Kang Deden

Tidak ada awal, akhir ataupun pertengahan, sebab yang ada hanyalah perjalanan.

Kang Deden

Orang besar ialah orang yang sudah selesai dengan dirinya sendiri.

Kang Deden

Berlarilah mengejar impian. Disana terdapat indahnya kehidupan.

Kang Deden

Berjalanlah, engkau akan mendapatkan banyak pelajaran.

Kang Deden

Tenangkan hatimu, karena itu sumber kebahagiaan.

Senin, 23 Agustus 2010

Ramadhan Terpusat di Taman Pemuda Turki

(Dimuat di Republika, Senin, 23 Agustus 2010)


Oleh Deden Mauli Darajat (Mahasiswa Pascasarjana Universitas Ankara, Turki)


Tausiah Ramadhan disajikan melalui layar raksasa yang juga disiarkan langsung oleh Beyaz TV.


Ibu kota Turki, Ankara, dikenal banyak memiliki taman kota yang indah dan menawan. Tidak sulit mencari taman di Ankara sebab hampir di setiap sudut kota terdapat taman. Taman itu tertata rapi dilengkapi air mancur yang menghiasi. Tak ketinggalan bunga-bunga warna-warni bertebaran di sekitar taman kota. Bahkan, ada juga alat-alat olahraga gymnastic yang bisa digunakan warga sekitar.


Salah satu taman yang sangat ramai selama bulan Ramadhan 1431 H adalah Genclik Park atau Taman Pemuda. Taman yang terletak di daerah Ulus ini, oleh pemerintah Provinsi Ankara, ditetapkan menjadi pusat kegiatan Ramadhan tahun ini.


Genclik Park disulap menjadi arena pameran. Di tengah taman itu, terdapat dua panggung. Panggung pertama untuk tausiah Ramadhan menjelang berbuka dan panggung kedua untuk pementasan musik pada malam hari.


Tausiah Ramadhan tiap sore itu disiarkan live oleh Beyaz TV. Bahkan, di depan pintu masuk Genclik Park, siaran langsung itu bisa dinikmati melalui layar lebar.


Banyak warga sekitar yang datang ke Genclik Park untuk berbuka puasa. Ada juga warga yang membawa sanak keluarganya sambil membawa makanan dan minuman untuk berbuka. Di belakang tenda-tenda pameran, para warga itu menggelar tikar dan menyantap santapan buka puasa.


Bagi yang tidak membawa makanan buka puasa, panitia acara menyediakan tenda besar untuk berbuka puasa gratis. Tenda besar yang dapat menampung lima ratusan orang itu disponsori oleh Gubernur Ankara, Melih Gokcek.


Tahun ini merupakan tahun pertama saya melaksanakan ibadah puasa di Turki sebagai mahasiswa pascasarjana Universitas Ankara. Ramadhan tahun ini, bertepatan dengan musim panas, artinya puasa pada musim panas lebih lama dibanding musim-musim lainnya.


Kali ini, buka puasa di Turki sekitar pukul 20.00 waktu setempat. Sebelum berbuka puasa, saya menghabiskan waktu mengunjungi stan di arena Genclik Park. Di sana, terdapat puluhan stan penjual aksesori, sepatu, kaus, buku, dan lain-lain. Di sekitar taman itu pun, disediakan masjid untuk shalat.


Yang menarik, di samping Genclik Park, terdapat juga Taman Luna Park. Taman ini merupakan taman wisata permainan, seperti Ancol atau Dunia Fantasi di Jakarta.


Selain perayaan Ramadhan di Genclik Park, ada pusat perbelanjaan Mal Panora. Pihak pengelola mal itu memeriahkan bulan puasa dengan menampilkan tarian Sema setiap hari Jumat dan Sabtu. Tarian Sema yang merupakan tarian sufi Maulana Jalaluddin Rumi ini ditampilkan satu jam menjelang buka puasa selama bulan Ramadhan.


Sejatinya, Maulana Jalaluddin Rumi bernama lengkap Muhammad bin Hasin al Khattabi al-Bakri atau sering disebut dengan Rumi. Ia adalah seorang penyair sufi yang lahir di Balkh (sekarang Afganistan) pada 6 Rabiul Awal 604 Hijriyah atau 30 September 1207 Masehi. Untuk mengenangnya, Pemerintah Turki membangun pusat kebudayaan Maulana Jalaluddin Rumi di Konya, Turki.


