Kang Deden

Tidak ada awal, akhir ataupun pertengahan, sebab yang ada hanyalah perjalanan.

Kang Deden

Orang besar ialah orang yang sudah selesai dengan dirinya sendiri.

Kang Deden

Berlarilah mengejar impian. Disana terdapat indahnya kehidupan.

Kang Deden

Berjalanlah, engkau akan mendapatkan banyak pelajaran.

Kang Deden

Tenangkan hatimu, karena itu sumber kebahagiaan.

Minggu, 26 Februari 2012

Pada Siapa Lagi Ku Bertanya

Entah mengapa suka senja
Apalagi di musim dingin
Sinar mentari kuning itu menenangkan
Bagi siapa saja yang menikmatinya


Ku bertanya padamu
Apakah kau juga suka senja
Ah pasti kau diam saja
Pada siapa lagi ku bertanya


Ankara Senja, 21 Februari 2012

Dalam Tanda

Dalam diam kubergerak
Dalam langkah kubertingkah
Dalam tanda kuberkata
Ungkapkan sebuah cinta


Ankara, Sabtu, 25 Februari 2012

Rabu, 22 Februari 2012

Fetih 1453, Sebuah Penaklukkan Konstantinopel


Fetih atau penaklukkan 1453 merupakan film yang paling banyak ditonton di Turki. Padahal film ini baru dirilis pada 16 Februari 2012 atau lima hari yang lalu pas saya tonton. Bahkan ruangan yang disediakan untuk film Fetih 1453 ini sampai tiga ruangan. Di ruangan yang saya tonton hampir 80 persen kursi dipenuhi para penonton. 


Film ini berkisah tentang penaklukkan konstantinopel oleh Sultan Mehmet II pada tahun 1453. Film diawali dengan hadist Nabi Muhammad SAW yang menyatakan bahwa, suatu ketika kerajaan Konstantinopel akan ditaklukkan, pemimpin yang dapat menaklukkan itu adalah sebaik-baiknya pemimpin dan tentara yang dapat menakukan adalah sebaik-baiknya tentara. 


Film ini bagi saya berhasil menyuguhkan gambaran tentang penaklukkan Konstantinopel menjadi Istanbul. Meskipun terlalu singkat. Sebenarnya, jauh sebelum menonton film ini, saya sudah membaca buku tentang sejarah penaklukkan Konstantinopel. Menonton film ini hanya menyamakan persepsi bayangan bacaan dengan audio visual yang disuguhkan dalam layar lebar.


Buku 1453
Buku yang mengisahkan detik-detik penaklukkan adalah buku 1453 karya Roger Crowley. Perbedaan antara film dan buku bagi saya adalah, dalam film hanya sedikit kata-kata dan lebih banyak adegan. Sementara dalam buku banyak kata-kata dan ungkapan yang lebih luas dan menarik sehingga kita dapat lebih berinteraksi dengan imajinasi kita. 


Di film Fetih 1453 ini misalnya, ada beberapa adegan yang singkat. Seperti, saat penggalian ruang bawah tanah untuk menembus pertahanan kerajaan konstantinopel lewat bawah tanah. Atau adegan pengangkutan perahu perang ke atas bukit untuk menyeberang selat Bosporus yang ditutup oleh rantai besar. Sangat singkat. Tapi tetap keren. 


Karena film ini film sejarah, maka setiap adegan yang satu ke adegan yang lain ada keterangan tempat dan waktu. Misalnya, Konstantinopel – Istanbul 1452, Edirne 1451 atau yang lainnya. Dan yang mengagumkan adalah pengambilan gambar dalam film ini yang seakan-akan memang terjadi pada abad ke-15.


Ada adegan yang lucu yaitu adegan Sultan Mehmet II sedang galau. Hahaha, sultan juga manusia yang bisa galau. Sultan mengurung diri sampai dua hari di tenda peperangan. Kegalauan sultan disebabkan karena setelah 40 hari peperangan tidak membuahkan hasil. Untuk menghilangkan kegalauannya datanglah sang guru memberikan nasihat dan semangat padanya.


Penasaran filmnya? Tonton aja di bioskop terdekat, hehehe. Film yang berbahasa Turki ini berdurasi selama 160 menit. Budget untuk membuat film yang disutradarai oleh Faruk Aksoy ini menghabiskan dana sebanyak 17 juta USD dan menjadi biaya produksi film termahal di Turki sepanjang sejarah. 


Apa pesan yang bisa kita ambil dari film ini. Kalau Sultan Mehmet II bisa menaklukkan Konstantinopel menjadi Istanbul pada 1453, sementara kita? Ya, betul, bagi kita pesannya adalah kita juga harus bisa menaklukkan diri kita sendiri, karena perang yang paling besar adalah memerangi nafsu diri kita sendiri, setuju kan?





Selasa, 21 Februari 2012

What a Girl Wants


Film yang diproduksi tahun 2003 ini sebenarnya berkisah tentang cinta sang ayah pada putrinya. Itu yang saya tangkap. Mirip dengan film yang beralur yang tak jauh berbeda, misalnya, Chasing Liberty, First Daughter atau film lainya yang pernah saya tonton yaitu Queen Bee. 


Film ini berkisah tentang seorang putri, Daphne, yang belum pernah bertemu ayahnya hingga usianya menginjak 17 tahun. Dan pada setiap ulang tahunnya, ia hanya berharap bisa bertemu ayahnya yang sering didongengkan oleh ibunya. Ia lahir di Amerika dan sangat kental dengan budayanya. Sementara ayahnya tinggal di benua Eropa, tepatnya di London Inggris.


Photo: imdb.com
Ayahnya seorang bangsawan di Inggris. Dan ayahnya tidak menolak putrinya meski ia masuk istana sang ayah dengan memanjat pagar. Ayahnya serasa terbawa suasana saat sang putri menunjukkan photo dirinya belasan tahun lalu. 


Sang ayah tersadar bahwa kini putrinya sudah beranjak remaja. Diakhir cerita (pokoknya tonton aja deh filmnya), sang ayah memutuskan untuk mundur dari jabatannya dan hanya ingin bertemu sang putrinya. Haru dan romantis. Eaaah. 


Ini soal cinta sang ayah. Hampir sama semua karakter sang ayah di beberapa film yang saya sebutkan di atas. Sang ayah berusaha keras untuk mengikuti keinginan sang putrinya. Mirip juga seperti kata-kata Naga Bonar kepada anaknya Bonaga, bahwa ia tak paham tentang zaman anaknya, namun ia berusaha untuk memahaminya, di film naga Bonar menjadi dua itu. 


