Satu kata ini adalah kunci dalam menapaki sebuah perjalanan. Terlepas bahwa setelah kita melaluinya salah atau benar. Sebab dari pengalaman salahlah kita akan menjadi benar. Jika saja kita tidak berani, maka kita tidak akan mendapatkan apa-apa. Selain itu, dalam perjalanan kita banyak menerima tantangan dan kita harus siap dengan berbagai tantangan dan rintangan sekalipun.

Pernah suatu hari di awal tahun 2011 lalu, setalah berkumpul, salah satu diplomat di KBRI Ankara mengajak saya jalan-jalan secara dadakan. Perkumpulan itu sendiri selesai tengah malam dan pagi harinya jalan-jalan itu akan dilakukan. Tak ada persiapan apapun. Tapi, karena saya penyuka jalan dan jalan-jalan, kesempatan baik itu tidak ingin dilewatkan begitu saja, hehehe. Saya pun ikut jalan-jalan dengan seadanya. Pakaian yang ada dan uang seadanya. Tapi ini tak menghilangkan rasa senang dalam perjalanan. Malah lebih 'menantang'.
Perjalanan dadakan ke Pamukkale

Dadakan. Hidup juga terkadang dadakan. Jika kita tidak siap dengan dadakan maka kita akan terkaget seakan tak dapat menerimanya. Kalau kita sering menghadapi sebuah situasi dadakan dan kita selalu bisa menghadapinya dengan tabah dan dilakukan dengan baik, niscaya kita tidak akan terkaget-kaget jika kita menemuinya dalam kehidupan ini. Sebab dalam sebuah perjalanan kita selalu menghadapi situasi yang selalu mendadak.

Misalnya, dalam sebuah perjalanan mengelilingi kota-kota di Inggris, rombongan kami tidak mendapatkan hotel maupun hostel saat kami berada di Oxford. Sudah kami mengelilingi semua hostel dan hotel di wilayah itu dan hasilnya nihil. Jika pun ada itu adalah hotel berbintang, yang kami sebagai mahasiswa, tidak mampu membayarnya karena uang kami pas-pasan. Padahal hari itu sudah beranjak malam. Dalam keadaan ini semua kemungkinan kita coba satu persatu.

Yang pertama adalah kita mencari adakah orang Indonesia yang menetap di Oxford. Jika ada berapa nomor hape yang bisa kita hubungi. Selanjutnya adalah apakah orang itu mau menerima kita untuk menginap di rumahnya. Dan seterusnya. Pahitnya adalah, jika tidak juga mendapatkan penginapan gratis, terpaksa kami harus menginap di hotel berbintang. Karena waktu itu mau masuk musim dingin dan dipastikan kami tidak mampu melawan cuaca itu. 


Jamuan makan di rumah Mas Landry, Mahasiswa S3 Oxford University
Beruntunglah kami malam itu. Salah seorang mahasiswa dokotoral, Mas Rahmat Wibowo yang baik hati (sekarang sudah lulus dan mengajar di Universitas Indonesia) menjamu kami dengan masakan Indonesia di rumahnya di kawasan Universitas Oxford. Rupanya selain kami, Mas Rahmat juga mengundang beberapa orang Indonesia yang tinggal di Oxford. Usai jamuan malam itu kami dibagi tiga kelompok untuk menginap di tiga tempat orang Indonesia. 



Dalam perjalanan juga kita akan menghadapi berbagai macam tipikal dan budaya orang-orang yang kita temui. Kita harus bisa beradaptasi dengan keadaan dan orang-orang di dalamnya. Kelenturan dibutuhkan agar kita dapat tetap bertahan dalam perjalanan. Kecuali dalam beberapa hal yang kita anggap sebagai pegangan hidup dan tidak bisa ditawar-tawar lagi. Bahkan, dalam ajaran agama pun ada beberapa keringanan bagi orang-orang yang melakukan perjalanan. Shalat bisa dijama dan diqhashar, misalnya. 

Banyak pelajaran yang berharga dalam melakukan perjalanan. Pengalaman itu tidak akan kita dapatkan jika hanya kita berdiam diri di rumah. Seeperti halnya pepatah arab yang mengatakan, air akan rusak jika ia tidak mengalir. Begitupun manusia. Kita membutuhkan perjalanan, agar hidup kita tidak statis. Tidak bosan dan selalu menggairahkan.