Selain menjalani Ramadhan, tahun ini juga kali pertama saya merayakan kemerdekaan ke-65 Republik Indonesia di Turki. Perayaan kemerdekaan RI di Wisma Kedutaan Besar Republika Indonesia (KBRI) Ankara, beberapa hari lalu, dihadiri masyarakat dan mahasiswa Indonesia di Turki.


Biasanya, setelah upacara, pihak KBRI menyediakan makanan khas Indonesia yang jarang kami temui di Turki. Namun, hari itu kami menundanya hingga berbuka puasa.


Panitia dari KBRI dan Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Turki membuat acara kerohanian sebelum berbuka puasa. Sehabis Zuhur, ruang serbaguna disulap menjadi masjid. Para pelajar pun membaca Alquran sambil ngabuburit.


Menjalani Ramadhan di negeri orang kerap menimbulkan kerinduan dengan rumah dan orang tua. Namun, kebersamaan dengan orang Indonesia lainnya di Turki cukup bisa menghibur hati dan kerinduan saya kepada keluarga di Indonesia.


Kebahagiaan yang tak terkira bagi kami, warga Indonesia, karena dapat saling bersilaturahim. Terlebih lagi, kami dapat menikmati hidangan buka puasa dengan makanan khas Indonesia yang jarang kami temui. ed: andi nur aminah


Dapat juga diakses di: http://koran.republika.co.id/koran/99/117786/Ramadhan_Terpusat_di_Taman_Pemuda_Turki

Minggu, 22 Agustus 2010

Israel Ubah Politik Turki

(Dimuat di Majalah Gontor, Edisi Juli 2010)


Oleh: Deden Mauli Darajat (Mahasiswa Pascasarjana Universitas Ankara, Turki)


Senin pagi di akhir Mei 2010, ratusan aktivis kemanusiaan Freedom Flotilla yang meng- gunakan kapal Mavi Marmara yang berangkat dari Turki menuju Gaza, Palestina diserang tentara khusus Israel di perairan internasional. Akibatnya aktivis dan sejumlah jurnalis yang ikut dalam pelayaran itu menjadi korban kebrutalan tentara Zionis. Sadisnya lagi, penyerangan itu dilakukan dari udara dan laut oleh pasukan katak tentara khusus Israel.


Awak kapal yang sejatinya ingin membantu orang-orang di Gaza yang tak bersenjata itu ditembak tanpa ampun. Tak ada perlawanan dari para aktivis itu. Bahkan bendera putih telah berkibar sebelum sampai di Gaza. Namun, pasukan khusus tentara Israel tetap menghabisi mereka dengan dalih mereka diserang dari kapal Mavi Marmara. Awalnya hanya granat kejut, bom asap, dan peluru karet. Namun, kemudian peluru betulan keluar juga dari senapan mereka. Puluhan orang terluka, dan sejumlah lainnya terbunuh dalam tragedi itu. Setelah penyerangan yang membabi buta itu geladak kapal bersimpah darah.


Di antara aktivis yang berada di kapal Mavi Marmara itu terdapat 12 warga negara Indonesia (WNI). Beruntung, ke-12 WNI itu selamat dari kematian. Salah satu rombongan dari Indonesia adalah jurnalis TV-One, Muhammad Yasin. Saya mengenal Yasin sejak bertugas bersama di wilayah Jakarta Timur. Saat mengetahui kabar bahwa Yasin termasuk dalam rombongan kemanusiaan itu saya mengkhawatirkan keadaannya dan keadaan WNI lainnya. Alhamdulillah, semua WNI selamat dari kebrutalan Israel itu.


Sehari sebelum pulang ke Indonesia, saya sempat melakukan pembicaraan melalui fasilitas jejaring sosial. Yasin mengatakan dirinya baik-baik saja, meski beberapa hari saat penyerangan itu, ia dan sejumlah relawan kema- nusiaan lainnya tidak bisa tidur. “Alhamdulillah saya bertambah baik,” katanya. Kedatangan Yasin pun disambut meriah di Indonesia. Rekan-rekan jurnalis lainnya yang berkumpul di Jakarta Timur menyambutnya dengan hangat.


