Kang Deden

Tidak ada awal, akhir ataupun pertengahan, sebab yang ada hanyalah perjalanan.

Kang Deden

Orang besar ialah orang yang sudah selesai dengan dirinya sendiri.

Kang Deden

Berlarilah mengejar impian. Disana terdapat indahnya kehidupan.

Kang Deden

Berjalanlah, engkau akan mendapatkan banyak pelajaran.

Kang Deden

Tenangkan hatimu, karena itu sumber kebahagiaan.

Senin, 20 Januari 2014

Hujan Tak Pernah Meminta Ijin



Hujan tak pernah meminta ijin
Untuk membasahi bumi
Bahkan hingga daratan dipenuhi air

Hujan pun tak pernah pamit
Saat dirinya ingin menyudahi
Kegiatan menebar air pada bumi

Rangkasbitung, 20 Januari 2014

Senin, 06 Januari 2014

Senyum Penumpang Kereta



Di hari terakhir 2013 saya harus berjuang dengan penumpang lain agar bisa masuk ke dalam kereta api dari Jakarta menuju Rangkasbitung. Sore itu stasiun Kebayoran Lama sudah penuh oleh para penumpang. Sebab awal tahun 2014 adalah hari libur, jadi banyak orang yang ingin berlibur di kampungnya.

Seorang perempuan, yang mungkin mahasiswi, dengan gesit masuk pintu gerbong kereta mendahului saya. Ia tak lagi canggung berdempetan dan memaksa orang untuk maju agar para penumpang lain di belakangnya bisa masuk juga. Setelah tidak bisa lagi bergerak, si perempuan itu memanggil temannya. “Ayo masuk lagi, jangan deket pintu,” teriaknya pada dua temannya yang berdiri di mulut pintu.

Dua temannya menjawab, bahwa mereka sudah berusaha dan tidak lagi bisa bergerak lebih ke dalam. Kereta api kemudian bergerak lambat lalu berlari meninggalkan Jakarta. Saya berdiri dikelilingi oleh para penumpang lain. Ada bapak-bapak, ibu-ibu, mahasiswa, dan anak kecil di sekeliling saya. Tak ada dialog dalam kereta itu. Hanya suara mesin kereta dan gesekan roda dengan rel kereta api yang berirama di telinga.

Kereta yang kami tumpangi ini adalah kereta ekonomi langsam, tujuan Jakarta Rangkasbitung. Kereta ini berhenti di setiap stasiun pemberhentian. Ketika sampai di stasiun Pondok Ranji, ada sedikit penumpang yang turun, tapi yang masuk lebih banyak. Dan terjadilah dialog antar penumpang.

“Bapak masuk dong, saya jauh nih turunnya di Maja,” kata seorang wanita di mulut pintu karena tak kunjung bisa masuk lebih ke dalam. Si bapak yang ditanya itu, dengan senyum, “Saya mah deket, Bu, turunnya cuma di Rangkasbitung,” ujar si bapak.

Saya tersenyum dengan jawaban si bapak, sebab Rangkasbitung adalah stasiun pemberhentian terakhir sementara Maja dua stasiun sebelum Rangkasbitung. Saya melihat sekitar dan penumpang lain pun tersenyum karena ulah percakapan itu.

Ada saja memang ulah di dalam kereta. Para penumpang sadar, mereka semua sama. Sama-sama merasakan susah. Sama-sama mudah emosi. Sama-sama gerah. Tetapi dalam budaya kita, lebih baik menertawakan kesusahan, agar ia tidak lagi terlihat susah. Agar kita dapat menertawakan kesusahan. Ketimbang sudah susah bertambah susah.

Ini berbeda dengan budaya di Turki. Suatu ketika saya naik bus di Ankara yang lumayan padat. Seorang lelaki berusia di atas 60- an, dipersilahkan untuk duduk oleh seorang pemuda. “Wahai kakek duduklah di tempat ini,” pinta pemuda. Bukannya senang, si kakek malah marah dan berkata. “Wahai anak muda, saya ini bukan kakek-kakek, saya ini masih bapak-bapak dan kuat,” ujarnya mendumel.

Tidak hanya sekali saya melihat orang Turki yang mudah tersulut emosi. Pernah juga, usai pulang dari kampus, ada ibu-ibu sedang memarahi penumpang lain. Bahkan sampai saya turun dari bus itu, ia masih juga marah dan berkata-kata kasar. Padahal saat itu saya masih pening dengan ujian di kelas. Entahlah, mengapa mereka seperti itu.

Inilah perbedaan orang Indonesia dan orang luar Indonesia. Jadi ada benarnya, tingkat kebahagiaan orang Indonesia, menurut sebuah riset, termasuk dalam warga yang paling bahagia di dunia. Kita sedih saja dibuat senang, apalagi kalau senang.

Kembali ke soal kereta. Di setiap stasiun pemberhentian para penumpang selalu ramai yang ingin naik keretas. Sementara yang turun dari kereta hanya sedikit. Bahkan hingga stasiun terakhir kereta api ini tetap penuh oleh penumpang. Ini mungkin disebabkan banyaknya penumpang tidak sebanding dengan banyaknya armada kereta yang mengangkut para penumpang.

