Senin, 20 Februari 2012

Istikharah dan Pencarian


Istikaharah, kata temen saya itu bukan hanya sekali saja dilakukan tetapi dengan cara seksama dan berlangsung lama. Jawaban dari istikharah itu pula tidak selalu datang dalam mimpi. Jawaban dari istikharah datang dari berbagai arah dan kadang tak terduga. 


Teman saya bercerita tentang bagaimana dia beristikharah untuk meminang seorang wanita namun berbeda kewarganegaraan. Cerita ini ia kemukakan saat ia bertandang ke Ankara, Turki bersama keluarga besar istrinya.


Ghafur nama teman saya itu. Ia adalah sahabat sekampung dan seperjuangan di perantauan pas di sekolah menengah atas alias KMI Gontor di Jawa Timur dulu. Ia beruntung saat kuliah di ISID Gontor di tahun ketiga mendapatkan beasiswa untuk belajar bahasa Arab di Qatar. Disinilah cerita ini berawal.


Saat ia mengikuti kursus bahasa arab di Qatar (padahal teman saya ini fasih betul bahasa arabnya), salah seorang temannya menawarkan adik perempuannya untuk menjadi calon istrinya. Tentu dengan cara yang baik-baik. 


Ia tidak langsung bisa menerima tawaran itu. Banyak step-step yang harus dilalui. Dan sebenarnya, ia mengaku belum terpikir untuk menikah. Karana ada penawaran maka ia pun mulai memikirkannya dengan serius.


Beberapa hal yang harus ia selesaikan, diantaranya adalah, bagaimana dengan kuliahnya di ISID Gontor sementara ia di Qatar hanya untuk kursus bahasa arab. Kedua, keluarganya di Rangkasbitung apakah dengan begitu saja menerima tawaran rekannya itu. Ketiga, bagaimana dengan menikah beda kewarganegaraan. Dan masih banyak lagi, sih. Tetapi cukuplah segitu saja, yah..


Berdoalah pada-Ku niscaya Kukabulkan./Photo: blog.mixterr.com
Sembari shalat istikharah setiap hari, ia juga meyakinkan keluarganya bahwa semuanya akan baik-baik saja, apalagi calon istrinya adalah muslimah yang shalihah (insya Allah). Dengan berpikir dan berusaha keras akhirnya jalan menuju pernikahan terbuka setelah dilakukan dialog yang panjang antara dirinya, keluarganya dan keluarga calon istrinya. Ia pun menikah di Qatar dan kini sudah dikaruniai satu anak perempuan yang cantik.


Ada juga teman saya yang bertemu calon istrinya lewat sosial media. Bukan di facebook atau twitter yang sekarang lagi ngetrend tapi lewat Friendster yang waktu itu sedang ngetrend-ngetrendnya. Teman saya waktu itu masih kuliah di Kairo, Mesir. Sementara calon istrinya kuliah di Bogor. 


Teman saya yang ini adalah Mahir. Setelah beristikharah dan berbincang dengan kedua keluarga akhirnya ia memutuskan untuk menikah meski masih tercatat sebagai mahasiswa di negeri para nabi itu. Kini ia sudah lulus dari al-Azhar University dan memiliki satu putri yang cantik.


Satu lagi cerita dari teman dekat saya di Ciputat dulu. Ia sebenarnya sudah dekat dengan temannya. Namun setelah ia lulus dari kampus ia ingin menikah namun temannya itu tidak mau. Akhirnya ia tetap ikhtiar atau berusaha mencari calon yang tepat. 


Tak dinyana ia mendapatkannya dari agenda kelulusan kampus. Karena disana terdapat alamat dan nomor hape. Dan dengan istikharah juga teman saya itu akhirnya yakin untuk menikah dengan calon istrinya yang baru ia kenal. Kalau teman yang ini namanya Muin. Ia juga sudah diberkahi seorang putera yang gagah.


Dari beberapa cerita teman saya di atas, baik Ghafur, Mahir maupun Muin, kita dapat melihat bahwa setiap orang memiliki alur cerita kehidupannya masih-masing. Mungkin masih banyak cerita yang lainnya yang tidak bisa saya tulis di sini satu persatu. 


Tapi yang pasti ada kesamaannya. Pertama, mereka memiliki niat yang tulus untuk memenuhi perintah agama untuk melangsungkan pernikahan. Kedua, mereka juga melaksanakan niatnya dengan ikhtiar atau usaha yang serius untuk mencari pasangan hidupnya. 


Ketiga adalah mereka juga memanjatkan doa dengan shalat istikharah atau meminta petunjuk kepada Tuhan untuk menetapkan keyakinan siapa yang akan menjadi teman hidupnya yang memang sebenarnya sudah ditetapkan olehNya di lauhul mahfudz sana. Keempat adalah mereka juga sabar menanti jawaban yang sudah mereka usahakan. 


Jadi memang pada akhirnya kita harus mengikuti arahan sutradara kehidupan kita. Dalam salah satu episode, misalnya, kita harus merasakan kegagalan dalam pencarian. Atau dalam satu adegan kita harus kehilangan sesuatau yang memang itu sebenarnya hanya fatamorgana. 


Ini mungkin agar kita tetap istiqamah dalam jalan yang diinginkan oleh sang sutradara. Agar kita tidak sombong dengan apa yang kita dapatkan atau agar kita tidak terlalu terpuruk saat terjatuh. Dan agar kita hanya bergantung pada yang punya kehidupan ini.


Kembali ke cerita teman-teman saya di atas. Jika kita memang belum menemukan yang kita cari, maka yaitu tadi, yang pertama adalah niat yang tulus, kedua ikhtiar atau usaha yang kuat, ketiga istikharah yang berlangsung lama dan yang paling akhir adalah sabar yang tak berujung. 


Tidak gampang memang ini semua, tapi kalau kita laksanakan dengan seksama insya Allah semua yang ada di langit dan di bumi merestui usaha kita. Wallahu ‘alam.

0 komentar:

Posting Komentar