Kang Deden

Tidak ada awal, akhir ataupun pertengahan, sebab yang ada hanyalah perjalanan.

Kang Deden

Orang besar ialah orang yang sudah selesai dengan dirinya sendiri.

Kang Deden

Berlarilah mengejar impian. Disana terdapat indahnya kehidupan.

Kang Deden

Berjalanlah, engkau akan mendapatkan banyak pelajaran.

Kang Deden

Tenangkan hatimu, karena itu sumber kebahagiaan.

Senin, 28 Oktober 2013

Cinta Berguguran di Istanbul


(Sebuah Cerita Pendek)

Faisal menyeruput teh pahit panas di kantin depan kampus Universitas Istanbul. Ia ditemani kedua sahabatnya, Abdul dan Nazgol. Di halaman luas depan kampus itu dipenuhi dengan burung merpati yang bergerombol memakan potongan-potongan roti. Faisal dan sahabatnya berbincang sembari menikmati pemandangan itu, usai jam belajar.

Sudah satu bulan ia tinggal di luar negeri. Keberadaannya di Istanbul untuk belajar bahasa dan budaya Turki selama satu tahun. Faisal menerima beasiswa dari pemerintah Turki. Awalnya, Faisal enggan untuk mengambil beasiswa ini. Alasannya di tahun itu ia harus menyelesaikan skripsinya. Namun beasiswa ini pun sayang jika tak diambil, pikirnya. Atas bimbingan dosen dan restu orangtuanya, ia akhirnya berangkat ke Turki pada Oktober 2007.

Di Turki ia tinggal di asrama mahasiswa Universitas Istanbul. Di kampus tertua di Turki ini ia bertemu dengan sahabat barunya, Abdul yang berasal Malaysia dan Nazgol dari Iran.

Hampir setiap hari Faisal sembahyang di Masjid Sultan Ahmet atau yang dikenal dengan Masjid Biru oleh orang Eropa. Sebab jarak antara asrama dan Masjid Biru hanya sekitar tiga kilometer. Ia merasakan kemegahan masjid tua peninggalan kejayaan Kesultanan Turki Usmani ini.

Masjid Biru tak pernah sepi oleh para pengunjung. Baik Muslim maupun non Muslim. Bagi non Muslim yang masuk ke masjid ini mesti mengenakan jilbab yang dipinjami oleh pengurus masjid setempat. Bahkan Presiden Amerika Barrack Obama pun pernah berziarah ke masjid ini.

Suatu hari di musim dingin di bulan Desember, Faisal bertemu dengan orang Indonesia bernama Ibrahim. Ibrahim sudah lama tinggal di Istanbul bersama keluarganya. Ibrahim ditugaskan pimpinannya untuk mengurus perusahaan telekomunikasi di Istanbul. Ibrahim mengundang Faisal untuk berkunjung ke apartemennya.

Di akhir pekan, Faisal datang ke apartemen Ibrahim yang berada di bilangan Taksim. Rupanya di rumah Ibrahim sudah banyak tamu yang datang. Setiap akhir pekan rumah Ibrahim selalu ramai oleh orang Indonesia. Tak ada acara khusus pada pertemuan itu. Namun, di benak Ibrahim, ia ingin ada sesuatu yang berharga. Ia ingin ada pengajian.

Faisal bercerita tentang asal-usulnya menerima beasiswa itu. Ia mengambil jurusan bahasa Arab di suatu kampus negeri di Jakarta. Ia menerima beasiswa itu tanpa sengaja. Faisal diam-diam mengajukannya karena ia suka bahasa asing. Dan akhirnya pengajuan beasiswanya diterima dan berangkatlah ke Turki. Selain Arab, 

Faisal juga mahir berbahasa Inggris. Sebab ia lulusan sebuah pesantren modern di Jawa Timur.

"Karena alumni pesantren, maukah Mas Faisal membagi ilmu agamanya kepada kami di setiap akhir pekan?" tanya Ibrahim memotong cerita Faisal.

Sejenak Faisal terdiam untuk mencari jawaban yang tepat. "Sebenarnya saya tidak begitu menguasai ilmu agama," jawab Faisal singkat.

"Tak usah begitu dalam pembahasan tentang agamanya, cukup yang dasar dan keseharian saja," kata Ibrahim. Faisal mengangguk dan Ibrahim tersenyum senang.

