Jumat, 22 November 2013

Pencari Takjil


(Sebuah Cerita Bersambung)

Pencari Takjil #cerbung #1

“Kamu dan Yanda, dimana? Kami di antrean barisan tengah,” Aku menelepon Ali yang dalam perjalanan dari rumahnya menuju Masjid Haji Bayram.

“Kami baru sampai di Masjid, Bang,” jawab Ali sembari ngos-ngosan setelah jalan menanjak.

Tak berapa lama Ali dan Yanda mengangkat tangan dan mengerak-gerakannya untuk memberi isyarat kepadaku dan Genta yang sudah berdiri mengantre setengah jam yang lalu. 

Setiap tahun Masjid Haji Bayram menjadi pusat Ramadhan di Ankara. Di halaman masjid bersejarah itu didirikan tenda besar yang disediakan untuk berbuka puasa. Buka puasa gratis yang disediakan oleh pemerintah kota Ankara ini memang menjadi incaran penduduk Ankara yang mencari iftar cuma-cuma. Apalagi bagi kami para pelajar.

Aku melihat jam di tangan masih pukul setengah delapan sore. Sementara waku buka puasa pukul setengah sembilan. Sudah setengah jam kami berdiri mengantre. Panjang antrean kami sekitar 30an meter lebih. Aku dan Genta berada di urutan 15an meter dari pintu gerbang tenda. Sementara Ali dan Yanda berada di barisan lain yang jaraknya 10 meter di belakang kami.

Jam delapan tepat barisan antrean mulai bergerak maju. 10 menit sebelum berbuka, Aku dan Genta sudah dapat jatah makan. Nampan yang sudah penuh dengan empat macam makanan kami bawa menuju pojok tenda yang masih kosong. Aku mengirim pesan pendek kepada Ali agar ia datang ke tempat yang sudah kami sediakan.

“Hai, kamu berasal dari mana?” sapa seorang perempuan putih berkerudung hitam yang berada di hadapanku.

“Aku orang Indonesia,” jawabku dengan senyum.

“Apa yang kamu lakukan disini?”

“Aku pelajar di Universitas Ankara,”

“Temanmu pelajar juga?”

“Iya, di kampus yang sama,”

Genta yang mendengar percakapan kami, ikut tersenyum.

Aku pun bertanya kepada perempuan putih berkerudung hitam, “Kamu berasal dari mana?”

“Aku berasal dari Istanbul,” katanya.

“Ngapain ke Ankara?” kutanya.

“Aku lagi bertandang ke rumah saudaraku di sini,” jawabnya.

Tetiba Ali dan Yanda datang ke meja kami. Dan percakapan aku dan perempuan putih berkerudung hitam itu pun terhenti. Si perempuan putih berkerudung hitam itu berpindah tempat duduk menjauhi kami.

“Aku takut mengganggu kalian,” katanya sambil membawa nampan makanan.

*****

Pencari Takjil #cerbung #2

“Ah, kalian mengganggu aku saja yang sedang berbincang dengan perempuan itu,” kataku pada Ali dan Yanda.

“Iya, kalian ganggu abang kita ini aja,” Genta yang sedari tadi mengutak-atik ponsel pintarnya, angkat bicara.

“Puasa, bang,” kata Yanda.

“Oh, iya, puasa,” kataku.

“Ya, tapi, kan, tetap saja ganggu,” kataku kemudian.

“Udah, ah, bang, mari kita makan. Jangan lupa berdoa, kata ustadz tuh, berdoa sebelum berbuka itu diijabah,” kata Genta yang mengingatkan kami untuk berdoa sebelum berbuka. Kami pun berdoa.

“Eh, tahu nggak, tadi tuh pas aku ngobrol sama perempuan tadi, ada petugas kebersihan yang sudah mengangkut nampan yang sudah kosong,” kataku sambil mengunyah roti.

“Itu berarti ada orang dari yang mengantre makanan untuk berbuka itu tidak berpuasa,” Genta menyahut, sambil menunjukkan photo orang-orang yang makan di hadapannya sebelum azan maghrib di ponselnya kepada Ali dan Yanda.

“Kenapa sih mereka gak puasa,” kata Ali.

“Iya, ya, padahal menunggu setengah jam lagi, apa susahnya,” ucap Yanda sebelum menyeruput air putih.

“Paling nggak mereka menghormati yang berpuasa dan menunggu azan maghrib,” sahut Ali.

“Mungkin mereka memang hanya mencari makan malam saja,” ucapku sambil membawa nampan untuk dibuang.

Kami kemudian mengambil wudhu di lantai bawah. Tempat wudhu di masjid Haji Bayram ini termasuk mewah. Seperti hotel berbintang. Selain luas, bersih, juga terawat dengan baik. Usai sembahyang maghrib kami kembali ke rumah kami di Cebeci. Perjalanan dari Masjid Haji Bayram ke Cebeci sekitar setengah jam hingga empat puluh menit dengan jalan kaki.

*****

Pencari Takjil #cerbung #3

Usai shalat maghrib kami berkeliling masjid yang megah itu. Halamannya dihiasi dengan 
taman dan air mancur. Persis di samping masjid itu ada bangunan tua yang sengaja dipelihara bekas gereja jaman baheula. Bekas gereja ini semakin menguatkan peran pariwisata di kota tua Ulus.

Kami berempat pulang menelusuri jalan yang sudah sepi. Jam di tanganku menunjukkan pukul setengah sepuluh malam. Pertokoan sepanjang jalan sudah tutup. Jalan sepi. Mobil berhenti di lampu merah yang juga sepi dengan kendaraan.

“Kenapa itu mobil berhenti, padahal tidak ada kendaraan lain,” ungkap Genta kepada kami.