Dalam perjalanan kita pasti menemui pemberhentian. Setiap pemberhantian adalah istirahat untuk melakukan perjalanan lainnya. Hidup juga adalah menunggu pemberhentian akhir hayat. Jika kita menyiapkannya dengan baik, maka perjalanan selanjutnya pun akan baik. Kita pasti lelah dalam berjalan, tapi kita pasti senang dengan perjalanan jika dilakukan dengan persiapan yang matang. Persiapan yang matang adalah dengan membaca dan banyak belajar.

Blog ini dimaksudkan untuk mencatat sebuah perjalanan yang sudah, sedang dan akan saya lakukan. Hidup adalah perjalanan. Perjalanan adalah hidup. Sebab, Multatuli pernah mengatakan, saya akan dibaca. Atau, narasi besar lainnya adalah, saya mencatat maka saya ada. Termasuk mencatat sebuah perjalanan. 



Minggu, 20 Mei 2012

Keajaiban Pasti Datang..

Tulisan tiga tahun yang lalu ini merupakan laporan jurnalistik terbaik yang pernah saya tulis saat masih menjadi wartawan di Republika. Setiap jurnalis biasanya memiliki tulisan terbaiknya. Mengapa tulisan ini terbaik menurut saya? karena, pertama, liputan itu merupakan liputan bencana. 


Kedua, saat liputan Situ Gintung ini saya menetap di tempat bencana selama tujuh hari tujuh malam tidak pernah keluar dari lokasi bencana. Ketiga, karena menetap maka saya mendapatkan berita 'eksklusif' yang tidak dimuat di media lain, baru dua atau tiga hari kemudian ada beberpa koran yang memuat laporan serupa. Keempat, saat wawancara saya sempat merinding dengar ceritanya.


Kelima, selain menjadi wartawan, saya juga berperan sebagai relawan dan 'korban' waktu dan perasaan, hehehe. Namun yang pasti dari kisah ajaib ini saya percaya bahwa Keajaiban pasti datang kepada siapa saja yang melakukan kebaikan yang tulus dan terus menerus, serta menyerahkan segalanya kepada Sang Pencipta. Dengan kata lain: Ikhlas. Berikut laporannya:


*****


Keajaiban Datang Saat 'Tsunami'


Sudah lama shalat Tahajud menjadi kebiasaan Taryono (39 tahun). Tak ketinggalan, shalat malam itu juga dilakukan warga RT 04/08 Kelurahan Cireundeu, Kecamatan Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, ini pada Jumat (27/3/2009) dini hari sekitar pukul 02.00 WIB.
Mobil terdampar di atas kuburan usai dihantam 'tsunami' Situ Gintung
Selama hampir setengah jam, Taryono khusyuk menunaikan shalat tersebut. Rasa kantuk yang teramat sangat tak mampu membuatnya tetap melek. Akhirnya, seusai shalat yang dilanjutkan dengan berzikir, pria asal Ngawi, Jawa Timur, ini pun kembali ke peraduan. Taryono terbangun lagi saat azan Subuh berkumandang. Dia kemudian membangunkan keluarganya untuk menunaikan shalat Subuh berjamaah. Tapi, karena keterbatasan tempat, Taryono mengajak keluarganya shalat sendiri-sendiri.


Sesaat hendak shalat, tiba-tiba dia mendengar seseorang berteriak, ''Maling-maling.'' Dengan gerak refleks, Taryono bergegas keluar rumah, membatalkan niatnya semula untuk menunaikan shalat Subuh.Anehnya, setelah melongok ke kanan ke kiri, Taryono tak mendapati asal sumber suara tersebut. Seakan-akan ditelan bumi, teriakan tadi seketika lenyap. Suasana pun kembali sunyi.


Pada saat itulah, bukannya teriakan ''Maling'' yang didengarnya, tapi suara bergemuruh yang terdeteksi kupingnya. Suara gemuruh itu didengarnya laksana gelombang air yang berjalan kencang. Lantai rumahnya pun bergetar karena hal tersebut. ''Getaran itu seperti ada sesuatu yang akan keluar dari dalam tanah,'' tutur karyawan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Ahmad Dahlan itu.


