Kang Deden

Tidak ada awal, akhir ataupun pertengahan, sebab yang ada hanyalah perjalanan.

Kang Deden

Orang besar ialah orang yang sudah selesai dengan dirinya sendiri.

Kang Deden

Berlarilah mengejar impian. Disana terdapat indahnya kehidupan.

Kang Deden

Berjalanlah, engkau akan mendapatkan banyak pelajaran.

Kang Deden

Tenangkan hatimu, karena itu sumber kebahagiaan.

Kamis, 27 Juni 2019

Nabi Muhammad pun Bercanda


Oleh: Deden Mauli Darajat

Diriwayatkan bahwa seorang wanita tua pernah mendatangi Nabi Muhammad SAW untuk meminta kepada beliau agar mendoakannya masuk surga. Beliau bersabda, “Orang tua tidak masuk surga.”

Mendengar perketaan beliau, wanita tua itu pun berpaling dan menangis. Selanjutnya Nabi Muhammad SAW memanggilnya dan bersabda,

“Bukankah engkau pernah mendengar firman Allah dalam surah al-Waqiah ayat 35-37, ‘Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari) dengan langsung, dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan, penuh cinta lagi sebaya umurnya.’” (HR ath-Thabrani)

Rasulullah SAW seorang manusia yang sempurna. Ia menjadi teladan bagi umat manusia di muka bumi ini. Ia pun sebagai rahmat untuk alam semesta hingga akhir zaman.

Meski menjadi manusia pilihan, ia tetaplah manusia biasa yang juga punya selera humor yang tinggi. Kisah di atas mengajarkan kepada kita bahwa jika hidup ini perlu serius tapi juga harus diimbangi dengan bercanda. Hidup terasa hambar tanpa senyum di bibir kita. Seperti makanan tanpa garam. Tapi juga jangan banyak garamnya nanti keasinan. Hehe.

Manusia membutuhkan humor agar hidup menjadi dinamis tidak statis. Agar senyum mengembang dimana-mana. Bukankah senyum kepada saudara kita adalah juga bagian dari sedekah? Tapi hidup harus tetap seimbang, tidak terlalu banyak bercanda, juga tidak terlampau serius. Sedang-sedang saja. Sebaik-baik perkara adalah yang berada di tengah-tengah.


#jejak #hikmah #3

Syekh dan Abu Hanifah



Oleh Deden Mauli Darajat



Diriwayatkan pada suatu hari, Abu Hanifah duduk dengan menjulurkan kakinya. Lalu datang seorang syekh yang mengenakan sorban, sehingga tampaklah ia seorang yang berilmu.

Melihat kedatangannya, Abu Hanifah langsung menarik kakinya karena menghormati syekh itu. Kemudian syekh tersebut mendekati Abu Hanifah dan bertanya, “Wahai Abu Hanifah, kapan orang berpuasa boleh berbuka?”

Abu Hanifah lalu menjawab, “Ketika matahari tenggelam.” Syekh tersebut bertanya lagi, “Bagaimana jika hingga pertengahan malam matahari tidak tenggelam?” Abu Hanifah lantas menjawab, “Kalau begitu, kini saatnya aku kembali menjulurkan kaki!”

Cerita ini menarik untuk kita bahas dan mengambil ibrah darinya. Paling tidak untuk kita berterima kasih kepada Abu Hanifah. Sedikitnya ada tiga hal yang kita dapat dari cerita Abu Hanifah dan syekh ini.

Pertama, Abu Hanifah memiliki ketawadhuan, kerendahhatian. Ia yang memiliki ilmu yang luas sehingga ia diberi gelar sebagai Imam Abu Hanifah, peletak dasar Mazhab Hanafi. Namun begitu, kepada siapa saja yang berilmu ia akan tetap menghormatinya.

Kedua, syekh yang digambarkan di atas adalah orang yang sedang berperan di panggung sandiwara kehidupan yang seakan-akan. Yaitu seakan-akan ia adalah orang yang berilmu. Padahal tidak begitu.

Kita pun sebagai manusia sering kali salah persepsi dalam menilai seseorang. Kadang yang kita anggap baik ternyata tidak. Atau yang kita anggap buruk ternyata baik. Begitulah kenyataan hidup, seperti sang syekh yang dianggap berilmu tersebut di atas. Memang hanya Allah yang mampu melihat manusia dari hatinya. 

Ketiga, Abu Hanifah memberi pelajaran bagaimana kita bersikap terhadap orang yang tidak berilmu dan ngeyel. Ia tidak memberikan jawaban atas pertanyaan syekh yang terakhir. Waktu memang terlalu mahal untuk dihabiskan dengan hal yang sia-sia. Kaidah yang satu ini tepat untuk menggambarakan sikap Abu Hanifah dalam cerita di atas yaitu: “Tidak menjawab pertanyaan bodoh adalah sebuah jawaban.”

#jejak #hikmah #2

Sapi dan Gajah


Oleh: Deden Mauli Darajat

Pada suatu subuh, seorang Arab Baduy tergopoh-gopoh mendatangi masjid untuk shalat berjamaah. Imam shalat subuh itu membaca surat Al-Baqarah, ia pun menggerutu mengapa sang imam membaca surat yang panjang. Sementara ia ada kebutuhan mendesak pada pagi itu.

Subuh berikutnya. Ia pun datang ke masjid untuk shalat berjamaah. Kali ini sang imam membaca surat Al-Fiil. Ia kemudian tidak melanjutkan shalatnya dan menggerutu sembari jalan pulang ke rumah, “Al-Baqarah (sapi) saja panjang suratnya, apalagi Al-Fiil (gajah) yang lebih besar, pasti lebih panjang suratnya.”

Demikianlah cerita Arab Baduy. Ia berpikir bahwa surat Al-Fiil lebih panjang dari surat Al-Baqarah. Padahal sebaliknya. Al-Baqarah adalah surat terpanjang dalam Al-Quran dengan 286 ayat, sementara Surat Al-Fiil hanya memiliki lima ayat.

Ini sebenarnya bukan hanya cerita tentang seseorang yang hidup di Arab sana. Ini adalah cerita kita bersama sebagai: manusia. Sepertinya teori tentang kebodohan sangat tepat dalam menggambarkan cerita ini. Teori ini adalah; manusia adalah musuh bagi hal-hal yang ia bodoh terhadapnya.

Kita sebagai manusia, sesekali melakukan yang demikian di atas. Kita lebih menganggap bahwa apa yang ada di benak kita adalah benar, sementara apa yang dilakukan orang lain adalah salah. Praduga yang salah membawa kita menjadi manusia bermasalah.

Adalah ilmu yang yang dapat menutup kebodohan. Layaknya cahaya yang menghilangkan kegelapan. Kita sebenarnya adalah tubuh dengan jiwa, pikiran dan hati yang gelap. Kita membutuhkan cahaya dalam hidup ini, agar jiwa, pikiran dan hati menjadi terang dan tenteram. Dan cahaya itu adalah ilmu yang harus kita cari dan kita minta kepada Sang Pemilik Ilmu, Allah SWT.

#jejak #hikmah #1