Senin, 28 Oktober 2013

Cinta Berguguran di Istanbul


(Sebuah Cerita Pendek)

Faisal menyeruput teh pahit panas di kantin depan kampus Universitas Istanbul. Ia ditemani kedua sahabatnya, Abdul dan Nazgol. Di halaman luas depan kampus itu dipenuhi dengan burung merpati yang bergerombol memakan potongan-potongan roti. Faisal dan sahabatnya berbincang sembari menikmati pemandangan itu, usai jam belajar.

Sudah satu bulan ia tinggal di luar negeri. Keberadaannya di Istanbul untuk belajar bahasa dan budaya Turki selama satu tahun. Faisal menerima beasiswa dari pemerintah Turki. Awalnya, Faisal enggan untuk mengambil beasiswa ini. Alasannya di tahun itu ia harus menyelesaikan skripsinya. Namun beasiswa ini pun sayang jika tak diambil, pikirnya. Atas bimbingan dosen dan restu orangtuanya, ia akhirnya berangkat ke Turki pada Oktober 2007.

Di Turki ia tinggal di asrama mahasiswa Universitas Istanbul. Di kampus tertua di Turki ini ia bertemu dengan sahabat barunya, Abdul yang berasal Malaysia dan Nazgol dari Iran.

Hampir setiap hari Faisal sembahyang di Masjid Sultan Ahmet atau yang dikenal dengan Masjid Biru oleh orang Eropa. Sebab jarak antara asrama dan Masjid Biru hanya sekitar tiga kilometer. Ia merasakan kemegahan masjid tua peninggalan kejayaan Kesultanan Turki Usmani ini.

Masjid Biru tak pernah sepi oleh para pengunjung. Baik Muslim maupun non Muslim. Bagi non Muslim yang masuk ke masjid ini mesti mengenakan jilbab yang dipinjami oleh pengurus masjid setempat. Bahkan Presiden Amerika Barrack Obama pun pernah berziarah ke masjid ini.

Suatu hari di musim dingin di bulan Desember, Faisal bertemu dengan orang Indonesia bernama Ibrahim. Ibrahim sudah lama tinggal di Istanbul bersama keluarganya. Ibrahim ditugaskan pimpinannya untuk mengurus perusahaan telekomunikasi di Istanbul. Ibrahim mengundang Faisal untuk berkunjung ke apartemennya.

Di akhir pekan, Faisal datang ke apartemen Ibrahim yang berada di bilangan Taksim. Rupanya di rumah Ibrahim sudah banyak tamu yang datang. Setiap akhir pekan rumah Ibrahim selalu ramai oleh orang Indonesia. Tak ada acara khusus pada pertemuan itu. Namun, di benak Ibrahim, ia ingin ada sesuatu yang berharga. Ia ingin ada pengajian.

Faisal bercerita tentang asal-usulnya menerima beasiswa itu. Ia mengambil jurusan bahasa Arab di suatu kampus negeri di Jakarta. Ia menerima beasiswa itu tanpa sengaja. Faisal diam-diam mengajukannya karena ia suka bahasa asing. Dan akhirnya pengajuan beasiswanya diterima dan berangkatlah ke Turki. Selain Arab, 

Faisal juga mahir berbahasa Inggris. Sebab ia lulusan sebuah pesantren modern di Jawa Timur.

"Karena alumni pesantren, maukah Mas Faisal membagi ilmu agamanya kepada kami di setiap akhir pekan?" tanya Ibrahim memotong cerita Faisal.

Sejenak Faisal terdiam untuk mencari jawaban yang tepat. "Sebenarnya saya tidak begitu menguasai ilmu agama," jawab Faisal singkat.

"Tak usah begitu dalam pembahasan tentang agamanya, cukup yang dasar dan keseharian saja," kata Ibrahim. Faisal mengangguk dan Ibrahim tersenyum senang.

Kesibukan Faisal di Istanbul bertambah. Selain belajar bahasa dan budaya Turki, di akhir pekan ia mengisi kajian Islam di rumah Ibrahim. Warga Negara Indonesia yang di Istanbul selalu datang di setiap akhir pekan untuk mendengar dan berdiskusi tentang kajian Islam.

