Kang Deden

Tidak ada awal, akhir ataupun pertengahan, sebab yang ada hanyalah perjalanan.

Kang Deden

Orang besar ialah orang yang sudah selesai dengan dirinya sendiri.

Kang Deden

Berlarilah mengejar impian. Disana terdapat indahnya kehidupan.

Kang Deden

Berjalanlah, engkau akan mendapatkan banyak pelajaran.

Kang Deden

Tenangkan hatimu, karena itu sumber kebahagiaan.

Rabu, 28 Desember 2011

Taare Zameen Par


Ini judul film India. Artinya: seperti bintang di bumi. Film bertema pendidikan ini berhasil mengobrak-abrik emosi hingga saya terharu. Saya selalu suka dengan film bertema pendidikan. Entah kenapa. Mungkin saja karena saya dibesarkan dalam lingkungan pendidikan. Ibu dan ayah saya adalah guru sekolah dasar. Mereka itulah yang memberikan pondasi yang sangat dasar dalam pendidikan pada diri saya.

Baiklah. Film ini saya dapatkan dari teman saya. Saya menonton di sela-sela tumpukan buku yang tak terbaca (baca: lagi malas belajar. #gakusahditiru). Hitung-hitung penyegaran atau hiburan. Film ini sebenarnya bukan film baru dan diproduksi pada tahun 2007. Film ini berbahasa India dan Inggris yang dicampur. Untungnya saja ada subtitle berbahasa Indonesia.


Film ini terfokus pada anak berusia delapan atau sembilan tahun yang sekolah di kelas 3 SD. Anak ini bernama Awasti Ishaan. Di awal film ini ditunjukkan bahwa Ishaan adalah anak kecil yang ceria dan berbeda dengan anak lainnya. Misalnya, saat ia pulang ke rumah, di depan rumah sudah ditunggu oleh dua anjing yang menyayanginya. Ia bermain-main dengan kedua anjing itu.

Ishaan lahir dalam keluarga yang penuh disiplin dengan sang ayah yang perfeksionis. Sang ayah setiap pagi berangkat ke kantor dan pulang di waktu sore atau petang. Laiknya orang tua yang sibuk. Semantara ibunya tinggal di rumah tanpa pembantu. Abang Ishaan adalah murid yang berprestasi di sekolahnya. Ayahnya ingin Ishaan bisa meniru abangnya.

Sudah dua tahun Ishaan mengulang di kelas 3. Namun, tak ada perubahan. Ia tidak bisa membaca dan menulis. Semua nilai di mata pelajarannya adalah nol. Sekolahnya sudah tidak bisa membantu lagi. Kepala sekolah dan guru-gurunya memanggil ayah dan ibu Ishaan. Saking setresnya sang ayah menampar Ishaan dan memindahkan Ishaan ke sekolah yang berasrama. Artinya ia harus pisah dengan keluarganya.

Drama dimulai dari sini. Ia menggambar tentang sebuah perpisahan dengan keluarganya dalam satu buku gambar kecil. Sebelum pindah ke sekolah yang berasrama ia bermimpi buruk dengan bermimpi berpisah dengan ibunya dalam sebuah perjalanan. Ia menangis dan tak mau sekolah berasrama. Ayahnya ngotot agar si anak sekolah berasrama.

Saat anak ini berada di sekolah berasrama dan akan berpisah dengan keluarganya, Ishaan menangis. Adegan ini membawa ingatan saya terbang ke beberapa tahun di tahun 1996. Saat itu saya baru saja lulus SD dan harus berpisah dengan keluarga saat saya harus belajar di sekolah berasrama alias pesantren di Ponorogo, Jawa Timur, ratusan kilometer dari rumah saya di Rangkasbitung, Banten. Saat itu hampir semua anak yang seumuran saya menangis karena sedih saat ditinggal kedua orangtuanya.

Di dalam mobil sang ibu tak mau melihat saat berpisah dengan Ishaan. Ibunya menangis. Sementara ayahnya biasa saja. Bukannya bertambah baik, Ishaan malah bertambah takut dengan guru-guru barunya di sekolah berasrama itu. Saking takutnya ia sering melamun dan menangis. Di dalam sekolah ia sering memandang keluar melihat burung atau yang lainnya. Ia tak bisa berkonsentrasi di kelas saat pelajaran. Semua gur mengeluh terhadap Ishaan.

Sampai akhirnya datanglah seorang guru seni yang mengajar di kelas Ishaan. Guru muda ini punya cara tersendiri dalam mengajar murid-muridnya. Ia tak seperti guru lainnya yang mengajar dengan cara kolot atau membosankan. Guru seni ini bernama Nikumbh (yang tertulis di subtitle). Ia terkaget melihat anak muridnya yang tak bergembira seperti murid-murid lainnya. Di dalam matanya terdapat ketakutan yang akut. Kata Nikumbh mengomentari mata Ishaan.

Nikumbh penasaran dan akhirnya mendapatkan dan membaca-baca buku catatan Ishaan. Semua bukunya dipenuhi dengan tinta merah. Artinya semuanya pelajaran tak ada yang bagus bagi Ishaan. Nikumbh datang ke rumah Ishaan dan menemui kedua orangtuanya. Ia bertanya kepada kedua orangtua Ishaan, mengapa ia sekolahkan anaknya di sekolah berasrama. Ayahnya menjawab dan bersikeras kalau Ishaan adalah anak idiot, bodoh. Nikumbh menerangkan kalau Ishaan itu mengidap Disleksia.

Disleksia adalah sebuah kondisi ketidakmampuan belajar pada seseorang yang disebabkan oleh kesulitan pada orang tersebut dalam melakukan aktivitas membaca dan menulis. Dalam buku catatan Ishaan, ia kesusahan menulis huruf-huruf dan angka-angka. Banyak yang terbalik. Imajinasi Ishaan lebih pada warna dan khayalan. Dan ini ditunjukan dengan gambar-gambar yang dilukis oleh Ishaan sangat mengagumkan.

Mengetahui hal ini Nikumbh mengawali belajar mengajar di kelas dengan bercerita tentang kegagalan Albert Einstein sang pencipta teori relativitas. Einstein kecil dianggap murid yang bodoh, namun setelah dewasa menjadi orang yang sangat terkenal dengan keilmuan yang dimilikinya. Cerita-cerita heroik ini berhasil menumbuhkan kembali semangat Ishaan.

