Kang Deden

Tidak ada awal, akhir ataupun pertengahan, sebab yang ada hanyalah perjalanan.

Kang Deden

Orang besar ialah orang yang sudah selesai dengan dirinya sendiri.

Kang Deden

Berlarilah mengejar impian. Disana terdapat indahnya kehidupan.

Kang Deden

Berjalanlah, engkau akan mendapatkan banyak pelajaran.

Kang Deden

Tenangkan hatimu, karena itu sumber kebahagiaan.

Kamis, 30 Agustus 2012

Jawaban Cinta

Kutemukan jawaban
Mengapa dulu ibuku
Tak ingin anaknya belajar
Ke negeri kinanah

Jawabannya adalah
Ia tidak ingin berpisah
Dengan anaknya tercinta
Titik. Itu saja

Dari awal, mungkin
Ia sudah mengantisipasi
Tentang puteranya
Belajar di luar negeri

Aku yakin dalam benak
Seorang ibu terbesit dilema
Antara sedih-senang
Bahagia dan duka

Bahagia karena anaknya
Sekolah di luar negeranya
Sedih karena harus
berpisah dengannya

Tapi, ada satu
Hal yang ia punya
Cintanya seluas langit
Dukanya hanya sebesar bumi

Ankara, 30 Agustus 2012

Minggu, 19 Agustus 2012

Gemblong Lebaran dan Kupat Puasa


Saya menulis catatan ini sembari mendengar lantunan takbiran dari youtube. Tak ada yang istimewa bermalam takbiran pada tahun 2012 di Ankara, Turki ini. Meski sudah pulang ke kampung halaman beberapa bulan lalu, ya, tetap merindukan suasana takbiran di sana.

Tapi, tak usahlah bersedih, sebab masih banyak orang yang tak bisa merasakan nikmatnya malam takbiran dan berlebaran. Tulisan ini soal tradisi berlebaran di kampung kami, di Rangkasbitung sana.

Gemblong
Gemblong. Satu kata ini yang membedakan lebaran di Turki dan di Rangkasbitung. Karena gemblong tak ada di Turki. Setiap tahun, saban satu hari sebelum lebaran, ibu kami memasak beras ketan yang dicampur dengan parutan kelapa dan sedikit garam. Setelah matang dan masih panas langsung ditumbuk sampai halus.

Nasi ketan yang sudah hancur dan menyatu itu kemudian dibentuk sesuai keinginan. Gemblong yang sudah matang itu dipotong kecil-kecil dan digoreng di pagi lebaran dan disajikan untuk sarapan. Sebenarnya langsung dimakan begitu saja juga enak.

Namun, agar lebih sedap dan nikmat gemlong disajikan dengan semur daging. Kuah semur itulah yang menambah sedap rasa gemblong. Gemblong dicocol dan dimakan hangat-hangat. Maknyus, tiada duanya. Hehehe.

Tidak ada tradisi ketupat saat lebaran di kampung kami. Yang kami tunggu pas lebaran yaitu, gemlong tadi. Sebab, selain rasanya yang sedap dan nikmat, gemblong juga menyisihkan nasi dan lauk pauknya yang biasa kami makan.

Ketupat. Photo: lapar.com
Kupat alias ketupat dalam bahasa kami, adalah makanan yang disajikan pada pertengahan Ramadhan. Kupat ini hanya tersedia beberapa hari di pertengahan Ramadhan. Ada tradisi ngeriung di masjid kami, dimana orang-orang membawa kupatnya ke masjid. Setelah tahlilan ba’da shalat tarawih, kupat itu dibagikan kepada para Jemaah.

Ini tentu berbeda dengan kebanyakan daerah lain di Indonesia. Dimana kebanyakan menyiapkan lebaran dengan ketupat dan opor ayam. Tidak ketinggalan di Ankara juga, kami bisa memakan opor ayam meski tidak dengan ketupat melainkan dengan lontong. Sebab, biasanya Wisma KBRI maupun diplomat mengundang mahasiswa dan masyarakat di hari lebaran untuk menyantap ketupat dan opor ayam.

Bagaimana dengan lebaran di Turki? Bagi saya ini sangat sepi. Tak ada takbiran. Apalagi takbir keliling. Belum lagi kota Ankara yang ditinggal mudik oleh penduduknya ke kota-kota kelahiran mereka. Di sini, sehabis sholat Ied, mereka membagikan seker atau permen, pertanda lebaran. Itu saja.

