Minggu, 22 Agustus 2010

Israel Ubah Politik Turki

(Dimuat di Majalah Gontor, Edisi Juli 2010)


Oleh: Deden Mauli Darajat (Mahasiswa Pascasarjana Universitas Ankara, Turki)


Senin pagi di akhir Mei 2010, ratusan aktivis kemanusiaan Freedom Flotilla yang meng- gunakan kapal Mavi Marmara yang berangkat dari Turki menuju Gaza, Palestina diserang tentara khusus Israel di perairan internasional. Akibatnya aktivis dan sejumlah jurnalis yang ikut dalam pelayaran itu menjadi korban kebrutalan tentara Zionis. Sadisnya lagi, penyerangan itu dilakukan dari udara dan laut oleh pasukan katak tentara khusus Israel.


Awak kapal yang sejatinya ingin membantu orang-orang di Gaza yang tak bersenjata itu ditembak tanpa ampun. Tak ada perlawanan dari para aktivis itu. Bahkan bendera putih telah berkibar sebelum sampai di Gaza. Namun, pasukan khusus tentara Israel tetap menghabisi mereka dengan dalih mereka diserang dari kapal Mavi Marmara. Awalnya hanya granat kejut, bom asap, dan peluru karet. Namun, kemudian peluru betulan keluar juga dari senapan mereka. Puluhan orang terluka, dan sejumlah lainnya terbunuh dalam tragedi itu. Setelah penyerangan yang membabi buta itu geladak kapal bersimpah darah.


Di antara aktivis yang berada di kapal Mavi Marmara itu terdapat 12 warga negara Indonesia (WNI). Beruntung, ke-12 WNI itu selamat dari kematian. Salah satu rombongan dari Indonesia adalah jurnalis TV-One, Muhammad Yasin. Saya mengenal Yasin sejak bertugas bersama di wilayah Jakarta Timur. Saat mengetahui kabar bahwa Yasin termasuk dalam rombongan kemanusiaan itu saya mengkhawatirkan keadaannya dan keadaan WNI lainnya. Alhamdulillah, semua WNI selamat dari kebrutalan Israel itu.


Sehari sebelum pulang ke Indonesia, saya sempat melakukan pembicaraan melalui fasilitas jejaring sosial. Yasin mengatakan dirinya baik-baik saja, meski beberapa hari saat penyerangan itu, ia dan sejumlah relawan kema- nusiaan lainnya tidak bisa tidur. “Alhamdulillah saya bertambah baik,” katanya. Kedatangan Yasin pun disambut meriah di Indonesia. Rekan-rekan jurnalis lainnya yang berkumpul di Jakarta Timur menyambutnya dengan hangat.


Tragedi Mavi Marmara yang mene- waskan sembilan warga negara Turki telah mengubah peta hubungan baik antara Turki dan Israel. Turki menarik duta besarnya dan menuntut Israel minta maaf dan segera mengakhiri blokade atas Gaza. Turki marah besar atas kebrutalan tentara Israel yang menembaki para relawan kemanusiaan yang akan masuk Gaza. Turki merasa dikhianati Israel. Karenanya Turki menurunkan status hubungan dengan Israel, khususnya di bidang ekonomi dan pertahanan.Wakil Perdana Menteri Tukri Bulent Arinc mengungkapkan, semua kesepakatan dengan Israel tengah dievaluasi. ”Kami serius dalam masalah ini. Kerjasama baru tidak akan dimulai dan hubungan dengan Israel dikurangi,”katanya.


Akibat dari serangan brutal itu, ber- bagai aksi demontrasi anti Israel pun terjadi di berbagai daerah di belahan dunia, seperti halnya di Istambul dan Ankara, Turki. Di Ankara, puluhan mahasiswa turun ke jalan melakukan aksi mengutuk kekerasan dan ke- brutalan Israel. Para pendemo sore itu bergerak dari Dikimevi menuju Kizilay, pusat keramaian Ankara.
Meski hanya puluhan orang, namun teriakan ganyang Israel dan teriakan takbir dan tahlil yang dikumandangkan menarik perhatian banyak orang. Puluhan orang melihat aksi itu dari jejeran bangunan apartemen di se- panjang jalan menuju Kizilay.


Masih di pekan yang sama, ratusan mahasiswa dan warga Turki turun ke jalan yang berujung di depan kedutaan Israel di Ankara. Para demonstran itu membawa bendera Palestina dan Turki. Mereka mengecam kekerasan yang dilakukan oleh tentara Israel di perairan internasional itu.


Selain demontrasi yang dilakukan banyak pihak di berbagai daerah dan belahan dunia, banyak juga pihak yang mengecam kebrutalan Israel. Di antaranya disuarakan oleh Aliansi Per- himpunan Pelajar Indonesia di Luar Negeri atau PPI Dunia. Ketua Dewan Formatur PPI Dunia, M Fadlillah Fauzulhaq, menyatakan pihaknya mengecam pemblokadean Israel dan Mesir terhadap jalur Gaza sejak 2007 yang telah melanggar Hak-Hak Dasar Umum Kemanusiaan (Universal Declaration of Human Rights) yang tertera dalam United Nations Charter.


Selain itu, kata Fadlillah, pihaknya juga mengecam penyerangan Israel terhadap kapal Mavi Marmara yang telah menimbulkan korban luka dan korban jiwa pada 31 Mei 2010. Pe- nyerangan di laut bebas ini merupa- kan pelanggaran terhadap Pasal 87, 88, 89 dan 90 UNCLOS (United Nations Conventions on the Law of The Sea).