Kesibukan Faisal di Istanbul bertambah. Selain belajar bahasa dan budaya Turki, di akhir pekan ia mengisi kajian Islam di rumah Ibrahim. Warga Negara Indonesia yang di Istanbul selalu datang di setiap akhir pekan untuk mendengar dan berdiskusi tentang kajian Islam.

Awalnya Faisal biasa saja saat mengisi kajian itu. Namun kemudian ada yang mengganjal di hatinya saat menyajikan kajian itu. Sebab di barisan belakang selalu ada tatapan yang begitu tajam. Tatapan kagum dari seorang perempuan muda. Perempuan itu selalu tersenyum saat mata Faisal tertuju padanya.

Perempuan itu bernama Sinta. Sinta adalah anak pertama Ibrahim yang kuliah di Universitas Marmara di Istanbul. Sinta mengagumi Faisal karena begitu luas pengetahuannya. Ibrahim sebenarnya tahu tentang kesukaan Sinta pada Faisal. Bagi Ibrahim itu wajar. Melihat umur Sinta yang masih muda, Ibrahim tak ambil pusing.

"Ka Faisal, jangan bosen, ya, mengisi kajian," ucap Sinta saat Faisal hendak kembali ke Asrama. "Insya Allah," kata Faisal singkat sembari tersenyum.

Di dalam tramway menuju asrama, Faisal masih terngiang wajah dan ucapan Sinta. Seakan ada hal baru yang mengusik hati dan pikirannya. Faisal bersikeras untuk mengusir pikiran itu. Namun ia tak mampu. Bahkan semakin kuat menghilangkannya, semakin jelas wajah dan ungkapan kata-katanya. Dalam beberapa kesempatan kajian, hati dan pikiran itu masih bergejolak. Sebab tatapan Sinta begitu kuat.

*****
Nazgol sudah menunggu Abdul dan Faisal di pintu gerbang kampus. Sore itu mereka ingin berkunjung ke toko buku yang khusus menjual buku berbahasa Inggris di sekitar Masjid Biru. Nazgol membeli buku tentang Iran dan Timur Tengah. Sementara Abdul membeli buku sejarah Turki Modern dan Faisal membeli buku sejarah Kesultanan Turki Usmani.

Usai membeli buku mereka minum cay atau teh khas Turki di sebuah kafe yang menghadap ke selat bosporus. Mereka bercerita tentang kegiatan masing-masing. Nazgol bercerita tentang saudaranya dari Teheran yang berkunjung ke Istanbul. Nazgol dengan bangga memperaktekkan bahasa Turkinya saat ia menemani suadaranya saat berwisata keliling Turki.

Abdul bercerita tentang keluarganya yang baru saja pindah apartemen. Dan Faisal bercerita tentang kesibukannya mengisi kajian untuk masyarakat Indonesia di setiap akhir pekan. Nazgol terlebih dahulu meninggalkan kedua sahabatnya karena harus mengantar saudaranya  ke bandara karena akan kembali ke Teheran.

Di akhir perbincangan Abdul mengundang Faisal ke apartemen barunya. "Kami hendak melakukan tasyakuran," ujar Abdul. Faisal menganggung dan mengatakan, “Insya Allah saya akan datang,” ujarnya.

Faisal berkunjung ke rumah Abdul. Faisal diterima oleh Syed Hasyim, ayah Abdul. Di rumahnya sudah berkumpul satu keluarga. Syed Hasyim, Abdul, Fatimah, ibu Abdul, dan Nadwa adik Abdul. Dalam jamuan makan malam itu Syed Hasyim banyak bertanya tentang Indonesia khususnya Jakarta, sebab ia pernah bertugas di Jakarta selama dua tahun menjelang Reformasi 1998.

Sebelum Faisal beranjak pamit, Syed Hasyim mengatakan sesuatu yang membuat Faisal membisu. “Saya banyak mendengar tentangmu dari Abdul, wahai Faisal, maukah kamu menikahi Nadwa?” Tanya Syed Hasyim di hadapan keluarganya termasuk Nadwa.

Sebelum Faisal menjawab, ia diam dan berpikir keras untuk menjawabnya. Dan sebelum Faisal menjawab, Syed Hasyim menambahkan, “Tak perlu tergesa-gesa untuk menjawabnya.” Dengan tenang Faisal menjawab singkat, “Saya akan mempertimbangkannya.” Ia pun pamit kepada keluarga Abdul dengan pertanyaan yang masih menggantung dalam benaknya.

