Kang Deden

Tidak ada awal, akhir ataupun pertengahan, sebab yang ada hanyalah perjalanan.

Kang Deden

Orang besar ialah orang yang sudah selesai dengan dirinya sendiri.

Kang Deden

Berlarilah mengejar impian. Disana terdapat indahnya kehidupan.

Kang Deden

Berjalanlah, engkau akan mendapatkan banyak pelajaran.

Kang Deden

Tenangkan hatimu, karena itu sumber kebahagiaan.

Jumat, 29 Maret 2013

Yatim, Siapa Peduli?


Tadi pas shalat Jumat, sang khatib menyampaikan khutbah yang cukup menarik bagi saya. Yaitu tentang anak yatim, anak jalanan dan orang-orang yang lemah di sekitar kita. Sebelumnya sang khatib mewasiatkan tentang takwa kepada jemaah di masjid Kocatepe itu.
 
Saya berpikir, sebenarnya tidak ada manusia yang ingin dirinya sejak awal menjadi yatim. Yatim bukanlah pilihan. Ini merupakan takdir. Bahwa dia dilahirkan tanpa orang tua, tanpa ayah dan tanpa ibu. Mereka harus merelakan nasib bahwa hidup di dunia ini penuh dengan perjuangan. Karena tak punya apa-apa dan siapa-siapa.
Hidup memang terbagi menjadi dua, pilihan dan bukan pilihan. Yang bukan pilihan misalnya, kita lahir dari rahim ibu yang kita tidak mengenalnya. Atau kita hadir di dunia ini dan nanti kembali ke alam akhirat juga adalah bukan pilihan karena sudah ditakdirkan. Yang pilihan seperti kita memilih siapa teman kita, dimana kita sekolah, kita makan apa dan sebagainya.
Dan yatim termasuk dalam bukan pilihan. Jika seorang anak lahir dan memiliki ayah ibu, maka yang berkewajiban untuk menghidupi dan memberinya makan adalah kedua orangtuanya. Namun anak yatim, dia lahir dan kemudian ibu dan ayahnya meninggal dunia siapakah yang menangungnya?
 
Kalau keluarga si anak yatim dari keluarga yang mampu, maka kemungkinan besar ia diasuh dan ditanggung oleh keluarga besarnya, kalau bukan seperti apa? Ajaran Islam mengajarkan bahwa anak yatim merupakan tanggungan muslim dan mukmin. Sebab sejatinya setiap muslim adalah saudara. Sesama saudara harus saling menolong.
Dalam surat Al-Maun disebutkan bahwa, yang artinya, “1. Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? 2. Maka itulah orang yang menghardik anak yatim, 3. dan tidak mendorong memberi makan orang miskin. 4. Maka celakalah orang yang sholat, 5. (yaitu) orang-orang yang lalai terhadap sholatnya, 6. yang berbuat ria, 7. dan enggan (memberikan) bantuan.
Jika kita serap maknanya maka kita sebagai muslim berkewajiban membantu anak yatim dan kurang mampu. Karena jika tidak atau enggan memberi bantuan maka kita disebut sebagai pendusta agama, naudzubillah wa nastaghfirullah.
Dan lihat kebalikannya, jika kita mencintai anak yatim dengan memberikan bantuan kepadanya, balasannya adalah surga. Seperti sabda Nabi SAW dalam haditsnya yang berbunyi, dan artinya, “Aku dan orang yang menanggung anak yatim (kedudukannya) di surga seperti ini”, kemudian beliau SAW mengisyaratkan jari telunjuk dan jari tengah beliau, serta agak merenggangkan keduanya.
Hadits ini menunjukkan besarnya keutamaan dan pahala orang yang meyantuni anak yatim, sehingga imam Bukhari mencantumkan hadits ini dalam bab: keutamaan orang yang mengasuh anak yatim. Makna hadits ini adalah orang yang menyantuni anak yatim di dunia akan menempati kedudukan yang tinggi di surga dekat dengan kedudukan Rasulullah SAW.
Arti “menanggung anak yatim” adalah mengurusi dan memperhatikan semua keperluan hidupnya, seperti nafkah (makan dan minum), pakaian, mengasuh dan mendidiknya dengan pendidikan Islam yang benar.
Banyak anak jalanan yang tidak punya orang tua, tidak punya tempat tinggal, tidak punya sekolah dan seterusnya. Kita memang tidak bisa membantu seluruhnya. Tetapi paling tidak kita seyogianya menyisihkan rejeki kita untuk mereka. Membantu semampu kita. Syukur-syukur bisa menyekolahkan dan memberikan kehidupan yang layak.
Firman Allah dan sebuah ayat dalam Alquran menyebutkan, barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. QS. 5:32.
Pertanyaan adalah, sudahkah kita peduli akan amanah Tuhan dan memberikan sebagian rejeki yang Allah berikan kepada kita untuk anak-anak yatim, papa dan lemah itu? 