Kepercayaan diri yang pernah hilang itu kini tumbuh lagi. Ishaan berhasil membuat pesawat mini yang bisa berjalan di atas air. Nikumbh juga mengajarkan Ishaan membaca, menulis dan berhitung dengan metode yang berbeda. Akhirnya Ishaan bisa mengikuti semua palajaran. Di akhir cerita Nikumbh membuat acara lomba menggambar untuk semua murid dan guru di sekolah berasrama itu.

Semua murid dan guru berkumpul di satu tempat seperti ruang teater terbuka. Seperti gedung teater kuno yang berada di Ephesus Izmir atau gedung teater di Pamukkale Turki. Semua peserta diberi satu kertas karton. Meski lomba sudah dimulai namun Ishaan belum juga muncul. Ia keluar asrama di saat orang-orang masih terlelap tidur. Ia mencari inspirasi di danau dekat sekolah. Dan akhirnya datang ke tempat perlombaan menggambar.

Ceritanya sudah bisa ditebak. Ishaan menjadi juara menggambar mengalahkan gurunya. Bahkan gambarnya itu dibuat buku kenangan oleh sekolahnya. Pesan film ini sangat jelas. Di zaman serba kompetisi ini orangtua banyak yang memaksakan kehendaknya di atas kehendak anaknya. Anak dipaksa untuk meraih apa yang diimpikan orangtuanya. Dengan dalih hal itu yang terbaik bagi anaknya. Padahal belum tentu.

Beberapa tahun lalu saat saya mengajar di Ponorogo, Jawa Timur, saya banyak mendapati hal seperti ini. Ada orangtua yang menyekolahkan anaknya ke sekolah berasrama atau pesantren karena berharap anaknya berubah menjadi baik. Dengan bahasa lain pesantren adalah pencetak anak yang baik. Bagi saya, hal itu adalah salah. Karena pendidikan etika bermuara pada lingkungan keluarga. Pesantren atau sekolah manapun hanya membantu anak untuk menemukan apa yang dicita-citakan sang anak.

Kita mungkin masih ingat apa yang dikatakan Jean-Jacques Rousseau, bahwa anak itu seperti kertas putih yang siap menerima tinta apa pun untuk mengisinya. Artinya pendidik yang paling pertamalah yang menentukan akan dibawa kemana anak itu. Dan pendidik yang pertama itu adalah keluarga.

Ankara, 28 Desember 2011


Selasa, 27 Desember 2011

Akhir dan Awal


Akhir dan awal
Tak jauh beda
Hanya dibatasi
Dengan satu titik

Akhir adalah ujung
Pun awal adalah ujung
Tengahlah yang mengatur
Akan sebuah akhir

Akhir yang manis
Tak mesti berawal indah
Pun Awal yang asik
Tak berarti berakhir senyum

Diantara keduanya
Kita disadarkan
Akan arti 
Sebuah ujung

Hidup adalah pengulangan
Dan jika itu sebuah kesadaran
Maka dimana
Arti sebuah dinamika

Mungkin baik jika yang 
diulang kesuksesasan
Jika sebaliknya?
Ah, semoga saja tidak

Jika awal adalah akhir
Akhir adalah awal
Mengapa risau dengan apa 
yang terjadi di awal dan akhir

Akhir dan awal 
Ibarat empat arah angin
Barat timur
Utara selatan

Tak ada ketentuan 
Yang mutlak
Antara timur barat
Atau selatan utara

Jakarta bisa barat
Bagi orang  Surabaya
Jakarta adalah timur
Untuk orang Lampung

Kita hidup di zaman
Yang tak kenal jarak
Semua serba dekat
Meski tak berdekatan

Hanya orang kuat 
dalam emosi kemajuan
Yang dapat menaklukkan
Akhir dan awal

Ini hanya sebuah tetulis
Tentang akhir dan awal
Yang selalu berhubungan
Dalam kesadaran

Ankara, Akhir dan Awal di 2011 dan 2012

Mengapa (Sebuah Pertanyaan)


Mengapa mesti takut pada dingin?
Mengapa harus lari dari panas?
mengapa selalu mengeluh saat suasana tak bersahabat?
Mengapa selalu marah dengan sesuatu yang tak jelas?

Pernahkah melihat burung mengeluh saat ia kelaparan?
Pernahkah melihat pohon yang daunnya berguguran saat musim panas habis?
Pernahkah mendengar anjing tetap menggongong di tengah malam musim dingin?
Pernahkah melihat ayam mengorek-ngorek tanah saat ia mencari makan?

Dimana kita saat orang-orang bersedih?
Dimana kita saat orang-orang kelaparan?
Dimana kita saat orang-orang membutuhkan pertolongan?
Dimana kita saat bencana menimpa orang?

Aku bertanya pada bulan
Aku berdialog sama matahari
Aku berbincang dengan pohon pohon
Aku menggugat binatang

Kenapa bulan bersinar di malam hari?
Kenapa matahari terbit dengan cahaya yang tak pernah berhenti?
Kenapa pohon masih hidup di musim yang ekstrem?
Kenapa binatang selalu memberikan pelajaran bagi manusia?

Sudahkah kita membalas kebaikan tanah, air, udara, api?
Sudahkah kita berbuat baik terhadap musuh?
Sudahkah kita berdoa untuk kebaikan umat manusia?
Sudahkah kita berdamai dengan diri kita sendiri?

Istanbul, 25 Desember 2011


Rabu, 21 Desember 2011

Kejutan!

Dulu pas saya kecil baik pas di sekolah dasar ataupun semasa balita, kesibukan saya adalah menghadiri undangan ulang tahun teman yang merayakannya. Kami selalu membawa kado, apa pun isinya, seperti sabun, odol, atau mainan  anak-anak. 

Tapi sayangnya, saya tak pernah merayakan dengan mengundang teman-teman saya. Tak mengerti apa alasan orangtua saya untuk hal itu. Paling banter ibu saya memasak nasi uduk kumplit dan membagikannya kepada tetangga, satu persatu, sembari mengetuk hati mereka untuk mendoakan kami yang ulang tahun.

Ulang tahun sejatinya adalah perayaan atas kehadiran kita pertama kali di dunia ini dari rahim ibu kita. Semua orang pasti hafal tanggal lahirnya. Zaman sekarang yang canggih ini, orangtua yang melahirkan anak langsung membuat akta kelahirannya. 

Zaman dulu, kebiasaan orang tua kita adalah menuliskan tanggal-tanggal bersejarah, termasuk hari ulang tahun, di telinga pintu lemari. Sialnya, kalau rumah itu pindah dan lemari ditinggalkan atau kebakaran maka data-data yang ditulis di lemari itu hilang.