Tentara sebagai relawan dan warga yang berwisata bencana. Ada-ada ajah!
Dia menemukan jawaban asal gemuruh itu saat gulungan air datang menghantam pintu belakang rumahnya. Tanpa dia sadari, arus air bah yang deras itu membuatnya terhanyut. Taryono timbul tenggelam diseret air bah yang berasal dari jebolnya tanggul Situ Gintung.


Nasib Taryono cukup beruntung karena tubuhnya tersangkut di pohon salam yang tak jauh dari rumahnya. ''Ketinggian air waktu itu sudah mencapai empat sampai lima meter,'' katanya.Namun, pohon itu tak kuat menahannya. Dia pun kembali terlempar dan terimpit ke gulungan sampah yang datang bersamaan dengan tumpahan tak kurang dari dua juta meter kubik air Situ Gintung. ''Air itu datang lagi dan bertambah deras,'' kenangnya.


Di tengah rasa panik, Taryono melafalkan dua kalimat syahadat sebanyak tiga kali. Ketinggian air terus bertambah hingga menutup atap rumahnya, setinggi 10 meter.Lagi-lagi, dia timbul tenggelam diseret derasnya air. Dalam gelapnya malam, dia sempat melihat gulungan kasur yang lambat laun mendekatinya. Dengan sisa tenaga yang ada, diraihnya kasur tipis tersebut.


Usahanya memang tak mudah. Kasur setebal tiga sentimeter itu terdorong mengikuti aliran arus air yang bergelombang. Putus asa sempat menghinggapinya.Dia pun berkata dalam hati, ''Ya Allah, jika saat ini Engkau memanggil saya, saya ikhlas.'' Taryono mengucapkan itu lirih sambil membaca syahadat tiga kali untuk kedua kalinya.


Setelah itu, Taryono merasa ada sesuatu yang mendorongnya menaiki kasur lipat tersebut. ''Saya tersungkur di atas kasur dengan posisi tengkurap,'' cerita Taryono.Ajaibnya, kasur tipis itu kuat menahan badannya tetap berada di atas gelombang air. Tidak berhenti di situ, kasur tersebut membawanya memotong derasnya air.
Dua wartawan Republika, Yasmina dan Yogi, membantu peliputan di Situ Gintung 


''Kasur itu membawa saya ke tepian jalan raya,'' ungkapnya. Padahal, antara rumahnya dan tepian jalan raya itu berjarak tak kurang dari 35 meter.Taryono sampai di tepian jalan dalam kondisi pakaian yang sudah tak utuh lagi. Tubuhnya penuh luka, pun demikian dengan kaki dan tangannya. Sebagai ungkapan rasa bahagia, dia lantas bersujud syukur di tepian jalan raya.


Saat itu, waktu menunjukkan sekitar pukul 05.30. Kendati telah selamat, Taryono tetap tak menyadari apa yang telah terjadi. Ia seakan-akan linglung atas musibah yang dialami. ''Bahkan, saya sempat bertanya ke orang-orang lain yang selamat, kejadiannya seperti apa.''Dia panik setelah tersadar istri dan anaknya tiada di sampingnya. ''Saya baru sadar kalau anak dan istri saya ternyata hilang,'' tuturnya sembari mengucurkan air mata.


Dia pun mengobok-obok kawasan yang porak-poranda dilanda air bah tersebut. Usahanya tak sia-sia. Sekitar pukul 07.00 WIB, ia menemukan Iwin Tyah Kencono Wulan (35), istrinya, dalam keadaan selamat dan masih berada di daerah itu.Sama dengan Taryono, Iwin selamat lantaran menaiki kasur yang malam itu dipakainya untuk tidur. Bahkan, kasur itu masih dengan sepreinya.


Rasa senang yang tak terkira membuatnya teringat jika belum melaksanakan shalat Subuh. Saat itu juga, dia langsung shalat. ''Kalau masalah keterlambatan shalat, saya serahkan kepada Allah saja,'' ungkapnya. Setengah jam kemudian, Riza (11), anaknya, ditemukan. Riza bahkan ditemukan dalam kondisi tanpa luka. Kejadian selamatnya Riza pun penuh kemukjizatan.


Menurut Taryono, anaknya tak ikut terseret arus karena tersangkut di pohon dukuh yang berada sekitar dua meter di depan rumahnya. ''Anehnya, pohon dukuh yang sebesar paha saya itu masih kokoh berdiri. Sementara pohon rambutan selebar pinggang saya tumbang. Ini merupakan mukjizat dari Allah SWT,'' ujar Taryono.


