Kang Deden

Tidak ada awal, akhir ataupun pertengahan, sebab yang ada hanyalah perjalanan.

Kang Deden

Orang besar ialah orang yang sudah selesai dengan dirinya sendiri.

Kang Deden

Berlarilah mengejar impian. Disana terdapat indahnya kehidupan.

Kang Deden

Berjalanlah, engkau akan mendapatkan banyak pelajaran.

Kang Deden

Tenangkan hatimu, karena itu sumber kebahagiaan.

Sabtu, 17 September 2011

“Siapa tahu ketularan.”


Ah, kali ini mau cerita aja. Gak lebih.  Siapa sih yang gak kenal sama eyang yang sangat fenomenal ini. Lahir di Pare-pare , Sulawesi Selatan, 75 tahun lalu ini masih semangat berdiskusi meski waktu menunukan 23.50 malam waktu Ankara. 

Tak lama beberapa waktu lalu ia juga berpidato di depan ratusan mahasiswa Indonesia di Kairo, Mesir dan di Aachen, Jerman. Meski di dua tempat itu saya tidak bisa menghadirinya. Biasa terkendala doku. Dan saya masih berharap bisa bertemu beliau kapan dan dimana saja. Siapa sih beliau ini?

Ya, betul, beliau adalah Prof. Dr-Ing. Bacharuddin Jusuf Habibie, Presiden Republik Indonesia yang ke-3. Saya termasuk orang yang kebetulan dan bisa dibilang beruntung bisa bertemu eyang Habibie di wisma KBRI Ankara, kemarin malam (15/9/2011).

Saat bulan puasa lalu saya sempat menghabiskan buku yang berjudul Ainun dan Habibie dalam waktu tidak lebih dari dua hari. Bagus ceritanya. Dan beliau pun bercerita tentang Ainun, istrinya, pada ramah tamah malam itu. Cintanya tak pernah habis. Ia mengungkapkan sebelum tidur ia bertahlil untuk istrinya agar bisa bertemu di alam mimpi.

12 tahun yang lalu, saat saya menempuh studi di Pondok Modern Darussalam Gontor, Eyang Habibie yang waktu itu menjabat Presiden datang dan berpidato di hadapan ribuan santri. Saya bercerita tentang itu kepadanya. Saya juga bilang kalau kami hanya bisa melihat dan mendengar saja. “Dunia ini memang sempit,” ungkapnya kepada kami. 

Karena sesi waktu itu sesi luang maka saya meminta untuk berpoto dengannya. Sebelum berpoto saya mengatakan, “Siapa tahu..” tiba-tiba saya kehabisan kata-kata dan Eyang Habibie meneruskannya, “Siapa tahu ketularan. Kalau Tuhan sudah menuliskan apapun akan terjadi,” ungkapnya yang membuatku kaget, tersipu dan bangga.

Saya bertambah kaget saat kami akan berpisah, kami bersalaman dan bercipika-cipiki. 

Ankara, Jumat, 16 September 2011.

Sabtu, 10 September 2011

Surat dari Ankara

(Dimuat/dibaca di Radio PPI Dunia pada acara Bahasa Jiwa, Sabtu 10 September 2011)


Oleh: Deden Mauli Darajat (Mahasiswa Pascasarjana Universitas Ankara, Turki/Dewan Penasehat, Perhimpunan Pelajar Indonesia [PPI] Turki )


Tiba-tiba penyiar Radio PPI Dunia, Mas Susanto yang murah senyum itu mengirim pesan di Facebook agar saya menulis satu artikel yang akan dibaca di acara “Bahasa Jiwa” di radio online milik mahasiswa Indonesia di luar negeri ini. Tentu saja saya tidak bisa menolaknya meski tak tahu apa yang harus saya sampaikan dalam tulisan ini, karena saya juga bukanlah siapa-siapa.


Alkisah, seorang pengemis datang ke rumah Nasruddin Hoja untuk meminta sumbangan. Si pengemis mengetuk pintu rumah dan keluarlah Nasruddin lalu lama terdiam. Melihat aksi Nasruddin yang terdiam si pengemis itu lalu memperjelas kedatangannya bahwa ia meminta sumbangan untuk dirinya agar dapat bertahan hidup.