Apalagi dengan adanya sosial media (sosmed) semisal facebook, twitter, google+, blog dan yang lainnya, kita dengan mudah akan mengetahui kapan seseorang memperingati ulang tahunnya. 

Bahkan, orang yang baru kita kenal di sosmed itu juga mengucapkan selamat pada kita. Atau kita dengan tiba-tiba diingatkan oleh akun e-mail kita bahwa salah satu teman kita hari itu hari ulang tahunnya.

Pada hakikatnya ulang tahun adalah peringatan dari Tuhan untuk kita agar kita bertambah bersyukur atas nikmat yang telah diberikanNya. Di hari ulang tahun juga kita disadarkan untuk mereflesikan apa yang telah kita lakukan. 

Apa yang telah kita hasilkan demi kemaslahatan, paling tidak kemaslahatan diri sendiri, syukur-syukur untuk lingkungan kita. Sebab, kata pepatah, orang yang paling baik adalah orang yang bermanfaat bagi yang lainnya.

Saat kita ditimpa musibah atau cobaan misalnya, kita dengan mudah mengutuk diri kita atau lingkungan kita, bahkan tak jarang mengutuk Tuhan. Tapi sebaliknya, kalau kita menerima rejeki atau kebahagiaan kita susah untuk bersyukur. 

Padahal setiap detik adalah rejeki yang diberikan Tuhan kepada kita. Tapi kita tidak sadar. Kita sadar jika itu semua sudah pergi. Semoga kita cepat tersadar dan tergerak untuk selalu bersyukur.

Dan mungkin kita tidak sadar dengan apa yang kita ucapkan itu memiliki efek. Ucapan selamat ulang tahun itu merupakan sebuah perhatian, paling tidak. Meski ini seperti sepele. Bahkan kita yang mengucapkan terkesan biasa, tapi responnya luar biasa.

Orang jadi merasa diperhatikan oleh orang-orang yang berada di sekitarnya, apalagi kalau ucapan itu datang dari orang terkasih. Oh indahnya!

Hidup kita menjadi bermakna disaat kita dihargai keberadaan kita di lingkungan kita. Penghargaan akan keberadaan kita banyak rupanya, perhatian adalah salah satunya. 

Maka jangan aneh jika dalam keluarga si orangtua mendidik anaknya dengan perhatian dan kasih sayang, maka si anak itu akan tumbuh dengan penuh cinta. Pun sebaliknya, jika anak dididik dengan acuh, maka ia akan menjadi dewasa yang kurang mengerti akan kasih sayang.

Kemarin, Selasa, 20 Desember adalah hari ulang tahun saya. Hampir semua orang yang terdekat saya mengucapkan uacapan itu. Kedua orangtua dan kakak-kakak saya pun mengucapkannya. 

Ucapan mereka yang terpisah samudera dan ribuan kilometer itu terasa dekat. Seakan mereka hadir. Ya, mereka selalu hadir di hati saya. Sampai kapan pun. Begitupun, orang-orang yang berada di sekitar saya saat ini. Tanpa diminta pun mereka memberikan hadiah. Ini adalah kejutan!

Bagi saya, orang yang memberikan kejutan kepada orang lain, maka ia akan terkejut-kejut dengan kejutan lainnya yang menghampiri dirinya. Kita masih ingat pesan Tuhan dalam Al-Quran, kebaikan pasti dibalas dengan kebaikan. 

Dalam tulisan ini saya khusus mengucapkan terimakasih dan memanjatkan doa kepada Tuhan, berilah kejutan yang paling indah kepada orang yang telah memberikan kejutannya kepada saya. Amin!

Selasa, 20 Desember 2011

Senyum itu..


Oleh Deden Mauli Darajat

Mentari sesaat lagi menyusut
Di ufuk barat
Aku terduduk di taman
Pada senja itu

Ia mengisyaratkan senyum
Yang membuat
Badanku hangat
Di musim dingin ini

Senyum itu pernah hilang
Dan ia datang kembali
Akan menemani
Hari-hariku

Burung-burung berkicau di atas
dahan pohon yang tak berdaun
Laiknya orang-orang
Berpetuah di twitter sana

Udara musim dingin
Terasa nikmat sekali
Karena di tanggal dan bulan ini
Kami dilahirkan di bumi

Bahkan tak terasa dinginnya
Karena ia memberikan
Senyumnya itu
untukku

Ankara, di Selasa senja 20 Desember 2011

Jumat, 16 Desember 2011

Dua Rasa Masakan Indonesia

Hampir setiap pagi menu sarapan saya adalah satu gelas susu, satu buah roti (simit/poÄŸaça)  dan sebutir telur rebus. Sebenarnya saya enggan menyebutnya sarapan karena menu itu adalah menu kahvaltı (dalam bahasa Turki). Bagi saya atau bagi kita sarapan adalah makan pagi dengan menu nasi dan lauk pauknya, baik tempe atau yang lainnya. Sementara kahvaltı adalah makan pagi khas Turki.

Suatu ketika saat menemani tamu yang datang dari Jakarta ke Ankara dan tinggal di hotel bertanya pada saya, apakah ada sarapan di hotel ini, saya jawab ada di lantai dasar. Tamu itu mengatakan bahwa menu pagi di hotel adalah breakfast bukan sarapan. Artinya yang disediakan untuk makan pagi adalah roti, keju, telur dan yang lainnya dan bukan nasi dan lauk pauknya.

Teman saya yang baru tinggal di asrama suatu pagi mengajak saya untuk makan. Dia mengajak saya ke restoran asrama yang biasa menyediakan nasi, sayuran, ayam, daging, dan lainnya. Sebab ia belum tahu kalau restoran itu hanya dibuka dari siang hingga malam. Dan untuk menu pagi hanya menyediakan roti, telur, keju, madu, buah zaytun dll. Teman saya hanya tersenyum kecut.

Bagi kita yang sekolah di luar Indonesia, hal yang harus dibiasakan adalah menerima makanan asing di lidah kita. Bagi sebagian orang ini tidak mudah, sebagian lagi ini bukan masalah besar. Bagi saya menerima makanan asing di lidah saya tidak begitu susah, karena menurut saya adalah bagaimana perut ini bisa diisi agar bertenaga untuk melaksanakan kegiatan.

Tetapi tidak bagi teman saya, Syamwil misalnya. Ia agak kesusahan untuk memakan makanan asing. Saat makan siang di restoran kampus, ia hanya makan yang hanya diterima lidahnya saja. Dan ia berikan makanan lainya ke rekannya yang berada di sampingnya. Inı terjadi saat pertama-tama ia berada di Turki.

