Minggu, 06 Mei 2012

Gemblong


Si ibu pengasuh keponakan saya mencuci beras empat liter dan memasaknya saat walimatus-safar umrah kedua kakak saya. Namun beras yang dimasak itu bukan beras biasa, melainkan beras ketan. Ia salah mengambil beras yang seharusnya dimasak. Nasi sudah menjadi bubur, mungkin peribahasa ini yang cocok untuk menggambarkan kejadian itu.

Semua orang yang membantu masak di dapur tertawa atas kejadian itu. Kok, bisa-bisanya salah. Memang agak susah membandingkan beras ketan dan beras biasa. Tetapi ibu saya langsung mengambil keputusan mendadak. Yaitu membeli kelapa dan memarutnya untuk dijadikan gemblong alias uli.

Untuk membuat gemblong hanya dibutuhkan beras ketan, parutan kelapa dan garam. Setelah kelapa diparut kemudian diaduk dengan nasi ketan yang sudah matang dengan dicampur garam secukupnya. Semasih hangat nasi ketan itu ditumbuk dengan pelapah dahan kelapa atau batang kayu yang sudah disesuaikan dengan kebutuhan.

Nasi ketan yang dianggap sudah bisa disebut gemblong adalah bila ketan itu sudah tidak lagi terlihat sebagai butiran nasi. Jika ketan itu sudah menyatu maka kita membentuk gemblong sesuai ukuran yang diinginkan. Karena ini saat masak bersama, maka ukuran gemblong disesuaikan dengan orang-orang yang membantu masak di dapur. Setiap orang yang ada saat itu mendapat sepotong gemblong ‘dadakan’.

Lebaran tahun lalu saat saya di Turki sempat diwawancara langsung via telepon oleh wartawan Radio Republik Indonesia atau RRI di Jakarta. Sang pewawancara bertanya sama saya apa kira-kira yang membuat saya kangen dengan lebaran di rumah atau di Rangkasbitung. Tanpa pikir panjang dan dengan spontan saya bilang, gembolng dan semur daging.

Bagi saya, lebaran di rumah itu bukan hanya saling memaafkan, namun juga bisa menikmati makan gemblong bersama yang dicocol dengan semur daging. Biasanya, gembong itu disajikan sebelum dan sesudah shalat ied. Hampir setiap lebaran menĂº gemblong ini selalu hadir menemani keakraban suasana lebaran.

Saat ini bukan lebaran, tetapi saat saya di Rangkasbitung (meski bukan lebaran) ibu saya selalu menghadirkan gemblong dengan sesekali menyempurnakannya dengan membuat semur daging. Dan dilengkapi dengan teh tubruk tanpa gula. Hangat di setiap pagi. Sebab, bahagia itu sederhana, yaitu saat orang lain mengetahui apa yang kita inginkan tanpa kita suarakan. 

0 komentar:

Posting Komentar