Tragedi Mavi Marmara yang mene- waskan sembilan warga negara Turki telah mengubah peta hubungan baik antara Turki dan Israel. Turki menarik duta besarnya dan menuntut Israel minta maaf dan segera mengakhiri blokade atas Gaza. Turki marah besar atas kebrutalan tentara Israel yang menembaki para relawan kemanusiaan yang akan masuk Gaza. Turki merasa dikhianati Israel. Karenanya Turki menurunkan status hubungan dengan Israel, khususnya di bidang ekonomi dan pertahanan.Wakil Perdana Menteri Tukri Bulent Arinc mengungkapkan, semua kesepakatan dengan Israel tengah dievaluasi. ”Kami serius dalam masalah ini. Kerjasama baru tidak akan dimulai dan hubungan dengan Israel dikurangi,”katanya.


Akibat dari serangan brutal itu, ber- bagai aksi demontrasi anti Israel pun terjadi di berbagai daerah di belahan dunia, seperti halnya di Istambul dan Ankara, Turki. Di Ankara, puluhan mahasiswa turun ke jalan melakukan aksi mengutuk kekerasan dan ke- brutalan Israel. Para pendemo sore itu bergerak dari Dikimevi menuju Kizilay, pusat keramaian Ankara.
Meski hanya puluhan orang, namun teriakan ganyang Israel dan teriakan takbir dan tahlil yang dikumandangkan menarik perhatian banyak orang. Puluhan orang melihat aksi itu dari jejeran bangunan apartemen di se- panjang jalan menuju Kizilay.


Masih di pekan yang sama, ratusan mahasiswa dan warga Turki turun ke jalan yang berujung di depan kedutaan Israel di Ankara. Para demonstran itu membawa bendera Palestina dan Turki. Mereka mengecam kekerasan yang dilakukan oleh tentara Israel di perairan internasional itu.


Selain demontrasi yang dilakukan banyak pihak di berbagai daerah dan belahan dunia, banyak juga pihak yang mengecam kebrutalan Israel. Di antaranya disuarakan oleh Aliansi Per- himpunan Pelajar Indonesia di Luar Negeri atau PPI Dunia. Ketua Dewan Formatur PPI Dunia, M Fadlillah Fauzulhaq, menyatakan pihaknya mengecam pemblokadean Israel dan Mesir terhadap jalur Gaza sejak 2007 yang telah melanggar Hak-Hak Dasar Umum Kemanusiaan (Universal Declaration of Human Rights) yang tertera dalam United Nations Charter.


Selain itu, kata Fadlillah, pihaknya juga mengecam penyerangan Israel terhadap kapal Mavi Marmara yang telah menimbulkan korban luka dan korban jiwa pada 31 Mei 2010. Pe- nyerangan di laut bebas ini merupa- kan pelanggaran terhadap Pasal 87, 88, 89 dan 90 UNCLOS (United Nations Conventions on the Law of The Sea).


PPI Dunia, lanjut Fadlillah, me- nuntut Dewan Keamanan PBB (DK PBB) untuk meminta pertanggung- jawaban Israel dalam kasus tersebut dan melakukan penyelidikan dan pengadilan terhadap semua pihak yang terkait berdasarkan hukum in- ternasional. Selain itu, tambahnya, pihaknya juga meminta kepada semua negara di dunia untuk menekan Israel dalam memenuhi resolusi PBB (Resolusi S-9/1 tentang Perang Gaza) demi terbentuknya perdamaian di Timur Tengah dan Dunia.


Tak Pernah ke Gaza


“Al-Quds milik kami,”dan“Gaza di hati kami.” Dua kalimat itu tertera pada sorban orang-orang Palestina yang sedang mempresentasikan tentang negaranya di gedung pusat bahasa Uni- versitas Ankara, yang dalam bahasa aslinya “Al-Quds lana, wa Gazzah fi qulubina”. Tak seperti biasanya, saat menyaksikan pemaparan tentang Palestina, para penonton yang biasanya berisik, kali ini tidak ada suara sedikit pun. Mereka terdiam. Sebagian air mata mereka berlinang, ada juga yang menangis tersedu sedan.


Betapa tidak, pasalnya para penyaji itu menampilkan video tentang perang, tentang perjuangan orang-orang Pales- tina yang tak pernah menyerah meski dijajah Israel, tentang anak-anak yang tak berdosa yang menjadi korban kebiadaban Israel. Dalam video itu tergambar sejumlah anak yang terkena senjata pasukan Israel. Ada yang matanya hilang dan darah mengucur dari matanya seperti air mata yang mengalir saat menangis, dan ada pula anak yang diimpus di salah satu tempat penanganan darurat.