Tulisan ini sebenarnya diilhami saat pagi tadi membaca koran berbahasa Turki sambil menyantap menu kahvalti. Ingatan saya tertuju pada masa dimana saya kuliah S1 dan ngekost di kawasan Ciputat. Setiap pagi saya membaca koran yang dikirim oleh sang loper. Sembari membaca koran itu saya menunggu pedagang nasi uduk yang keliling kost-kost mahasiswa. Nasi uduk dengan lauk gorengan tahu atau tempe menjadi makanan favorit kami setiap pagi beberapa tahun lalu.

Untuk menemukan makanan Indonesia di Turki agak susah memang. Berbeda dengan di Mesir atau Arab Saudi atau negara lainnya. Di Mesir misalnya, kita tidak akan kesusahan mencari ayam bakar, masakan Padang, bubur ayam atau sate Madura. Karena selain belajar, sebagian mahasiswa di sana juga berwirausaha dengan mendirikan restoran masakan Indonesia. Atau untuk makanan instan kita bisa beli mie instan di warung-warung yang tersebar di mana-mana.

Inilah yang berbeda dengan di Turki. Sampai saat ini belum ada satu pun restoran Indonesia, khususnya di Ankara. Yang ada hanyalah restoran China atau Thailand yang sedikit mirip dengan masakan Indonesia. Bahkan untuk mie instant saja susah mendapatkannya di mall atau pusat perbelanjaan. Bukan karena tidak ada. Tapi karena, jika ada mie instant itu langsung habis diborong sama orang Indonesia. Dan saya jarang kebagian. Mengenaskan.

Mie instant ini sebenarnya penggemarnya bukan hanya orang Indonesia. Suatu ketika saya membawa beberapa bungkus mie instant untuk temen saya orang Kirgistan dan Albania. Tujuan saya hanya untuk memperkenalkan masakan Indonesia. Tidak disangka kedua temen saya itu menyukainya. Bahkan orang Albania itu selalu menagih mie instant jika kami bertemu. Walah repotnya. Bukan karena gak mau ngasih, cuma mie instant ini susah didapat.


Lantas bagaimana jika kita kangen dengan masakan Indonesia. Banyak jalan menuju Roma. Banyak cara juga untuk mendapatkannya. Salah satunya adalah membeli bahan masakan dan dimasak dengan resep masakan Indonesia. Ini agak repot memang, karena tidak semua bahan masakan itu dijual di sini. Yang paling mudah adalah menghadiri undangan dari KBRI dalam suatu acara yang menyediakan jamuan makanan. Undangan ini pun jarang adanya. Namun yang pasti hanya ada dua rasa masakan Indonesia di sini, yang pertama adalah enak dan kedua enak sekali.

Minggu, 11 Desember 2011

Jurnalistik Dasar

(Disampaikan pada kajian perdana mahasiswa Indonesia di KBRI Ankara, Sabtu, 10 Desember 2011)


Oleh: Deden Mauli Darajat


1. Sejarah singkat: 
Istilah 'jurnalistik' berasal dari kata 'journalistiek' dalam bahasa Belanda atau 'journalism' dalam bahasa Inggris. Keduanya berasal dari bahasa Latin 'diurnal' yang berarti harian atau setiap hari.
Sedangkan jurnalistik sendiri artinya kegiatan mengumpulkan bahan berita, mengolanya sampai menyebarluaskannya kepada khalayak. Bahan berita itu bisa berupa kejadian atau peristiwa dan pernyataan yang diucapkan oleh seseorang yang memiliki pengaruh dalam masyarakat. Setiap kejadian dan pernyataan yang memiliki daya tarik bagi khalayak dapat dijadikan berita untuk disebarluaskan kepada masyarakat.
Menurut Onong Uchjana Effendi, kegiatan jurnalistik sudah sangat tua, yaitu dimulai dari zaman Romawi kuno ketika Julius Caesar berkuasa. Saat itu, ia mengeluarkan peraturan agar kegiatan-kegiatan Senat setiap hari diumumkan kepada khalayak dengan ditempel pada semacam papan pengumuman yang disebut 'Acta Diurna'.
Berbeda dengan media berita saat ini yang dating ke rumah kepada para pembacanya, pada waktu itu orang-oranglah yang datang kepada media berita atau papan pengumuman itu.
Surat kabar pertama terbit di Jerman pada tahun 1609, dengan nama 'Avisa Relation Oder Zeitung'. Kemudian di London juga terbt 'Weekly News' pada 23 Mei 1622. tetapi surat kabar yang teratur terbit setiap hari adalah 'Oxford Gazette' pada tahun 1665, yang kemudian namanya diganti menjadi 'London Gazette'. Henry Muddiman sebagai editor pertama surat kabat itu adalah orang yang pertama kali memperkenalkan istilah 'newspaper' yang digunakan hingga saat ini.  
2. Konsep Berita:
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa berita adalah  jalan cerita tentang peristiwa. Ini berarti bahwa suatu berita setidaknya mengandung dua hal, yaitu peristiwa dan jalan ceritanya. Jalan cerita tanpa peristiwa atau peristiwa tanpa jalan cerita tidak dapat dikatakan berita.
Dalam kehidupan sehari-hari tentu banyak peristiwa. Tetapi peristiwa yang diberitakan tergantung pada beberapa hal, antara lain:
Aktualitas
Jarak (kedekatan) peristiwa dari khalayak (pembaca, pendengar dan penonton)
Penting tidaknya orang/figure yang diberitakan
Keluarbiasaan peristiwa
Akibat yang mungkin ditimbulkan dari berita itu
Ketegangan dalam peristiwa
Konflik dalam peristiwa
Perilaku seks
Kemajuan-kemajuan yang diberitakan 
Emosi yang ditimbulkan oleh peristiwa
Humor yang terkandung dalam peristiwa
3. Pembagian berita:
Berita dapat dibagi ke dalam beberpa macam, tergantung dari segi melihatnya, seperti:
a. Sifat kejadian
b. Cakupan isi berita
c. Bentuk penyajian berita
Sifat kejadian: Dilihat dari segi sifat kejadiannya berita dibedakan antara berita yang terduga, seperti perayaan hari nasional, dan berita yang tak terduga seperti, ledakan bom, tsunami, kebakaran, kecelakaan lalu lintas, pembunuhan dan semacamnya.
Cakupan isi berita: dilihat dari segi cakupan isi berita itu terbagi pada berita politik, ekonomi, kebudayaan, pendidikan, hokum, seni, agama, kejahatan, olahraga, militer, laporan pengetahuan dan teknologi dan sebagainya.
Bentuk penyajian : berita juga dibedakan dari bentuk penyajiannya, seperti berita langsung (spotnews), berita komprehenship (comprehensive news) dan feature.
4. Cara penulisan berita:
Cara menulis berita juga berbeda-beda. Berita langsung biasanya ditulis dengan gaya piramida terbalik, di mana semua yang dianggap penting diletakkan di 'lead' atau intro.
Karena itu lead mencakup semua unsure berita yang lazim disebut 5 W + 1 H, yaitu:
a. What (apa peristiwa yang terjadi)
b. Who (siapa yang terlibat dalam peristiwa)
c. Where (di mana peritiwa terjadi)
d. When (kapan peritiwa terjadi)
e. Why (mengapa terjadi)
f. How (bagaimana peristiwanya)
Piramida terbalik diperlukan agar khalayak yang biasanya selalu sibuk tetap bisa mengetahui peristiwa yang terjadi. Gaya piramida terbalik juga memudahkan para redektur, produser atau penyunting untuk memotong bagian berita yang kurang penting yang terletak pada bagian bawah. Ini terutama bagi media cetak seperti surat kabar dan majalah.
5. Bahasa jurnalistik:
Bahasa merupakan sarana untuk menyampaikan informasi. Jelas tidaknya inforasi yang disampaikan kepada khalayak sangat ditetukan oleh benar tidaknya bahasa yang digunakan. Penggunan bahasa yang baik dan benar sangat menentukan sampainya informasi itu kepada khalayak (pembaca, pendengar, penonton) secara jelas. Prinsipnya, bahasa jurnalitik itu harus jelas, padat, ringkas dan lugas.
Untuk itu dibuat ketentuan-ketentuan dalm bahasa jurnalistik, antara lain:
  • Penggunaan kata harus ekonomis supaya berita bisa lebih pendek. Contohnya: mengadakan penelitian: meneliti, disebabkan oleh fakta: karena)
  • Kalimat yang digunakan dalam menulis berita sebaiknya kalimat aktif dan bukan kalimat pasif. Contoh kalimat aktif: Pemerintah menaikkan harga minyak, contoh kalimat pasif: harga minyak dinaikkan)
  • Kalimat dalam bahasa jurnalistik sebaiknya kalimat tungal, karena lebish sederhana dan mudah dipahami. 
  • Ada baiknya lebih banyak menggunakan kata kerja dan sedikit kata benda. Karena kata kerja bersifat dinamis, sedang kata benda bersifat statis. (contoh kata kerja: stabilitas politik saat ini berkembang mantap, sedang kata benda: Perkembangan politik saat ini mantap.
  • Kalimat yang digunakan sebaiknya kalimat positif bukan negative. (contoh kalimat posotif: DPR RI Setuju dengan keputusan Presiden, negative: DPR RI tiak menentang keputusan Presiden)
  • Hendaknya tidak menggunakankalimat yang kabur atau tidak jelas.
  • Sebaiknya dihindari kata-kata yang mangandung arti ganda atau lebih dari satu arti, seperti kejahatan, kecelakan lalu lintas dan sebagainya.
  • Penggunaan kata sifat sebaiknya digunakan seperlunya.
  • Kalimat dalam berita sebaiknya tidak menggunakan istilah asing yang kurang dikenal oleh khalayak
  • Kalimat bahasa jurnalistik harus langsung kepada sasaran dan tidak berbelit-belit.
6. Macam-macam media: 
Media dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu;
a. Media Cetak, seperti, surat kabar dan majalah
b. Media Elektronik, sepetri televisi, radio dan internet