Atau cerita cinta sang ayah pada anaknya Ikal dalam film laskar pelangi. Ayah memang juara 1 di dunia. Ya, saya pikir semua ayah hampir sama. Pun begitu dengan ayah saya yang sangat sederhana. Benar-benar sederhana. Karena kesederhanaan itulah yang menjadi abadi di hati saya.


Saya tak akan melupakan adegan ini, ketika itu saya ingin membuat paspor. Saya ingin membuat paspor sendiri ke Serang, Banten. Karena semua saudara saya tau termasuk ayah ibu saya, maka sang ayah menawarkan diri untuk menemani saya membuat paspor. Ia menyemirkan kedua pasang sepatu untuknya dan untuk saya di malam hari untuk kami pakai saat mengajukan pembuatan paspor. 


Atau setiap mau lebaran, ayah saya selalu mengajak saya untuk membeli daging yang akan dibuat semur untuk masakan spesial jamuan lebaran. Karena belinya di luar kota, maka kami berangkat dari rumah kami usai sahur dan sholat subuh. Kata ayah saya sih, agar daging yang kami beli masih bagus dan segar.


Ya, ayah memang tidak banyak cakap. Ia lebih banyak diam. Dalam diamnya ia belajar memahami apa yang diinginkan anak-anaknya. Ayah sayalah yang paling depan mengiyakan dan memotivasi saya jika saya menginginkan sesuatu yang baik untuk saya. 


Dalam film what a girl wants ini pun sang ayah begitu sayang sama putri semata wayangnya. Meski saya pikir film ini benar-benar dongeng belaka. Haha. Tapi okelah untuk menghibur saya di tengah kesibukan ngetesis, hehe..

Senin, 20 Februari 2012

Istikharah dan Pencarian


Istikaharah, kata temen saya itu bukan hanya sekali saja dilakukan tetapi dengan cara seksama dan berlangsung lama. Jawaban dari istikharah itu pula tidak selalu datang dalam mimpi. Jawaban dari istikharah datang dari berbagai arah dan kadang tak terduga. 


Teman saya bercerita tentang bagaimana dia beristikharah untuk meminang seorang wanita namun berbeda kewarganegaraan. Cerita ini ia kemukakan saat ia bertandang ke Ankara, Turki bersama keluarga besar istrinya.


Ghafur nama teman saya itu. Ia adalah sahabat sekampung dan seperjuangan di perantauan pas di sekolah menengah atas alias KMI Gontor di Jawa Timur dulu. Ia beruntung saat kuliah di ISID Gontor di tahun ketiga mendapatkan beasiswa untuk belajar bahasa Arab di Qatar. Disinilah cerita ini berawal.


Saat ia mengikuti kursus bahasa arab di Qatar (padahal teman saya ini fasih betul bahasa arabnya), salah seorang temannya menawarkan adik perempuannya untuk menjadi calon istrinya. Tentu dengan cara yang baik-baik. 


Ia tidak langsung bisa menerima tawaran itu. Banyak step-step yang harus dilalui. Dan sebenarnya, ia mengaku belum terpikir untuk menikah. Karana ada penawaran maka ia pun mulai memikirkannya dengan serius.


Beberapa hal yang harus ia selesaikan, diantaranya adalah, bagaimana dengan kuliahnya di ISID Gontor sementara ia di Qatar hanya untuk kursus bahasa arab. Kedua, keluarganya di Rangkasbitung apakah dengan begitu saja menerima tawaran rekannya itu. Ketiga, bagaimana dengan menikah beda kewarganegaraan. Dan masih banyak lagi, sih. Tetapi cukuplah segitu saja, yah..


Berdoalah pada-Ku niscaya Kukabulkan./Photo: blog.mixterr.com
Sembari shalat istikharah setiap hari, ia juga meyakinkan keluarganya bahwa semuanya akan baik-baik saja, apalagi calon istrinya adalah muslimah yang shalihah (insya Allah). Dengan berpikir dan berusaha keras akhirnya jalan menuju pernikahan terbuka setelah dilakukan dialog yang panjang antara dirinya, keluarganya dan keluarga calon istrinya. Ia pun menikah di Qatar dan kini sudah dikaruniai satu anak perempuan yang cantik.


Ada juga teman saya yang bertemu calon istrinya lewat sosial media. Bukan di facebook atau twitter yang sekarang lagi ngetrend tapi lewat Friendster yang waktu itu sedang ngetrend-ngetrendnya. Teman saya waktu itu masih kuliah di Kairo, Mesir. Sementara calon istrinya kuliah di Bogor. 


Teman saya yang ini adalah Mahir. Setelah beristikharah dan berbincang dengan kedua keluarga akhirnya ia memutuskan untuk menikah meski masih tercatat sebagai mahasiswa di negeri para nabi itu. Kini ia sudah lulus dari al-Azhar University dan memiliki satu putri yang cantik.


Satu lagi cerita dari teman dekat saya di Ciputat dulu. Ia sebenarnya sudah dekat dengan temannya. Namun setelah ia lulus dari kampus ia ingin menikah namun temannya itu tidak mau. Akhirnya ia tetap ikhtiar atau berusaha mencari calon yang tepat. 


Tak dinyana ia mendapatkannya dari agenda kelulusan kampus. Karena disana terdapat alamat dan nomor hape. Dan dengan istikharah juga teman saya itu akhirnya yakin untuk menikah dengan calon istrinya yang baru ia kenal. Kalau teman yang ini namanya Muin. Ia juga sudah diberkahi seorang putera yang gagah.


Dari beberapa cerita teman saya di atas, baik Ghafur, Mahir maupun Muin, kita dapat melihat bahwa setiap orang memiliki alur cerita kehidupannya masih-masing. Mungkin masih banyak cerita yang lainnya yang tidak bisa saya tulis di sini satu persatu. 


Tapi yang pasti ada kesamaannya. Pertama, mereka memiliki niat yang tulus untuk memenuhi perintah agama untuk melangsungkan pernikahan. Kedua, mereka juga melaksanakan niatnya dengan ikhtiar atau usaha yang serius untuk mencari pasangan hidupnya. 


Ketiga adalah mereka juga memanjatkan doa dengan shalat istikharah atau meminta petunjuk kepada Tuhan untuk menetapkan keyakinan siapa yang akan menjadi teman hidupnya yang memang sebenarnya sudah ditetapkan olehNya di lauhul mahfudz sana. Keempat adalah mereka juga sabar menanti jawaban yang sudah mereka usahakan. 


Jadi memang pada akhirnya kita harus mengikuti arahan sutradara kehidupan kita. Dalam salah satu episode, misalnya, kita harus merasakan kegagalan dalam pencarian. Atau dalam satu adegan kita harus kehilangan sesuatau yang memang itu sebenarnya hanya fatamorgana. 


