(Sebuah Cerita Pendek)
Berhaji
adalah impian terbesar istriku, Aminah. Padahal aku hanya seorang kuli bangunan
yang bekerja jika ada seseorang yang ingin membangun atau merenovasi rumah.
Jika tidak bekerja, waktuku lebih banyak untuk menolong tetangga yang
membutuhkan bantuanku. Dengan upah yang seadanya, atau hanya ucapan
terimakasih. Batinku mengatakan aku harus mampu mewujudkan impian terbesar
istriku itu. Aku tak tahu pasti bagaimana mewujudkannya.
Sehabis
shalat subuh berjamaah, aku sering mendengar ceramah kuliah subuh di masjid
depan rumahku. Kuliah subuh yang dilaksanakan saban akhir pekan itu, Ustadz
Hasan yang ceramah banyak bercerita tentang orang-orang yang mampu beribadah
haji meski secara harta sangat kekurangan. Sebab, kata Ustadz Hasan, ibadah
haji adalah wajib bagi yang mampu. Ia pun meyakinkan kami, para jemaah kuliah
subuh, bahwa ibadah haji bermula dari niat yang kuat karena Allah semata.
Istriku
yang juga mendengar ceramah kuliah subuh dari rumah itu berkata padaku saat aku
pulang ke rumah.
“Pak,
ceramah Ustadz Hasan itu sangat bagus, ya,” kata Aminah padaku. Ia kemudian
mengutip isi ceramah Ustadz Hasan.
“Haji
itu bukan hanya untuk orang yang mampu secara harta,” katanya lagi sembari
mencium tangan kananku.
“Yang
paling penting berhaji itu yang mampu secara batin, kuat niatnya,” katanya dan
kemudian diam sebentar lalu berkata lagi “Kita bisa nggak, ya, Pak, pergi
haji,” tanya istriku.
Aku
tersenyum dan menjawab sederhana namun dengan keyakinan,
“Insya
Allah, Bu. Mari kita perbanyak berusaha dan perkuat doa.”
*****
Kalimat-kalimat
istriku terngiang dalam hati dan pikiranku. Aku bertambah semangat untuk
bekerja. Upah hasil dari kerjaku bukan hanya aku berikan untuk istri dan kedua
anakku yang masih kecil, tetapi juga aku sisihkan untuk aku dan istriku
berhaji.
Aku
tidak tahu kapan impian terbesar istriku itu akan terwujud. Yang aku yakin
bahwa Allah akan mengabulkan doa bagi hambanya yang meminta. Aku kuatkan
ibadahku. Ini sesuai anjuran Ustadz Hasan, jika kita ingin mendapatkan sesuatu,
maka dekatkanlah diri kita pada Pemilik jagat alam jaya, Allah SWT.
Semenjak
percakapan di subuh itu, Aminah lebih giat beribadah daripada aku. Ia nyaris tidak
pernah meninggalkan shalat wajib bahkan shalat tahajjud dan shalat dhuha ia
lakukan. Terkadang, jika aku terlalu lelah untuk bangun malam, Aminah dengan
halus membangunkanku hingga terbangun dan malaksanakan shalat tahajud.
Kami
shalat tahajud berdua hampir setiap malam. Aminah pun mencari pekerjaan untuk
menambah tabungan haji kami. Ia menjadi tukang cuci pakaian tetangga kami. Wajahnya
selalu ceria saat kami berbincang tentang haji.
Suatu
malam aku bermimpi. Dalam mimpi itu aku dan istriku melaksanakan shalat di
sebuah tenda besar. Orang-orang yang ada dalam mimpi itu kebanyakan menggunakan
pakaian serba putih. Mimpi itu, pikirku, adalah rangkaian prosesi haji. Kemudian
aku ceritakan mimpi itu pada istriku.
“Semoga
saja mimpi itu benar, ya, Pak. Dan kita akan berangkat haji bersama. Amin” kata
istriku, dan aku pun mengamininya.