Sabtu, 10 Desember 2011

Salju Cokelat


Ini judul sebenarnya gak penting. Cuma pengen gaya aja. Tulisannya juga biasa aja sih. Nah, kapan mulainya? Baiklah kita mulai. Kemaren pagi di Ankara hujan salju. Taunya sih dari status BBM, Twitter dan Facebook orang, karena sibuk dengan urusan selimut. Kedinginan. Pas buka jendela, emang bener itu salju turun berbutir-butir. Indahnya.

Pikiran melayang kemana-mana. Ide sinting pun datang. Gimana kalau salju itu turun di Jakarta di siang bolong pas terik-teriknya sinar matahari saat kita kehausan di tengah-tengah macetnya lalu lintas. Jadinya orang-orang yang kepanasan, langsung maknyes dingin dan gak jadi marah kalau dia mau marah karena melihat salju.

Kalau di zaman sekarang sih yang pasti banyak yang nulis status di facebook atau twitter dan jadi trending topic, misalnya, Jakarta turun salju. Maklumlah Indonesia kan jawara nomor satu di asia sebagai pengguna twitter.

Atau seperti teman saya yang menunggu bus di halte dan kehausan. Ia menjulurkan lidahnya agar salju masuk ke mulutnya dan meminumnya. Tapi aksi ini jangan ditiru. Soalnya, orang-orang di halte itu melihatnya dengan tatapan yang aneh. “Garuk-garuk aspal,” katanya saat mengetahui kalau aksinya dilihat banyak orang.

Pas turun salju itu biasanya gak terlalu dingin. Yang dingin banget malah sebelum turun salju. Seperti semalam sebelum turun salju. Kami keluar rumah dengan jaket tebal. Awalnya sih gak terlalu dingin. Eh, udah 3 sampe 5 menit itu telinga udah beku. Kedinginan.

Apalagi malam itu temen saya pengen lihat city light atau lampu kota yang bersinar dari gedung-gedung dan apartemen-apartemen di wilayah Ankara. Untuk melihat lampu kota yang seperti titik titik yang membuat garis itu kita mesti melihatnya dari kejauhan dan dataran tinggi. Dan gimana rasa dinginnya. Hmm, lebih dingin, karena cuaca minus ditambah angin malam, sliwir..

Cerita yang paling berkesan sih pas pertama lihat salju. Waktu itu abis silat Jumat di Besevler. “Oh gini toh hujan salju” bisik saya dalam hati. Dan yang paling seru itu pas guru bahasa Turki kami mengajak kami untuk main salju bersama di halaman sekolah. Aha, ini yang kami tunggu. Sebab, pas pelajaran bahasa di kelas orang-orang sudah gak konsentrasi lagi.

Teman saya dari Bangladesh yang memulainya. Ia membawa segenggam salju di tangannya sebentuk bola kasti. Di kelas bola salju itu dibagi-bagi menjadi bola kecil seperti gundu besar atau bola bekel. Salju sebesar bola bekel itu diselipkan ke bagian dalam kaos kawannya yang berada di sampingnya. Lantas si kawan yang dikerjain itu balik melempar salju itu ke muka temannya. Rusuhlah kelas kami.