Selasa, 26 Maret 2013

Bukan Orang Biasa

Saya tidak tahu mengapa harus menulis tentang ini. Tapi mungkin alasannya adalah karena mereka para pejuang. Bukan orang biasa. Bisa dikatakan sebagai orang besar. Dan saya pun menulisnya. Sebab, mereka tak mengejar kekayaan harta. Mereka mengejar kekayaan batin. Hidup mereka untuk mencerdaskan bangsa. Melalui caranya masing-masing.

Muhammad Rovicky dan Naim Ali. Keduanya sahabat saya. Kami pernah aktif bersama-sama di Teater Islam Darussalam (Terisda) Gontor. Kelompok kami dulu memang disebut ‘gila’ karena kami di luar kebiasaan para santri pada umumnya. Kami selalu berlatih drama, mencoba merasakan bagaimana menjadi ‘orang lain’. Tetapi tentu saja ‘kegilaan’ kami masih berada dalam rambu-rambu peraturan pesantren yang ketat.

Latihan fisik di Terisda hampir sama dengan latihan fisik di Persatuan Beladiri Darussalam, yaitu kelompok tapak suci atau silat. Bahkan juga latihan fisiknya bisa sama dengan klub olahraga basket dan sepakbola di Gontor. Tetapi di Terisda kami juga dilatih menulis seperti FP2WS, Itqan atau Darussalam Pos, yaitu klub-klub yang fokus terhadap pengetahuan dan kepenulisan. Dan di Terisda juga memiliki nilai seni seperti halnya Aklam yang fokus terhadap khat, dan Limit yang fokus terhadap gambar dan lukisan kartun.

Lebih dari itu, di Terisda kami juga melatih jiwa kami untuk lebih sensitif terhadap kesedihan, kesengsaraan, kekurangan dan hambatan-hambatan yang diderita orang lain. Kami dilatih untuk mengritisi diri kami sendiri. Kami dilatih untuk selalu berempati kepada siapa pun. Sebab motto kami di Terisda yang kini berubah nama menjadi Armada adalah olah raga, olah rasa dan olah jiwa.
Para santri di Pondok Modern Al-Makkiyah
Usai lulus dari Gontor kami sudah jarang bertemu secara fisik. Kecuali di laman media sosial. Akhir Maret  2012 lalu saya bertemu dengan Rovicky di acara Silaturahim Nasional (Silatnas) Alumni Gontor di Cirebon. Ia masih seperti dulu. Kurus. Bedanya sekarang dia lebih dewasa. Lebih matang. Terlihat dari bagaimana ia berbincang bersama saya tentang pesantrennya bernama Pondok Modern Almakkiyah. Sebuah pesantren baru yang ia dirikan di kampung halamannya di Jambi.

Rovicky bercerita bagaimana perjuangannya mendirikan sebuah pesantren dengan modal keyakinan dan ridha Allah semata. Banyak cibiran yang dialamatkan padanya. Namun ia tetap maju dengan keyakinannya. Ia datang ke Silatnas di Cirebon bersama seorang paruh baya berumur sekitar 50an tahun. Rupanya orang yang mendampinginya itu adalah asistennya yang suka rela membantu Rovicky dalam membangun pondok.

