(Catatan
Perjalanan Haji Bagian-5)
Oleh
Deden Mauli Darajat
Angin
malam waktu itu memang dingin dengan sedikit ramuan debu. Padahal cuaca di
siang harinya begitu panas. Usai shalat isya, para jemaah haji berduyun-duyun
berjalan kaki menuju Mina untuk mabit atau tinggal bermalam. Namun bukan
tinggal di pemondokan atau hotel mewah, melainkan tinggal di tenda-tenda. Dan
banyak juga yang tidur di emperan sejadah atau diatas tikar.
Setelah
melihat dan mencari ke berbagai arah di jalan yang lebar di depan gerbang
jumrah itu, akhirnya bertemu dengan rekan saya, mahasiswa Indonesia yang
belajar di Iran yang juga sedang melaksanakan ibadah haji. Kami beristirahat
sejenak sebelum akhirnya beranjak untuk mencari tempat yang nyaman.
Saat
mencari tempat untuk beristirahat, saya dipanggil oleh orang Sudan yang sedang
duduk di pinggir jalan dan bertanya pada saya, apakah anda orang Indonesia,
iya, jawab saya. Saat menghampiri orang Sudan itu saya melihat Pak Tua duduk
dengan memeluk kedua kakinya yang ditekuk.
Orang
Sudan itu bercerita bahwa orang yang berada di sampingnya adalah jemaah haji
asal Indonesia yang ia temani sejak tadi. Usai jumrah dan tahallul, para jemaah
haji sudah dihalalkan mengenakan pakaian seperti biasanya, artinya tidak mesti
menggunakan kain ihram lagi. Dan Pak Tua itu masing menggunakan ihram.
Pak
Tua itu adalah Ali Bin Jabal (63 tahun) asal Riau. Ia mengaku tak bisa kembali
ke pemondokannya karena tak tahu jalan. Ia tersesat. Usia senja memang mengurangi hafalan seseorang.
Apalagi tempat yang baru dikunjungi. Ditambah lagi dengan jutaan orang yang
menggunakan pakaian yang hampir seragam.
Ali
bercerita bahwa sesudah ia melaksanakan tahallul dan thawaf di Masjidilharam,
ia beritirahat hingga ashar. Usai melaksanakan shalat ashar ia melihat banyak
orang yang berjalan menuju Mina. Ia pun mengikuti mereka. Namun, sesampainya di
Mina ia tidak tahu harus kemana, akhirnya ia duduk di tepi jalan itu hingga
kami menemuinya.
Jam
ditangan saya menunjukkan pukul 23.30. Angin malam bertambah kencang. Pak Tua
tambah kedinginan. Saya ambil sejadah dari tas saya dan melilitkannya ke
lingkaran badannya. Pak Tua bercerita banyak. Meski ia sisipi bahasa Riau yang
kurang saya pahami. Kata-katanya tidak begitu jernih. Kadang saya hanya
mengangguk menanggapinya.
Sebenarnya,
cerita Pak Tua, ia mendaftar haji pada tahun 2008 bersama istrinya. Namun pada
tahun 2010 istrinya meninggal dunia. Ia pun harus rela berangkat ke tanah suci
sendirian. Ia berangkat tanpa ditemani sanak saudara. Mungkin karena sudah
lelah dan banyak istirahat ia tertinggal oleh rombongan jemaah asal Riau.
Beberapa
hari sebelum hari Arafah, kami mahasiswa Indonesia yang sedang melaksanakan
ibadah haji berkumpul di salah satu pemondokan haji. Kami berbincang banyak
hal, mulai dari soal lika-liku panitia pelaksana haji sampai masalah PPI Dunia.
Saya hanya akan bercerita soal lika liku panitia pelaksana haji.
Menurut
mahasiswa yang menjadi tenaga musim haji, mereka kesulitan untuk mengarahkan
jemaah haji yang sudah lanjut usia (lansia). Para lansia itu harus benar-benar
diarahkan. Dalam perbincangan itu pun muncul wacana bagaimana jika ada
pembatasan umur untuk melaksanakan haji.
Wacana
pembatasan umur ini dilandasi oleh menurunnya ingatan para lansia dan melemahnya
kekuatan atau kesehatan mereka. Ada juga yang mengatakan bahwa, ibadah haji itu
bisa dibadalkan atau digantikan oleh orang lain, meski yang dibadalkan itu
masih hidup.
Dalam
hal ini saya mengatakan bahwa semua orang berhak untuk melaksakan haji, asal
mampu. Mampu dalam hal ini banyak arti, diantaranya memiliki uang yang cukup,
yang lebih penting adalah memiliki keinginan yang kuat disamping mampu secara
lahir dan batin.
Tidak
mudah untuk membatasi umur untuk beribadah haji. Pasalnya, ada juga yang usia
di atas 60 tetapi masih kuat untuk berjalan kaki berkilo-kilo meter. Tapi ada
juga yang tidak. Mungkin, harus ada pengkajian lebih dalam mengenai wacana
pembatasan umur bagi jamaah haji ini.
Karena
angin yang kencang dan saya tidak tega melihat Pak Tua bertambah kedinginan,
akhirnya saya dan rekan memutuskan untuk bergerak mencari posko panitia
pelaksana haji. Di tengah jalan, Pak Tua tiba-tiba ingin melaksanakan shalat
Isya, dan shalatlah ia di pinggir jalan. Usai shalat kami beristirahat di atas
trotoar jalan.
Dua
petugas haji yang mengenakan baju biru berjalan di hadapan kami. Kami pun
memanggilnya dan bercerita tentang Pak Tua ini. Meski agak lama berbincang,
akhirnya Pak Tua itu dibawa oleh petugas haji ke posko Indonesia. Dan kami pun
melanjutkan perjalanan kami di malam itu.
0 komentar:
Posting Komentar