Sebenarnya jam terakhir kelas bahasa itu masih tersisa 60 menit dan kami tidak belajar karena turun ke lapangan untuk bermain-main. Persis anak TK yang mau main air. Senangnya bukan main. Semua orang saling lempar salju. Dan kami gak segan-segan untuk melempar salju ke muka guru kami. Hahaha, ini yang parah. 

Tapi si guru gak marah, malah senang dan balik menyerang kami. Ohya, guru kami ini ibu satu orang anak. Masih muda. Karena gak pernah lihat salju sebelumnya, kami bertiga asal Indonesia tiduran di atas salju dan dipoto, malamnya langsung di-upload di facebook. Itu dua tahun yang lalu.

Hujan salju yang terparah itu musim dingin tahun lalu. Hujan salju tak henti-hentinya selama beberapa hari. Akibatnya salju menumpuk dimana-mana. Jalan ditutup dengan salju. Semuanya putih. Tebalnya sampai setengah meter. Berita-berita di tv menayangkan kecelakaan yang diakibatkan derasnya hujan salju. Karena jalan-jalan di sini banyak tanjakan dan turunan.

Yang paling senang itu palajar dan mahasiswa. Sejumlah sekolah diliburkan. Tapi saya biasa aja, malah mengeluh. Karena hari itu diliburkan atau gak diliburkan sama aja, karena gak ada jadwal kuliah. Coba diliburkannya pas ada jadwal kuliah, gak akan menyesal. 

Yang pasti sih, kalau turun salju pikiran saya melayang ke zaman sekolah dasar saya di Rangkasbitung. Salju itu kayak es parut yang atasnya itu disiram dengan sirup atau susu. Atau es campur yang isinya ada buah-buahan yang dipotong kecil-kecil dicampur dengan parutan es. Bagi saya sih cukup parutan es itu disiram dengan susu cokelat. Persis salju cokelat!

Hijrah Ala Ibu-Ibu Ankara


Oleh Deden Mauli Darajat

Betul kata Imam Syafii bahwa dalam perjalanan kita akan mendapatkan sanak saudara baru. Ini yang saya rasakan saat belajar di negeri orang. Mungkin saya tidak akan berangkat ke Turki kalau saja masih berpikir takut untuk berpisah dengan orang-orang tercinta. Karena perintah agama yang pertama kali turun untuk membaca atau belajar, maka kangen, rindu untuk sementara disingkirkan.

Ohya, judulnya ini soal hijrah. Hijrah asal katanya (dalam bahasa Arab) adalah hajara yang berarti pindah. Secara istilah hijrah adalah pindahnya suatu keadaan yang buruk menuju keadaan yang baik, syukur-syukur lebih baik. Momentum hijrah tidak akan lepas dari tahun baru hijriyah yang jatuh pada satu muharram.

Mungkin kita semua sudah tahu bahwa asal muasal tahun hijriah ini berasal dari kisah hijrahnya Rasulullah SAW dari Mekkah ke Madinah 1433 tahun yang lalu. Dimana Nabi akhir zaman itu sudah tidak kuat lagi menahan kerasnya perlawanan kaum kafir di Mekkah. Saking cinta kepada tanah kelahirannya, sebenarnya Nabi enggan meninggalkan Mekkah, namun karena perintah Allah turun, ia harus melaksanakannya.

Strategi hijrah direncanakan dengan matang. Sebagian sahabat ada yang menjaga Nabi, ada pula yang menjadi intel atau mata-mata untuk mengetahui keadaan Mekkah saat akan dilaksanakannya hijrah. Ini dilakukan karena kaum kafir Mekkah sudah mengincar Nabi dan ingin membunuhnya. Ali bin Abi Thalib yang menggantikan Nabi untuk menempati tempat tidurnya saat Nabi berangkat hijrah. Ini dilakukan untuk mengecoh para mengincar Nabi.

Singkat kata Nabi Muhammad SAW akhirnya tiba di Yatsrib (nama lain dari Madinah). Rupanya kedatangan Nabi di Madinah sudah dinanti warga Madinah yang dijuluki dengan kaum anshar. Kaum anshar berkumpul di depan rumah masing-masing untuk menerima kedatangan Rasulullah sebagai tamu agung. Maka kaum muhajir (sebutan bagi yang hijrah dari Mekkah) sangat terbantu oleh kebaikan para kaum anshar. Kaum anshar dan muhajir bersatu dalam membangun negeri yang damai di Madinah.

Begitulah singkat cerita hijrah Nabi dari Mekkah ke Madinah setelah Nabi berdakwah selama 13 tahun di kota kelahirannya. Lantas, apa hubungannya dengan hijrah a’la ibu-ibu di Ankara? Sederhananya, ibu-ibu asal Indonesia di Ankara saat ini sedang berhijrah dalam artian yang sederhana. Artinya para ibu-ibu di Ankara sejak Ramadhan tahun ini melaksanakan pengajian dan kajian rutin tiap hari Rabu.

Pengajian dan kajian yang dimotori oleh ibu-ibu Darma Wanita Persatuan (DWP) Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Ankara ini adalah pengejawantahan dari perintah belajar yang tertulis dalam Quran dan Hadits. Pengajian dan kajian ini adalah jalan untuk berhijrah dari keadaan tidak tahu menjadi tahu. Pun kewajiban belajar itu bukan hanya diperuntukkan bagi manusia yang berstatus siswa, pelajar atau mahasiswa. Kita semua wajib belajar dari sejak membuka mata (lahir) hingga menutupnya (meninggal dunia).

Banyak hal yang berkesan selama saya mengikuti pengajian ini. Yang paling berkesan adalah saat saya berangkat dan pulang dari menunaikan ibadah haji. Di Indonesia biasanya, sebelum berangkat dan kedatangan dari Mekkah untuk berhaji dirayakan dengan meriah. Perayaan ini sebentuk tasyakuran dan doa bersama untuk kelancaran bagi yang melaksanakan ibadah haji dan doa bagi yang masih menunggu panggilan.

Saat keluar bandara di Turki dari Mekkah, para keluarga yang menunggu jemaah haji menangis tersedu sedan. Tangisan haru. Bahwa utusan keluarganya yang berangkat ke haji bisa kembali dengan selamat ke tanah airnya. Saya pun merasakan haru itu, meski tak ada sanak keluarga yang menunggu di bandara. Tapi saya masih punya rekan yang senasib dengan saya.