Sebenarnya wajar ‘kegilaan’ menempel di kelompok kami. Karena orang-orang Terisda akhirnya banyak yang menjadi Pembina gugus depan alias Bindep dalam kepramukaan di Gontor. Para bindep ini selain ‘urakan’ ia juga mesti bisa membawa massa dan menjadikan anggota-anggotanya kreatif. Dan bindep itu mesti bukan orang biasa alias ‘gila’. Rovicky adalah salah satu bindep di angkatan saya. Ia terkenal aktif di belantara kepramukaan pondok. Meski urakan ia tetap ‘lurus’.
Taman Baca Mahanani
Sementara Naim Ali adalah orang yang selalu cuek. Namun dalam cueknya ia selalu membuat tulisan untuk majalah dinding kami bernama hipsadus, Himpunan Peminat Sastra Darussalam, dimana saya pernah menjadi ketuanya. Hipsadus berada dalam atap Terisda. Setiap kamis malam kami berdiskusi tentang seni dan karya sastra dan memajangkan hasil karya sastra kami di majalah dinding itu.

Beberapa tahun usai lulus Gontor Naim mendirikan perpustakaan dan taman baca di kampungnya. Taman baca yang beralamat di Jl. Supiturang Utara 13 Kediri Jawa Timur itu ia beri nama Mahanani. Ia menjadikan kandang sapi di belakang rumahnya menjadi taman bacaan. Pada awalnya memang anak-anak kampung sekitarnya tidak berminat untuk datang dan membaca buku meski itu gratis. Tekadnya kuat, ia bermimpi anak-anak itu bisa membuka cakrawala dunia melalui membaca.
Naim dan anak-anak di Taman Baca Mahanani
Naim membeli becak dan membawa buku bacaan di becak itu. Ia teriakan kepada anak-anak yang bermain tentang membaca dan meminjam buku gratis darinya. Anak-anak itu menghampiri becak Naim. Dan mereka membaca buku-buku yang dibawanya. Lama-kelamaan aksi becak Naim ini menjadi perhatian dan ditunggu-tunggu oleh masyarakatnya. Bahkan aksi Naim beberapa kali menjadi berita di koran lokal karena ulah nyentriknya itu.

Saya teringat dengan pesan guru kami KH Imam Zarkasyi, bahwa orang besar itu bukan yang bekerja menjadi menteri di Jakarta atau menjadi pemimpin politik di Indonesia. Orang besar baginya adalah yang mau mengajar masyarakatnya meski di surau kecil yang tidak digaji. Yang mengajar tanpa pamrih. Kita bangsa Indonesia ini butuh banyak orang-orang besar yang mewakafkan diri untuk orang banyak seperti Naim dan Rovicky ini. Sebab peradaban besar dimulai dengan pendidikan dan ilmu pengetahuan. 

Minggu, 24 Maret 2013

Bukan Pertanyaan



Maukah kau tanya
Pada orang yang tak
Punya kesibukan apa-apa
Apa bedanya siang malam
Pasti dijawabnya sama saja

Maukah kau tanya
Pada orang yang
tak punya cinta
Apa arti beri dan terima
Dijawabnya tak memiliki makna

Maukah kau tanya
Pada orang yang
Punya banyak hambatan
Apa rasanya buah durian
Dijawabnya tak ingin memakannya

Maukah kau tanya
Pada orang yang
Selalu dirundung sedih
Apa rasanya minum jus mangga
Jawabnya biasa saja

Maukah kau tanya
Pada orang yang
Tak pernah merasa rindu
Apa artinya jarak dan waktu
Dijawabnya itu angin lalu

Dan coba kau tanya
Pada orang yang
Tak memiliki harapan
Apa arti masa depan
Dijawabnya itu bukan pertanyaan

Ankara, 21 Maret 2013

Minggu, 17 Maret 2013

Cerita Suatu Sore


Lagu Sevgili milik Mustafa Ceceli berdendang dari ponsel saya saat menulis ini cerita. Sore tadi usai shalat Ashar saya melihat anak-anak kecil berlarian di dalam masjid terbesar di Ankara. 

Muhammet (5tahun) dan Ikra (1tahun) adalah dua orang kakak dan adik yang bermain diantara banyak anak-anak di pertengahan masjid. Kakek mereka, Omer, memberikan isyarat kepada mereka berdua untuk tidak berbuat gaduh.

Sabtu sore ini memang pengunjung Masjid Kocatepe terlihat lebih ramai dari biasanya. Saya memperhatikan mereka dari jauh. Kemudian saya berjalan ke arah mereka. Dan saya menyapa mereka. Sebelumnya saya bertanya siapa nama anak kecil ini, ibu dari anak itu menjawab Ikra, satunya lagi kakaknya adalah Muhammet.