PPI Dunia, lanjut Fadlillah, me- nuntut Dewan Keamanan PBB (DK PBB) untuk meminta pertanggung- jawaban Israel dalam kasus tersebut dan melakukan penyelidikan dan pengadilan terhadap semua pihak yang terkait berdasarkan hukum in- ternasional. Selain itu, tambahnya, pihaknya juga meminta kepada semua negara di dunia untuk menekan Israel dalam memenuhi resolusi PBB (Resolusi S-9/1 tentang Perang Gaza) demi terbentuknya perdamaian di Timur Tengah dan Dunia.


Tak Pernah ke Gaza


“Al-Quds milik kami,”dan“Gaza di hati kami.” Dua kalimat itu tertera pada sorban orang-orang Palestina yang sedang mempresentasikan tentang negaranya di gedung pusat bahasa Uni- versitas Ankara, yang dalam bahasa aslinya “Al-Quds lana, wa Gazzah fi qulubina”. Tak seperti biasanya, saat menyaksikan pemaparan tentang Palestina, para penonton yang biasanya berisik, kali ini tidak ada suara sedikit pun. Mereka terdiam. Sebagian air mata mereka berlinang, ada juga yang menangis tersedu sedan.


Betapa tidak, pasalnya para penyaji itu menampilkan video tentang perang, tentang perjuangan orang-orang Pales- tina yang tak pernah menyerah meski dijajah Israel, tentang anak-anak yang tak berdosa yang menjadi korban kebiadaban Israel. Dalam video itu tergambar sejumlah anak yang terkena senjata pasukan Israel. Ada yang matanya hilang dan darah mengucur dari matanya seperti air mata yang mengalir saat menangis, dan ada pula anak yang diimpus di salah satu tempat penanganan darurat.


Di sesi lainnya, seorang warga Pa- lestina, diseret oleh tiga tentara Israel yang dilengkapi dengan senjata. Tidak sedikit perempuan-perempuan tua me- nangis melihat kekejaman tentara Israel seraya memeluk anaknya yang sudah tak bernyawa. Di tengah pertunjukan itu, seorang kawan lelaki asal Palestina yang sedang memaparkan negaranya, Samer Mhanna, meneteskan air mata. Dia tidak tega melihat negaranya diporakporandakan Israel.


Biasanya, pemaparan suatu negara dilengkapi dengan pengenalan budaya, bahasa, makanan, maupun ragam kesenian dari negara itu. Mahasiswa asal Indonesia,misalnya, menampilkan budaya, bahasa yang ratusan jenisnya, tarian Saman dari Aceh, serta beberapa musik pop Indonesia. Namun, mahasiswa asal Palesti- na tidak menampilkan budaya, makanan, maupun tarian, apalagi nyanyian musik pop. Mereka hanya memperkenalkan sejarah. “Kami tak tahu bagaimana harus menampilkan kebudayaan atau apapun yang negara lain tampilkan, kami hanya menyaji- kan keadaan yang sesungguhnya sedang terjadi di negeri kami,” kata Muayad Qasim, salah seorang dokter asal Palestina yang melanjutkan studinya dengan beasiswa pemerintah Turki di Ankara.


Dari empat video yang ditampilkan, salah satunya adalah video pidato tentang pendirian negara Palestina yang dikumandangkan oleh Yasser Arafat. Terpancar dari mata kelima orang Palestina yeng memaparkan negaranya sebuah pengharapan akan terulangnya kedaulatan yang utuh negara Palestina. Mereka masih mendambakan negara yang utuh yang tak ada gejolak apapun di negeri para nabi itu.


Muayad mengatakan, kehidupan yang digambarkan dalam video itu merupakan gambaran kehidupan bangsa Palestina sehari-hari. Sewaktu dia mengenyam sekolah menengah di wilayah Nablus, Palestina, cerita Muayad, tank tentara Israel mengelilingi sekolahnya dan tank itu berdiam diri di depan sekolahnya. Ia dan teman-teman sekelasnya sudah biasa melihat pemandangan itu. Aktivitas belajar mengajar tetap berjalan, meski dentuman keras keluar dari tank itu.


“Kehidupan di Palestina tetap berjalan seperti biasa meski bangun- an-bangunan, baik sekolah maupun perkantoran runtuh,” kata Muayad. Saat ditanya bagaimana ia bekerja sebagai dokter gigi di Palestina, Muayad menyatakan, dirinya bekerja seperti biasa, masuk pagi dan pulang kerja di sore hari. Baginya tak ada bedanya bekerja di manapun, yang membedakan hanyalah situasi. Keadaan seperti itu masih berjalan hingga saat ini.


Ketika dimintai komentar tentang tragedi Mavi Marmara, Samer menga- takan, ia tak bisa berkomentar apa- apa. Dia hanya bisa berdoa agar Allah SWT memberikan kekuatan kepada orang-orang Palestina dan orang- orang yang memberi bantuan untuk bangsanya. Di akhir perbincangan saya dengan kedua rekan asal Palestina itu, mereka mengatakan, “Selama hidup di Palestina, kami tak pernah menginjak tanah Gazza, meski kami mencintainya,” tandas Muayad yang diamini Samer.

0 komentar:

Posting Komentar