Oleh Deden Mauli Darajat
Diriwayatkan pada suatu hari, Abu
Hanifah duduk dengan menjulurkan kakinya. Lalu datang seorang syekh yang
mengenakan sorban, sehingga tampaklah ia seorang yang berilmu.
Melihat kedatangannya, Abu Hanifah langsung
menarik kakinya karena menghormati syekh itu. Kemudian syekh tersebut mendekati
Abu Hanifah dan bertanya, “Wahai Abu Hanifah, kapan orang berpuasa boleh
berbuka?”
Abu Hanifah lalu menjawab, “Ketika
matahari tenggelam.” Syekh tersebut bertanya lagi, “Bagaimana jika hingga
pertengahan malam matahari tidak tenggelam?” Abu Hanifah lantas menjawab,
“Kalau begitu, kini saatnya aku kembali menjulurkan kaki!”
Cerita ini menarik untuk kita bahas
dan mengambil ibrah darinya. Paling tidak untuk kita berterima kasih
kepada Abu Hanifah. Sedikitnya ada tiga hal yang kita dapat dari cerita Abu
Hanifah dan syekh ini.
Pertama, Abu Hanifah memiliki
ketawadhuan, kerendahhatian. Ia yang memiliki ilmu yang luas sehingga ia diberi
gelar sebagai Imam Abu Hanifah, peletak dasar Mazhab Hanafi. Namun begitu,
kepada siapa saja yang berilmu ia akan tetap menghormatinya.
Kedua, syekh yang digambarkan di
atas adalah orang yang sedang berperan di panggung sandiwara kehidupan yang
seakan-akan. Yaitu seakan-akan ia adalah orang yang berilmu. Padahal tidak
begitu.
Kita pun sebagai manusia sering kali
salah persepsi dalam menilai seseorang. Kadang yang kita anggap baik ternyata
tidak. Atau yang kita anggap buruk ternyata baik. Begitulah kenyataan hidup,
seperti sang syekh yang dianggap berilmu tersebut di atas. Memang hanya Allah
yang mampu melihat manusia dari hatinya.
Ketiga, Abu Hanifah memberi
pelajaran bagaimana kita bersikap terhadap orang yang tidak berilmu dan ngeyel.
Ia tidak memberikan jawaban atas pertanyaan syekh yang terakhir. Waktu memang
terlalu mahal untuk dihabiskan dengan hal yang sia-sia. Kaidah yang satu ini
tepat untuk menggambarakan sikap Abu Hanifah dalam cerita di atas yaitu: “Tidak
menjawab pertanyaan bodoh adalah sebuah jawaban.”
#jejak #hikmah #2
0 komentar:
Posting Komentar