Ini mungkin agar kita tetap istiqamah dalam jalan yang diinginkan oleh sang sutradara. Agar kita tidak sombong dengan apa yang kita dapatkan atau agar kita tidak terlalu terpuruk saat terjatuh. Dan agar kita hanya bergantung pada yang punya kehidupan ini.


Kembali ke cerita teman-teman saya di atas. Jika kita memang belum menemukan yang kita cari, maka yaitu tadi, yang pertama adalah niat yang tulus, kedua ikhtiar atau usaha yang kuat, ketiga istikharah yang berlangsung lama dan yang paling akhir adalah sabar yang tak berujung. 


Tidak gampang memang ini semua, tapi kalau kita laksanakan dengan seksama insya Allah semua yang ada di langit dan di bumi merestui usaha kita. Wallahu ‘alam.

Kamis, 16 Februari 2012

Menunggu Maghrib


Kaligrafi bercorak biru hiasi dinding masjid Cebeci
Karpet merah yang sudah kusam tanda sering dipakai
Pak tua di sudut itu memegang tasbih dan berzikir dalam hati
Satu persatu jemaah datang penuhi masjid ini


Lampu gantung kristal menerangi ruangan 
Yang dipenuhi para pesujud dan penyembah Tuhan
Adakah kekuatan yang bisa menandingi Pemberi kekuatanan
Adakah kesenangan yang melebihi ketenangan 


Adzan berkumandang dari pengeras suara
Muadzin memanggil kita untuk segera melaksanakan kewajiban
Jika senggang laksakanlah kewajiban dan kesunahan
Kalau sibuk cukup laksanakan itu kewajiban


Masjid Cebeci di Malam Hari yang Bersalju

Senin, 13 Februari 2012

Kecuali Cinta


Kecuali cinta. Ia tak dapat diterka. Tapi dapat terasa dalam dada. Cinta jangan dicari. Ia akan datang di waktu yang tek pernah terpikirkan. Karena tak terlihat ia menjadi nyata. 

Kenyataannya membuat orang bertambah menjadi. Menjadi apa saja. Yang diam menjadi riang. Yang lengang menjadi riuh. Ia bergejolak. 

Tak dapat dihentikan oleh apa pun. Dan pada saatnya ia tak pernah salah. Ia hadir dimana saja sekehendaknya. 

Tak peduli apa itu berada di ujung dunia. Pun tak peduli apa yang orang katakan padanya. Ia bisa menghancurkan apa yang tidak bisa dihancurkan. 

Ia menerjang ombak. Ia menghantam badai. Ia bersahabat dalam kegelapan yang menjadikannya terang. 

Ia mengalir seperti air. Ia berbelok di tikungan tajam tanpa aling-aling. Ia bermain dengan irama yang mendebar. Ia memesona. 

Ia tak lekang dikungkung zaman. Tak habis ditelan waktu. Tak pernah ia berbohong, meski kadang orangnyalah yang pura-pura tak merasa. Ia jujur dengan kejujurannya.  

Jika kamu bertanya mengapa aku mencintaimu, aku menjawab aku mencintaimu karena cinta, kemudian kamu bertanya lagi, apa itu cinta, dan aku jawab cinta itu kamu.


Minggu, 12 Februari 2012

Cerita Tentang Menulis (5)


Ada satu harapan yang menggebu dan saya tidak mendapatkannya yaitu kuliah di Mesir. Tau kan kenapa Mesir? Karena guru favorit saya itu yang memperkenalkannya kepada saya. 

Pas saya mengabdi saya meminta ijin kepada ibu saya untuk melanjutkan studi saya di Mesir dengan mengikuti ujian untuk belajar ke Mesir di Jakarta. Ibu saya tiba-tiba melarang saya untuk ikut ujian itu. Dan saya pun galau.

Photo: www.blacksmile.net
Karena permintaan saya ditolak, maka saya meminta dua permintaan kepada ibu saya, pertama saya kuliah di Jakarta, kedua saya kuliah saja tanpa embel-embel mengajar di sebuah sekolah seperti kedua kakak saya, dan ibu saya menyetujuinya. 

Sebelum kuliah di Jakarta saya mengajar di sebuah MI dan MTs di Jakarta Selatan hingga saya berhenti dan saya sibuk dalam dunia perkuliahan. Saat itu saya juga belajar menulis di Taman Ismail Marzuki (TIM) yang diadakan oleh forum lingkar pena (FLP)  Jakarta selama enam bulan sebelum kuliah dimulai di tahun 2003-2004.

Saya lulus di jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ini jurusan pilihan saya. Karena saya suka menulis. Menulis bagi saya adalah berbagi. Di tahun pertama, saya diajak senior saya untuk masuk ke dalam majalah Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi. 

Nama majalahnya adalah Jeda. Di Majalah Jeda saya berkreasi. Pertama kali saya liputan untuk Majalah Jeda bersama rekan saya Tyas adalah mewawancarai pendiri FLP yaitu Helvy Tiana Rosa di kantornya di kawasan TIM. Sampai akhirnya saya menjadi Pemimpin Redaksi di Majalah Jeda itu.

Selain aktif di Majalah Jeda saya juga aktif di berbagai organisasi baik intra maupun ektra kampus. Juga saya membantu rekan saya merancang sebuah proposal untuk membuat radio komunitas di fakultas dengan nama RDK FM atau Radio Dakwah dan Komunikasi. 

Saya pun setiap seminggu sekali menjadi penyiar radio di radio komunitas itu tentunya setelah pihak dekanat menyetujui proposal yang kami buat.

Waktu saya di Ciputat pun terasa cepat berlalu, karena saya aktif dimana-mana, hingga tempat tinggal saya pun adalah tempat perkumpulan atau organisasi primordial yaitu himpunan mahasiswa banten yang saya sempat menjadi ketua asrama pertama kali saat asrama baru itu selesai dibangun. 

Usai keluar kelas saya sering mengikuti rapat dari satu organisasi ke organisasi lainnya hingga larut malam dan rupanya di asrama pun masih ada rapat yang harus saya ikuti. Sempat juga aktif dan tampil dalam sebuah sanggar teater bernama sanggar tonggak.

Di kelas saya sering diperbantukan oleh dosen untuk membantunya di pusat pengkajian komunikasi dan media atau P2KM Fidkom UIN Jakarta. Setelah lulus kuliah selama tujuh semester atau 3,5 tahun saya sempat menjadi asistes dosen atau asdos sebelum akhirnya saya bekerja menjadi jurnalis di harian umum Republika.

