(Sebuah Cerita Pendek)
Faisal
menyeruput teh pahit panas di kantin depan kampus Universitas Istanbul. Ia
ditemani kedua sahabatnya, Abdul dan Nazgol. Di halaman luas depan kampus itu
dipenuhi dengan burung merpati yang bergerombol memakan potongan-potongan roti.
Faisal dan sahabatnya berbincang sembari menikmati pemandangan itu, usai jam
belajar.
Sudah
satu bulan ia tinggal di luar negeri. Keberadaannya di Istanbul untuk belajar
bahasa dan budaya Turki selama satu tahun. Faisal menerima beasiswa dari
pemerintah Turki. Awalnya, Faisal enggan untuk mengambil beasiswa ini.
Alasannya di tahun itu ia harus menyelesaikan skripsinya. Namun beasiswa ini
pun sayang jika tak diambil, pikirnya. Atas bimbingan dosen dan restu orangtuanya,
ia akhirnya berangkat ke Turki pada Oktober 2007.
Di
Turki ia tinggal di asrama mahasiswa Universitas Istanbul. Di kampus tertua di
Turki ini ia bertemu dengan sahabat barunya, Abdul yang berasal Malaysia dan
Nazgol dari Iran.
Hampir
setiap hari Faisal sembahyang di Masjid Sultan Ahmet atau yang dikenal dengan
Masjid Biru oleh orang Eropa. Sebab jarak antara asrama dan Masjid Biru hanya sekitar
tiga kilometer. Ia merasakan kemegahan masjid tua peninggalan kejayaan
Kesultanan Turki Usmani ini.
Masjid
Biru tak pernah sepi oleh para pengunjung. Baik Muslim maupun non Muslim. Bagi
non Muslim yang masuk ke masjid ini mesti mengenakan jilbab yang dipinjami oleh
pengurus masjid setempat. Bahkan Presiden Amerika Barrack Obama pun pernah
berziarah ke masjid ini.
Suatu
hari di musim dingin di bulan Desember, Faisal bertemu dengan orang Indonesia
bernama Ibrahim. Ibrahim sudah lama tinggal di Istanbul bersama keluarganya.
Ibrahim ditugaskan pimpinannya untuk mengurus perusahaan telekomunikasi di
Istanbul. Ibrahim mengundang Faisal untuk berkunjung ke apartemennya.
Di
akhir pekan, Faisal datang ke apartemen Ibrahim yang berada di bilangan Taksim.
Rupanya di rumah Ibrahim sudah banyak tamu yang datang. Setiap akhir pekan
rumah Ibrahim selalu ramai oleh orang Indonesia. Tak ada acara khusus pada
pertemuan itu. Namun, di benak Ibrahim, ia ingin ada sesuatu yang berharga. Ia
ingin ada pengajian.
Faisal
bercerita tentang asal-usulnya menerima beasiswa itu. Ia mengambil jurusan
bahasa Arab di suatu kampus negeri di Jakarta. Ia menerima beasiswa itu tanpa
sengaja. Faisal diam-diam mengajukannya karena ia suka bahasa asing. Dan
akhirnya pengajuan beasiswanya diterima dan berangkatlah ke Turki. Selain Arab,
Faisal juga mahir berbahasa Inggris. Sebab ia lulusan sebuah pesantren modern
di Jawa Timur.
"Karena
alumni pesantren, maukah Mas Faisal membagi ilmu agamanya kepada kami di setiap
akhir pekan?" tanya Ibrahim memotong cerita Faisal.
Sejenak
Faisal terdiam untuk mencari jawaban yang tepat. "Sebenarnya saya tidak
begitu menguasai ilmu agama," jawab Faisal singkat.
"Tak
usah begitu dalam pembahasan tentang agamanya, cukup yang dasar dan keseharian
saja," kata Ibrahim. Faisal mengangguk dan Ibrahim tersenyum senang.
Kesibukan
Faisal di Istanbul bertambah. Selain belajar bahasa dan budaya Turki, di akhir
pekan ia mengisi kajian Islam di rumah Ibrahim. Warga Negara Indonesia yang di
Istanbul selalu datang di setiap akhir pekan untuk mendengar dan berdiskusi
tentang kajian Islam.
Awalnya
Faisal biasa saja saat mengisi kajian itu. Namun kemudian ada yang mengganjal
di hatinya saat menyajikan kajian itu. Sebab di barisan belakang selalu ada
tatapan yang begitu tajam. Tatapan kagum dari seorang perempuan muda. Perempuan
itu selalu tersenyum saat mata Faisal tertuju padanya.