*****

Musim panas tiba di bulan Juni. Faisal, Abdul, Nazgol dan teman-teman sekelasnya mengantre masuk kapal feri. Kapal itu akan membawa penumpangnya mengelilingi selat Bosporus, selat yang membelah benua Asia dan Eropa. Faisal mengajak Nazgol naik ke lantai paling atas. Sebab di sana mereka bisa melihat keindahan Bosporus.

Kapal pun berjalan dan Faisal mulai bercerita pada Nazgol ihwal permintaan Syed Hasyim padanya. Faisal juga bercerita tentang Sinta yang menawan. Faisal meminta pendapat Nazgol tentang apa yang harus ia lakukan. Nazgol mengatakan sebaiknya Faisal menghubungi orangtuanya dan meminta pendapat mereka. 

“Orangtua kita lebih tahu tentang kita,” kata Nazgol.

Ungkapan Nazgol dan tatapannya begitu dalam menghujam hati Faisal. Ia baru tersadar, bahwa sebenarnya Nazgol pun diam-diam perhatian terhadapnya. Sebab, beberapa waktu lalu, tanpa diminta, biasanya Nazgol menawarkan diri untuk membantu Faisal. Apa saja. Terkadang SMS atau telepon berdering dari Nazgol menanyakan kabar dan lainnya. “Ah, semakin runyam saja hati ini,” ungkap Faisal dalam hati.

Faisal menelepon Husna, ibunya di Rangkasbitung. Ia bercerita tentang tawaran dari Syed Hasyim. Tentang keluarga yang harmonis itu. Tanpa disangka, ibunya menolak akan tawaran itu. Sebab, Husna menginginkan anaknya menikah di Indonesia.

Selang kemudian Faisal bercerita kepada Rani, kakaknya, tentang semua yang terjadi di Istanbul. Dalam benak Faisal, ia ingin memiliki keputusan sebelum pulang ke Indonesia, entah itu menikah dengan Nadwa, atau Sinta, mungkin juga Nazgol.

Dengan halus Rani berbicara kepada ibunya agar ia mengikhlaskan Faisal menikah dengan pilihan yang ada. Bahwa pernikahan adalah perintah sunah ajaran Nabi Muhammad. “Jika saatnya tiba, tidak ada yang bisa menghalanginya. Sebab nikah juga termasuk takdir Tuhan,” kata Rani dengan suara rendah kepada ibunya.

Setiap malam Husna melaksanakan tahajud dan istikharah untuk anaknya. Di akhir musim panas di bulan Agustus, Husna menelepon Faisal tentang pertanyaan yang ia ajukan. 

“Nak, hidup ini milikmu. Ibu ikhlas atas pilihan kamu. Jika menikah adalah pilihanmu saat ini, tentukanlah,” kata Husna di ujung telepon. 

Mendengar jawaban dan suara ibunya, tak terasa air mata Faisal menetes di pipinya. Ia bersyukur akhirnya ibunya mengikhlaskannya untuk menikah.

*****

Musim gugur tiba di bulan September. Usai keluar kelas ia berangkat menuju tempat favoritnya yaitu Ortakoy menggunakan tramway. Di dalam tramway ia melihat pemandangan Istanbul yang dihiasi dengan orang-orang yang memancing ikan di atas jembatan selat Bosporus. Di pinggir selat itu berdiri sejumlah masjid dengan menara yang begitu kokoh, dan dihiasi dengan burung-burang camar yang terbang rendah di atas permukaan air.

Sepanjang jalan, daun-daun pohon yang menguning kecoklatan berguguran tertiup angin. Trotoar-trotoar jalan dipenuhi dedaunan yang berjatuhan. Ia begitu menikmati suasana sejuk ini. Ia duduk di sebuah kafe di Ortakoy yang menghadap selat Bosporus. Ia menyeruput teh panas tanpa gula sembari berpikir dalam benaknya.

Seperti halnya daun yang mesti jatuh di musim gugur, ia pun harus menjatuhkan pilihannya. Meski, dalam pilihan itu ada orang lain yang gugur. Setelah melalui proses panjang dalam batin dan diskusinya dengan Tuhan melalui shalat istikharah, Faisal menentukan pilihannya. Ia memilih yang sudah jelas meminta dirinya untuk menikah. Ya, Faisal memilih menikah dengan Nadwa.

*****


Selesai

Merdeka!


Saya menulis ini di depan bendera merah putih yang berkibar di wisma KBRI Ankara. Pagi ini jam 7 sebelum upacara.

Saya duduk di tangga, sementara mentari beranjak meninggi. Angin sepoi mengibarkan bendera yang tangguh itu.