Sebenarnya gampang saja untuk mengatasi ini. Pemerintah seharusnya menambah armada kereta api dan menambah jadwal kereta api tujuan Jakarta Rangkasbitung dan sebaliknya. Soal dana pemerintah lebih tahu. Tentang budaya penumpang, semisal menjaga kebersihan dan yang lainnya, masyarakat kita sebenarnya mau saja diarahkan jika untuk kebaikan bersama.

Memang dalam beberapa tahun terakhir ini sudah banyak perubahan mengenai perkeretaapian Indonesia. Kereta dua lajur dari Jakarta menuju Maja sudah terlaksana, tinggal dua stasiun lagi hingga Rangkasbitung. Namun, perubahan ini belum begitu terasa oleh kita yang sering menggunakan kereta dalam perjalanan.

Langit sudah gelap ketika kereta akan tiba di stasiun Rangkasbitung. Dan saya masih berdiri di dalam kereta dari Jakarta dua jam lebih. Penumpang kereta api masih banyak dan posisi saya tidak bergerak yaitu berdiri di sambungan dua gerbong dekat pintu kereta.

Seorang wanita di hadapan saya mengatakan, “Kalau setiap sore kereta api penuh kayak gini, gimana rasanya yah. Untung saya tidak pulang ke Rangkas setiap sore.” Saya mengomentarinya dengan becanda, “Kereta penuh ini karena ada mbak, coba kalau mbak gak naik kereta, pasti sepi, hehe.” Kemudian kami pun terseyum.

Jumat, 03 Januari 2014

Cerita dari Carita



Hari kedua di tahun 2014 ini saya bangun agak telat. Ini karena tidurnya pun sangat telat. Padahal hari sebelumnya sudah berjanji akan bersilaturahim ke rumah bibi alias uwa yang akan kedatangan anak-anak dan cucu-cucunya. Bangun pukul 10 saya ingatkan saudara kembar saya untuk menghubungi saudara sepupu kami. Rupanya mereka, sekeluarga besar, sudah jalan ke pantai Carita di Labuan, Banten.

Saya bergegas sarapan dan mandi. Begitupun Dadan, saudara kembar saya. Pukul 11.30 kami meluncur dengan sepeda motor menuju Pantai Carita. Kami mengecek di Google Maps jarak dan waktu tempuh antara rumah kami di Rangkasbitung dan Pantai Carita di Labuan, yang memakan waktu dua setengah jam sampai tiga jam.

Ternyata Google bisa salah juga. Kami tiba di Carita pukul 13.00. Satu setengah jam perjalanan dengan kecepatan tidak lebih dari 80 KM/jam. Aa Nana, saudara sepupu kami sudah menunggu di gerbang Pantai Carita Pasir Putih. Setelah memarkirkan motor, kami langsung ke pantai. Semua sudah berkumpul di sana.

Keponakan saya sudah banyak rupanya. Hahaha. Dan yang saya sadari bahwa, mereka, keponakan saya itu, cepat sekali pertumbuhannya. Dulu selulus dari Gontor tahun 2002 saya berkunjung ke Malang, kediaman kakak sepupu kami, Teh Lilis. Saat itu Igo, anak pertama Teh Lilis, masih kecil. Saat ini ia sudah kelas 3 SMK di Malang. Dan terlihat sangat dewasa dan sayang kepada kedua adiknya.

Kunjungan Teh Lilis ke Banten adalah untuk bersilaturahim, berkumpul bersama ibu, kakak, adik dan keponakan-keponakannya. Tentu juga untuk menghibur keponakannya setelah ayah mereka meninggal dunia pada lebaran lalu. Saat kabar duka cita itu saya masih berada di Ankara. Ikut sedih, kakak sepupu kami meninggal dunia dengan meninggalkan seorang istri, tiga orang putra putrid an dua cucu.

Tapi saya tidak melihat kesedihan mereka saat di Carita. Teh Neneng, kakak sepupu kami, yang ditinggalkan suami yang meninggal beberapa bulan lalu begitu tegar dan tabah. Mungkin ia belajar dari ibunya yang juga penyabar dan penyayang anak-anak dan keponakan-keponakannya, termasuk saya. Ibunya Teh Neneng juga ditinggalkan suaminya ketika anak ketiganya lahir di dunia di tahun 70-an awal.

Cerita dari Carita ini membuat saya sangat sadar bahwa keluarga adalah segalanya. Keluarga adalah sumber kebahagiaan. Keluarga adalah penghangat hati di saat kelu. Keluarga semacam obat bagi penyakit apapun. Keluarga adalah kunci kesuksesan. Keluarga adalah ribuan tangan yang menarik untuk tetap berdiri di saat kaki dan nasib sedang tidak bersahabat.

Teh Lilis datang dari Malang bersama ketiga anaknya, sementara suaminya tidak ikut. Ia datang hanya beberapa hari saja. Sampai liburan sekolah usai. Esok minggu ia akan kembali ke Malang, padahal Rabu kemarin baru saja tiba di Tangerang lalu ke Rangkasbitung dan jalan-jalan ke Carita. Waktu yang singkat itu digunakan untuk pelipur lara dan penguat hati. Sebab, terkadang, bukan berapa lama kita berkumpul, tapi sedekat apa perkumpulan itu walau dalam waktu yang singkat.