(Sebuah Cerita Bersambung)
Pencari Takjil #cerbung #1
“Kamu dan Yanda, dimana? Kami di antrean barisan tengah,”
Aku menelepon Ali yang dalam perjalanan dari rumahnya menuju Masjid Haji
Bayram.
“Kami baru sampai di Masjid, Bang,” jawab Ali sembari ngos-ngosan setelah jalan menanjak.
Tak berapa lama Ali dan Yanda mengangkat tangan dan
mengerak-gerakannya untuk memberi isyarat kepadaku dan Genta yang sudah berdiri
mengantre setengah jam yang lalu.
Setiap tahun Masjid Haji Bayram menjadi pusat Ramadhan di
Ankara. Di halaman masjid bersejarah itu didirikan tenda besar yang disediakan
untuk berbuka puasa. Buka puasa gratis yang disediakan oleh pemerintah kota
Ankara ini memang menjadi incaran penduduk Ankara yang mencari iftar cuma-cuma.
Apalagi bagi kami para pelajar.
Aku melihat jam di tangan masih pukul setengah delapan sore.
Sementara waku buka puasa pukul setengah sembilan. Sudah setengah jam kami
berdiri mengantre. Panjang antrean kami sekitar 30an meter lebih. Aku dan Genta
berada di urutan 15an meter dari pintu gerbang tenda. Sementara Ali dan Yanda
berada di barisan lain yang jaraknya 10 meter di belakang kami.
Jam delapan tepat barisan antrean mulai bergerak maju. 10
menit sebelum berbuka, Aku dan Genta sudah dapat jatah makan. Nampan yang sudah
penuh dengan empat macam makanan kami bawa menuju pojok tenda yang masih
kosong. Aku mengirim pesan pendek kepada Ali agar ia datang ke tempat yang
sudah kami sediakan.
“Hai, kamu berasal dari mana?” sapa seorang perempuan putih
berkerudung hitam yang berada di hadapanku.
“Aku orang Indonesia,” jawabku dengan senyum.
“Apa yang kamu lakukan disini?”
“Aku pelajar di Universitas Ankara,”
“Temanmu pelajar juga?”
“Iya, di kampus yang sama,”
Genta yang mendengar percakapan kami, ikut tersenyum.
Aku pun bertanya kepada perempuan putih berkerudung hitam, “Kamu berasal dari mana?”
“Aku berasal dari Istanbul,” katanya.
“Ngapain ke Ankara?” kutanya.
“Aku lagi bertandang ke rumah saudaraku di sini,” jawabnya.
Tetiba Ali dan Yanda datang ke meja kami. Dan percakapan aku
dan perempuan putih berkerudung hitam itu pun terhenti. Si perempuan putih berkerudung hitam itu
berpindah tempat duduk menjauhi kami.
“Aku takut mengganggu kalian,” katanya sambil membawa nampan
makanan.
*****
Pencari Takjil #cerbung #2
“Ah, kalian mengganggu aku saja yang sedang berbincang
dengan perempuan itu,” kataku pada Ali dan Yanda.
“Iya, kalian ganggu abang kita ini aja,” Genta yang sedari tadi
mengutak-atik ponsel pintarnya, angkat bicara.
“Puasa, bang,” kata Yanda.
“Oh, iya, puasa,” kataku.
“Ya, tapi, kan, tetap saja ganggu,” kataku kemudian.
“Udah, ah, bang, mari kita makan. Jangan lupa berdoa, kata
ustadz tuh, berdoa sebelum berbuka itu diijabah,” kata Genta yang mengingatkan
kami untuk berdoa sebelum berbuka. Kami pun berdoa.
“Eh, tahu nggak, tadi tuh pas aku ngobrol sama perempuan
tadi, ada petugas kebersihan yang sudah mengangkut nampan yang sudah kosong,”
kataku sambil mengunyah roti.