Omer, kakek sekaligus ketua rombongan keluarga besar itu mendekati saya. Kemudian kami berbincang-bincang. Omer mengaku sudah berkeliling Turki sekitar 15 hari bersama keluarga besarnya, ke Istanbul, Izmit dan kemudian Ankara. Omer berasal dari Erzurum, wilayah timur Turki. Sekitar 12 jam perjalanan melalui darat antara Ankara dan Erzurum.

Omer yang memiliki dua putera, lima puteri dan beberapa cucu itu memang menyukai jalan-jalan, terlebih mengunjungi situs sejarah Islam di Turki. Misalnya saat berkunjung ke Ankara keluarga Omer mengunjungi masjid-masjid yang megah dan bersejarah. Dalam agenda jalan-jalannya ia selalu membawa anak dan cucu-cucunya. Ia berpikir kalau anak dan cucunya harus mengenal sejarah nenek moyangnya.

Di tengah pembicaraan saya dan Omer, salah satu keponakan Omer yang puteri yang sudah menikah dengan orang Ankara menanyakan kepada saya, apakah saya masih sendiri? Saya jawab sembari tersenyum, ya. Dalam hati saya berkata penting gitu pertanyaan gini. Hahaha. Namun kemudian ia mengatakan, siapa tahu kamu tertarik dengan wanita Turki. Ia menambahkan, bahwa kita tidak tahu akan nasib kita, akan jodoh kita bukan? Hmm, saya mengamini yang terakhir dengan mengangguknya.

Lalu Omer kembali bertanya pada saya, apakah dari masjid Kocatepe ini menuju masjid Haji Bayram itu jauh? Saya menjawab, tidak begitu jauh, tetapi tidak juga memungkinkan untuk jalan kaki karena banyak anak kecil yang ikut dalam rombongan Omer. Sebaiknya, ujar saya, rombongan Omer menggunakan mobil saja. Masjid Haji Bayram adalah salah satu masjid tertua di Ankara, berdiri sejak tahun 1.500-an masehi.

Di akhir pembicaraan itu Omer mengajak saya untuk berphoto bersama-sama keluarganya sebelum kami berpisah. Dan, Eyub, anak Omer mencatat nomor hape saya. Eyub mengatakan, siapa tahu anda bepergian ke Erzurum, dan keluarganya siap menampung saya. "Cok Tesekkur Ederim," kata saya.

Usai Omer dan keluarganya keluar dari masjid Kocatepe, anak-anak kecil lainnya masih asik bermain di masjid yang berdiri pada abad ke-20 namun bercorak arsitek kesultanan Turki Usmani itu. Anak-anak kecil itu meski bermain saat ini, suatu saat mereka akan mengingatnya di saat dewasa bahwa masjid itu bagian dari diri mereka. Meski terkadang membuat gaduh, namun permainan anak kecil di dalam masjid itu menjadi semacam hiburan.

Masjid dengan kubah besar dan menara empat tiang yang menjulang ke angkasa ini setiap hari selalu dikunjungi oleh banyak wisatawan yang ingin melaksanakan shalat berjamaah atau hanya sekadar berphoto dan melihat-lihat saja. Dan saya selalu terperangah dengan kecantikan masjid ini. 

Jumat, 15 Maret 2013

Bekal ke Kampung Akhirat


(Disampaikan pada Pengajian Ibu-ibu Al-Hikmah Ankara, Selasa, 12 Maret 2013)

Alhamdulillah segala puji bagi Allah SWT yang dengan rahmat dan nikmat yang diberikanNya berupa nikmat iman dan Islam kita dapat berkumpul di pengajian ini. Shalawat serta salam kita hadiahkan kepada Nabi Muhammad SAW, sebab Allah dan para malaikat pun menghadiahkan shalawat dan salam kepada manusia yang sempurna di muka bumi ini.

Kajian kali ini seperti yang diminta oleh Puan Rumah Ibu Eka, kita mengaji tentang bekal apa yang akan kita bawa ke alam akhirat nanti. Baiklah mari kita mulai. Cerita ini saya kutip dari laman muslim.or.id. bahwa suatu ketika Khalifah kaum muslimin yang ketiga Utsman bin Affan RA jika melihat kuburan beliau menangis mengucurkan air mata hingga membasahi jenggotnya.