Suasana masih sepi. Kicauan burung, cecicitan binatang, menghibur pagi yang ceria ini.

Aku ingin Indonesia selalu berjaya layaknya bendera yang berkibar karena tiupan angin.

Indonesia harus berjaya dan menjadi banga besar dengan gelombang pergerakan ekonomi, sosial dan politik yang positif.

Indonesia harus menjadi kebanggaan bangsanya karena keunggulannya. Indonesia harus menjadi wadah untuk memupuk kesadaran kemanusiaan.

Indonesia juga harus menjadi rumah untuk ketuhanan yang maha esa. Keadilan sosial juga persatuan Indonesia.

Tidak mustahil, suatu ketika Indonesia menjadi buah bibir karena keagungan persuadaraan, keluhuran budi pekerti, serta kemajuan teknologi dan kesalehan spiritual dan sosial.

Di sini, saya menulis dari Ankara, untuk Indonesia. Dirgahayu HUT Kemerdekaan Republik Indonesia ke-68. Merdeka!

Ankara, 17 Agustus 2013

Ada Apa Dengan Rindu



Pernahkah engkau rindu
Akan rindu yang telanjur
Pada sebuah embun 
Yang singkat menjadi penyejuk

Adakah rindu hadir
Dalam hati dan pikir
Rindu yang bergelora dalam hati
Yang berimara dalam sanubari

Rindu datang pada waktunya
Rindu tak pernah musnah
Rindu menyelinap dalam dada
Rindu hinggap di setiap nada

Ada apa dengan rindu
Yang bernyanyi merdu
Menari dalam kalbu
Berirama mendayu

Siang malam berganti
Bulan dan mentari menyinari
Pikiran dan hati
Yang terpenjara sunyi

Siapa yang kuasa
Hilangkan rindu dalam dada
Ia tak pernah punya rasa
Yang selalu bergelora

Ankara, 28 Oktober 2013

Selasa, 15 Oktober 2013

Lebaran Menyenangkan



Sungguh, saya selalu senang jika berlebaran. Entah itu jika dirayakan di kampung halaman atau di perantauan. Bukan pula karena baju baru, sebab ada pengharapan baru yang selalu disajikan dalam berlebaran. Bahwa saling memberi, berkurban, berbagi, memaafkan dan air muka yang berserilah yang menghapus segala rasa menjadi kebahagiaan.

Tadi pagi saya shalat Ied di masjid dekat rumah yang saya tumpangi. Usai shalat saya ikut berbaris untuk bersalaman dengan imam dan para jemaah. Dari semua jamaah shalat Ied itu hanya saya yang orang asing. Tetapi senyum tulus dari saudara-saudara muslim Turki itu menghangatkan pagi yang dingin.

Dan saya teringat pertama kali merayakan Idul Kurban di perantauan. Sejak lulus SD tahun 1996 saya merantau dari Rangkasbitung ke Ponorogo untuk menuntut ilmu. Sejak saat itu sampai sekarang, perayaan Idul Adha kebanyakan saya rayakan di perantauan. Hanya sesekali saja dirayakan di kampung halaman ketika saya kuliah di Jakarta.

Di Gontor dulu, kami para santri sangat senang jika lebaran kurban tiba. Sebab tiga hari berturut-turut menu makanan di dapur umum adalah daging kurban. Kami menyebutnya dengan, yaumul malhamah, hari-hari berdaging. Macam-macam menu daging yang disajikan, mulai dari gulai, sate hingga semur daging. Bahkan kami hampir merasa bosan dengan menu itu.

Saat merantau ke Jakarta saya ingin merasakan aroma berlebaran di ibukota. Tahun 2003 saya dan beberapa teman melaksanakan shalat Ied di Masjid Istiqlal. Kami berangkat dari Pondok Pinang, sehabis shalat Isya. Kemudian menikmati malam takbiran di kota macet itu. Kami juga menikmati malam takbiran di Tugu Monas sebelum beranjak ke Masjid Istiqlal.

Sampai masjid Istiqlal tengah malam. Rupanya sudah banyak orang yang berada di dalam masjid itu. Ada yang shalat, membaca Alquran, bahkan ada juga yang tertidur. Kami berempat waktu itu menghabiskan pagi menjelang subuh dengan mengobrol sembari merebahkan badan di atas sajadah.

