Jumat, 02 Desember 2011

Pak Tua yang Tersesat

(Catatan Perjalanan Haji Bagian-5)
Oleh Deden Mauli Darajat
 
Angin malam waktu itu memang dingin dengan sedikit ramuan debu. Padahal cuaca di siang harinya begitu panas. Usai shalat isya, para jemaah haji berduyun-duyun berjalan kaki menuju Mina untuk mabit atau tinggal bermalam. Namun bukan tinggal di pemondokan atau hotel mewah, melainkan tinggal di tenda-tenda. Dan banyak juga yang tidur di emperan sejadah atau diatas tikar.

Setelah melihat dan mencari ke berbagai arah di jalan yang lebar di depan gerbang jumrah itu, akhirnya bertemu dengan rekan saya, mahasiswa Indonesia yang belajar di Iran yang juga sedang melaksanakan ibadah haji. Kami beristirahat sejenak sebelum akhirnya beranjak untuk mencari tempat yang nyaman.

Saat mencari tempat untuk beristirahat, saya dipanggil oleh orang Sudan yang sedang duduk di pinggir jalan dan bertanya pada saya, apakah anda orang Indonesia, iya, jawab saya. Saat menghampiri orang Sudan itu saya melihat Pak Tua duduk dengan memeluk kedua kakinya yang ditekuk.

Orang Sudan itu bercerita bahwa orang yang berada di sampingnya adalah jemaah haji asal Indonesia yang ia temani sejak tadi. Usai jumrah dan tahallul, para jemaah haji sudah dihalalkan mengenakan pakaian seperti biasanya, artinya tidak mesti menggunakan kain ihram lagi. Dan Pak Tua itu masing menggunakan ihram.

Pak Tua itu adalah Ali Bin Jabal (63 tahun) asal Riau. Ia mengaku tak bisa kembali ke pemondokannya karena tak tahu jalan. Ia tersesat. Usia senja memang mengurangi hafalan seseorang. Apalagi tempat yang baru dikunjungi. Ditambah lagi dengan jutaan orang yang menggunakan pakaian yang hampir seragam.

Ali bercerita bahwa sesudah ia melaksanakan tahallul dan thawaf di Masjidilharam, ia beritirahat hingga ashar. Usai melaksanakan shalat ashar ia melihat banyak orang yang berjalan menuju Mina. Ia pun mengikuti mereka. Namun, sesampainya di Mina ia tidak tahu harus kemana, akhirnya ia duduk di tepi jalan itu hingga kami menemuinya. 

Jam ditangan saya menunjukkan pukul 23.30. Angin malam bertambah kencang. Pak Tua tambah kedinginan. Saya ambil sejadah dari tas saya dan melilitkannya ke lingkaran badannya. Pak Tua bercerita banyak. Meski ia sisipi bahasa Riau yang kurang saya pahami. Kata-katanya tidak begitu jernih. Kadang saya hanya mengangguk menanggapinya. 

Sebenarnya, cerita Pak Tua, ia mendaftar haji pada tahun 2008 bersama istrinya. Namun pada tahun 2010 istrinya meninggal dunia. Ia pun harus rela berangkat ke tanah suci sendirian. Ia berangkat tanpa ditemani sanak saudara. Mungkin karena sudah lelah dan banyak istirahat ia tertinggal oleh rombongan jemaah asal Riau.

Beberapa hari sebelum hari Arafah, kami mahasiswa Indonesia yang sedang melaksanakan ibadah haji berkumpul di salah satu pemondokan haji. Kami berbincang banyak hal, mulai dari soal lika-liku panitia pelaksana haji sampai masalah PPI Dunia. Saya hanya akan bercerita soal lika liku panitia pelaksana haji.

Menurut mahasiswa yang menjadi tenaga musim haji, mereka kesulitan untuk mengarahkan jemaah haji yang sudah lanjut usia (lansia). Para lansia itu harus benar-benar diarahkan. Dalam perbincangan itu pun muncul wacana bagaimana jika ada pembatasan umur untuk melaksanakan haji.

Wacana pembatasan umur ini dilandasi oleh menurunnya ingatan para lansia dan melemahnya kekuatan atau kesehatan mereka. Ada juga yang mengatakan bahwa, ibadah haji itu bisa dibadalkan atau digantikan oleh orang lain, meski yang dibadalkan itu masih hidup.

Dalam hal ini saya mengatakan bahwa semua orang berhak untuk melaksakan haji, asal mampu. Mampu dalam hal ini banyak arti, diantaranya memiliki uang yang cukup, yang lebih penting adalah memiliki keinginan yang kuat disamping mampu secara lahir dan batin.

Tidak mudah untuk membatasi umur untuk beribadah haji. Pasalnya, ada juga yang usia di atas 60 tetapi masih kuat untuk berjalan kaki berkilo-kilo meter. Tapi ada juga yang tidak. Mungkin, harus ada pengkajian lebih dalam mengenai wacana pembatasan umur bagi jamaah haji ini.

Karena angin yang kencang dan saya tidak tega melihat Pak Tua bertambah kedinginan, akhirnya saya dan rekan memutuskan untuk bergerak mencari posko panitia pelaksana haji. Di tengah jalan, Pak Tua tiba-tiba ingin melaksanakan shalat Isya, dan shalatlah ia di pinggir jalan. Usai shalat kami beristirahat di atas trotoar jalan.

Dua petugas haji yang mengenakan baju biru berjalan di hadapan kami. Kami pun memanggilnya dan bercerita tentang Pak Tua ini. Meski agak lama berbincang, akhirnya Pak Tua itu dibawa oleh petugas haji ke posko Indonesia. Dan kami pun melanjutkan perjalanan kami di malam itu.
 

0 komentar:

Posting Komentar