Gemlong dan ketupat memang sebuah makanan yang dibuat dengan istimewa. Seistimewa hari lebaran. Mari kita menikmati hari istimewa yang diberikan Tuhan untuk hamba-Nya. Agar kita selalu bersyukur dimanapun berada.


Saya mengucapkan, Selamat Hari Raya Idul Fitri 1433 H. Mohon dimaafkan lahir maupun batin. Taqabbalallahu minna waminkum. Shiyamana wa shiyamakum. Kullu ‘am wa antum bikhair.

Kamis, 16 Agustus 2012

Memaknai Idul Fitri


(Disampaikan pada Kajian Keislaman Ibu-Ibu DWP KBRI Ankara, Rabu, 15 Agustus 2012)

Alhamdulillah washshalatu ‘ala Rasulillah. Segala puji bagi Allah yang telah memberikan nikmat iman dan Islam sehingga kita dapat melaksanakan pengajian dan kajian serta kita dapat berpuasa Ramadhan yang ke-27. Shalawat serta salam kita hadiahkan kepada Nabi Muhammad SAW, karena dengan cahayanya kita dapat mengimani dan mempelajari Islam saat ini.

Photo: azamku.com
Beberapa waktu lalu saya diminta untuk mengisi tentang Idul Fitri, namun semalam diminta tambahan membahas tentang lailatulqadar. Dan Idul Fitri tidak terlepas dari zakat fitrah. Maka pada kesempatan kali ini kita akan membahas tiga tema sekaligus yaitu, lailatulqadar, zakat fitrah dan Idul Fitri.

Apa itu lailatulqadar? Secara bahasa lailah artinya malam, sementara qadar adalah ketetapan. Jadi lailatulqadar adalah malam ketetapan. Namun secara syariat arti lailatulqadar kita dapat memahamainya dari surat Alqadar (97) ayat 1-5.

Terjemahannya surat Alqadar adalah: “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Alquran) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apa malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan. Pada malam itu turun para malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhan-nya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan hingga terbit fajar”.

Lailatulqadar adalah malam kemuliaan, sebab di malam itu diturunkan Alquran kepada Nabi Muhammad SAW. Alquran adalah mukjizat atau keajaiban yang paling agung bagi Muhammad dan umatnya.

Beberapa hadits Rasulullah SAW banyak yang menerangkan tentang lailatulqadar. Namun dari berbagai hadits tidak ada yang menunjukkan kapan tepatnya datang lailatulqadar. Apakah datang di malam 27 Ramadhan atau di malam Ramadhan lainnya.

Ada memang sebuah hadits yang menerangkan turunnya lailatulqadar di 10 hari terakhir Ramadhan, dimana Nabi Muhammad lebih banyak beritikaf di masjid. Itu pun sama tidak ada waktu yang menunjukkan kapan tepatnya lailatulqadar turun ke bumi.

Mungkin hikmah dari tidak diketahuinya tentang kapan turunnya lailatulqadar ialah agar umat Muslim di dunia berbondong-bondong beribadah pada setiap malam di bulan Ramadhan. Logikanya, jika mendapat lailatulqadar adalah bagai seribu bulan, berarti sama dengan pahala selama 83 tahun 3 bulan. Usia normal manusia yang hidup 60 tahun tidak dapat menandingi keajaiban lailatulqadar ini.

Maka, mengapa tidur bagi orang yang berpuasa itu ibadah? Jawabannya mungkin begini, pada malam hari orang itu mencari lailatulqadar dengan banyak beribadah sehingga semalaman ia tidak tertidur. Setelah subuh dan terangnya matahari barulah ia tidur. Tidur seperti inilah yang bisa disebut dengan tidurnya orang berpuasa itu ibadah.

Sekarang beralih kepada zakat fitrah. Zakat secara bahasa berarti menyucikan. Secara maknawi, zakat berarti menyucikan jiwa kita dari perbuatan keji dan munkar. Secara syariat Zakat adalah jumlah harta tertentu yang wajib dikeluarkan oleh orang yang beragama Islam dan diberikan kepada golongan yang berhak menerimanya menurut ketentuan yang telah ditetapkan. Jadi semua umat Muslim wajib membayar zakat mulai dari balita hingga lansia.

