Jumat, 22 November 2013

Sujud Terakhir di Padang Arafah


(Sebuah Cerita Pendek)

Berhaji adalah impian terbesar istriku, Aminah. Padahal aku hanya seorang kuli bangunan yang bekerja jika ada seseorang yang ingin membangun atau merenovasi rumah. Jika tidak bekerja, waktuku lebih banyak untuk menolong tetangga yang membutuhkan bantuanku. Dengan upah yang seadanya, atau hanya ucapan terimakasih. Batinku mengatakan aku harus mampu mewujudkan impian terbesar istriku itu. Aku tak tahu pasti bagaimana mewujudkannya.
Sehabis shalat subuh berjamaah, aku sering mendengar ceramah kuliah subuh di masjid depan rumahku. Kuliah subuh yang dilaksanakan saban akhir pekan itu, Ustadz Hasan yang ceramah banyak bercerita tentang orang-orang yang mampu beribadah haji meski secara harta sangat kekurangan. Sebab, kata Ustadz Hasan, ibadah haji adalah wajib bagi yang mampu. Ia pun meyakinkan kami, para jemaah kuliah subuh, bahwa ibadah haji bermula dari niat yang kuat karena Allah semata.
Istriku yang juga mendengar ceramah kuliah subuh dari rumah itu berkata padaku saat aku pulang ke rumah.
“Pak, ceramah Ustadz Hasan itu sangat bagus, ya,” kata Aminah padaku. Ia kemudian mengutip isi ceramah Ustadz Hasan.
“Haji itu bukan hanya untuk orang yang mampu secara harta,” katanya lagi sembari mencium tangan kananku.
“Yang paling penting berhaji itu yang mampu secara batin, kuat niatnya,” katanya dan kemudian diam sebentar lalu berkata lagi “Kita bisa nggak, ya, Pak, pergi haji,” tanya istriku.
Aku tersenyum dan menjawab sederhana namun dengan keyakinan,
“Insya Allah, Bu. Mari kita perbanyak berusaha dan perkuat doa.”
*****
Kalimat-kalimat istriku terngiang dalam hati dan pikiranku. Aku bertambah semangat untuk bekerja. Upah hasil dari kerjaku bukan hanya aku berikan untuk istri dan kedua anakku yang masih kecil, tetapi juga aku sisihkan untuk aku dan istriku berhaji.
Aku tidak tahu kapan impian terbesar istriku itu akan terwujud. Yang aku yakin bahwa Allah akan mengabulkan doa bagi hambanya yang meminta. Aku kuatkan ibadahku. Ini sesuai anjuran Ustadz Hasan, jika kita ingin mendapatkan sesuatu, maka dekatkanlah diri kita pada Pemilik jagat alam jaya, Allah SWT.
Semenjak percakapan di subuh itu, Aminah lebih giat beribadah daripada aku. Ia nyaris tidak pernah meninggalkan shalat wajib bahkan shalat tahajjud dan shalat dhuha ia lakukan. Terkadang, jika aku terlalu lelah untuk bangun malam, Aminah dengan halus membangunkanku hingga terbangun dan malaksanakan shalat tahajud.
Kami shalat tahajud berdua hampir setiap malam. Aminah pun mencari pekerjaan untuk menambah tabungan haji kami. Ia menjadi tukang cuci pakaian tetangga kami. Wajahnya selalu ceria saat kami berbincang tentang haji.
Suatu malam aku bermimpi. Dalam mimpi itu aku dan istriku melaksanakan shalat di sebuah tenda besar. Orang-orang yang ada dalam mimpi itu kebanyakan menggunakan pakaian serba putih. Mimpi itu, pikirku, adalah rangkaian prosesi haji. Kemudian aku ceritakan mimpi itu pada istriku.
“Semoga saja mimpi itu benar, ya, Pak. Dan kita akan berangkat haji bersama. Amin” kata istriku, dan aku pun mengamininya.