“Itu berarti ada orang dari yang mengantre makanan untuk
berbuka itu tidak berpuasa,” Genta menyahut, sambil menunjukkan photo
orang-orang yang makan di hadapannya sebelum azan maghrib di ponselnya kepada
Ali dan Yanda.
“Kenapa sih mereka gak puasa,” kata Ali.
“Iya, ya, padahal menunggu setengah jam lagi, apa susahnya,”
ucap Yanda sebelum menyeruput air putih.
“Paling nggak mereka menghormati yang berpuasa dan menunggu
azan maghrib,” sahut Ali.
“Mungkin mereka memang hanya mencari makan malam saja,”
ucapku sambil membawa nampan untuk dibuang.
Kami kemudian mengambil wudhu di lantai bawah. Tempat wudhu
di masjid Haji Bayram ini termasuk mewah. Seperti hotel berbintang. Selain
luas, bersih, juga terawat dengan baik. Usai sembahyang maghrib kami kembali ke
rumah kami di Cebeci. Perjalanan dari Masjid Haji Bayram ke Cebeci sekitar
setengah jam hingga empat puluh menit dengan jalan kaki.
*****
Pencari Takjil #cerbung #3
Usai shalat maghrib kami berkeliling masjid yang megah itu.
Halamannya dihiasi dengan
taman dan air mancur. Persis di samping masjid itu
ada bangunan tua yang sengaja dipelihara bekas gereja jaman baheula. Bekas
gereja ini semakin menguatkan peran pariwisata di kota tua Ulus.
Kami berempat pulang menelusuri jalan yang sudah sepi. Jam
di tanganku menunjukkan pukul setengah sepuluh malam. Pertokoan sepanjang jalan
sudah tutup. Jalan sepi. Mobil berhenti di lampu merah yang juga sepi dengan
kendaraan.
“Kenapa itu mobil berhenti, padahal tidak ada kendaraan
lain,” ungkap Genta kepada kami.
“Itu mungkin yang dinamakan sadar berlalulintas,” kata
Yanda.
“Dia mah caper aja kali,” kata Ali. “Iya, kan, Bang?”
tambahnya sambil melirik ke arahku.
“Iya kali. Bisa aja dia caper sekaligus pengen belajar sadar berlalulintas,” jawabku sekenanya, karena aku
masih kepikiran mengapa orang-orang yang lama berdiri mengantre makanan, tetapi
mereka tidak berpuasa.
“Kalau di kampung saya, kalau sudah malam, terus lampu merah
menyala, tetapi tidak ada kendaraan, maka ia akan nyelonong aja,” kata Ali.
Kami pun tiba di rumah di Cebeci. Sebelum sampai rumah, kami
melihat pertunjukan di salah satu taman. Pemain musik mendendangkan lagu khas
Turki. Beberapa orang berjoget beriringan dengan lagu yang diputar.
“Udah yuk pulang aja, udah malam,” kataku, “capek jalan
seharian.”
*****
Pencari Takjil #cerbung #4
Adzan isya berkumandang saat beberapa menit kami tiba di
rumah. Kami yang sudah lelah berjalan bulak balik Cebeci Masjid Bayram malas
pergi ke masjid untuk shalat isya dan taraweh.
“Kita shalat jemaahnya agak maleman aja yah” ujar Genta
kepada kami. Kami pun mengiyakannya.
Ghani dan Yanda mengambil laptopnya masing-masing dan
memutar film yang ada di laptopnya.
“Besok-besok aku malas berbuka di masjid Haji Bayram,”
kataku.
“Aku kan pengen ngerasain buka gratis, Bang,” kata Genta
yang tahun lalu merasakan suasana puasa di kota Trabzon, utara Turki.
“Aku juga belum pernah buka puasa gitu juga di Turki, kan
ini tahun pertama,” ujar Ali yang berasal dari Aceh itu.