Awalnya Faisal biasa saja saat mengisi kajian itu. Namun kemudian ada yang mengganjal di hatinya saat menyajikan kajian itu. Sebab di barisan belakang selalu ada tatapan yang begitu tajam. Tatapan kagum dari seorang perempuan muda. Perempuan itu selalu tersenyum saat mata Faisal tertuju padanya.

Perempuan itu bernama Sinta. Sinta adalah anak pertama Ibrahim yang kuliah di Universitas Marmara di Istanbul. Sinta mengagumi Faisal karena begitu luas pengetahuannya. Ibrahim sebenarnya tahu tentang kesukaan Sinta pada Faisal. Bagi Ibrahim itu wajar. Melihat umur Sinta yang masih muda, Ibrahim tak ambil pusing.

"Ka Faisal, jangan bosen, ya, mengisi kajian," ucap Sinta saat Faisal hendak kembali ke Asrama. "Insya Allah," kata Faisal singkat sembari tersenyum.

Di dalam tramway menuju asrama, Faisal masih terngiang wajah dan ucapan Sinta. Seakan ada hal baru yang mengusik hati dan pikirannya. Faisal bersikeras untuk mengusir pikiran itu. Namun ia tak mampu. Bahkan semakin kuat menghilangkannya, semakin jelas wajah dan ungkapan kata-katanya. Dalam beberapa kesempatan kajian, hati dan pikiran itu masih bergejolak. Sebab tatapan Sinta begitu kuat.

*****
Nazgol sudah menunggu Abdul dan Faisal di pintu gerbang kampus. Sore itu mereka ingin berkunjung ke toko buku yang khusus menjual buku berbahasa Inggris di sekitar Masjid Biru. Nazgol membeli buku tentang Iran dan Timur Tengah. Sementara Abdul membeli buku sejarah Turki Modern dan Faisal membeli buku sejarah Kesultanan Turki Usmani.

Usai membeli buku mereka minum cay atau teh khas Turki di sebuah kafe yang menghadap ke selat bosporus. Mereka bercerita tentang kegiatan masing-masing. Nazgol bercerita tentang saudaranya dari Teheran yang berkunjung ke Istanbul. Nazgol dengan bangga memperaktekkan bahasa Turkinya saat ia menemani suadaranya saat berwisata keliling Turki.

Abdul bercerita tentang keluarganya yang baru saja pindah apartemen. Dan Faisal bercerita tentang kesibukannya mengisi kajian untuk masyarakat Indonesia di setiap akhir pekan. Nazgol terlebih dahulu meninggalkan kedua sahabatnya karena harus mengantar saudaranya  ke bandara karena akan kembali ke Teheran.

Di akhir perbincangan Abdul mengundang Faisal ke apartemen barunya. "Kami hendak melakukan tasyakuran," ujar Abdul. Faisal menganggung dan mengatakan, “Insya Allah saya akan datang,” ujarnya.

Faisal berkunjung ke rumah Abdul. Faisal diterima oleh Syed Hasyim, ayah Abdul. Di rumahnya sudah berkumpul satu keluarga. Syed Hasyim, Abdul, Fatimah, ibu Abdul, dan Nadwa adik Abdul. Dalam jamuan makan malam itu Syed Hasyim banyak bertanya tentang Indonesia khususnya Jakarta, sebab ia pernah bertugas di Jakarta selama dua tahun menjelang Reformasi 1998.

Sebelum Faisal beranjak pamit, Syed Hasyim mengatakan sesuatu yang membuat Faisal membisu. “Saya banyak mendengar tentangmu dari Abdul, wahai Faisal, maukah kamu menikahi Nadwa?” Tanya Syed Hasyim di hadapan keluarganya termasuk Nadwa.

Sebelum Faisal menjawab, ia diam dan berpikir keras untuk menjawabnya. Dan sebelum Faisal menjawab, Syed Hasyim menambahkan, “Tak perlu tergesa-gesa untuk menjawabnya.” Dengan tenang Faisal menjawab singkat, “Saya akan mempertimbangkannya.” Ia pun pamit kepada keluarga Abdul dengan pertanyaan yang masih menggantung dalam benaknya.

*****

Musim panas tiba di bulan Juni. Faisal, Abdul, Nazgol dan teman-teman sekelasnya mengantre masuk kapal feri. Kapal itu akan membawa penumpangnya mengelilingi selat Bosporus, selat yang membelah benua Asia dan Eropa. Faisal mengajak Nazgol naik ke lantai paling atas. Sebab di sana mereka bisa melihat keindahan Bosporus.