*****
Sudah sepuluh tahun kami tidak putus melaksanakan amalan-amalan wajib dan sunnah. Kadang aku menyisihkan uang receh untuk para pengemis di jalan setiap aku berangkat untuk bekerja. Saat itu tabungan kami sudah hampir bisa menghajikan satu orang.
Suatu hari mandorku yang selalu mengawasi para kuli bangunan mengundang aku ke rumahnya. Pak Usep, mandorku, bercerita ia ingin berhaji bersama istrinya. Namun karena istrinya meninggal dunia dan ia tak memiliki seorang anak pun, maka Pak Usep megajak aku berhaji bersamanya.
Sebelum menyetujui permintaannya, aku menanyakan sesuatu, apakah boleh berhaji bersama istriku dengan biaya tabunganku, Pak Usep tidak keberatan. Semua persyaratan haji telah didaftarkan. Pak Usep, aku dan istriku akan berangkat haji beberapa tahun ke depan. Mendengar berita keberangkatan haji ini, istriku senang bukan kepalang.
*****
Pesawat Garuda yang membawa jemaah haji asal Jakarta baru saja mendarat di bandara King Abdul Aziz, Jeddah, Arab Saudi. Tidak tampak wajah lelah di muka istriku, Aminah. Meski persiapan dan perjalanan haji dari Jakarta begitu menyita waktu dan menguras tenaga. Namun, Aminah tetap ceria. Tak lupa ia membaca Alquran saat kami menunggu bus menuju Mekkah. Setibanya di Mekkah kami menuju pemondokan dan kemudian langsung menuju Masjidil Haram untuk melaksanakan umroh.
Air mataku menetes saat pertama kali melihat kabah. Aku berpikir kabah inilah yang menjadi titik pusat arah shalat dari berbagai penjuru dunia. Sesaat kulirik Aminah, ia pun menangis. Kami shalat sunnah dan berdoa di depan kabah lalu tawaf, sa’i dan tahallul. Prosesi umroh sudah selesai kami lakukan.
Hari-hari selanjutnya, aku dan Aminah lebih sering berdua untuk beribadah sebanyak-banyaknya di Masjidil Haram. Terkadang, usai makan malam di pemondokan, kami kembali ke Masjidil Haram untuk beribadah lanjutan. Pernah suatu malam, kami menginap di Masjidil Haram, aku dan Aminah bergantian tidur sambil duduk di atas sejadah.
*****
Waktu ibadah haji tiba. Tanggal delapan Dzulhijjah semua jemaaah haji meninggalkan pemondokan dan menuju Padang Arafah untuk wukuf. Di dalam bus perjalanan menuju Padang Arafah, Ustadz Hafiz, ketua rombongan kami, menganjurkan para jemaah haji untuk memperbanyak talbiyah, Labbaik Allahumma labbaik..
Setibanya di Padang Arafah Ustadz Hafiz mengajak pada jemaah untuk memperanyak ibadah zikir dan membaca Alquran. Sebelum shalat dzuhur dan ashar yang di jama’, Ustadz Hafiz berkhutbah di hadapan jemaah haji. Kemudian kami pun berjamaah melaksanakan kedua shalat fardhu itu. Usai shalat aku menoleh ke belakang, tempat istriku melaksanakan shalat. Namun Aminah masih sujud, sementara yang jemaah lainnya sudah selesai shalat.
Aku menghampiri Aminah. Sebab ia tidak bergerak. Aku berpikir, mungkin saja istriku sujud sembari memanjatkan doa. Sebab berdoa saat sujud terakhir itu diijabah. Tetapi aku mulai ragu, lama sekali istriku bersujud. Aku usap badannya tapi bergeming. Aku goyangkan, badan istriku terjatuh. Aku periksa nadinya sudah tak berdetak.