Kalau ini, kami sedang berkumpul di mall depan kantor kami sehabis liputan.
Kebahagiaan Taryono terhenti saat dia mengetahui, adik iparnya, Sukamto (35), meninggal karena dihantam air Situ Gintung. Jenazah Sukamto kemudian dibawa dan dikebumikan di Ngawi. Sedangkan, istri Sukamto yang juga adik Taryono, Retno (25), sampai saat ini belum ditemukan.


Adapun adik Taryono lainnya, Iwan (30), selamat dari amukan tumpahan Situ Gintung yang laksana tsunami itu. Kuku kaki Iwan sebelah kanan dan kiri copot, tubuhnya pun tersayat.Hingga Ahad (30/3), Sukamto dan keluarga masih tinggal di pengungsian di gedung Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ). Sukamto dan puluhan korban lainnya, sampai saat ini, masih menunggu uluran tangan para dermawan untuk membantu membangun kembali rumahnya yang hancur akibat gulungan tsunami Situ Gintung.

Kamis, 17 Mei 2012

Buruk Sangka, Penyakit Hati


(Disampaikan pada kajian Ibu-ibu DWP KBRI Ankara, Rabu, 16 Mei 2012)


Alhamdulillah segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmat yang tak terhitung dan kita bisa berkumpul untuk mencari ilmu dan ridha-Nya. Shalawat serta salam untuk Rasulullah SAW, yang telah memberikan cahaya keimanan yang menyebar ke seluruh alam.


Dalam kajian usai pengajian Alqur'an ini kita akah membahas tentang penyakit hati lainnya. Yaitu, buruk sangka. Baiklah, saya akan memulainya dengan sebuah cerita. 


Di sebuah kampung, ada keluarga yang memelihara anjing. Keluarga itu sudah akrab dan percaya kepada anjing peliharaannya yang bertugas menjaga keamanan rumahnya. Keluarga itu memiliki bayi yang baru lahir. Karena masih kecil, bayi tidak dibawa untuk keluar rumah.


Suatu ketika keluarga itu keluar rumah dan meninggalkan sang bayi. Anjinglah yang bertugas untuk menjaga bayi itu. Anjing memang makhluk yang dapat dipercaya. Sepulangnya ke rumah, si kepala keluarga melihat anjing di luar rumah dengan mulut anjing yang berlumuran darah.


Tanpa berpikir panjang si kepala keluarga memukul anjing dengan sekereras-kerasnya. Tak ada perlawanan dari anjing itu. Dan anjing pun akhirnya tewas di tangan majikannya. 


Betapa kagetnya si kepala keluarga saat ia melihat bayinya masih terlelap tidur di atas ranjangnya. Sementara di lantai di samping ranjang si bayi terdapat ular besar yang sudah tercabik-cabik tewas. Dan si kepala keluarga keluar dan memeluk anjing itu, seakan-akan ia meminta maaf sedalam-dalamnya.


Dari kisah ini kita dapat mengambil hikmah bahwa karena buruk sangka di awal dan tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi maka semuanya akan berakhir tragis yang merugikan semua pihak. 


Buruk sangka dalam bahasa arab disebut su'udzan. Sementara kebalikannya baik sangka adalah husnudzan. Kita dapat membagi Su'udzan ini menjadi dua bagian, pertama Su'udzan kepada makhluk, kedua Suudzan kepada Sang Khalik atau Allah SWT. Kita bahas Su'udzan yang pertama: 


Allah berfirman dalam surat Al-Hujurat (49) ayat 12 yang artinya: Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahanorang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.


Dari ayat di atas dapat kita pahami bahwa berprasangka adalah dosa yang besar yang diibaratkan dengan makan daging saudaranya. Sebab, jika kita berbuburk sangka, maka yang akan kita lakukan selanjutnya adalah mencari-cari kesalahan orang lain. Ini bagaikan bola salju yang menggelinding dan menjadi besar. Dan selanjutnya kita akan menggunjingkannya. Dan seterusnya, dan seterusnya...