Bukannya memberikan sumbangan, malahan Nasruddin Hoja mengajak si pengemis untuk naik atap rumahnya. Setelah keduanya naik atap rumah itu, Nasruddin meminta si pengemis untuk menengadahkan tangannya laiknya orang meminta atau berdoa. Lalu Nasruddin berujar kepada si pengemis, “Kalau anda meminta sesuatu mintalah kepada Tuhan Sang Maha Pemberi,” ujarnya singkat dan kemudian turun meninggalkan si pengemis yang terheren-heran.


Nasruddin bukanlah pelit dalam memberi, meski ia pun tak kaya. Nasruddin yang dimakamkan di kota Aksehir, Konya, Turki itu mengajarkan kita agar dalam hidup dan menjalani kehidupan janganlah kita meminta-minta kepada sesama manusia yang juga banyak kekurangan. Tapi, mintalah sesuatu kepada Tuhan yang Maha Pengasih.


Ulama sufi yang kondang dengan leluconnya ini juga mengajak kita agar hidup ini tidak hanya meminta-minta tapi juga berusaha sekuat tenaga tanpa lelah. Usaha merupakan modal utama dalam meraih sesuatu yang kita impikan dan angan-angankan.


Seperti halnya anak kecil yang sedang belajar berjalan. Ia tak pernah patah semangat walaupun ia merasakan bagaimana sakitnya jatuh. Dan bukan hanya sekali jatuh namun berkali-kali jatuh hingga tak terhitung berapa kali ia jatuh. Namun, setelah berkali-kali jatuh itu ia pun tak lelah untuk bangkit dan belajar berjalan lagi hingga ia bisa berjalan dengan lancar.


Atau seperti halnya ulat bulu yang berubah menjadi kepompong yang sangat menjijikan dan kemudian berubah menjadi kupu-kupu yang sangat indah dipandang mata. Perubahan dari ulat menjadi kepompong lalu kupu-kupu tidak terjadi secara instant tapi ada usaha yang kuat di dalamnya. Sang kepompong harus kuat berpuasa secara konsisten agar dapat meraih impiannya menjadi kupu-kupu.


Hidup kita pun begitu, tak ada impian atau harapan kita yang dapat kita raih tanpa usaha yang maksimal. Tak ada juga impian yang diraih hanya dengan berpangku tangan atau bermalas-malasan. Selalu ada harga yang mesti kita bayar untuk meraih impian dan harapan kita.


Artinya bahwa, sebuah kesuksesan akan dapat diraih dengan usaha yang kuat. Dan akhirnya selalu ada jawaban dari apa yang kita usahakan. Ada kata mutiara mengatakan bahwa, dimana ada keinginan di sana ada jalan, bisa saya tambahkan, dimana ada keinginan dan usaha yang kuat di sana ada jalan yang lebih besar.


Kyai saya di Ponorogo, Jawa Timur, pernah mengatakan, kesuksesan itu milik orang yang berpikir keras, berusaha keras dan berdoa keras. Bisa dipahami bahwa dalam meraih impian dan tujuan hidup yang mulia kita harus berpikir bagaimana cara yang terbaik dan cerdas untuk melangkah dan meraih impian itu. Jadi, tidak hanya asal-asalan saja kita dalam melangkah untuk meraih impian.


Kedua, seperti yang diulas di atas, kita juga mesti bekerja keras tanpa lelah dan tanpa menyerah. Karena kegagalan itu adalah ketika kita berhenti dalam sebuah perjuangan meraih impian. Setelah berpikir keras dan berusaha keras, kita pun jangan lupa menyertakan Tuhan dalam usaha kita agar kita tidak sombong.


Maka berdoa keras adalah usaha terakhir yang mesti juga kita lakukan dengan konsisten, tidak hanya sekali dua kali saja kita berdoa. Namun, kita mesti berdoa setiap hari setiap waktu. Karena terkadang Tuhan menguji terhadap doa kita, apakah serius atau main main. Berdoa keras juga agar kita bisa bersyukur dengan apa yang kita dapatkan dan agar kita bersabar dengan apa yang luput dari kita. *wallahu ‘alam bishshawab*


Salam hangat, Ankara, 4 September 2011
Deden Mauli Darajat