*****
Sudah
sepuluh tahun kami tidak putus melaksanakan amalan-amalan wajib dan sunnah. Kadang
aku menyisihkan uang receh untuk para pengemis di jalan setiap aku berangkat
untuk bekerja. Saat itu tabungan kami sudah hampir bisa menghajikan satu orang.
Suatu
hari mandorku yang selalu mengawasi para kuli bangunan mengundang aku ke
rumahnya. Pak Usep, mandorku, bercerita ia ingin berhaji bersama istrinya. Namun
karena istrinya meninggal dunia dan ia tak memiliki seorang anak pun, maka Pak
Usep megajak aku berhaji bersamanya.
Sebelum
menyetujui permintaannya, aku menanyakan sesuatu, apakah boleh berhaji bersama
istriku dengan biaya tabunganku, Pak Usep tidak keberatan. Semua persyaratan
haji telah didaftarkan. Pak Usep, aku dan istriku akan berangkat haji beberapa tahun
ke depan. Mendengar berita keberangkatan haji ini, istriku senang bukan
kepalang.
*****
Pesawat
Garuda yang membawa jemaah haji asal Jakarta baru saja mendarat di bandara King
Abdul Aziz, Jeddah, Arab Saudi. Tidak tampak wajah lelah di muka istriku,
Aminah. Meski persiapan dan perjalanan haji dari Jakarta begitu menyita waktu
dan menguras tenaga. Namun, Aminah tetap ceria. Tak lupa ia membaca Alquran
saat kami menunggu bus menuju Mekkah. Setibanya di Mekkah kami menuju
pemondokan dan kemudian langsung menuju Masjidil Haram untuk melaksanakan
umroh.
Air
mataku menetes saat pertama kali melihat kabah. Aku berpikir kabah inilah yang
menjadi titik pusat arah shalat dari berbagai penjuru dunia. Sesaat kulirik
Aminah, ia pun menangis. Kami shalat sunnah dan berdoa di depan kabah lalu
tawaf, sa’i dan tahallul. Prosesi umroh sudah selesai kami lakukan.
Hari-hari
selanjutnya, aku dan Aminah lebih sering berdua untuk beribadah
sebanyak-banyaknya di Masjidil Haram. Terkadang, usai makan malam di
pemondokan, kami kembali ke Masjidil Haram untuk beribadah lanjutan. Pernah
suatu malam, kami menginap di Masjidil Haram, aku dan Aminah bergantian tidur
sambil duduk di atas sejadah.
*****
Waktu
ibadah haji tiba. Tanggal delapan Dzulhijjah semua jemaaah haji meninggalkan
pemondokan dan menuju Padang Arafah untuk wukuf. Di dalam bus perjalanan menuju
Padang Arafah, Ustadz Hafiz, ketua rombongan kami, menganjurkan para jemaah
haji untuk memperbanyak talbiyah, Labbaik
Allahumma labbaik..
Setibanya
di Padang Arafah Ustadz Hafiz mengajak pada jemaah untuk memperanyak ibadah
zikir dan membaca Alquran. Sebelum shalat dzuhur dan ashar yang di jama’,
Ustadz Hafiz berkhutbah di hadapan jemaah haji. Kemudian kami pun berjamaah
melaksanakan kedua shalat fardhu itu. Usai shalat aku menoleh ke belakang,
tempat istriku melaksanakan shalat. Namun Aminah masih sujud, sementara yang
jemaah lainnya sudah selesai shalat.
Aku
menghampiri Aminah. Sebab ia tidak bergerak. Aku berpikir, mungkin saja istriku
sujud sembari memanjatkan doa. Sebab berdoa saat sujud terakhir itu diijabah.
Tetapi aku mulai ragu, lama sekali istriku bersujud. Aku usap badannya tapi
bergeming. Aku goyangkan, badan istriku terjatuh. Aku periksa nadinya sudah tak
berdetak.
Aku
tak tahu istriku meninggal dunia atau hanya pingsan. Yang pasti Aminah sudah
tak bergerak. Matanya tertutup. Aku baringkan tubuhnya. Pak Usep yang sedari
tadi melihat gerak-gerikku bertanya tentang Aminah. Aku menggelengkan kepala
tanda bingung. Sementara itu Ustadz Hafiz masih memimpin zikir dan berdoa usai
shalat.