Ini pun selaras dengan apa yang disabdakan Rasulullah SAW.  “Hati-hati kalian dari buruk sangka, karena itu adalah ucapan yang paling dusta. Janganlah kalian mendengarkan ucapan orang lain dalam keadaan mereka tidak suka. Janganlah kalian mencari-cari cela orang lain. Jangan kalian berlomba-lomba untuk menguasai sesuatu. Janganlah kalian saling hasad, saling benci, dan saling membelakangi” (HR. Imam Bukhari & Imam Muslim).


Su'udzan yang kedua adalah kepada Allah SWT yang menciptakan kita. Tanpa kita sadari kadang kita gampang mengutuk keadaan kita karena Tuhan selalu memberikan ujian kepada kita. Kita sering menyalahkan Allah saat kita terjatuh dan kita tidak tahu apa sebenarnya yang diinginkanNya. Padahal Allah selalu menguji hambaNya baik dengan kebaikan maupun keburukannya. 


Seharusnya memang saat kita terjatuh kita sadar diri bahwa kita di dunia ini bukan siapa-siapa dan tidak dapat berbuat apa-apa tanpa kehadiran kuasa Allah pada diri kita. Kita juga mudah sombong saat kita mendapatkan apa yang kita inginkan dan melupakan kuasa Allah atas keberhasilan kita. Dan di saat kita terjatuh maka kita benar-benar terperosok dan akhirnya menyalahkan Sang Khalik.


Dan seyogianya kita berdoa dan terus berharap saat kita terjatuh. Inilah yang sebenarnya diinginkan Allah, seperti apa yang difirmankannya dalam surat Az-Zumar ayat 53:  "Katakanlah, 'Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Mahapengampun lagi Mahapenyayang'." 


Di akhir kajian ini mari kita simak hadit qudsi yang difirmankan Allah SWT dan disabdakan oleh Rasulullah SAW dalam haditsya, "Sesungguhnya Aku apa yang disangkakan hamba-Ku kepada-Ku." Dari hadits qudsi ini kita paham bahwa jika kita berbaik sangka kepada Allah maka Allah pun akan membalasnya dengan kebaikan dan menjadikan kita baik. Pun begitu sebaliknya. Wallahu'alam.


Demikian kajian kali ini. Saya meminta maaf jika dalam kesempatan kali ini banyak terdapat kesalahan dan itu datangnya dari saya pribadi. Dan jika ada baiknya maka itu mutlak datangnya dari Allah SWT.

Kamis, 10 Mei 2012

Hasan, Islam dan Baduy


Tak banyak orang yang mau dan melakukan perlawanan terhadap keinginan keluarga dan budaya setempat. Apalagi soal keyakinan. Ini yang dilakukan Hasanuddin (biasa dipanggil Hasan) terhadap keluarga dan budaya masyarakatnya di suku pedalaman Baduy. Sejak kecil Hasan sudah tidak diasuh oleh kedua orang tauanya karena ia masuk Islam.

Hasan, yang sampai kini tidak tahu kapan dirinya dilahirkan ke bumi ini, mengaku diasuh oleh bapak ‘pulung’ alias bapak angkatnya sejak kecil. Namun ia bercerita teman-temannya yang sekolah kini sudah di kelas dua SMA. Artinya umur dia berkisar 17 tahun, dengan asumsi 12 tahun lulus SD, 15 tahun lulus SMP, dan dua tahun kemudian di kelas dua SMA.

Perumahan di suku Baduy. Photo: www.gudangwisata.com
Oleh bapak angkatnya, Sarif nama Hasan sebelum diganti, dimasukkan ke pesantren salaf yang mempelajari berbagai ilmu keislaman di wilayah baduy luar. Di pesantren itu juga dia belajar membaca Alquran. Bahkan suara azannya tak kalah bagus dengan azan maghrib yang disiarkan setiap hari di tivi-tivi.

Hasan ikut dalam rombongan keluarga kami ketika kami berangkat menuju bandara di Cengkareng untuk mengantar saya kembali ke Turki. Ia membantu dan menemani kami dalam perjalanan dari Rangkasbitung ke Cengkareng. Kok, bisa Hasan ikut rombongan kami? Begini ceritanya…

Hasan sekarang adalah santri di pesantren Bani Ali di Rancasema, sekitar 200 meter dari rumah saya. Ia diminta oleh abang saya yang pimpinan pesantren Bani Ali itu untuk ikut dalam rombongan kami. Ia mengaku baru 5 bulan menjadi santri di pesantren kami. Sebelumnya ia menjadi santri di pesantren di wilayah Baduy.