Tiba-tiba, sekitar pukul dua pagi, petugas masjid membangunkan kami yang tertidur, kemudian menyuruh kami keluar dari masjid. Bahkan orang yang sedang membaca Alquran pun diperintahkan untuk keluar dari masjid. Sebab, menurut marbot masjid, bahwa masjid Istiqlal akan dibersihkan untuk shalat Ied.

Adzan Subuh berkumandang. Kami pun mengambil air wudhu. Pintu masuk masjid Istiqlal dilengkapi dengan pintu X-Ray dan petugas keamanan. Ini dilakukan karena Presiden RI juga akan melangsungkan Shalat Ied di masjid terbesar di Asia Tenggara itu. Saya rasa, shalat di Istiqlal lebih lama tinimbang shalat Ied di tempat lain yang pernah saya rasakan.

Berbeda dengan di Turki, waktu shalat Ied di sini selalu berbeda-beda, menyesuaikan musim dan jam berapa terbitnya matahari. Tadi pagi, shalat Ied di Ankara dilaksanakan pada pukul 07.39. Sementara shalat Ied Fitri pada pukul sekitar pukul 06.30.

Pada tahun ini juga shalat Ied Fitri berbeda dengan beberapa waktu sebelumnya. Masyarakat dan pelajar Indonesia melaksanakan shalat Ied Fitri di Wisma KBRI Ankara. Lapangan tenis disulap menjadi hamparan karpet dan sajadah.

Namun untuk shalat Ied Kurban, KBRI tidak lagi melakukannya, karena banyak dari staf KBRI yang merayakan liburan dan cuti, bahkan ada yang mudik ke kampung halaman. Apalagi liburan lebaran haji di Turki lebih lama ketimbang liburan lebaran Syawwal yang digunakan untuk jalan-jalan.

Dari semua itu yang paling berkesan pada perayaan lebaran Kurban yaitu saat saya berada di Mekkah untuk berhaji. Tidak ada shalat Ied di sana. Sebab di hari yang sama para jemaah haji melaksanakan jumrah dan kembali ke Makkah untuk melaksanakan tahallul dan thawaf.

Saat lebaran inilah kita dihalalkan untuk bersenang-senang dan berbagi kesenangan. Bahkan bisa dikatakan bahwa orang fakir miskin pun tidak boleh untuk tidak senang. Semuanya harus senang. Maka berkurban adalah sarana mendekatkan diri kepada Allah SWT dan sesama manusia. 

Di akhir tulisan ini, dari hati yang paling dalam saya ingin mengucapkan, Selamat Hari Raya Idul Kurban. Taqabbalallu minna wa minkum, wa kullu sanah wa antum bikhair,  amin ya Rabbal ‘alamin.

Senin, 14 Oktober 2013

Filosofi Baduy

Sumber photo: sukubaduy.wordpress.com
Lojor teu beunang dipotong
Pondok teu beunang disambung
Gunung teu beunang dilebur…
Lebak teu beunang dirakrak
Buyut teu beunang dirobah

Larangan aya di darat di cai
Gunung aya maungan,
lebak aya badakan
Lembur aya kokolotan,
leuwi aya buayaan

Kudu teguh kudu patuh
Kudu cageur kudu bageur
Kudu pinter kudu beneur
Kudu Jalingeur kudu cingeur

Manuk hirup ku jangjangna
Lauk hirup ku asangna
Jelema hirup ku akalna
Otak, taktak, jeung ceplak
Mun teu bisa unyeum-unyeum
kudu bisa unyam anyam

Saluhureun pi bapaeun
Sapantaran pi batureun
Sahandapeun pi anakeun
Neangan elmu ti bincurang
Tapi ti papada urang

Lembu kungkung, kuda cangcang
Kebo kaluhan, jelema ikrab, ijab lisan
Jelema teu beunang dipeuncit diarah dagingna
tapi ucapan atawa lisanna


sumber tulisan: http://ima99ine.wordpress.com/2010/11/17/filosofi-baduy/

Jumat, 11 Oktober 2013

Hidayah untuk Siapa Saja



Saya yakin bahwa hidayah datang kepada orang yang dikehendaki Allah SWT. Hidayah atau petunjuk itu terkadang datangnya pun tak terduga. Meski selalu ada tahapan-tahapan untuk jalan mendapatkan hidayah ini.

Alkisah, seorang ibu yang akhirnya mengenakan kerudung dalam kesehariannya. Saya mengenal ibu ini sejak tinggal di Turki dan kini menetap di Jakarta. Awalnya, ibu ini, seperti wanita-wanita yang tak berkerudung mengenakan pakaian yang tidak menutup kepalanya. Namun si ibu ini selalu semangat kalau untuk belajar Islam.