Pas di Republika itulah saya benar-benar digembleng dalam reportase dan menulis. Mentor saya, Nasihin Masha, di Republika saat ini menjadi Pemimpin Redaksi. Hampir setiap hari saya ke kantor untuk menyerahkan tulisan saya untuk dikoreksi oleh mentor itu selama tiga bulan pertama. Begitulah akhirnya saya bisa menulis seperti sekarang ini. Dan saya ingin menjadi penulis yang bermanfaat bagi saya dan yang lainnya.

(selesai)

Cerita Tentang Menulis (4)


Guru saya di Gontor banyak memberikan ilmu pengetahuan. Salah satu guru favorit saya waktu kelas lima dan enam adalah Ustad Suharto yang kini menjadi Pengasuh Pondok Modern Gontor Putri 1 di Mantingan Ngawi. 

Begitu luasnya ilmu beliau dan saya terpukau dengan apa yang diterangkannya. Beliau mengkaji soal tafsir setiap habis solat ashar di masjid. Tapi cerita soal tafsir tidak melulu tentang hukum. Beliau bercerita tentang sejarah Bani Israel, sejarah Mesir dan sejarah dunia lainnya.

Photo: www.fcsl.edu
Efeknya saya ingin melanjutkan sekolah ke negeri Nabi Musa itu. Ya, karena beliau itu. Saya juga banyak baca literasi tentang Kairo dan Mesir kuno. Dan (lagi) khayalan saya lebih cepat melebihi perjalanan fisik saya. Pikiran saya berpetualang jika diajar oleh Ustadz Suharto.

Beliau seakan-akan mengajak kami berpetualang dan kami tidak sadar jika lonceng berbunyi tanda berakhirnya waktu baca Quran atau kajian tafsir di Pondok kami sore itu.

Usai lulus dari Gontor pada tahun 2002, saya mengabdi di Gontor 1 dan mengajar mata pelajaran sejarah dunia dan sejarah islam dalam bahasa arab. Dan saya mengajar tentang pelajaran yang saya sukai. 

Sebab pelajaran itu adalah pelajaran bercerita. Saya memang suka sejarah. Karena dengan membaca sejarah pikiran saya berpetualang dan menerka-nerka apa yang telah terjadi di masa lampau.

Di waktu bersamaan, selain mengajar saya juga sekolah atau kuliah gratis di Institut Studi Islam Darussalam (ISID) Gontor dengan jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI), meski sebenarnya saya tidak suka dengan jurusan ini. 

Gratis karena saya mengabdi di Gontor 1 dan Gontor 2 yang berdekatan dengan kampus ISID pusat. Salah satu mata kuliah yang saya sukai waktu di PAI ISID adalah SPI atau sejarah peradaban Islam.

Mungkin masa-masa paling sibuk bagi saya adalah waktu SD hingga kuliah di ISID. Sibuk di sini artinya sibuk dengan kegiatan yang wajib. Saat SD misalnya, pagi sampai siang saya sekolah di SD, dan sore harinya sekolah agama. 

Di Gontor apalagi hingga 24 jam waktu begitu cepat berputar. Pagi masuk kelas, sore pun begitu sampai sholat Ashar. Sehabis ashar hingga jam 5 ada waktu senggang. Di malam hari kami wajib ke kelas untuk belajar malam hingga pukul 21.30.

Bagaimana dengan pengabdian? Sama saja. Paginya mengejar di kelas, sorenya kuliah di kampus. Apalagi  ketika saya mengabdi di Gontor 2 pada enam bulan kedua. 

Di Gontor 2 selain mengajar di kelas, saya juga menjadi pengurus asrama sekaligus menjadi bagian kebersihan yang mengontrol para santri saat membersihkan pondok. Nah, kesibukan ini yang membawa saya juga, menjadi sibuk kuliah di Jakarta.

(bersambung)

Cerita Tentang Menulis (3)


Saya melanjutkan sekolah di sebuah kampung di Kabupaten Ponorogo Jawa Timur pada pertangahan tahun 1996. Inginnya sih langsung masuk di Pondok Modern Darussalam Gontor, tapi karena Gontor buka pendaftarannya di bulan Syawwal yang jatuh di awal tahun waktu itu, akhirnya saya masuk Pondok Modern Ar-Risalah sekitar tujuh kilometer dari Gontor. 

Tidak lama saya sekolah di Ar-Risalah, hanya sekitar enam bukan. Selanjutanya saya sekolah di Gontor, tentu dengan ujian yang super ketat itu. Untungnya saya sudah belajar agama di sekolah agama dulu dan belajar mengaji sejak sebelum masuk SD yang diajari langsung oleh ibu saya. 
Photo: www.fanpop.com

Ujian untuk masuk Gontor diantaranya adalah berhitung, bahasa Indonesia, Imla atau dikte dalam bahasa arab, dan membaca Al-Quran, dan alhamdulilllah-nya saya suka semua pelajaran yang diujikan itu. Dan ujian pun lancar. Nomor stanbuk saya di Gontor adalah 23833.

Di pondok Gontor ada kewajiban setiap seminggu sekali untuk masuk ke perpustakaan. Jadi saya pun meminjam buku untuk dibaca di waktu senggang selain baca buku pelajaran yang buanyak itu. 

Dari sana saya juga melihat dunia lebih luas lagi. Tentang negara-negara penakluk dunia, tentang tempat-tempat peninggalan sejarah dunia dan yang lainnya. Dan saya kemudian membeli buku agenda atau diary untuk saya catat tentang keseharian saya di pondok.

Di kelas tiga saya masuk club beladiri namanya perbeda alias persatuan beladiri Darussalam. Tapi hanya setahun saya bertahan di sana. Karena dalam diri saya ada jiwa seninya yang lebih condong terhadap dunia membaca dan menulis. 

Klub selanjutnya yang saya ikuti adalah teater Islam Darussalam atau Terisda. Rupanya di dalam Terisda ada juga club naungannya yaitu Himpunan Peminat Sastra Darussalam atau Hipsadus yang kemudian di kelas lima saya menjadi ketuanya.

Setiap munggu di Hipsadus kami mengadakan diskusi tentang buku-buku sastra. Selain itu kami juga setiap hari kamis malam membuat majalah dinding untuk dipublikasikan pada Jumat pagi hingga kamis depannya. 

Dalam mading itu setiap anggota Hipsadus harus mengirimkan naskahnya, apa pun itu termasuk puisi, cerpen, cerbung atau catatan sastra lainnya. Dari sinilah saya mulai menulis, kebanyakan waktu itu yang saya tulis adalah puisi atau catatan ringan lainnya.

Di Gontor saya membaca banyak novel baik novel terbitan lama maupun novel terbaru. Bahkan saat saya mengajar, di sana saya bercerita tentang novel yang saya baca hanya untuk selingan agar tak bosan murid-murid dalam belajar. 