Suatu hari ada seorang yang bertanya: “Tatkala mengingat surga dan neraka engkau tidak menangis, mengapa engkau menangis ketika melihat perkuburan?” Utsman pun menjawab, “Sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Sesungguhnya liang kubur adalah awal perjalanan akhirat. Jika seseorang selamat dari (siksaan)nya maka perjalanan selanjutnya akan lebih mudah. Namun jika ia tidak selamat dari (siksaan)nya maka (siksaan) selanjutnya akan lebih kejam.” (HR. Tirmidzi, beliau berkata, “hasan gharib”. Syaikh al-Albani menghasankannya dalam Misykah al-Mashabih)

Bagaimanakah perjalanan seseorang jika ia telah masuk di alam kubur? Hadits panjang al-Bara’ bin ‘Azib yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan dishahihkan oleh Imam al-Hakim dan Syaikh al-Albani menceritakan perjalanan para manusia di alam kuburnya:

Suatu hari kami mengantarkan jenazah salah seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari golongan Anshar. Sesampainya di perkuburan, liang lahad masih digali. Maka Rasulullah SAW pun duduk (menanti) dan kami juga duduk terdiam di sekitarnya seakan-akan di atas kepala kami ada burung gagak yang hinggap.

Rasulullah SAW memainkan sepotong dahan di tangannya ke tanah, lalu beliau mengangkat kepalanya seraya bersabda, “Mohonlah perlindungan kepada Allah dari adzab kubur!” Beliau ulangi perintah ini dua atau tiga kali.

Kemudian beliau SAW bersabda: “Seandainya seorang yang beriman sudah tidak lagi menginginkan dunia dan telah mengharapkan akhirat (sakaratul maut), turunlah dari langit para malaikat yang bermuka cerah secerah sinar matahari. Mereka membawa kain kafan dan wewangian dari surga lalu duduk di sekeliling mukmin tersebut sejauh mata memandang.

Setelah itu turunlah malaikat pencabut nyawa dan mengambil posisi di arah kepala mukmin tersebut. Malaikat pencabut nyawa itu berkata, ‘Wahai nyawa yang mulia keluarlah engkau untuk menjemput ampunan Allah dan keridhaan-Nya’. Maka nyawa itu (dengan mudahnya) keluar dari tubuh mukmin tersebut seperti lancarnya air yang mengalir dari mulut sebuah kendil. 

Lalu nyawa tersebut diambil oleh malaikat pencabut nyawa dan dalam sekejap mata diserahkan kepada para malaikat yang berwajah cerah tadi lalu dibungkus dengan kafan surga dan diberi wewangian darinya pula. Hingga terciumlah bau harum seharum wewangian yang paling harum di muka bumi.

Kemudian nyawa yang telah dikafani itu diangkat ke langit. Setiap melewati sekelompok malaikat di langit mereka bertanya, ‘Nyawa siapakah yang amat mulia itu?’ ‘Ini adalah nyawa fulan bin fulan’, jawab para malaikat yang mengawalnya dengan menyebutkan namanya yang terbaik ketika di dunia.

Sesampainya di langit dunia mereka meminta izin untuk memasukinya, lalu diizinkan. Maka seluruh malaikat yang ada di langit itu ikut mengantarkannya menuju langit berikutnya. Hingga mereka sampai di langit ketujuh.
Di sanalah Allah berfirman, ‘Tulislah nama hambaku ini di dalam kitab ‘Iliyyin. Lalu kembalikanlah ia ke (jasadnya di) bumi, karena darinyalah Aku ciptakan mereka (para manusia), dan kepadanyalah Aku akan kembalikan, serta darinyalah mereka akan Ku bangkitkan.’

Lalu nyawa tersebut dikembalikan ke jasadnya di dunia. Lantas datanglah dua orang malaikat yang memerintahkannya untuk duduk. Mereka berdua bertanya, ‘Siapakah rabbmu?’, ‘Rabbku adalah Allah’ jawabnya. Mereka berdua kembali bertanya, ‘Apakah agamamu?’, ‘Agamaku Islam’ sahutnya. Mereka berdua bertanya lagi, ‘Siapakah orang yang telah diutus untuk kalian?’ “Beliau adalah Rasulullah SAW” jawabnya.