Dulu, cerita Hasan, saat KH Zaenal Arifin, pimpinan pesantren Bani Ali, pernah mengisi ceramah di pesantren dan di kampungnya di wilayah Baduy. Usai ceramah ia berbincang dengan Kiai Zaenal. Singkat cerita akhirnya Hasan ikut ke Rancasema dan menjadi santri di kampung kami. Ia pun sering menjadi Muazin di masjid kampung kami. Sekali lagi, saat azan suaranya bagus.

Ditanya mengapa ia bisa begitu bagus saat azan di masjid, dengan rendah hati ia bilang bahwa ini adalah takdir. Mungkin juga takdir itulah yang membawanya ke kampung kami. Saat berbincang dengan saya di bandara ia selalu memalingkan wajahnya. Saya tidak tahu, apa itu memang kebiasaan orang Baduy saat berbincang-bincang atau memang dia takut dengan saya, hehehe. Tak tahulah.

Hasan mengaku ayah dan keluarganya sampai kini belum juga masuk Islam dan tinggal di Baduy. Ayahnya, tutur Hasan, masih memegang teguh keyakinan leluhur Baduy. Mungkin, ayahnya belum mendapatkan hidayah. Sebab, menurutnya, sang ayah banyak keinginan jika ia masuk Islam. “Ayah maunya kalau masuk Islam udah punya sawah sendiri dan yang lainnya,” ujarnya.

Warga baduy terbagi menjadi dua, baduy dalam dan baduy luar. Suku baduy berada di kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak, Banten. Masih banyak masyarakat baduy sampai saat ini masih memegang teguh keyakinan leluhurnya yaitu Sunda Wiwitan. Hanya sebagian kecil saja yang sudah masuk Islam. Itupun dengan perjuangan yang berat.

Beruntung saya bisa berbincang dengan Hasan. Saya belajar darinya arti sebuah ketegasan dan kekokohan sebuah keyakinan. Bahkan, untuk berpisah dengan keluarga sekalipun. Sampai- sampai ia jarang bertemu orang tua kandungnya dan kedua adiknya. “Adik saya sebesar Fawwaz (keponakan saya yang berumur 7 tahun-red), dan satu lagi masih kecil, tetapi saya tidak lagi bertemu mereka,” tandasnya. Dan memang hidayah datangnya langsung dari Allah SWT. Wallahu’alam.

Senin, 07 Mei 2012

Langgar, Mushalla dan Masjid


Sewaktu kecil saya sering ke langgar setiap sore 15 menit sebelum azhan maghrib berkumandang. Kami anak-anak kecil waktu itu bergantian atau berjamaah bershalawatan dengan pengeras suara di langgar. Langgar atau surau bagi kami adalah tempat bertemu, berinteraksi, shalat, mengaji sekaligus bermain. Hanya ada dua kata waktu itu: menikmati kehidupan!

Jika bulan puasa tiba, kami pun anak-anak kecil meramaikan langgar untuk berjamaah shalat tarawih, meski jemaah tarawih setiap hari terus menyusut. Usai tarawih kami melanjutkan untuk membaca Alquran di langgar dengan pengeras suara hingga sahur atau azhan subuh. Puncaknya adalah malam takbiran, hampir semua orang bersuka cita malam itu, tak terkecuali anak-anak kecil seperti kami. Kami bergantian membaca takbir juga dengan pengeras suara.

Gambar: www.streamzon3.web.id
Sekarang, saat tulisan ini ditulis, anak-anak kecil sedang ramai belajar membaca Alquran di rumah tetangga saya. Mereka mengaji dengan suara yang keras dan lantang. Terkadang guru ngajinya sesekali menyentak murid yang belajar mengaji jika bacaannya salah melulu. Sebab usai maghrib kebiasaan di kampung kami adalah mengaji. Anak-anak dilarang untuk bermain sebelum mereka mengaji
Budaya pengajian di langgar, mushalla atau masjid sudah ada sejak dulu kala. Jadi, risih juga ketika wakil presiden Boediono mengatakan tentang pengaturan azan yang mengganggu telinga. Bagi saya budaya reliji di kampung-kampung seperti di kampung saya ini sangatlah baik. Ini merupakan bagian dari pengajaran agama semenjak dini.