Saat seru-serunya cerita saya berhenti dan melanjutkan pelajaran. Dan para murid pun kemudian bertanya-tanya, ayo kita lanjutkan ceritanya, dan saya bilang, saya akan lanjutkan kalau semua murid di kelas ini memperhatikan pelajaran yang kita pelajari ini.

Apalagi alumni kami di Terisda ada beberapa nama kondang yang terkenal di Indonesia sebut saja Cak Nun atau Emha Ainun Najib dan pendiri Terisda sendiri yaitu Habib Khirzin. 

Saya akhirnya bertemu dengan Pak Habib Khirzin saat beliau bertandang ke Istanbul Turki untuk sebuah seminar. Dan kami bernostalgia tentang Terisda yang didirikannya.

(bersambung)

Cerita Tentang Menulis (2)


Membaca adalah perintah pertama ajaran agama yang tertulis di dalam kitab suci. Begitu kira-kira kesimpulan yang saya dapat ketika belajar di sekolah agama tentang ayat yang pertama kali turun kepada Nabi Muhammad SAW di gua Hiro. 

Mulai SD kelas 3 itu mungkin pertama kali kegemaran saya dalam membaca. Apalagi saat SD ibu saya berlangganan Koran setiap harinya. Saya pun ikut serta dalam memeriahkan membaca koran di rumah bersama ibu saya.
Photo: www.polaine.com

Selain banyak buku pelajaran yang menumpuk di rumah saya yang dibawa oleh bapak saya yang juga guru SD tapi bukan guru di SD saya. Bapak saya guru di SD Panancangan yang termasuk SD di kampung, beda dengan saya yang sekolah di kota karena dekat dengan alun-alun kota Rangkasbitung, hahaha. 

Dari buku-buka yang ada di rumah saya itu saya kadang membacanya di waktu senggang. Oh bukan berarti kegiatan saya pas SD hanya membaca, bermain tetap nomor satu. Hehe

Di SD dulu saya cukup terkenal. Bukan hanya karena soal juara kelas tapi juga karena ibu saya guru SD di sana dan ditambah lagi bahwa saya adalah saudara kembar. Di SD waktu itu ada dua pasang kembar. Saya dan kembaran saya Dadan Deden satu lagi di kelas lain yang seangkatan saya namanya Rina-Rani. 

Karena kami berbeda kelas dan berbeda SD, jadi kami tidak begitu dekat meski dalam satu komplek yaitu SD Komlpek Multatuli. Tetapi kadang teman-teman SD saya tetap mengejeknya dengan Rina Rani Dadan Deden. Ciyeeeh, hahaha..

Dengan juara kelas dan mendapat penghargaan saat kelulusan SD, sebenarnya saya dengan mudah masuk SMP yang paling bergengsi di Rangkasbitung. Namun, kedua orang tua saya sudah melakukan survey sebelum saya lulus dari sekolah dasar. 

Ibu saya jauh-jauh hari sudah mencari data dan informasi tentang sekolah lanjutan mana yang bagus untuk anak-anaknya. Dan waktu itu saya sebenarnya tidak banyak berpikir kemana saya akan melanjutkan, di Rangkasbitung kah? Di Jakarta kah? Atau di kota lain? Tak banyak tahu.

Dalam hati sih sebenarnya saya ingin melanjutkan di SMP di mana gebetan saya melanjutkan sekolahnya, ciyeeh (lagi) hahaha. Tetapi karena saya tidak banyak pikir, saya hanya ikut saja dengan arahan ibu saya. Ibu saya memaparkan sekolah mana yang akan saya masuki. Dengar cerita tentang sekolah itu, tentang alumninya, tentang bagaimana sistem sekolahnya, saya tertarik juga.

Apalagi tempat saya bersekolah itu berada jauh dari rumah saya. Pikiran saya mulai berpetualang. Jadi sebelum saya berpetualang ke suatu tempat, biasanya pikiran saya jauh terlabih dahulu berpetualang dengan membayangkannya. 

Dan teringat lagi tentang sungai Barito di Kalimantan dan negara Swiss yang indah itu. Walaupun saya tidak berangkat ke dua tempat itu. Sampai saat ini. Mungkin suatu saat nanti, insyaAllah. Dan petualangan dalam pikiran saya itu dimulai dengan membaca.

(Bersambung)

Cerita Tentang Menulis (1)


Tiba-tiba saya ingin cerita masa kecil saya yang bersentuhan dengan dunia tulis menulis. Kalau dulu pas bersekolah di Sekolah Dasar atau SD ada lomba membaca menulis berhitung atau calistung, saya juaranya dulu pas kelas satu dan dua. 

Kegemaran saya dulu adalah mengikuti lomba cerdas cermat di SD komplek saya atau bertandang ke SD lainnya. Tapi lupakan itu. Mari kita bercerita dengan dunia membaca dan menulis.

Photo: www.studenthacks.org
Sebenarnya buku yang pertama kali saya baca tuntas adalah buku cerita rakyat yang menceritakan soal sungai Barito di Kalimantan saat saya duduk di kelas 3 SD. Saya meminjam buku itu dari perpustakaan sekolah agama (Madrasah Ibtidaiyah) Al-Husna di Rangkasbitung. 

Waktu itu kami para pelajar sekolah agama diwajibkan bayar iuran perpustakaan sekolah. Saya berpikir, jika saya bayar dan saya tidak membaca bukunya, maka saya termasuk orang yang merugi.


Buku pertama itu saya habiskan tak beberapa lama meskipun saya pikir waktu itu buku itu termasuk tebal. Saya sengaja menyendiri di lantai dua rumah saya yang berada di atas dapur rumah saya hanya untuk menghabiskan buku itu. Selanjutnya saya pun meminjam buku lainnya untuk dibaca. 

Mulai saat itu khayalan saya tentang dunia luar mulai berkembang. Dengan membaca saya tahu tentang Kalimantan meski tidak pergi ke sana. Saya pun membandingkan sungai Barito dengan sungai Ciujung yang setiap hari saya lewati jika pergi dan pulang dari SD.


Karena saya sekolah pagi di SD dan sekolah agama di sore hari, teman saya waktu itu bertambah banyak. Apalagi di sekolah agama yang sekelas dengan saya kebanyakan lebih tua dari saya. Karena sekolah agama tidak menyaratkan usia minimal untuk calon pelajar. 

Saya masuk sekolah agama saat saya kelas 1 SD. Sementara teman-teman saya sekelas lainnya ada yang kelas 3 SD atau 4 SD bahkan ada yang kelas 1 SMP baru masuk sekolah agama.


Banyak teman, banyak pergaulan dan banyak pula ilmu yang didapat. Rekan sekalas saya, Rizki namanya,  di sekolah agama yang berbeda sekolah SD-nya mengabari saya untuk berkoresponden dengan kedutaan besar negara-negara asing di Jakarta. 