Rasa haru ini belum usai. Saat pengajian yang waktu itu dilaksanakan di rumah Mbak Bintari adalah puncak dari haru itu. Saya tak bisa berkata apa-apa untuk mengungkapkannya. Mbak Bintari dan ibu-ibu DWP itu begitu hangat saat saya bercerita tentang ibadah haji yang telah saya lakukan. Mereka adalah keluarga besar saya di Ankara. Dari mereka pula saya belajar bahwa semangat belajar harus terus menyala tanpa mengenal usia.

Selasa, 06 Desember 2011

Purnama diatas Kabah


(Catatan Perjalanan Haji-Habis)

Oleh Deden Mauli Darajat


Bulan purnama bulat sempurna
Terangi malam Mekkah dengan meriah
Setitik bintang setia menemaninya
Bulan bintang saksi para peziarah
Yang sedang tawaf

Aku bersila di hadapan kabah seraya
Meminta kepada Allah apa yang kuinginkan
Ratusan ribu jemaah lainnya membaca quran
Melaksanakan shalat dan ibadah lainnya
Dari pagi hingga pagi kembali
Rumah Allah tak pernah sepi

Mereka berdatangan dari pelbagai penjuru angin
Hanya untuk memenuhi panggilannya
Panggilan yang mulia untuk tunaikan
Rukun Islam yang kelima, haji
Ya, haji di bulan dzulhijjah

Malam ini malam 14 dzulhijjah dimana
Bulan purnama berada tinggi diatas kepala
Aku berharap suatu saat nanti dapat
Kembali ke masjid yang mulia
Menyaksikan purnama di atas kabah

Semoga..

Hamparan kabah, 14 Dzulhijjah 1432/9 November 2011, Pukul 22.10

Thariq dan Harriq


(Catatan Perjalanan Haji Bagian-7)

Ayah saya pernah bilang, mengatur manusia lebih susah ketimbang yang lainnya. Tak terbayangkan jutaan manusia berkumpul di kota suci Mekkah. Dengan tujuan yang sama yakni melaksanakan ibadah haji.

Jutaan manusia itu datang dari berbagai negara, suku, bahasa, dan budaya yang berbeda. Perbedaan ini lebih menyulitkan para petugas haji. Perlu satu komando.

Coba sejenak kita bayangkan, bagaimana jutaan orang itu melaksanakan thawaf memutari kabah dalam satu waktu.

Meski Masjidil Haram itu luas, namun dalam satu waktu musim haji, semua orang berlomba untuk meraih tempat yang terbaik yaitu dekat dengan kabah, jadi sempit juga masjid itu.

Jika waktu shalat tiba, petugas haji dari pemerintah Arab Saudi baik dari kepolisian, tentara, atau petugas dari kemeneterian yang bersangkutan memiliki kata-kata yang ampuh. Yaitu, thariq dan harriq.

Ya, anda betul, tharriq dan harriq itu bukanlah nama orang. Secara bahasa thariq artinya jalan dan harriq artinya bergeraklah.

Kata thariq digunakan saat petugas ingin membuka jalan jika jalan itu penuh sesak oleh para jemaah. Namun, kata-kata thariq juga bukan hanya digunakan oleh para petugas melainkan juga digunakan oleh jemaah yang ingin keluar dari lingkaran thawaf.

Sementara kata harriq hanya digunakan oleh para petugas, khususnya petugas lalu lintas. Kata harriq digunakan saat lautan manusia juga antrian kendaraan di jalan raya tak bergerak alias macet.

Menggunakan pengeras suara sang polisi lalu lintas dengan lantang berteriak "Harriq, harriq, ya, hajj!" atau bergeraklah wahai haji. Dan terbukalah jalan itu meski agak lama. 

Dua kata thariq dan harriq ini begitu populer di kalangan jemaah haji.
Misalnya, di suatu waktu dua orang jemaah haji sedang membawa koper tapi jalannya terhalang oleh kami yang sedang berdiri. Kami pun mempersilahkannya untuk melintas.

Eh, salah satu diantara kami ada yang mengatakan, "Tharriq ya hajj, harriq ya hajj," ujar kawan saya. Mereka tidak marah malah spontan kedua jemaah haji itu tertawa.

Ada juga cerita yang tak kalah seru. Suatu ketika seorang polisi mampir ke pemondokan haji Indonesia untuk buang air kecil di toilet yang berada di luar gedung.

Saat polisi itu berada di toilet, kawan saya yang sedang mengantre di depan toilet dengan lantang mengatakan, "Harriq, harriq." Tak lebih dari dua menit sang polisi segera keluar dari toilet dan menghilang begitu saja.

Dan semua orang yang berada di sekitar itu tak kuat menahan tawa. Maka pecahlah keheningan di sore itu dengan tertawa melihat aksi konyol kawan saya. Mungkin karma. Ah, dasar iseng.

Pertemuan dalam Mimpi


(Catatan Perjalan Haji Bagian-6)

Udara sejuk dari kipas angin di pelataran Masjidil Haram mengeringkan keringat kami usai thawaf. Di pelataran itu kami berbincang banyak hal. Maklum, jarang kami bertemu.

Terhitung sejak 2008 kami berpisah, lima kali kami bertemu di  negara-negara yang berbeda. Yaitu Turki, Mesir, Inggris, Iran dan Arab Saudi. Sekalinya bertemu sejam dua jam tak cukup kami berbincang.

Hari itu hari ke-12 Dzulhijjah, usai semua kewajiban berhaji ditunaikan. Masjidil Haram disulap menjadi lautan manusia yang beribadah hanya kepada Allah SWT.

Saya berangkat haji dari Turki dengan menggunakan travel haji Turki di Ankara. Sementara dia melaksanakan haji di sela kesibukannya melayani jemaah haji di dalam pesawat Saudi Arabian Airlines selama musim haji.

Saat kedatangan saya ke bandara Internasional King Abdul Aziz, Jeddah, ia ingin menjemputku. namun, disebabkan terminal haji yang jauh dari terminal umum, juga begitu luasnya, kami tak bisa bertemu.

Mengirim pesan pendek atau sms dan telepon tetap kami lakukan mesti tak bertatap muka. Karena ia selalu ada kesibukan di tempat kerjanya. Kami memang sama-sama kangen.

Akhirnya kami dipertemukan di padang Arafah. Ia berkemah bersama rombongan haji Indonesia yang bermukim di Arab Saudi. Sementara saya berkemah dengan rombongan Turki. Usai pertemuan itu saya hampir ketinggalan bus rombongan Turki. Ya, karena lupa waktu kalau sudah ngobrol.