‘Dari mana engkau tahu?’ tanya mereka berdua. ‘Aku membaca Al-Qur’an lalu aku mengimaninya dan mempercayainya’. Tiba-tiba terdengarlah suara dari langit yang menyeru, ‘(Jawaban) hamba-Ku benar! Maka hamparkanlah surga baginya, berilah dia pakaian darinya lalu bukakanlah pintu ke arahnya’. Maka menghembuslah angin segar dan harumnya surga (memasuki kuburannya) lalu kuburannya diluaskan sepanjang mata memandang.

Saat itu datanglah seorang (pemuda asing) yang amat tampan memakai pakaian yang sangat indah dan berbau harum sekali, seraya berkata, ‘Bergembiralah, inilah hari yang telah dijanjikan dulu bagimu’. Mukmin tadi bertanya, ‘Siapakah engkau? Wajahmu menandakan kebaikan’. ‘Aku adalah amal salehmu’ jawabnya. Si mukmin tadi pun berkata, ‘Wahai Rabbku (segerakanlah datangnya) hari kiamat, karena aku ingin bertemu dengan keluarga dan hartaku.

Adapun orang kafir, di saat dia dalam keadaan tidak mengharapkan akhirat dan masih menginginkan (keindahan) duniawi, turunlah dari langit malaikat yang bermuka hitam sambil membawa kain mori kasar. Lalu mereka duduk di sekelilingnya. Saat itu turunlah malaikat pencabut nyawa dan duduk di arah kepalanya seraya berkata, ‘Wahai nyawa yang hina keluarlah dan jemputlah kemurkaan dan kemarahan Allah!’.

Maka nyawa orang kafir tadi ‘berlarian’ di sekujur tubuhnya. Maka malaikat pencabut nyawa tadi mencabut nyawa tersebut (dengan paksa), sebagaimana seseorang yang menarik besi beruji yang menempel di kapas basah.

Begitu nyawa tersebut sudah berada di tangan malaikat pencabut nyawa, sekejap mata diambil oleh para malaikat bermuka hitam yang ada di sekelilingnya, lalu nyawa tadi segera dibungkus dengan kain mori kasar. Tiba-tiba terciumlah bau busuk sebusuk bangkai yang paling busuk di muka bumi.

Lalu nyawa tadi dibawa ke langit. Setiap mereka melewati segerombolan malaikat mereka selalu ditanya, ‘Nyawa siapakah yang amat hina ini?’, ‘Ini adalah nyawa fulan bin fulan’ jawab mereka dengan namanya yang terburuk ketika di dunia. Sesampainya di langit dunia, mereka minta izin untuk memasukinya, namun tidak diizinkan. Rasulullah membaca firman Allah:

Kemudian nyawa tadi dikembalikan ke jasadnya, hingga datanglah dua orang malaikat yang mendudukannya seraya bertanya, ‘Siapakah rabbmu?’, ‘Hah hah… aku tidak tahu’ jawabnya. Mereka berdua kembali bertanya, ‘Apakah agamamu?’ “Hah hah… aku tidak tahu’ sahutnya. Mereka berdua bertanya lagi,

‘Siapakah orang yang telah diutus untuk kalian?’ “Hah hah… aku tidak tahu’ jawabnya. Saat itu terdengar seruan dari langit, ‘Hamba-Ku telah berdusta! Hamparkan neraka baginya dan bukakan pintu ke arahnya’. Maka hawa panas dan bau busuk neraka pun bertiup ke dalam kuburannya. Lalu kuburannya di ‘press’ (oleh Allah) hingga tulang belulangnya (pecah dan) menancap satu sama lainnya.

Tiba-tiba datanglah seorang yang bermuka amat buruk memakai pakaian kotor dan berbau sangat busuk, seraya berkata, ‘Aku datang membawa kabar buruk untukmu, hari ini adalah hari yang telah dijanjikan bagimu’.