Dan saya sangat tertarik dengan ide teman saya itu. Waktu itu saya kelas 4 SD di komplek Multatuli, Rangkasbitung.


Saat itu juga saya layangkan surat korespondensi kepada kedutaan besar Swiss di Jakarta, Jl HR Rasuna Said Blok X 3/2 Jakarta 12950. Tak disangka pihak kedutaan Swiss membalas surat saya dengan mengirimkan berkas-berkas tentang negeranya. 

Guru-guru di komplek sekolah saya gempar dan bertanya-tanya, termasuk ibu saya yang juga guru kelas 1 di SD itu. SD saya adalah SD komplek Multatuli yang di dalamnya ada lima SDN. Dan akhirnya berkas itu sampai di tangan saya saat saya keluar kelas.


Saya ingin segera pulang ke rumah untuk membuka paket yang dikirimkan kedutaan Swiss itu. Saya buka dan isinya adalah sebuah peta besar dan buku besar tentang negara Swiss. 

Dari sana saya mulai mengetahui kalau Swiss bukan hanya penghasil jam yang berkualitas, tetapi juga Swiss merupakan negara yang hijau dengan perkebunan yang luas.


Lagi-lagi pikiran dan khayalan saya menerawang ke negera di benua biru itu. Selain Swiss, negara di benua Eropa yang saya tahu waktu itu adalah Belanda. Karena nama komplek sekolah saya adalah Multatuli yang lahir dan berkewarganegaraan Belanda. 

Nama ‘Multatuli’ di kota saya menjadi nama jalan protokol juga menjadi nama sebuah komlpek SD yang berada di jalan protokol itu. Meski sampai saat ini Multatuli masih menjadi buah bibir apakah dia pahlawan atau penjahat saat berkuasa di Rangkasbitung Lebak Banten itu.


(bersambung)

Jumat, 10 Februari 2012

Sarapan Menemen dan Sucuklu Yumurta


Saat senggang saya kadang menginap di rumah teman yang sekelas dengan saya untuk belajar bersama atau berdiskusi. Zamirbek namanya. Ia berasal dari Kirgistan. Tentu makanan yang disajikan di rumahnya makanan khas Turki. Ia sudah cukup lama tinggal di sini sejak 2003 lalu. Jika berada di rumahnya, saya suka membantu dia memasak untuk makan malam atau sarapan pagi.

Ada satu makanan khas Turki yang paling saya suka untuk sarapan pagi yaitu menemen. Selain mudah memasaknya, menemen ini juga sangat digemari para penyantapnya. Bahan utama menemen adalah telur ayam yang dicampur dengan potongan tomat dan bawang merah atau bawang bombay.

Menemen. Photo: www.pressturk.com

Selain bahan pokok telur ayam, tomat dan bawang, bahan lainnya adalah paprika, lada dan garam. Untuk memasaknya, kita bisa menggunakan minyak kelapa atau mentega. Setelah minyak panas kita masukan irisan tomat dan irisan bawang merah atau bombay. Sedikit diaduk-aduk juga boleh. Jika tumisan tomat dan bawang sudah matang, baru kita masukan telur ayam. Tuangkan garam dan lada.

Saat memasak menemen, sebaiknya api untuk memasak menemen dikecilkan saat wajan sudah panas. Sebelum matang, tomat, bawang dan telur itu diaduk dengan bumbu yang sudah dituang. Jika sudah matang, angkat wajan dan tuangkan menemen ke piring. Namun, biasanya menemen yang kami makan disajikan di atas wajan itu. Dan menemen pun siap untuk disantap.

Sucuklu Yumurta
Sucuklu Yumurta

Ada yang hampir mirip dengan menemen yaitu sucuklu yumurta atau telur dengan campuran sucuk. Mirip karena sama-sama berbahan pokok telur. Sucuk adalah sebentuk sosis yang bentuknya lebih besar dua atau tiga kali lipat dari sosis. Sucuk terbuat dari daging sapi dan kambing yang digiling dengan bumbu bawang putih dan jinten.

Memasak sucuklu yumurta lebih mudah ketimbang menemen. Untuk memasak sucuklu yumurta kita hanya butuh telur, sucuk, garam dan merica. Cara memasaknya adalah dengan memanaskan wajan dan kita tuangkan minyak kelapa atau mentega. Setelah minyak kelapa panas kita tuangkan telur sesuka kita, boleh dua, tiga atau lebih, sesuai dengan kebutuhan.
Sucuk. Photo: www.acayipbilog.com
Setelah telur setengah matang tanpa diaduk kita tuangkan sucuk yang sudah diiris kecil-kecil. Banyaknya sucuk juga tergantung selera masing-masing. Setelah itu kita berikan garam di atasnya juga ditambah merica.

Jika sudah matang, biasanya telur yang dimasak untuk yumurta sucuklu setengah matang atau 80 % matang. Kita angkat dan kita tuangkan ke atas piring yang sudah disediakan. Seperti halnya menemen, bagai kami pelajar di sini, yumurta sucuklu juga biasanya dihidangkan di atas wajannya.

Roti alias Ekmek. Photo: www.iyiekmek.com
Kedua makanan ini baik menemen maupun sucuklu yumurta biasanya dihidangkan saat sarapan pagi. Meski terkadang ada juga yang memasaknya untuk makan malam. Ohya, kedua makanan ini disantap dengan roti alias ekmek. Bukan dengan nasi. Bagi saya, jika ekmek baru keluar dari pabrik dan masih hangat, sangat nikmat jika dimakan di pagi hari dengan menemen atau sucuklu yumurta.

Ridvan (baca: Ridwan-karena dalam alphabet bahasa Turki tidak ada huruf ‘w’, dan huruf ‘v’ dibaca ‘w’-) teman sekamar saya mengatakan dirinya lebih suka menemen ketimbang sucuklu yumurta. Begitu pun saya. Karena rasa menemen lebih meriah ketimbang sucuklu yumurta. Anda ingin mencoba? Silakan berkreasi di akhir pekan ini. 