Setelah pertemuan di Arafah kami jadi sering bertemu hingga tanggal 12 Dulhijjah malam, karena ia mesti kembali ke Jeddah untuk bertugas. Dan saya masih di Mekkah beberapa hari sebelum ke Madinah dan kembali ke Ankara.

Saya dan ia terlahir kembar. Ia lahir terlebih dahulu disusul kemudian saya. Hanya berselang 15 menit. Selulus sekolah tingkat pertama kami selalu berbeda sekolah. Ia misalnya, kuliah S1 di Tasikmalaya sementara saya di Jakarta. Pun sekolah S2, ia di Iran dan saya di Turki.

Kalau tidak salah, tujuh tahun lalu dalam tidur saya bermimpi sedang duduk di pelataran Masjidil Haram sembari berbincang bersama saudara kembar saya itu. Rupanya mimpi itu benar adanya. Meski kami harus menunggu.

Jumat, 02 Desember 2011

Pak Tua yang Tersesat

(Catatan Perjalanan Haji Bagian-5)
Oleh Deden Mauli Darajat
 
Angin malam waktu itu memang dingin dengan sedikit ramuan debu. Padahal cuaca di siang harinya begitu panas. Usai shalat isya, para jemaah haji berduyun-duyun berjalan kaki menuju Mina untuk mabit atau tinggal bermalam. Namun bukan tinggal di pemondokan atau hotel mewah, melainkan tinggal di tenda-tenda. Dan banyak juga yang tidur di emperan sejadah atau diatas tikar.

Setelah melihat dan mencari ke berbagai arah di jalan yang lebar di depan gerbang jumrah itu, akhirnya bertemu dengan rekan saya, mahasiswa Indonesia yang belajar di Iran yang juga sedang melaksanakan ibadah haji. Kami beristirahat sejenak sebelum akhirnya beranjak untuk mencari tempat yang nyaman.

Saat mencari tempat untuk beristirahat, saya dipanggil oleh orang Sudan yang sedang duduk di pinggir jalan dan bertanya pada saya, apakah anda orang Indonesia, iya, jawab saya. Saat menghampiri orang Sudan itu saya melihat Pak Tua duduk dengan memeluk kedua kakinya yang ditekuk.

Orang Sudan itu bercerita bahwa orang yang berada di sampingnya adalah jemaah haji asal Indonesia yang ia temani sejak tadi. Usai jumrah dan tahallul, para jemaah haji sudah dihalalkan mengenakan pakaian seperti biasanya, artinya tidak mesti menggunakan kain ihram lagi. Dan Pak Tua itu masing menggunakan ihram.

Pak Tua itu adalah Ali Bin Jabal (63 tahun) asal Riau. Ia mengaku tak bisa kembali ke pemondokannya karena tak tahu jalan. Ia tersesat. Usia senja memang mengurangi hafalan seseorang. Apalagi tempat yang baru dikunjungi. Ditambah lagi dengan jutaan orang yang menggunakan pakaian yang hampir seragam.

Ali bercerita bahwa sesudah ia melaksanakan tahallul dan thawaf di Masjidilharam, ia beritirahat hingga ashar. Usai melaksanakan shalat ashar ia melihat banyak orang yang berjalan menuju Mina. Ia pun mengikuti mereka. Namun, sesampainya di Mina ia tidak tahu harus kemana, akhirnya ia duduk di tepi jalan itu hingga kami menemuinya. 

Jam ditangan saya menunjukkan pukul 23.30. Angin malam bertambah kencang. Pak Tua tambah kedinginan. Saya ambil sejadah dari tas saya dan melilitkannya ke lingkaran badannya. Pak Tua bercerita banyak. Meski ia sisipi bahasa Riau yang kurang saya pahami. Kata-katanya tidak begitu jernih. Kadang saya hanya mengangguk menanggapinya. 

Sebenarnya, cerita Pak Tua, ia mendaftar haji pada tahun 2008 bersama istrinya. Namun pada tahun 2010 istrinya meninggal dunia. Ia pun harus rela berangkat ke tanah suci sendirian. Ia berangkat tanpa ditemani sanak saudara. Mungkin karena sudah lelah dan banyak istirahat ia tertinggal oleh rombongan jemaah asal Riau.

Beberapa hari sebelum hari Arafah, kami mahasiswa Indonesia yang sedang melaksanakan ibadah haji berkumpul di salah satu pemondokan haji. Kami berbincang banyak hal, mulai dari soal lika-liku panitia pelaksana haji sampai masalah PPI Dunia. Saya hanya akan bercerita soal lika liku panitia pelaksana haji.

Menurut mahasiswa yang menjadi tenaga musim haji, mereka kesulitan untuk mengarahkan jemaah haji yang sudah lanjut usia (lansia). Para lansia itu harus benar-benar diarahkan. Dalam perbincangan itu pun muncul wacana bagaimana jika ada pembatasan umur untuk melaksanakan haji.

Wacana pembatasan umur ini dilandasi oleh menurunnya ingatan para lansia dan melemahnya kekuatan atau kesehatan mereka. Ada juga yang mengatakan bahwa, ibadah haji itu bisa dibadalkan atau digantikan oleh orang lain, meski yang dibadalkan itu masih hidup.

Dalam hal ini saya mengatakan bahwa semua orang berhak untuk melaksakan haji, asal mampu. Mampu dalam hal ini banyak arti, diantaranya memiliki uang yang cukup, yang lebih penting adalah memiliki keinginan yang kuat disamping mampu secara lahir dan batin.

Tidak mudah untuk membatasi umur untuk beribadah haji. Pasalnya, ada juga yang usia di atas 60 tetapi masih kuat untuk berjalan kaki berkilo-kilo meter. Tapi ada juga yang tidak. Mungkin, harus ada pengkajian lebih dalam mengenai wacana pembatasan umur bagi jamaah haji ini.

Karena angin yang kencang dan saya tidak tega melihat Pak Tua bertambah kedinginan, akhirnya saya dan rekan memutuskan untuk bergerak mencari posko panitia pelaksana haji. Di tengah jalan, Pak Tua tiba-tiba ingin melaksanakan shalat Isya, dan shalatlah ia di pinggir jalan. Usai shalat kami beristirahat di atas trotoar jalan.

Dua petugas haji yang mengenakan baju biru berjalan di hadapan kami. Kami pun memanggilnya dan bercerita tentang Pak Tua ini. Meski agak lama berbincang, akhirnya Pak Tua itu dibawa oleh petugas haji ke posko Indonesia. Dan kami pun melanjutkan perjalanan kami di malam itu.