Di sesi lainnya, seorang warga Pa- lestina, diseret oleh tiga tentara Israel yang dilengkapi dengan senjata. Tidak sedikit perempuan-perempuan tua me- nangis melihat kekejaman tentara Israel seraya memeluk anaknya yang sudah tak bernyawa. Di tengah pertunjukan itu, seorang kawan lelaki asal Palestina yang sedang memaparkan negaranya, Samer Mhanna, meneteskan air mata. Dia tidak tega melihat negaranya diporakporandakan Israel.


Biasanya, pemaparan suatu negara dilengkapi dengan pengenalan budaya, bahasa, makanan, maupun ragam kesenian dari negara itu. Mahasiswa asal Indonesia,misalnya, menampilkan budaya, bahasa yang ratusan jenisnya, tarian Saman dari Aceh, serta beberapa musik pop Indonesia. Namun, mahasiswa asal Palesti- na tidak menampilkan budaya, makanan, maupun tarian, apalagi nyanyian musik pop. Mereka hanya memperkenalkan sejarah. “Kami tak tahu bagaimana harus menampilkan kebudayaan atau apapun yang negara lain tampilkan, kami hanya menyaji- kan keadaan yang sesungguhnya sedang terjadi di negeri kami,” kata Muayad Qasim, salah seorang dokter asal Palestina yang melanjutkan studinya dengan beasiswa pemerintah Turki di Ankara.


Dari empat video yang ditampilkan, salah satunya adalah video pidato tentang pendirian negara Palestina yang dikumandangkan oleh Yasser Arafat. Terpancar dari mata kelima orang Palestina yeng memaparkan negaranya sebuah pengharapan akan terulangnya kedaulatan yang utuh negara Palestina. Mereka masih mendambakan negara yang utuh yang tak ada gejolak apapun di negeri para nabi itu.


Muayad mengatakan, kehidupan yang digambarkan dalam video itu merupakan gambaran kehidupan bangsa Palestina sehari-hari. Sewaktu dia mengenyam sekolah menengah di wilayah Nablus, Palestina, cerita Muayad, tank tentara Israel mengelilingi sekolahnya dan tank itu berdiam diri di depan sekolahnya. Ia dan teman-teman sekelasnya sudah biasa melihat pemandangan itu. Aktivitas belajar mengajar tetap berjalan, meski dentuman keras keluar dari tank itu.


“Kehidupan di Palestina tetap berjalan seperti biasa meski bangun- an-bangunan, baik sekolah maupun perkantoran runtuh,” kata Muayad. Saat ditanya bagaimana ia bekerja sebagai dokter gigi di Palestina, Muayad menyatakan, dirinya bekerja seperti biasa, masuk pagi dan pulang kerja di sore hari. Baginya tak ada bedanya bekerja di manapun, yang membedakan hanyalah situasi. Keadaan seperti itu masih berjalan hingga saat ini.


Ketika dimintai komentar tentang tragedi Mavi Marmara, Samer menga- takan, ia tak bisa berkomentar apa- apa. Dia hanya bisa berdoa agar Allah SWT memberikan kekuatan kepada orang-orang Palestina dan orang- orang yang memberi bantuan untuk bangsanya. Di akhir perbincangan saya dengan kedua rekan asal Palestina itu, mereka mengatakan, “Selama hidup di Palestina, kami tak pernah menginjak tanah Gazza, meski kami mencintainya,” tandas Muayad yang diamini Samer.

Jumat, 20 Agustus 2010

Menengok Masjid Pertama di Afrika

(Dimuat di Republika, Jumat, 20 Agustus 2010)


Oleh Deden Mauli Darajat (Mahasiswa Pascasarjana Universitas Ankara, Turki)




Masjid Amru Bin Ash adalah masjid pertama yang berdiri di benua Afrika.






Mesir merupakan negeri yang penuh dengan bangunan bersejarah. Salah satunya adalah Masjid Amru Bin Ash. Inilah masjid pertama berdiri di benua Afrika. Rumah Allah itu didirikan oleh sahabat Nabi Muhammad SAW yang juga penakluk negeri Mesir, Amru Bin Ash.




Masjid yang berdiri di kota Kairo itu dibangun pada tahun 641 M/21 H. Ketika saya berkunjung ke Negeri Kinanah, beberapa waktu lalu, untuk menghadiri Workshop Internasional dan Sosialisasi Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional (I-4) di Kairo, sahabat saya, Mahir Mohamad Soleh, mahasiswa Universitas Al-Azhar, mengajak mengunjungi masjid tertua di Mesir yang juga tertua di benua Afrika itu.




