Jumat, 06 Juli 2012

"Den. Eh, bukan kamu."



Pertengahan tahun 2010 lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berkunjung ke Turki dalam rangka kerja sama antar kedua negara. Kunjungan ini menghasilkan beberapa kerjasama, di antaranya, visa on arrival (VoA) bagi warga Indonesia yang akan bertandang ke Turki. Pun bagi warga Turki yang hendak menyambangi Indonesia. 

Benteng Ulus di Ankara

Sebelum adanya kebijakan VoA ini, kita susah untuk mendapatkan visa ke negeri bekas Kesultanan Turki Usmani ini. Sebelum saya berangkat ke Turki pada Oktober 2009, dan saat itu saya lagi mencari harga tiket yang murah di sebuah travel, saya ditanya sama penjaganya, “Mas, emang visa Mas-nya udah keluar? Kan, susah, lho, dapetin visa Turki itu,” ujar petugas di sebuah agen travel. “Saya udah dapat visa pelajar, gratis pula,” jawab saya singkat.

Ohya, kembali ke cerita awal. Rombongan Presiden RI waktu itu sangat banyak, hampir mencapai 150 orang dengan pesawat Garuda Indonesia. Pesawat ini mengangkut para pejabat Indonesia dari Kanada usai acara G-20 di sana. Sebelum kembali ke tanah air, mereka datang ke Turki. 


Karena, rombongan yang sangat banyak, sementara staf KBRI Ankara hanya belasan orang, maka kami, para mahasiswa Indonesia dilibatkan untuk diperbantukan untuk menyukseskan acara kenjungan tersebut. Saya termasuk di dalamnya.

Cerita di sini soal saya yang bertugas mengantar para tamu yang membutuhkan informasi dan tenaga bantuan. Jadi, kerjaan saya hanya mendampingi, sesekali menerangkan tentang kehidupan di Turki umumnya dan di Ankara khususnya. 


Selain Presiden RI, di dalam rombongan ini ada sekitar 16 menteri kabinet Indonesai Bersatu II, sejumlah staf khusus presiden, serta para pimpinan redaksi media massa di Indonesia.

Di suatu sore, usai acara kenegaraan, saya bertugas menemani rombongan staf khusus presiden. Usai menengok makam Mustafa Kemal Ataturk, pendiri Republik Turki, kami melanjutkan wisata ke daerah Ulus, sebuah dataran tinggi di tengah kota Ankara. 


Di Ulus terdapat tempat bersejarah, yaitu tembok pertahanan alias benteng kerajaan yang berusia lebih dari seribu tahun yang lalu. Sampai saat ini benteng Ulus masih kokoh. Dari puncak benteng kita dapat melihat panorama kota Ankara yang penuh dengan bebukitan.

Dimana ada tempat bersejarah, di sana di jual beberapa asesoris kenang-kenangan yang diperjual-belikan. Begitu juga di Ulus ini, banyak pertokoan yang menjajakan asesoris ini, seperti karpet, kaos, gantungan kunci, dll. 


Kami turun dari bus rombongan kami. Dalam rombongan itu di antaranya ada Denny Indrayana (yang waktu itu masih menjadi staf khusus bidang hukum), Julian Adrian Pasha, dan yang lainnya. Namun, Dino Patti Djalal tidak ikut rombongan kami, karena ikut rombongan para menteri, meski saat itu ia masih menjadi staf khusus bidang luar negeri.

Saat masuk gerbang Ulus, salah satu dari rombongan kami memanggil. “Den,” ujar salah satu staf khusus yang berjalan di belakang saya. Dengan tegas saya menjawab, “siap.” Dan si pemanggil saya itu tersenyum lantas menjawab, “eh, bukan kamu, tapi Denny.” Saya tersenyum dan akhirnya kami semua tertawa, sebab Denny Indrayana yang berada di depan kami pun ikut tertawa akibat salah panggil itu.


0 komentar:

Posting Komentar