Usai
berdoa Ustadz Hafiz menghampiriku karena melihat Aminah sedang terbaring. Ustadz
Hafiz bertanya,
“Apa
yang sudah terjadi pada Bu Aminah, Pak?”
Aku
ceritakan kejadian sebelum khutbah dimulai, tiba-tiba saja Aminah tidak enak
badan namun ia tetap mendengarkan khutbah dan melaksanakan slahat dzuhur dan
ashar. Namun tiba-tiba Aminah tidak bergerak lagi saat sujud shalat ashar.
Tubuh Aminah jatuh setelah aku goyangkan, kemudian aku baringkan tubuh Aminah
di sebelahku.
Kemudian
Ustadz Hafiz memeriksa detak nadi di tangan Aminah. Raut muka Ustadz Hafiz
berubah.
“Bapak
harus sabar,” kata Ustadz Hafiz. Ia berdiam sebentar kemudian melanjutkan
perkataannya, “Ibu Aminah, istri Bapak sudah meninggal dunia.”
Aku
memeluk istriku. Air mata tiba-tiba menetes di pipiku. Aku hanya diam membisu. Aku
tidak percaya dengan apa yang telah terjadi. Aku tidak pernah terpikir kalau
istriku, yang sangat aku cintai, yang selalu membangunkanku di malam hari untuk
shalat tahajjud, meninggal saat wukuf di Padang Arafah tepat saat impian
terbesarnya terwujud.
Aku
tiba-tiba teringat mimpiku belasan tahun lalu. Dalam mimpi itu, aku dan istriku
pergi berhaji dan wukuf di Padang Arafah. Istriku sujud lama sekali. Kemudian
aku mencoba mengingat kembali apa setelahnya. Ternyata aku menggendong istriku
sampai ke Mekkah.
Aku
pandang Ustadz Hafiz dengan tatapan kosong. Aku bertanya padanya, “Apa yang
harus aku lakukan, Ustadz?”
Ustadz
Hafiz menarik nafas sebelum ia berkata.
“Ini
memang dilema,” katanya kemudian berdiam sejenak dan aku masih menyimak.
“Menurut
ajaran Islam, jika seorang Muslim meninggal dunia, maka keluarga atau
orang-orang yang ada di sekitarnya dianjurkan untuk segera memakamkan
jenazahnya. Sementara untuk melaksanakan pemandian dan pengurusan jenazah
jemaah haji itu berada di rumah sakit di Mekkah. Jika kita ingin mengurus
jenazah saat ini, maka kita harus keluar Padang Arafah. Itu artinya haji kita
batal, karena kita tidak melaksanakan wukuf di Padang Arafah” ujar Ustadz
Hafiz.
“Solusi
yang paling baik adalah, kita membiarkan Ibu Aminah terbaring di tenda di
Padang Arafah ini hingga prosesi wukuf selesai. Kemudian ketika jemaah haji
bergerak ke Muzdalifah lalu ke Mina untuk jumrah dan terakhir kembali ke Mekkah,
Bapak bisa menggendong istri bapak hingga ke Mekkah. Maka setelah Bapak
melaksanakan tahallul prosesi haji selesai,” usul Ustadz Hafiz.
Aku
mengangguk setuju akan usulan Ustadz Hafiz. Aku memang sangat mencintai istriku,
Aminah. Tapi aku juga ingin hajiku sempurna. Aku kuatkan tekad untuk
menyelesaikan hajiku baru kemudian mengurus jenazah istriku setibanya di Mekkah
dan memakamkannya di kota yang penuh dengan sejarah itu.
Ustadz
Hafiz membuyarkan lamunanku dengan berkata,
“Insya
Allah, istri Bapak, Ibu Aminah menjadi Hajjah Mabrurah.”
Aku
membatin dan kemudian berkata,
“Amin,
ya Rabbal ‘alamin. Terimakasih banyak Ustadz.”
*****
Selesai
0 komentar:
Posting Komentar