Selasa, 07 Februari 2012

Puisi untuk Ayah

Ayah..
Sebagai lelaki engkau ajarkan kami tentang diam
Sebab engkau tahu diam itu bukan soal bungkam
Diam bukan soal nerima apa adanya
Diam juga bukan soal tidak berbuat apa-apa

Ayah..
Bagimu diam adalah sebentuk kesabaran
Seperti sabarnya para manusia pilihan Tuhan
Diam adalah sebentuk penenangan untuk sekitar
Diam juga adalah alasan engkau untuk pahami apa yang terjadi

Ayah..
Memang dalam diam terdapat sejuta cara dapatkan hikmah
Dalam diam kita dapatkan kekuatan
Dalam diam semua cinta terekam
Dalam diam doa pun terpanjat

Ayah..
Bagimu diam bukan tidak bicara
Diam adalah mencari waktu yang tepat
Untuk sampaikan kata-kata yg tepat di saat yang tepat
Agar tak ada yang salah paham

Ayah..
Sebagai pemimpin keluarga
Engkau ajarkan kami tentang arti tanggungjawab dan kewajiban
Engkau ajarkan kami cara berjuang
Engkau ajarkan kami pantang menyerah hadapi setiap ujian

Ayah..
Dalam untaian kata-kata yang hampa ini
Sebenarnya kurindu padamu
Dan sungguh ingin bertemu
Namun apalah daya, rindu ini hanya bisa kupendam,

Ayah..
Aku selalu berdoa pada Tuhan
Dalam setiap saat
Agar engkau selalu dalam lindunganNya
Selalu diberi kesehatan dan segala kebaikan, amin ya rabbal alamin..






Ankara, 07 Februari 2012

Senin, 06 Februari 2012

Bershalawatlah..


Oleh Deden Mauli Darajat
(Disampaikan pada pengkajian Mahasiswa di Ankara, Ahad 5 Februari 2012)

Manusia yang paling sempurna telah dilahirkan dari rahim Siti Aminah. Ayahnya Abdullah telah meninggal dunia saat masih berumur dua bulan dalam kandungan ibunya. Karena istimewa, bumi pun dalam keadaan istimewa, api abadi di kerajaan persia yang disembah umat Majusi tiba-tiba padam saat kelahiran orang mulia itu. Bukan itu saja, pasukan bergajah yang dipimpin Raja Abrahah yang akan menghancurkan ka’bah pun dihantam baru kerikil yang dilemparkan oleh burung ababil.

Ya, manusia sempurna itu adalah Muhammad shallallau alaihi wassalam (SAW). Muhammad lahir dalam keadaan yatim. Kelahirannya sudah tertulis dalam kitab-kitab para Nabi sebelumnya. Kehadirannya pun sudah ditunggu umat manusia saat itu. Berbagai pertikaian antar suku di Mekkah semakin menjadi. Perbudakan merajalela. Pembunuhan bayi perempuan yang tidak diinginkan dengan menguburnya hidup-hidup sudah menjadi budaya. Ia hadir sebagai cahaya dalam kegelapan.

Kehidupan Muhammad memang sangat sederhana. Ibunya meninggal saat usianya baru enam tahun. Mengapa Muhammad kemudian bisa bertahan dan menjadi orang yang mulia segajad raya? Bahkan, Michael H Hart dalam bukunya 100 orang yang paling berpengaruh menempatkan Muhammad sebagai orang pertama yang paling berpengaruh di dunia ini. Mungkin jawabannya adalah Allah SWT ingin mendidik langsung Muhammad SAW, melalui berbagai cara termasuk melalui Malaikat Jibril.

Kesempurnaan Muhammad SAW bukan terletak pada kekayaannya, sebab kekayaan adalah bayangan, namun kesempurnaannya terletak pada akhlak yang mulia, karena akhlak adalah abadi. Pendekatan kemanusiaan dengan menampilkan diri sebagai contoh teladan dengan niat ikhlas inilah yang menempel dalam benak memori umat manusia. Kita atau saya pasti kesusahan untuk menyelaraskan antara hati, pikiran dan pengejawantahan dalam perbuatan. Tapi tidak dengan Muhammmad SAW.

Saking jujurnya, Siti Khadijah, saudagar kaya yang cantik, pintar dan terpandang mau berkeluarga dengan Muhammad yang saat itu tidak memiliki kekayaan dan hanya seorang penggembala kambing. Semua manusia akan memandang tinggi kepada orang yang memiliki akhlak mulia. Dari manapun asalnya. Namun, Muhammad memiliki nasab yang jelas dan terhormat meski tidak kaya. Dalam sebuah hadits dikatakan bahwa sesungguhnya Muhammad Rasulullah SAW diutus ke bumi ini untuk menyempurnakan akhlak manusia.

Dalam surat Al-Ahzab (33:56) dikatakan bahwa: Sesungguhnya Allah dan para Malaikat-Nya bershalawat kepada Nabi, wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu kepadanya dan ucapkan salam kepadanya. Ayat ini begitu jelas bagaimana kemuliaan Muhammad SAW, dimana Allah dan para MalaikatNya saja bershalawat kepada Nabi akhir zaman itu. Dalam sebuah riwayat hadits juga dikatakan bahwa: Orang yang paling bakhil atau pelit adalah orang yang jika disebut nama Muhammad SAW tapi dia enggan bershalawat kepadanya. Maka, mari kita perbanyak bershalawat. Wallahu ‘alam bishshawab.

Sabtu, 04 Februari 2012

Teh, Tea, Cay, dan Say


Pernah suatu hari saya meminum teh lebih dari 10 gelas dalam sehari. Atau di hari itu, sesudah bangun tidur dan sebelum tidur minuman saya adalah teh. Teh atau Cay dalam bahasa Turki memang minuman yang sangat populer di semenanjung Anatolia ini. Hampir di setiap dapur milik orang Turki memiliki teko khusus untuk memasak teh.

Beberapa waktu lalu saya menginap di rumah teman saya, Selahattin, di Konya. Pas sarapan pagi dengan makanan khas Turki, seperti menemen, roti, buah zaytun, cokelat dan lain sebagainya (mungkin nanti kita bahas soal kuliner Turki lainnya yah, insya Allah) minumannya adalah teh hangat. Itu saat musim dingin. Jadi, pas lah kalau dingin-dingin kita minum teh hangat.

Çay
Tapi, pas makan siang bersama juga minumannya adalah teh panas. Hingga makan malam bersama keluarga teman saya itu tetap saja minumannya adalah teh. Meski terkadang mereka juga menyediakan minuman lainnya, jus atau minuman bersoda. Intinya, (bukan ngiklan yah) apapun makanannya minumnya cay.

Teh di Turki ini sudah menjadi budaya. Di pelosok Turki atau di masyarakat pedesaan meminum teh, begitu juga di perkotaan dan di kantor-kantor pemerintahan serta di gedung parlemen, semuanya minum teh tanpa memandang status sosial. Tua, muda, miskin, kaya, lelaki, perempuan, semuanya minum teh. Mungkin juga teh menjadi simbol keegaliteran di sini. Dalam jamuan resmi, biasanya teh disajikan di akhir jamuan makanan.