Zakat merupakan rukun ketiga dari Rukun Islam. Sementara zakat fitrah adalah zakat yang dibayarkan pada bulan Ramadhan hingga sebelum shalat Ied. Sebab sabda Rasulullah SAW, jika zakat dibayarkan sebelum shalat ied itu berarti zakat fitrah sementara zakat yang dibayarkan sesudah shalat ied berarti itu adalah shadaqah biasa.

Siapa saja yang berhak menerima zakat? Ada delapan asnaf atau golongan yaitu: Ada delapan pihak yang berhak menerima zakat, yakni: (1) Fakir - Mereka yang hampir tidak memiliki apa-apa sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok hidup. (2) Miskin - Mereka yang memiliki harta namun tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar untuk hidup. (3) Amil - Mereka yang mengumpulkan dan membagikan zakat.

(4) Mu'allaf - Mereka yang baru masuk Islam dan membutuhkan bantuan untuk menyesuaikan diri dengan keadaan barunya atau kaum kafir yang merupakan pendukung kaum Muslim. (5) Hamba sahaya yang ingin memerdekakan dirinya. (6) Gharimin - Mereka yang berhutang untuk kebutuhan yang halal dan tidak sanggup untuk memenuhinya (7) Fisabilillah - Mereka yang berjuang di jalan Allah (misal: dakwah, perang dsb) (8) Ibnus Sabil - Mereka yang kehabisan biaya di perjalanan.

Ada sebuah pertanyaan, kita ini tinggal di luar negeri, maka dimanakah kita harus membayar zakat, di tempat kita tinggal saat ini atau di Indonesia? Guru Besar Syariah UIN Jakarta, Prof Dr KH M. Amin Suma, mengatakan kita yang berada di luar negeri boleh membayarkan zakatnya di Indonesia. Selain itu kita juga boleh membayar zakat di tempat kita menetap.

Dan kita selanjutnya membahas tentang Idul Fitri. Idul secara bahasa adalah kembali. Sementara Fitri berarti makan, membangun dan mendirikan. Jadi secara bahasa Idul Fitri adalah kembali makan sesudah kita berpuasa. Ada hadits Nabi yang mengatakan dua kesenangan bagi orang yang berpuasa yaitu pertama saat fitri atau iftar (berbuka puasa dan atau lebaran) kesenangan kedua adalah ketika bertemu dengan Allah SWT.

Secara maknawi, Idul Fitri adalah kembalinya umat Muslim yang sudah melaksanakan kewajiban berpuasa Ramadhan selama satu bulan penuh dan juga melaksanakan kewajiban berzakat maka ia kembali suci.

Saat idul fitri kita diperbolehkan untuk bersenang-senang. Sebab ada dua hari yang diberikan Allah kepada umat Muslim untuk bersenang-senang yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. Arti dari senang-senang di sini adalah saat lebaran kita dilarang untuk melaksanakan ibadah puasa dan diperbolehkan untuk menikmati hidangan.

Bahkan kesenangan itu bukan hanya milik orang kaya, namun juga milik orang fakir miskin. Dengan apa mereka bisa merasakan kesenangan? Pada Idul Fitri fakir miskin bisa senang karena mereka mendapatkan zakat fitrah, sementara pada Idul Adha mereka mendapatkan daging kurban kambing maupun sapi.

Apa hikmah yang bisa kita ambil selama satu bulan penuh beribadah dan ditutup dengan berlebaran, hikmahnya antara lain, adalah hikmah ketauhidan dan keimanan, karena dengan berpuasa kita sadar bahwa hanya Allah yang memberikan kekuatan kepada kita untuk berpuasa atau beribadah lainnya. Bayangkan jika kita diberikan sakit oleh Allah, maka kita tidak akan bisa berpuasa.

Kedua hikmahnya adalah, hikmah ketakwaan. Orang berpuasa seperti firman Allah dalam surat Albaqarah (2) ayat 183, tujuan akhirnya orang berpuasa adalah takwa. Jadi kalau kita belajar di sekolah ujung-ujungnya adalah wisuda kelulusan, maka ibadah puasa Ramadhan berujung dengan wisuda ketakwaan.