Orang kafir itu seraya bertanya, ‘Siapakah engkau? Wajahmu menandakan kesialan!’, ‘Aku adalah dosa-dosamu’ jawabnya. ‘Wahai Rabbku, janganlah engkau datangkan hari kiamat’ seru orang kafir tadi. (HR. Ahmad dalam Al-Musnad (XXX/499-503) dan dishahihkan oleh al-Hakim dalam Al-Mustadrak (I/39) dan al-Albani dalam Ahkamul Janaiz hal. 156)

Maka apa syarat agar kita mendapatkan tempat yang terbaik di akhirat yang dinamakan surga? Jawabannya adalah takwa. Apa itu syarat menjadi manusia takwa? Syarat takwa adalah pertama,  percaya kepada yang ghaib. Kedua, mendirikan shalat. Ketiga, memberikan apa yang dianugerahkan Allah kepadanya alias berderma atau bersedekah.  Keempat, percaya kepada apa yang diturunkan kepada engkau (Muhammad SAW) dan apa yang diturunkan sebelum engkau. Dan kelima percaya kepada akhirat.

Sekarang apa itu akhirat? Akhirat adalah berasal dari bahasa Arab yang secara harfiah berarti hari akhir. Secara maknawi akhirat dapat berarti bahwa hari kebangkitan setelah kematian. Akhirat banyak disebut dalam Alqur’an sebanyak 115 kali yang mengisahkan tentang hari kakhir atau hari kebangkitan. Akhirat juga termasuk dalam rukun iman yaitu percaya kepada hari akhir.

Menurut hadits, ada empat perkara apabila diberikan kepada seseorang sesungguhnya ia telah memperoleh kebaikan dunia dan akhirat, yaitu : Pertama, Hati yang senantiasa bersyukur. Kedua, Lisan yang senantiasa berdzikir. Ketiga, Tubuh yang senantiasa sabar dalam menanggung musibah. Keempat, Istri yang tidak pernah berkhianat baik terhadap dirinya atau terhadap harta benda suaminya. Hadits riwayat Tarmidzi & Ibnu Hibban.

Mari kita bahas satu-persatu, yang pertama adalah Hati yang senantiasa bersyukur. Dalam surat Ar-Rahman (55) disebutkan satu ayat yang diulang berkali-kali hingga 31 kali. Ayat tersebut adalah “Fabi-Ayyi Ala-I Rabbikuma Tukazziban” yang artinya adalah “Maka Nikmat Tuhanmu yang Manakah yang Kamu Dustakan?”

Mengapa Allah berulang kali mengulang ayat tersebut? Jawaban pastinya hanya Allah yang Mahatahu. Tapi menurut tafsiran saya bahwa kita sebagai manusia memang sering lupa akan nikmat yang diberikan Tuhan kepada kita. Kita kadang teringat dengan nikmat itu di kala kita sempit. Di kala kita sakit. Di kala kita sedih dan lain sebagainya yang serupa.

Bahkan dalam sebuah ayat dikatakan, jikalau saja pohon-pohon dijadikan pena dan air lautan dijadikan tintanya, maka nikmat Tuhan tidak pernah bisa dilukiskan dengan tuntas. Meski demikian, meski dengan banyaknya nikmat Tuhan itu kita selalu saja mengeluh dengan apa yang menimpa kita. Dengan apa hal-hal yang tidak sesuai dengan harapan kita. Maka dengan begitu kita harus selalu bersyukur dengan apa yang saat ini kita lakukan dalam hidup ini yang sesuai dengan syariat Islam.

Yang kedua adalah Lisan yang senantiasa berdzikir. Ini adalah kenikmatan yang luar biasa. Sebab jika kita sudah membiasakan zikir kepada Allah di setiap waktu, maka apapun keadaan kita, maka kita tidak akan sedih. Sebab hanya dengan berzikirlah maka hati kita akan tenang.

Ada sebuah ungkapan. Hakikat rumah itu ada di dalam hati kita. Dalam jiwa kita. Meski kita berada di tanah asing, jika kita sudah memiliki rumah itu maka kita akan tenang. Bagaimana membangun rumah itu? Menurut saya membangun rumah yang sebenarnya yaitu dengan perbanyak zikir kepada Allah SWT.

Bukankah Allah sering menyebutkan dalam firmanNya agar kita sebagai Muslim banyak berzikir di setiap waktu, di pagi hari, di malam hari dan di siang hari. Berzikir senantiasa di saat kita bangun, di saat kita berdiri, di saat kita duduk, disaat kita berbaring, di saat bekerja dan sebagainya. Jika bangunan rumah kita kokoh dengan zikir maka semuanya akan terasa nikmat. Insya Allah.