Perempuan
itu bernama Sinta. Sinta adalah anak pertama Ibrahim yang kuliah di Universitas
Marmara di Istanbul. Sinta mengagumi Faisal karena begitu luas pengetahuannya.
Ibrahim sebenarnya tahu tentang kesukaan Sinta pada Faisal. Bagi Ibrahim itu
wajar. Melihat umur Sinta yang masih muda, Ibrahim tak ambil pusing.
"Ka
Faisal, jangan bosen, ya, mengisi kajian," ucap Sinta saat Faisal hendak
kembali ke Asrama. "Insya Allah," kata Faisal singkat sembari
tersenyum.
Di
dalam tramway menuju asrama, Faisal masih terngiang wajah dan ucapan Sinta.
Seakan ada hal baru yang mengusik hati dan pikirannya. Faisal bersikeras untuk
mengusir pikiran itu. Namun ia tak mampu. Bahkan semakin kuat menghilangkannya,
semakin jelas wajah dan ungkapan kata-katanya. Dalam beberapa kesempatan
kajian, hati dan pikiran itu masih bergejolak. Sebab tatapan Sinta begitu kuat.
*****
Nazgol
sudah menunggu Abdul dan Faisal di pintu gerbang kampus. Sore itu mereka ingin
berkunjung ke toko buku yang khusus menjual buku berbahasa Inggris di sekitar
Masjid Biru. Nazgol membeli buku tentang Iran dan Timur Tengah. Sementara Abdul
membeli buku sejarah Turki Modern dan Faisal membeli buku sejarah Kesultanan
Turki Usmani.
Usai
membeli buku mereka minum cay atau teh khas Turki di sebuah kafe yang menghadap
ke selat bosporus. Mereka bercerita tentang kegiatan masing-masing. Nazgol
bercerita tentang saudaranya dari Teheran yang berkunjung ke Istanbul. Nazgol
dengan bangga memperaktekkan bahasa Turkinya saat ia menemani suadaranya saat
berwisata keliling Turki.
Abdul
bercerita tentang keluarganya yang baru saja pindah apartemen. Dan Faisal
bercerita tentang kesibukannya mengisi kajian untuk masyarakat Indonesia di
setiap akhir pekan. Nazgol terlebih dahulu meninggalkan kedua sahabatnya karena
harus mengantar saudaranya ke bandara
karena akan kembali ke Teheran.
Di
akhir perbincangan Abdul mengundang Faisal ke apartemen barunya. "Kami
hendak melakukan tasyakuran," ujar Abdul. Faisal menganggung dan
mengatakan, “Insya Allah saya akan datang,” ujarnya.
Faisal
berkunjung ke rumah Abdul. Faisal diterima oleh Syed Hasyim, ayah Abdul. Di
rumahnya sudah berkumpul satu keluarga. Syed Hasyim, Abdul, Fatimah, ibu Abdul,
dan Nadwa adik Abdul. Dalam jamuan makan malam itu Syed Hasyim banyak bertanya
tentang Indonesia khususnya Jakarta, sebab ia pernah bertugas di Jakarta selama
dua tahun menjelang Reformasi 1998.
Sebelum
Faisal beranjak pamit, Syed Hasyim mengatakan sesuatu yang membuat Faisal membisu.
“Saya banyak mendengar tentangmu dari Abdul, wahai Faisal, maukah kamu menikahi
Nadwa?” Tanya Syed Hasyim di hadapan keluarganya termasuk Nadwa.
Sebelum
Faisal menjawab, ia diam dan berpikir keras untuk menjawabnya. Dan sebelum
Faisal menjawab, Syed Hasyim menambahkan, “Tak perlu tergesa-gesa untuk
menjawabnya.” Dengan tenang Faisal menjawab singkat, “Saya akan
mempertimbangkannya.” Ia pun pamit kepada keluarga Abdul dengan pertanyaan yang
masih menggantung dalam benaknya.
*****
Musim
panas tiba di bulan Juni. Faisal, Abdul, Nazgol dan teman-teman sekelasnya
mengantre masuk kapal feri. Kapal itu akan membawa penumpangnya mengelilingi
selat Bosporus, selat yang membelah benua Asia dan Eropa. Faisal mengajak
Nazgol naik ke lantai paling atas. Sebab di sana mereka bisa melihat keindahan
Bosporus.