“Itu mungkin yang dinamakan sadar berlalulintas,” kata Yanda.

“Dia mah caper aja kali,” kata Ali. “Iya, kan, Bang?” tambahnya sambil melirik ke arahku.

“Iya kali. Bisa aja dia caper sekaligus pengen belajar sadar berlalulintas,” jawabku sekenanya, karena aku masih kepikiran mengapa orang-orang yang lama berdiri mengantre makanan, tetapi mereka tidak berpuasa.

“Kalau di kampung saya, kalau sudah malam, terus lampu merah menyala, tetapi tidak ada kendaraan, maka ia akan nyelonong aja,” kata Ali.

Kami pun tiba di rumah di Cebeci. Sebelum sampai rumah, kami melihat pertunjukan di salah satu taman. Pemain musik mendendangkan lagu khas Turki. Beberapa orang berjoget beriringan dengan lagu yang diputar.

“Udah yuk pulang aja, udah malam,” kataku, “capek jalan seharian.”

*****

Pencari Takjil #cerbung #4

Adzan isya berkumandang saat beberapa menit kami tiba di rumah. Kami yang sudah lelah berjalan bulak balik Cebeci Masjid Bayram malas pergi ke masjid untuk shalat isya dan taraweh.

“Kita shalat jemaahnya agak maleman aja yah” ujar Genta kepada kami. Kami pun mengiyakannya.

Ghani dan Yanda mengambil laptopnya masing-masing dan memutar film yang ada di laptopnya.

“Besok-besok aku malas berbuka di masjid Haji Bayram,” kataku.

“Aku kan pengen ngerasain buka gratis, Bang,” kata Genta yang tahun lalu merasakan suasana puasa di kota Trabzon, utara Turki.

“Aku juga belum pernah buka puasa gitu juga di Turki, kan ini tahun pertama,” ujar Ali yang berasal dari Aceh itu.

“Kupikir, mending kita buka puasa di rumah saja. Kita masak sore sebelum berbuka,” kataku, 

“kita bisa isi itu kulkas dengan bahan masakan.”

“kecuali kalau ada yang menawarkan buka puasa dengan menu masakan Indonesia, Bang,” kata Yanda.

“Ide bagus,” kataku sembari membuka buku untuk dibaca.

*****

Pencari Takjil #cerbung #5

Aku terbangun pukul 2 pagi setelah Yanda membangunkanku. Yanda dan Ali sudah masak untuk kami sahur. Mereka mulai memasak satu jam sebelum saya dibangunkan.

Keesokan harinya, pasokan makanan dalam kulkas kami sudah tidak ada. Aku lupa mengecek sesudah kami berbuka. Aku baru mengecek kulkas pukul 23.30 malam. Itu berarti toko-toko dan warung-warung sudah tutup. Hanya warung kacang-kacangan saja yang masih buka.

“Gimana kita sahur kali ini,” tanyaku.

“Tenang, Bang, di rumahku masih ada stok makanan. Nanti jam 2  kita ke rumah aku dan masak di sana,” ungkap Yanda.

“Baiklah,” kataku sambil menarik selimut. Tidak lupa mengingatkan Yanda dan Ali untuk membangunkanku sebelum sahur.

Ali, Ghani, Haris, Genta dan Aku sudah hendak tidur. Tinggal Yanda yang masih membuka laptop untuk menonton film.

Aku yang pertama dibangunkan oleh Yanda. Kemudian teman-teman yang lain pun dibangunkannya. Aku yang masih setengah sadar langsung mengajak Yanda untuk ke rumahnya karena melihat jam sudah menunjukkan jam setengah tiga. Sementara imsak pukul setengah empat.

Jarak antara rumah Ali yang kami tempati itu dengan rumah Yanda sekitar 300 meter. Ali, Ghani, Haris dan Genta sudah bangun dari tidurnya tapi mereka masih duduk di atas kasurnya.

“Kalian menyusul dengan segera ya. Aku dan Yanda menyiapkan masakan dulu,” kataku pada mereka, dan mereka mangangguk-angguk.

Aku belum pernah sebelumnya ke rumah Yanda. Walaupun dekat. Kami lebih nyaman di rumah Ali yang sudah tidak lagi dihuni teman-temannya yang orang Turki. Karena mereka berlibur ke kampung halamannya masing-masing.

Tapi pagi itu kami harus ke rumah Yanda untuk memasak santapan sahur. Yanda sudah memencet tombol 5 di lift yang kami masuki. Dalam lift itu juga sudah dipencet lantai 3. Entah oleh siapa. Aku tak terlalu mengambil pusing. Karena aku pun tak tahu di lantai berapa Yanda tinggal.

Lift lantai 3 terbuka. Lalu Yanda memencet bel rumah. Agak lama pintu rumah itu terbuka. Ada anak muda yang membukakan pintu itu. Yanda dengan tenang membuka sandal dan masuk tanpa salam.

Si anak muda yang membukakan pintu itu tanpa ekspresi. Aku mengikuti Yanda yang membuka sandal dan hendak masuk rumah sebelum si anak muda itu bertanya kepada Yanda.

“Kamu siapa? Tanya orang Turki yang membukakan pintu.

Yanda melihat sekeliling rumah itu. Ia baru sadar kalau itu bukanlah rumahnya setelah melihat ada yang janggal di rumah itu.

“Oh maaf aku salah masuk rumah,” kata Yanda kepada anak muda itu.

Saya menyengir melihat tingkah Yanda yang keki karena salah. Kami pamit kepada anak muda itu. Kami kembali ke lift dan tertawa bersama. Hahaha. Saya pun akhirnya sadar 100 persen.

*****
(Bersambung)

0 komentar:

Posting Komentar