Seperti apa yang sering disebutkan oleh Ustadz Yusuf Mansur bahwa kita harus selalu zikir dan mengingat Allah. Sesibuk apapun itu kita harus prioritaskan tiga hal. Pertama Allah dulu. Kedua, Allah lagi. Dan ketiga, Allah terus. Artinya bahwa kita manusia ini milik Allah dan akan kembali kepadaNya.

Yang ketiga adalah tubuh yang senantiasa sabar dalam menanggung musibah. Sabar pada hakikatnya bisa dibagi menjadi tiga bagian. Pertama sabar dalam menjalankan semua perintah Allah, kedua sabar terhadap larangan-larangan Allah dan ketiga adalah sabar dalam menimpa musibah.

Yang harus kita lakukan jika mendapat musibah adalah kita harus mengatakan inna lillahi wa inna ilaihi rajiun. Sesunggunya kita milik Allah dan sesungguhnya kita akan kembali kepadaNya. Jadi, tidak ada musibah dan kejadian di muka bumi ini tanpa sepengetahuan Allah, Tuhan alam semesta ini.

Sabar memang bukan teori tapi itu adalah praktek. Orang mungkin dengan mudah mengatakan sabar tapi susah untuk melakukannya. Bukan orang yang sabar yang suka mengatakan kalau dirinya sudah sabar. Seperti kata-kata berikut ini,  saya ini sudah sabar tapi.. dan seterusnya ini yang menjadikan dia tidak sabar. Sabar itu tidak mengenal waktu.

Meski begitu, Allah memberikan janjiNya. Dan janji Allah selalu tepat. Bahwa berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang bersabar yang jika ditimpa musibah mengatakan bahwa  mengatakan inna lillahi wa inna ilaihi rajiun. Sesungguhnya kita milik Allah dan sesungguhnya kita akan kembali kepadaNya. Jadi setelah musibah pasti ada kenikmatan.

Bahkan bisa jadi musibah itu adalah kenikmatan itu sendiri. Kok bisa? Iya, karena saat musibah itulah kita dapat mendekatkan diri kepada Allah. Kita langsung mengadu kepada Allah. Kita bisa menangis di atas sajadah dalam dua pertiga malam. Bukankah Allah sangat senang dengan isakan tangis hambaNya yang merengek meminta kasih sayangNya? Jadi kita harus menjadikan musibah ini menjadi kenikmatan.

Dan keempat adalah Istri yang tidak pernah berkhianat baik terhadap dirinya atau terhadap harta benda suaminya. Kenapa harus istri? Sebab istri adalah madrasah atau sekolah pertama bagi anak-anaknya. Jika sekolahnya benar dan lurus, maka semuanya akan benar dan lurus, insya Allah.

Logiknya begini. Anak yang baik terlahir dari keluarga yang baik. Keluarga yang baik terjadi jika ibu dari keluarga itu baik. Maka, ibu-ibu yang baik itu adalah istri yang shalihah. Istri-istri yang shalehah ini yang akan menjadikan sebuah masyarakat baik. Dan masyarakat yang baik itu terdiri atas keluarga-keluarga yang baik. Dan Negara yang baik adalah terdiri atas masyarakat-masyarakat yang baik. Dan itu bisa terjadi jika semua ibu-ibu itu adalah istri-istri yang shalihah. 

Dan dunia ini adalah perhiasan. Sebaik-baiknnya perhiasan adalah wanita shalihah. Dan istri shalihah adalah perhiasan yang paling indah di dunia maupun akhirat. Istri shalehah inilah yang tidak pernah berkhianat baik terhadap dirinya atau terhadap harta benda suaminya. Jadi seorang lelaki akan menjadi bahagia di dunia dan akhirat jika mendapatkan istri yang shalihah. Wallahu a’lam bisshawab.

Demikian pemaparan kajian pada Pengajian Al-Hikmah kali ini. Mohon maaf jika banyak kesalahan dan itu datangnya dari saya pribadi. Dan jika ada kebenaran, itu mutlak datangnya dari Allah SWT.