Senin, 06 Januari 2014

Senyum Penumpang Kereta



Di hari terakhir 2013 saya harus berjuang dengan penumpang lain agar bisa masuk ke dalam kereta api dari Jakarta menuju Rangkasbitung. Sore itu stasiun Kebayoran Lama sudah penuh oleh para penumpang. Sebab awal tahun 2014 adalah hari libur, jadi banyak orang yang ingin berlibur di kampungnya.

Seorang perempuan, yang mungkin mahasiswi, dengan gesit masuk pintu gerbong kereta mendahului saya. Ia tak lagi canggung berdempetan dan memaksa orang untuk maju agar para penumpang lain di belakangnya bisa masuk juga. Setelah tidak bisa lagi bergerak, si perempuan itu memanggil temannya. “Ayo masuk lagi, jangan deket pintu,” teriaknya pada dua temannya yang berdiri di mulut pintu.

Dua temannya menjawab, bahwa mereka sudah berusaha dan tidak lagi bisa bergerak lebih ke dalam. Kereta api kemudian bergerak lambat lalu berlari meninggalkan Jakarta. Saya berdiri dikelilingi oleh para penumpang lain. Ada bapak-bapak, ibu-ibu, mahasiswa, dan anak kecil di sekeliling saya. Tak ada dialog dalam kereta itu. Hanya suara mesin kereta dan gesekan roda dengan rel kereta api yang berirama di telinga.

Kereta yang kami tumpangi ini adalah kereta ekonomi langsam, tujuan Jakarta Rangkasbitung. Kereta ini berhenti di setiap stasiun pemberhentian. Ketika sampai di stasiun Pondok Ranji, ada sedikit penumpang yang turun, tapi yang masuk lebih banyak. Dan terjadilah dialog antar penumpang.

“Bapak masuk dong, saya jauh nih turunnya di Maja,” kata seorang wanita di mulut pintu karena tak kunjung bisa masuk lebih ke dalam. Si bapak yang ditanya itu, dengan senyum, “Saya mah deket, Bu, turunnya cuma di Rangkasbitung,” ujar si bapak.

Saya tersenyum dengan jawaban si bapak, sebab Rangkasbitung adalah stasiun pemberhentian terakhir sementara Maja dua stasiun sebelum Rangkasbitung. Saya melihat sekitar dan penumpang lain pun tersenyum karena ulah percakapan itu.

Ada saja memang ulah di dalam kereta. Para penumpang sadar, mereka semua sama. Sama-sama merasakan susah. Sama-sama mudah emosi. Sama-sama gerah. Tetapi dalam budaya kita, lebih baik menertawakan kesusahan, agar ia tidak lagi terlihat susah. Agar kita dapat menertawakan kesusahan. Ketimbang sudah susah bertambah susah.

Ini berbeda dengan budaya di Turki. Suatu ketika saya naik bus di Ankara yang lumayan padat. Seorang lelaki berusia di atas 60- an, dipersilahkan untuk duduk oleh seorang pemuda. “Wahai kakek duduklah di tempat ini,” pinta pemuda. Bukannya senang, si kakek malah marah dan berkata. “Wahai anak muda, saya ini bukan kakek-kakek, saya ini masih bapak-bapak dan kuat,” ujarnya mendumel.

Tidak hanya sekali saya melihat orang Turki yang mudah tersulut emosi. Pernah juga, usai pulang dari kampus, ada ibu-ibu sedang memarahi penumpang lain. Bahkan sampai saya turun dari bus itu, ia masih juga marah dan berkata-kata kasar. Padahal saat itu saya masih pening dengan ujian di kelas. Entahlah, mengapa mereka seperti itu.

Inilah perbedaan orang Indonesia dan orang luar Indonesia. Jadi ada benarnya, tingkat kebahagiaan orang Indonesia, menurut sebuah riset, termasuk dalam warga yang paling bahagia di dunia. Kita sedih saja dibuat senang, apalagi kalau senang.

Kembali ke soal kereta. Di setiap stasiun pemberhentian para penumpang selalu ramai yang ingin naik keretas. Sementara yang turun dari kereta hanya sedikit. Bahkan hingga stasiun terakhir kereta api ini tetap penuh oleh penumpang. Ini mungkin disebabkan banyaknya penumpang tidak sebanding dengan banyaknya armada kereta yang mengangkut para penumpang.

Sebenarnya gampang saja untuk mengatasi ini. Pemerintah seharusnya menambah armada kereta api dan menambah jadwal kereta api tujuan Jakarta Rangkasbitung dan sebaliknya. Soal dana pemerintah lebih tahu. Tentang budaya penumpang, semisal menjaga kebersihan dan yang lainnya, masyarakat kita sebenarnya mau saja diarahkan jika untuk kebaikan bersama.

Memang dalam beberapa tahun terakhir ini sudah banyak perubahan mengenai perkeretaapian Indonesia. Kereta dua lajur dari Jakarta menuju Maja sudah terlaksana, tinggal dua stasiun lagi hingga Rangkasbitung. Namun, perubahan ini belum begitu terasa oleh kita yang sering menggunakan kereta dalam perjalanan.

Langit sudah gelap ketika kereta akan tiba di stasiun Rangkasbitung. Dan saya masih berdiri di dalam kereta dari Jakarta dua jam lebih. Penumpang kereta api masih banyak dan posisi saya tidak bergerak yaitu berdiri di sambungan dua gerbong dekat pintu kereta.

Seorang wanita di hadapan saya mengatakan, “Kalau setiap sore kereta api penuh kayak gini, gimana rasanya yah. Untung saya tidak pulang ke Rangkas setiap sore.” Saya mengomentarinya dengan becanda, “Kereta penuh ini karena ada mbak, coba kalau mbak gak naik kereta, pasti sepi, hehe.” Kemudian kami pun terseyum.

3 komentar:

  1. sangat menarik ni kawan...makasih ya infonya ohh iya mari mampir ke gubuk saya >>>www.gustube.net<<<

    BalasHapus
  2. Mohon infonya gan...
    Saya ingin berangkat ke pantai Carita minggu depan.

    Saya berangkat dari stasiun Tanah Abang, rencananya sin pingin turun stasiun Rangkas Bitung, terus naik bis ke Arah Labuan terus naik angkot ke Carita.

    Tapi ada opsi lain, yaitu turun Stasiun Cilegon, terus naik angkot ke Carita.

    Mohon saran dan petunjuk teman-teman sekalian...

    Lebih lancar dan cepat manakah antara jalur Rangkas-Carita dengan Cilegon-Carita.????

    BalasHapus