Pengajian atau kajian Islam ibu-ibu di Ankara salah satu pencetusnya adalah ibu ini. Bahkan untuk pengajian rutin ibu-ibu Ankara tiap hari Rabu pertama kali diadakan di rumahnya. Suatu Rabu ibu ini mengenakan kerudung tertutup rapi, saya melihatnya pangling. Siapa gerangan orang ini, pikir saya, cantik dengan berkerudung.

Kami mengenal Bu Tam, panggilan saya untuk ibu ini, adalah orang yang baik budi pekertinya. Saya sudah menganggapnya sebagi guru saya. Saya merasa mendapatkan pelajaran jika berdiskusi dengannya. Ia jarang bicara yang tidak bermanfaat. Ia selalu mengucapkan minta tolong dan terimakasih jika membutuhkan bantuan saya.

Saya pernah mendengar bahwa Bu Tam, sejak di Turki memang sudah berniat untuk mengenakan kerudung. Tetapi sampai ia meninggalkan Turki, karena berakhirnya tugas sang suami, belum juga mengenakan kerudung. Hingga suatu hari saya mendapat kabar bahwa si ibu sudah paten mengenakan kerudung. Alhamdulillah.

Lihatlah cara Allah dalam memberi hidayah dalam kisah ini. Ada tahapan-tahapan. Seperti keinginan kuat dalam mempelajari Islam. Sempat suatu hari ia bertanya pada saya tentang sebuah Tafsir yang bagus yang ingin ia pelajari sebelum kembali ke Jakarta. Keinginan kuat dalam hati, doa yang terpatri tiap hari, keluarga yang meridhai, hingga akhirnya Allah memberikah hidayah kepadanya.

Banyak kisah tentang hidayah ini. Seperti seorang pembunuh yang sudah membunuh 99 orang lalu menghadap rahib. Namun rahib mengatakan Tuhan tidak akan mengampuni dosanya, lalu si pembunuh ini menuntaskan membunuh orang menjadi 100 nyawa. Dan ia kemudian tetap mencari petunjuk bagaimana mendapatkan ampunan dan taubatnya. Allah pun mengampuninya.

Atau kisah seorang pelacur yang memberi air minum seekor anjing yang kehausan. Sang pelacur dengan susah payah mengambil air di dalam sumur dan memberikannya kepada anjing. Allah mengampuni segala dosanya. Meski manusia sekitarnya tetap mengecap dirinya sebagai pelacur laknat.

Inilah hidayah yang diberikan, bahkan kepada orang yang dianggap oleh manusia sebagai orang terhina, namun Allah Yang Maha Pengasih mengangkat derajat orang ini karena keinginan kuat dalam dirinya untuk memperbaiki hidupnya.

Hidayah bisa datang kepada siapa saja yang dikehendaki. Hanya kekuatan hati seseorang dan Kemahabaikan Allah yang bisa mengantarkan seseorang mendapatkan hidayah. Dan jika Allah sudah menginginkan sesuatu, maka alam semesta dan manusia terkuat pun tak akan dapat menghalanginya.

Dalam setiap rakaat shalat kita diwajibkan membaca surat Alfatihah. Dalam dua ayat terakhir disebutkan, “Tunjukilah kami jalan yang lurus. (yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.”

Kita dapat mengambil hikmah dalam surat Alfatihah ini bahwa, kita selalu diperintahkan untuk selalu meminta hidayah kepada Allah. Sebuah jalan yang lurus. Hingga akhirnya kita termasuk golongan orang-orang yang diberi nikmat, bahkan sampai nanti di akhirat.

Dulu saya pernah berpikir bahwa kepastian di dunia ini adalah ketidakpastian. Namun sekarang sedikit berubah. Bahwa tidak ada kepastian di dunia ini kecuali kematian. Yap, kematian adalah satu-satunya yang pasti datang kepada makhluk yang bernyawa.

Benar kata kyai saya, Kyai Hasan, bahwa saat ini orang-orang banyak berpikir dan berbuat bagaimana cara hidup yang baik tapi lupa bagaimana cara mati yang baik. Artinya bagaimana cara mendapatkan husnul khatimah, kematian yang baik.

Semoga kita termasuk orang-orang yang selalu diberi hidayah oleh Allah dan menjadi husnul khatimah, Amin ya Rabbal’alamin.