Aku tak tahu istriku meninggal dunia atau hanya pingsan. Yang pasti Aminah sudah tak bergerak. Matanya tertutup. Aku baringkan tubuhnya. Pak Usep yang sedari tadi melihat gerak-gerikku bertanya tentang Aminah. Aku menggelengkan kepala tanda bingung. Sementara itu Ustadz Hafiz masih memimpin zikir dan berdoa usai shalat.
Usai berdoa Ustadz Hafiz menghampiriku karena melihat Aminah sedang terbaring. Ustadz Hafiz bertanya,
“Apa yang sudah terjadi pada Bu Aminah, Pak?”
Aku ceritakan kejadian sebelum khutbah dimulai, tiba-tiba saja Aminah tidak enak badan namun ia tetap mendengarkan khutbah dan melaksanakan slahat dzuhur dan ashar. Namun tiba-tiba Aminah tidak bergerak lagi saat sujud shalat ashar. Tubuh Aminah jatuh setelah aku goyangkan, kemudian aku baringkan tubuh Aminah di sebelahku.
Kemudian Ustadz Hafiz memeriksa detak nadi di tangan Aminah. Raut muka Ustadz Hafiz berubah.
“Bapak harus sabar,” kata Ustadz Hafiz. Ia berdiam sebentar kemudian melanjutkan perkataannya, “Ibu Aminah, istri Bapak sudah meninggal dunia.”
Aku memeluk istriku. Air mata tiba-tiba menetes di pipiku. Aku hanya diam membisu. Aku tidak percaya dengan apa yang telah terjadi. Aku tidak pernah terpikir kalau istriku, yang sangat aku cintai, yang selalu membangunkanku di malam hari untuk shalat tahajjud, meninggal saat wukuf di Padang Arafah tepat saat impian terbesarnya terwujud.
Aku tiba-tiba teringat mimpiku belasan tahun lalu. Dalam mimpi itu, aku dan istriku pergi berhaji dan wukuf di Padang Arafah. Istriku sujud lama sekali. Kemudian aku mencoba mengingat kembali apa setelahnya. Ternyata aku menggendong istriku sampai ke Mekkah.
Aku pandang Ustadz Hafiz dengan tatapan kosong. Aku bertanya padanya, “Apa yang harus aku lakukan, Ustadz?”
Ustadz Hafiz menarik nafas sebelum ia berkata.
“Ini memang dilema,” katanya kemudian berdiam sejenak dan aku masih menyimak.
“Menurut ajaran Islam, jika seorang Muslim meninggal dunia, maka keluarga atau orang-orang yang ada di sekitarnya dianjurkan untuk segera memakamkan jenazahnya. Sementara untuk melaksanakan pemandian dan pengurusan jenazah jemaah haji itu berada di rumah sakit di Mekkah. Jika kita ingin mengurus jenazah saat ini, maka kita harus keluar Padang Arafah. Itu artinya haji kita batal, karena kita tidak melaksanakan wukuf di Padang Arafah” ujar Ustadz Hafiz.
“Solusi yang paling baik adalah, kita membiarkan Ibu Aminah terbaring di tenda di Padang Arafah ini hingga prosesi wukuf selesai. Kemudian ketika jemaah haji bergerak ke Muzdalifah lalu ke Mina untuk jumrah dan terakhir kembali ke Mekkah, Bapak bisa menggendong istri bapak hingga ke Mekkah. Maka setelah Bapak melaksanakan tahallul prosesi haji selesai,” usul Ustadz Hafiz.
Aku mengangguk setuju akan usulan Ustadz Hafiz. Aku memang sangat mencintai istriku, Aminah. Tapi aku juga ingin hajiku sempurna. Aku kuatkan tekad untuk menyelesaikan hajiku baru kemudian mengurus jenazah istriku setibanya di Mekkah dan memakamkannya di kota yang penuh dengan sejarah itu.
Ustadz Hafiz membuyarkan lamunanku dengan berkata,
“Insya Allah, istri Bapak, Ibu Aminah menjadi Hajjah Mabrurah.”
Aku membatin dan kemudian berkata,
“Amin, ya Rabbal ‘alamin. Terimakasih banyak Ustadz.”
*****

Selesai

0 komentar:

Posting Komentar