Di Masjid Amru bin Ash, saya sempat melaksanakan shalat Ashar berjamaah. Namun, shaf (barisan-red) shalat berjamaah itu tidak dilakukan di shaf yang paling depan, melainkan di shaf belakang. Menurut Mahir, hal ini dilakukan jika jamaah yang melaksanakan shalat berjamaah sedikit, namun jika membludak maka shalat berjamaah biasa dilakukan mulai dari shaf yang paling depan.




Sebelum shalat kami mengambil wudlu. Tempat wudlu di masjid itu sangat menarik, karena dibagi menjadi dua. Tempat pertama diperuntukkan bagi yang menggunakan sandal, sementara yang menggunakan sepatu bisa melepasnya dan tanpa alas kaki langsung mengambil wudlu di tempat yang disediakan.




Usai shalat, saya merebahkan diri di atas lantai masjid yang terhampar karpet merah. Angin sepoi-sepoi menyapa kami. Di antara jamaah shalat Ashar pun ada yang terlelap tidur. Meski musim panas, udara di dalam masjid itu tidak terasa panas. Bagian tengah masjid itu tidak beratap dan lantai marmernya pun tidak diberi karpet.




Di tengah-tengah bagian masjid yang terbuka itu, tersedia air siap minum. Di bagian depan masjid ada sekelompok orang yang sedang berdiskusi. Saya tak tahu apa yang mereka diskusikan. Tiang-tiang masjid yang tertata rapi membuat masjid itu jadi bernilai seni tinggi. Masjid itu sempat menjadi tempat syuting filmKetika Cinta Bertasbih yang diadopsi dari novel yang sama karya Habiburrahman El-Shirazy.




Mahir mengatakan, saat hari-hari besar umat Islam dan bulan puasa, masjid itu selalu penuh, bahkan hingga di luar masjid. Selain itu, masjid ini juga oleh mahasiswa Universitas Al-Azhar digunakan untuk belajar dan menghafal Alquran. Sayangnya, saat saya di sana tidak melihat mahasiswa yang sedang belajar, sebab mereka sedang menikmati liburan musim panas sesudah bersusah payah menghadapi ujian kenaikan tingkat.




Masjid itu pertama kali dibangun pada tahun 21 Hijriah/641 Masehi. Banyak para sahabat dan tabi`in yang ikut serta dalam membangun mesjid ini, sehingga sampai delapan puluh sahabat menentukan arah Qiblat, diantaranya; Zubair Bin Awam, al-Miqdad, Ubadah Bin Shamat, Abu Darda, dan yang lainnya. Masjid itu berbentuk memanjang, dengan panjang 28,9 meter, dan lebar sisinya 17,4 meter, dindingnya terbuat dari batu bata, atapnya terbuat dari pelepah pohon kurma, dan ting-tiangnya dari batang pohon kurma dan memiliki enam pintu.




Masjid ini telah berulang kali direnovasi dan diperluas. Di antaranya, pada tahun 53 Hijriyah ( 672 M ) Pangeran Maslamah Bin Mukhllad al-Anshori telah memperluas masjid, kemudian diperluas oleh Pangeran Abdul Aziz Bin Marwan (Gubernur Mesir ketika itu ) tahun 79 Hijriyah ( 698 M ).




Pada masa pemerintahan Khalifah Abdul Malik Bin Marwan, masjid itu di perbesar oleh Abdul Malik Bin Thahir. Kini, panjang Mesjid Amru mencapai120 meter, dan lebarnya 100 meter. Masjid itu juga pernah diperbaiki oleh Sultan Shalahuddin al-Ayubi pada tahun 568 H/1172 M. Masjid Amru begitu banyak mendapat perhatian dari kalangan pemerintah, dari masa pemerintahan Khulafau Rasyidin, Dinasti Umayyah, Dinasti Abbasiyah, Dinasti Ayubiyyah, Dinasti Mamalik, sampai Dinasti Usmaniyah.




Masjid Amru Bin Ash bukan hanya tempat untuk shalat, tetapi juga menjadi pusat pendidikan Islam pertama di benua Afrika. Imam Syafii juga pernah mengajar di masjid itu. Hal itu menunjukan bahwa masjid Amru bin Ash telah menelurkan sarjana-sajana Muslim yang andal.


Mahasiswa Pascasarjana Universitas Ankara, Turki, ed; heri ruslan




Bisa juga diakses di: http://koran.republika.co.id/koran/52/117630/Menengok_Masjid_Pertama_di_Afrika