“Kupikir, mending kita buka puasa di rumah saja. Kita masak
sore sebelum berbuka,” kataku,
“kita bisa isi itu kulkas dengan bahan masakan.”
“kecuali kalau ada yang menawarkan buka puasa dengan menu
masakan Indonesia, Bang,” kata Yanda.
“Ide bagus,” kataku sembari membuka buku untuk dibaca.
*****
Pencari Takjil #cerbung #5
Aku terbangun pukul 2 pagi setelah Yanda membangunkanku. Yanda
dan Ali sudah masak untuk kami sahur. Mereka mulai memasak satu jam sebelum
saya dibangunkan.
Keesokan harinya, pasokan makanan dalam kulkas kami sudah
tidak ada. Aku lupa mengecek sesudah kami berbuka. Aku baru mengecek kulkas
pukul 23.30 malam. Itu berarti toko-toko dan warung-warung sudah tutup. Hanya warung
kacang-kacangan saja yang masih buka.
“Gimana kita sahur kali ini,” tanyaku.
“Tenang, Bang, di rumahku masih ada stok makanan. Nanti jam
2 kita ke rumah aku dan masak di sana,”
ungkap Yanda.
“Baiklah,” kataku sambil menarik selimut. Tidak lupa
mengingatkan Yanda dan Ali untuk membangunkanku sebelum sahur.
Ali, Ghani, Haris, Genta dan Aku sudah hendak tidur. Tinggal
Yanda yang masih membuka laptop untuk menonton film.
Aku yang pertama dibangunkan oleh Yanda. Kemudian teman-teman
yang lain pun dibangunkannya. Aku yang masih setengah sadar langsung mengajak
Yanda untuk ke rumahnya karena melihat jam sudah menunjukkan jam setengah tiga.
Sementara imsak pukul setengah empat.
Jarak antara rumah Ali yang kami tempati itu dengan rumah
Yanda sekitar 300 meter. Ali, Ghani, Haris dan Genta sudah bangun dari tidurnya
tapi mereka masih duduk di atas kasurnya.
“Kalian menyusul dengan segera ya. Aku dan Yanda menyiapkan
masakan dulu,” kataku pada mereka, dan mereka mangangguk-angguk.
Aku belum pernah sebelumnya ke rumah Yanda. Walaupun dekat. Kami
lebih nyaman di rumah Ali yang sudah tidak lagi dihuni teman-temannya yang
orang Turki. Karena mereka berlibur ke kampung halamannya masing-masing.
Tapi pagi itu kami harus ke rumah Yanda untuk memasak
santapan sahur. Yanda sudah memencet tombol 5 di lift yang kami masuki. Dalam
lift itu juga sudah dipencet lantai 3. Entah oleh siapa. Aku tak terlalu
mengambil pusing. Karena aku pun tak tahu di lantai berapa Yanda tinggal.
Lift lantai 3 terbuka. Lalu Yanda memencet bel rumah. Agak
lama pintu rumah itu terbuka. Ada anak muda yang membukakan pintu itu. Yanda dengan
tenang membuka sandal dan masuk tanpa salam.
Si anak muda yang membukakan pintu itu tanpa ekspresi. Aku mengikuti
Yanda yang membuka sandal dan hendak masuk rumah sebelum si anak muda itu
bertanya kepada Yanda.
“Kamu siapa? Tanya orang Turki yang membukakan pintu.
Yanda melihat sekeliling rumah itu. Ia baru sadar kalau itu
bukanlah rumahnya setelah melihat ada yang janggal di rumah itu.
“Oh maaf aku salah masuk rumah,” kata Yanda kepada anak muda
itu.
Saya menyengir melihat tingkah Yanda yang keki karena salah.
Kami pamit kepada anak muda itu. Kami kembali ke lift dan tertawa bersama. Hahaha.
Saya pun akhirnya sadar 100 persen.
*****
(Bersambung)
0 komentar:
Posting Komentar