Pengajian di langgar atau mushalla di kampung-kampung kebanyakan guru-gurunya adalah sukarela alias tidak digaji. Bagi saya mereka adalah orang-orang besar yang tenaga dan waktunya dicurahkan untuk mencerdaskan umat tanpa pamrih. Mereka berkeyakinan bahwa hadiah yang paling besar adalah langsung dating dari Allah seperti rezeki yang tak terduga yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa.

Langgar adalah bangunan kecil baik yang terbuat dari bilik maupun bangunan permanen yang digunakan untuk shalat dan mengaji. Ukuran lebih besar dari langgar adalah mushalla yang berfungsi sama yaitu mengaji dan shalat berjamaah. Lebih besar lagi disebut dengan masjid. Sebuah bangunan yang berfungsi untuk shalat dan mengaji yang bisa disebut masjid adalah jika bisa digunakan untuk shalat jumat berjamaah. Artinya paling sedikit masjid mampu menampung 40 jemaah, yaitu syarat sah shalat jumat.

Dulu zaman Nabi Muhammad fungsi masjid bukan hanya untuk mengaji dan shalat. Lebih dari itu. Masjid digunakan untuk bermusyawarah, berembuk, mencari solusi masalah, berniaga bahkan sampai mengatur strategi peperengan. Artinya, masjid digunakan sebagai pusat kehidupan, terlebih di kota kesayangan Nabi yaitu di Madinah, Arab Saudi.

Di kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta juga menjadikan masjid lebih dari tempat ibadah wajib. Masjid juga dijadikan sarana untuk melakukan resepsi pernikahan, pameran dan pasar. Masjid Ni’matul Ittihad di Pondong Pinang, Jakarta Selatan, misalnya. Di masjid itu lantai satu biasa digunakan untuk resepsi pernikahan. Di hari jumat di sekitar masjid itu disulap menjadi pasar tumpah. Segala macam dijual di sana.

Masjid Alwasilah yang berada dekat dengan rumah saya dulunya adalah langgar. Setelah langgar itu diperbarui maka menjadilah mushalla. Beberapa tahun kemudian masyarakat di kampung kami bersepakat untuk merenovasi mushalla kami menjadi masjid. Kini masjid itu sudah bagus dan berlantai dua dan setiap pekannya digunakan shalat Jumat. Sebelum menjadi masjid, warga kampung kami harus berangkat shalat jumat ke masjid tetangga kampung kami.

Menurut sejarah, penyebaran Islam di Jakarta dan sekitarnya pun menggunakan langgar. Langgar yang sudah ramai dengan jemaahnya maka masyarakat sekitarnya mengubahnya menjadi mushalla. Jika mushalla sudah membludak maka dijadikan masjid. Begitupun seharusnya iman kita, harus selalu berubah menjadi lebih baik dari waktu ke waktu. Wallahu’alam.

Minggu, 06 Mei 2012

Gemblong


Si ibu pengasuh keponakan saya mencuci beras empat liter dan memasaknya saat walimatus-safar umrah kedua kakak saya. Namun beras yang dimasak itu bukan beras biasa, melainkan beras ketan. Ia salah mengambil beras yang seharusnya dimasak. Nasi sudah menjadi bubur, mungkin peribahasa ini yang cocok untuk menggambarkan kejadian itu.

Semua orang yang membantu masak di dapur tertawa atas kejadian itu. Kok, bisa-bisanya salah. Memang agak susah membandingkan beras ketan dan beras biasa. Tetapi ibu saya langsung mengambil keputusan mendadak. Yaitu membeli kelapa dan memarutnya untuk dijadikan gemblong alias uli.

Untuk membuat gemblong hanya dibutuhkan beras ketan, parutan kelapa dan garam. Setelah kelapa diparut kemudian diaduk dengan nasi ketan yang sudah matang dengan dicampur garam secukupnya. Semasih hangat nasi ketan itu ditumbuk dengan pelapah dahan kelapa atau batang kayu yang sudah disesuaikan dengan kebutuhan.

Nasi ketan yang dianggap sudah bisa disebut gemblong adalah bila ketan itu sudah tidak lagi terlihat sebagai butiran nasi. Jika ketan itu sudah menyatu maka kita membentuk gemblong sesuai ukuran yang diinginkan. Karena ini saat masak bersama, maka ukuran gemblong disesuaikan dengan orang-orang yang membantu masak di dapur. Setiap orang yang ada saat itu mendapat sepotong gemblong ‘dadakan’.