Kapal
pun berjalan dan Faisal mulai bercerita pada Nazgol ihwal permintaan Syed
Hasyim padanya. Faisal juga bercerita tentang Sinta yang menawan. Faisal
meminta pendapat Nazgol tentang apa yang harus ia lakukan. Nazgol mengatakan
sebaiknya Faisal menghubungi orangtuanya dan meminta pendapat mereka.
“Orangtua
kita lebih tahu tentang kita,” kata Nazgol.
Ungkapan
Nazgol dan tatapannya begitu dalam menghujam hati Faisal. Ia baru tersadar, bahwa
sebenarnya Nazgol pun diam-diam perhatian terhadapnya. Sebab, beberapa waktu
lalu, tanpa diminta, biasanya Nazgol menawarkan diri untuk membantu Faisal. Apa
saja. Terkadang SMS atau telepon berdering dari Nazgol menanyakan kabar dan
lainnya. “Ah, semakin runyam saja hati ini,” ungkap Faisal dalam hati.
Faisal
menelepon Husna, ibunya di Rangkasbitung. Ia bercerita tentang tawaran dari
Syed Hasyim. Tentang keluarga yang harmonis itu. Tanpa disangka, ibunya menolak
akan tawaran itu. Sebab, Husna menginginkan anaknya menikah di Indonesia.
Selang
kemudian Faisal bercerita kepada Rani, kakaknya, tentang semua yang terjadi di
Istanbul. Dalam benak Faisal, ia ingin memiliki keputusan sebelum pulang ke
Indonesia, entah itu menikah dengan Nadwa, atau Sinta, mungkin juga Nazgol.
Dengan
halus Rani berbicara kepada ibunya agar ia mengikhlaskan Faisal menikah dengan
pilihan yang ada. Bahwa pernikahan adalah perintah sunah ajaran Nabi Muhammad.
“Jika saatnya tiba, tidak ada yang bisa menghalanginya. Sebab nikah juga
termasuk takdir Tuhan,” kata Rani dengan suara rendah kepada ibunya.
Setiap
malam Husna melaksanakan tahajud dan istikharah untuk anaknya. Di akhir musim
panas di bulan Agustus, Husna menelepon Faisal tentang pertanyaan yang ia
ajukan.
“Nak, hidup ini milikmu. Ibu ikhlas atas pilihan kamu. Jika menikah
adalah pilihanmu saat ini, tentukanlah,” kata Husna di ujung telepon.
Mendengar
jawaban dan suara ibunya, tak terasa air mata Faisal menetes di pipinya. Ia
bersyukur akhirnya ibunya mengikhlaskannya untuk menikah.
*****
Musim
gugur tiba di bulan September. Usai keluar kelas ia berangkat menuju tempat
favoritnya yaitu Ortakoy menggunakan tramway. Di dalam tramway ia melihat
pemandangan Istanbul yang dihiasi dengan orang-orang yang memancing ikan di
atas jembatan selat Bosporus. Di pinggir selat itu berdiri sejumlah masjid dengan
menara yang begitu kokoh, dan dihiasi dengan burung-burang camar yang terbang
rendah di atas permukaan air.
Sepanjang
jalan, daun-daun pohon yang menguning kecoklatan berguguran tertiup angin.
Trotoar-trotoar jalan dipenuhi dedaunan yang berjatuhan. Ia begitu menikmati
suasana sejuk ini. Ia duduk di sebuah kafe di Ortakoy yang menghadap selat
Bosporus. Ia menyeruput teh panas tanpa gula sembari berpikir dalam benaknya.
Seperti
halnya daun yang mesti jatuh di musim gugur, ia pun harus menjatuhkan
pilihannya. Meski, dalam pilihan itu ada orang lain yang gugur. Setelah melalui
proses panjang dalam batin dan diskusinya dengan Tuhan melalui shalat
istikharah, Faisal menentukan pilihannya. Ia memilih yang sudah jelas meminta
dirinya untuk menikah. Ya, Faisal memilih menikah dengan Nadwa.
*****
Selesai
Asyik.. Nadwa yg mana pak? Hehe..
BalasHapusIni hanya sebuah cerpen, terinspirasi seorang sahabat yang menikah dengan perempuan Malaysia ketika ia studi di Dubai.
BalasHapushehe.. Begitu toh.. Jdiin nopel tad..
BalasHapusinsya Allah, mohon doanya :)
BalasHapus