Necmettin, misalnya, ia mengaku suka minum teh karena selain menjadi kebiasaan teh juga dapat menenangkan pikirannya. "Saya sangat menikmatinya," ungkapnya. Ia mengaku dari kecil hingga kini usianya 57 tahun hampir setiap hari meminum teh. Tradisi ini sangat membudaya di Turki.

Bahkan, saat saudara saya bertugas di pesawat jemaah haji asal Turki, ia mengatakan, hampir semua penumpang pesawat itu memesan teh. Berbeda dengan jemaah haji dari Maroko yang kebanyakan memesan kopi saat perjalanan dari Maroko ke Arab Saudi atau sebaliknya.

Teh yang biasa diminum di Turki adalah jenis teh hitam. Sangat pahit menurut saya. Maka saya pasti mencampurnya dengan gula. Dosen saya yang baik selalu memesan teh untuk para mahasiswanya saat belajar di dalam kelas. Namun, dosen kami itu jarang mencampur air tehnya dengan gula. Pahit banget kali, yah, hehe.

Cara memasak teh di Turki menggunakan teko tersendiri. Teko untuk membuat minuman teh adalah dengan menggunakan dua teko yang ditumpuk. Teko yang pertama di isi air putih dan yang kedua diisi air dan jika sudah mendidik maka dimasukkanlah teh hitam. Biasanya nama teh yang digunakan adalah caykur.

Cara menuangkannya adalah yang pertama air teh dituangkan di dalam gelas gecil berbentuk bunga tulip sebanyak setengah gelas, kemudian setangah gelasnya lagi dituangkanlah air putih. Gelas berbentuk bunga tulip ini berguna agar ujung gelas itu melengkung dan tangan kita tidak kepanasan saat teh akan diseruput.
Teko khusus untuk membuat çay

Jika ingin pahit maka air tehnya lebih banyak dari air putih yang dicampur. Juga sebaliknya, jika ingin tidak terlalu pahit maka air tehnya sedikit dan air putihnya yang banyak. Meminum teh di Turki mesti panas, karena jika sudah mendingin, orang yang memberikan minuman teh akan mengambilnya dan menggantikannya dengan teh yang panas atau hangat.

Bicara soal teh, saya sebenarnya lebih suka teh tubruk yang diseduh langsung daunnya ketimbang teh celup yang dibungkus dengan kertas. Aroma teh tubruk yang wangi ini yang saya suka.

Dulu, pas saya kecil, ibu saya setiap hari pasti menyediakan teh di rumah. Setiap selesai memasak air panas, ibu saya menuangkan sebagian air panas ke termos, sebagian lainnya ke teko untuk diseduh menjadi air teh. Jadi ada dua teko di dapur, pertama teko berisi air putih dan kedua teko berisi teh.

Kisah yang paling banyak ditulis tentang asal usul teh adalah cerita tentang Kaisar Shen Nung yang hidup sekitar tahun 2737 sebelum Masehi. Cerita penemuan teh oleh sang Kaisar juga sangat tidak disengaja ketika daun teh pertama dari tanaman teh yang ada di kebun Kaisar Shen Nung jatuh kedalam air panas yang sedang dimasak oleh Sang Kaisar. (www.sosro.com)

Ketika daun teh tersebut terseduh dengan air panas, aroma sedap langsung muncul membuat Sang Kaisar sangat tergoda untuk meminumnya. Bukan hanya aromanya yang sedap, rasa sepat dan pahit yang ditimbulkan oleh daun teh juga sangat disukai oleh Sang Kaisar karena dipercaya dapat membuat tubuh lebih segar dan menurut penelitian Kaisar Shen Nung, minuman teh dapat menyembuhkan beberapa penyakit.

Teh dalam berbagai bahasa di dunia ini sangat mirip kalau memang tidak bisa dikatakan sama. Misalnya, teh dalam bahasa Inggris adalah tea, dalam bahasa Turki cay yang sangat dekat dengan bahasa Arab yaitu Say. Mari kita simak Teh dalam berbagai bahasa yang ditulis oleh Prof. Google:

Aksara hanzi untuk teh adalah , tapi diucapkan berbeda-beda dalam berbagai dialek bahasa Tionghoa. Penutur bahasa Hokkien asal Xiamen menyebutnya sebagai te, sedangkan penutur bahasa Kantonis di Guangzhou dan Hong Kong menyebutnya sebagai cha. Penutur dialek Wu di Shanghai dan sekitarnya menyebutnya sebagai zoo.

Bahasa yang menyebut "teh" mengikuti sebutan te menurut bahasa Hokkien: bahasa Afrikaans (tee), bahasa Armenia, bahasa Katalan (te), bahasa Denmark (te), bahasa Belanda (thee), bahasa Inggris (tea), bahasa Esperanto (teo), bahasa Estonia (tee), bahasa Faroe (te), bahasa Finlandia (tee), bahasa Perancis (thé), bahasa Frisia (tee), bahasa Galicia (té), bahasa Jerman (Tee), bahasa Ibrani (תה, /te/ or /tei/), bahasa Hongaria (tea), bahasa Islandia (te), bahasa Irlandia (tae), bahasa Italia (tè), bahasa Latin (thea), bahasa Latvia (tēja), bahasa Melayu (teh), bahasa Norwegia (te), bahasa Polandia (herbata dari bahasa Latin herba thea), bahasa Gaelik-Skotlandia (tì, teatha), bahasa Sinhala, bahasa Spanyol (té), bahasa Swedia (te), bahasa Tamil (thè), bahasa Wales (te), and bahasa Yiddish (טיי, /tei/).

Bahasa yang menyebut "teh" mengikuti sebutan cha atau chai: bahasa Albania (çaj), bahasa Arab (شَاي), bahasa Bengali (চা), bahasa Bosnia (čaj), bahasa Bulgaria (чай), bahasa Kapampangan (cha), bahasa Cebuano (tsa), bahasa Kroasia (čaj), Bahasa Ceko (čaj), bahasa Yunani (τσάι), bahasa Hindi (चाय), bahasa Inggris Britania (char, chai)*, bahasa Jepang (, ちゃ, cha), bahasa Korea (), bahasa Makedonia (čaj), bahasa Malayalam, bahasa Nepal (chai), bahasa Persia (چاى), bahasa Punjabi (ਚਾਹ), bahasa Portugis (chá), bahasa Rumania (ceai), bahasa Rusia, (чай, chai), bahasa Serbia (чај), bahasa Slowakia (čaj), bahasa Slovenia (čaj), bahasa Swahili (chai), bahasa Tagalog (tsaa), bahasa Thai (ชา), bahasa Tibet (ja), bahasa Turki (çay), Bahasa Ukraina (чай), bahasa Urdu (چاى) dan bahasa Vietnam (trà atau chè).

Pertanyaannya adalah sudahkah anda minum teh hari ini?