Kapal pun berjalan dan Faisal mulai bercerita pada Nazgol ihwal permintaan Syed Hasyim padanya. Faisal juga bercerita tentang Sinta yang menawan. Faisal meminta pendapat Nazgol tentang apa yang harus ia lakukan. Nazgol mengatakan sebaiknya Faisal menghubungi orangtuanya dan meminta pendapat mereka. 

“Orangtua kita lebih tahu tentang kita,” kata Nazgol.

Ungkapan Nazgol dan tatapannya begitu dalam menghujam hati Faisal. Ia baru tersadar, bahwa sebenarnya Nazgol pun diam-diam perhatian terhadapnya. Sebab, beberapa waktu lalu, tanpa diminta, biasanya Nazgol menawarkan diri untuk membantu Faisal. Apa saja. Terkadang SMS atau telepon berdering dari Nazgol menanyakan kabar dan lainnya. “Ah, semakin runyam saja hati ini,” ungkap Faisal dalam hati.

Faisal menelepon Husna, ibunya di Rangkasbitung. Ia bercerita tentang tawaran dari Syed Hasyim. Tentang keluarga yang harmonis itu. Tanpa disangka, ibunya menolak akan tawaran itu. Sebab, Husna menginginkan anaknya menikah di Indonesia.

Selang kemudian Faisal bercerita kepada Rani, kakaknya, tentang semua yang terjadi di Istanbul. Dalam benak Faisal, ia ingin memiliki keputusan sebelum pulang ke Indonesia, entah itu menikah dengan Nadwa, atau Sinta, mungkin juga Nazgol.

Dengan halus Rani berbicara kepada ibunya agar ia mengikhlaskan Faisal menikah dengan pilihan yang ada. Bahwa pernikahan adalah perintah sunah ajaran Nabi Muhammad. “Jika saatnya tiba, tidak ada yang bisa menghalanginya. Sebab nikah juga termasuk takdir Tuhan,” kata Rani dengan suara rendah kepada ibunya.

Setiap malam Husna melaksanakan tahajud dan istikharah untuk anaknya. Di akhir musim panas di bulan Agustus, Husna menelepon Faisal tentang pertanyaan yang ia ajukan. 

“Nak, hidup ini milikmu. Ibu ikhlas atas pilihan kamu. Jika menikah adalah pilihanmu saat ini, tentukanlah,” kata Husna di ujung telepon. 

Mendengar jawaban dan suara ibunya, tak terasa air mata Faisal menetes di pipinya. Ia bersyukur akhirnya ibunya mengikhlaskannya untuk menikah.

*****

Musim gugur tiba di bulan September. Usai keluar kelas ia berangkat menuju tempat favoritnya yaitu Ortakoy menggunakan tramway. Di dalam tramway ia melihat pemandangan Istanbul yang dihiasi dengan orang-orang yang memancing ikan di atas jembatan selat Bosporus. Di pinggir selat itu berdiri sejumlah masjid dengan menara yang begitu kokoh, dan dihiasi dengan burung-burang camar yang terbang rendah di atas permukaan air.

Sepanjang jalan, daun-daun pohon yang menguning kecoklatan berguguran tertiup angin. Trotoar-trotoar jalan dipenuhi dedaunan yang berjatuhan. Ia begitu menikmati suasana sejuk ini. Ia duduk di sebuah kafe di Ortakoy yang menghadap selat Bosporus. Ia menyeruput teh panas tanpa gula sembari berpikir dalam benaknya.

Seperti halnya daun yang mesti jatuh di musim gugur, ia pun harus menjatuhkan pilihannya. Meski, dalam pilihan itu ada orang lain yang gugur. Setelah melalui proses panjang dalam batin dan diskusinya dengan Tuhan melalui shalat istikharah, Faisal menentukan pilihannya. Ia memilih yang sudah jelas meminta dirinya untuk menikah. Ya, Faisal memilih menikah dengan Nadwa.

*****


Selesai

4 komentar:

  1. Asyik.. Nadwa yg mana pak? Hehe..

    BalasHapus
  2. Ini hanya sebuah cerpen, terinspirasi seorang sahabat yang menikah dengan perempuan Malaysia ketika ia studi di Dubai.

    BalasHapus
  3. hehe.. Begitu toh.. Jdiin nopel tad..

    BalasHapus