Lebaran tahun lalu saat saya di Turki sempat diwawancara langsung via telepon oleh wartawan Radio Republik Indonesia atau RRI di Jakarta. Sang pewawancara bertanya sama saya apa kira-kira yang membuat saya kangen dengan lebaran di rumah atau di Rangkasbitung. Tanpa pikir panjang dan dengan spontan saya bilang, gembolng dan semur daging.

Bagi saya, lebaran di rumah itu bukan hanya saling memaafkan, namun juga bisa menikmati makan gemblong bersama yang dicocol dengan semur daging. Biasanya, gembong itu disajikan sebelum dan sesudah shalat ied. Hampir setiap lebaran menú gemblong ini selalu hadir menemani keakraban suasana lebaran.

Saat ini bukan lebaran, tetapi saat saya di Rangkasbitung (meski bukan lebaran) ibu saya selalu menghadirkan gemblong dengan sesekali menyempurnakannya dengan membuat semur daging. Dan dilengkapi dengan teh tubruk tanpa gula. Hangat di setiap pagi. Sebab, bahagia itu sederhana, yaitu saat orang lain mengetahui apa yang kita inginkan tanpa kita suarakan. 

Kamis, 03 Mei 2012

Tanpa Judul


Hamparan laut tanpa ujung
Tiupan angin tanpa henti
Sinar mentari hangatkan bumi
Tanpa kenal waktu
Jutaan pasir berserakan
Tak mengenal tempat
Luapan cinta Sang Pencipta
Tak kenal waktu
Tak kenal suku
Misi Tuhan menciptakan manusia
Untuk kedamaian dan keindahan yang abadi
Untuk bangun peradaban
Meregulasi kehidupan untuk
Menjadi lebih baik lagi
Keindahan akan hacur sesaat
Kala kiamat tiba
Namun kasih sayang dan cinta
Tak akan mati
Walau planet tak terbentuk lagi

Tanjung Benoa, 17 Desember 2007, pukul 12.30 WITA

Untukmu Tempat Tinggalku


Hari ini tempat tinggalku
Tak bersahabat lagi
Panas yang menusuk tulang
Sudah makanan sehari-hari

Aku terdampar dalam keganasanmu
Karena manusia tidak sayang sama kamu
Aku berharap kau mau memaafkan
Dan tak murka lagi

Karena aku tak kuat dengan murkamu
Seribu pohon ditanam tak akan berguna
Ketika jutaan pohon dihancurkan
Dibakar, dan dibuat barang antik yang hanya
Menyenangkan kaum berduit

Teman, maukah engkau bersahabat
Kembali denganku
Aku tak tahu harus bagaimana
Pohon telah ditanam
Beribu pohon sudah tumbuh

Namun engkau tetap murka
Wahai tempat tinggalku
Kabari aku agar engkau
Dapat bersahabat kemabli denganku
Seperti waktu itu

Sebab..
Kalau engkau murka
Panas menerkam tulang
Air laut menampar daratan
Air bersih susah didapat

Teman, pahamkan aku
Agar dapat memahamimu
Karena aku tak kuat menahan murkamu

Nusa Dua, Bali, 15 Desember 2007

Bintang Temani Rembulan


Bintang datang temani sang rembulan
Sabit itu tersenyum manis

Ciputat, 29 Agustus 2006

Cinta Merpati


Ada kesucian cinta
Dalam diri merpati
Ia terbang ke ujung dunia
Demi melanjutkan hidupnya
Namun..
Ke muara cintanya
Atas nama kesetiaan

Ciputat, 19 Juni 2007

Cinta Embun


Ada cinta dalam
Hati embun yang tak tampak
Ia berkarya dalam
Naungannya menyelimuti
Bumi di pagi hari, atau
Selepas hujan mengguyur
Planet yang dipunuhi insan

Ia berbuat dengan cinta
Walau tak bermaksud
Mencari cinta, namun
Ia tetap ingin dapat cinta
Karena pada hakikatnya
Semua yang ada di dunia
Tercipta karena cinta

Aku mencintaimu embun
Walau kau tak mencari cinta
Tetapi kita sama-sama
Ingin dapatkan cinta
Sabda sang makhluk

Ciputat, 20 Juni 2007