Hikmah ketiga adalah hikmah fitrah atau hikmah kembali kepada kesucian. Mengapa demikian, karena dengan ibadah puasa dan menunaikan zakat fitrah yang bisa menyucikan kita dari perbuatan keji dan munkar itu maka kita kembali kepada kesucian yang hakiki. Fitrah ini bisa didapat jika kita melaksanakan semua kewajiban dan sunah Rasulullah di bulan suci hanya karena Allah semata.

Hikmah keempat adalah hikmah ukhuwah atau kebersamaan dan persatuan. Jika Ramadhan tiba, maka kita biasa melaksanakan buka puasa bersama, baik dengan keluarga, teman lama yang tidak pernah bertemu, atau dengan siapa saja. Dari sini kita menghadirkan silaturrahim antar sesama manusia. Dan silaturrahim pangkal persatuan.

Atau juga bisa merasakan kebersamaan untuk sama-sama saling merasa lapar dan haus bagi orang kaya saat berpuasa dan sebaliknya bagi orang miskin bisa merasakan nikmatnya puasa dan berbuka juga berlebaran serta dapat menikmati pemberian zakat fitrah.

Lantas bagaimana jika Ramadhan telah pergi, apa yang bisa kita lakukan. Allah memberikan nikmat lainnya yaitu puasa enam hari di bulan Syawwal. Sabda Rasulullah, barang siapa yang melakukan puasa bulan Ramadhan kemudian diikuti dengan puasa enam hari di bulan Syawwal, maka ia seperti puasa selama satu tahun.

Dan akhirnya Ramadhan merupakan latihan untuk kita agar selalu beribadah hanya kepada Allah. Ibadah-ibadah yang kita lakukan di bulan Ramadhan harus kita lanjutkan di 11 bulan berikutnya. Agar kita tetap istiqamah di jalan Allah.

Demikian kajian kali ini. Mohon maaf jika banyak kesalahan karena itu datangnya dari saya pribadi. Dan jika terdapat banyak kebenaran itu adalah mutlak milik Allah SWT. Wallahu a’lam bishshawab.

Rabu, 15 Agustus 2012

Lailatulqadar di Turki


Tahukah kawan, shalat apakah yang paling banyak jemaahnya di Turki? Apakah shalat Jumat? Atau shalat Idul Fitri dan Idul Adha? Atau awal pertama shalat tarawih? Jawabannya adalah bukan itu semua. Jawaban yang benar adalah shalat tarawih pada malam 27 Ramadhan. Mengapa bisa demikian?

Surat Alqadar (97). Photo:  wanitamustanir.com

Sebelum membahasnya saya ingin bercerita. Selasa malam 14 Agustus 2012 atau malam 27 Ramadhan 1433 H, seperti biasanya saya dan kawan saya berangkat ke masjid Hasan Tanik di Cankaya, tak jauh dari rumah kami. Kebiasaan kami datang saat azan Isya. Hari-hari sebelumnya memang lebih dari setengah ruangan dalam masjid itu dipenuhi jemaah shalat tarawih.

Namun, berbeda dengan malam itu. Sebelum tiba saja, jalan di depan masjid itu macet dengan mobil yang ingin parkir di sekitar masjid. Bahkan, kawan saya tidak mendapatkan parkir mobil yang biasanya ia gunakan untuk memarkir mobilnya. Akhirnya ia pun memarkirkan mobilnya di parkiran supermarket yang dekat dengan masjid. “Parkirnya jauh, lebih baik jalan kaki saja tadi, sama saja kalau begini,” kata kawan saya.

Sebelum iqamat berkumandang, ruang dalam masjid sudah penuh. Pelataran depan masjid pun begitu. Saya pikir, ruangan di lantai bawah yang jarang dipakai untuk tarawih itu kosong. Ternyata sudah penuh juga oleh ibu-ibu. Saya akhirnya dapat tempat shalat di pelataran sebelah kanan masjid.

Meski musim panas, malam itu angin lumayan dingin. Sliwir. Dan saya tidak bawa jaket. Sedikit kedinginan. Berlantai marmer yang dilapisi tikar dan beratap langit. Untungnya langit cerah dengan sejumlah bintang dan seonggok bulan yang menghiasinya.

Usai shalat tarawih dan witir saya berbincang dengan rekan saya yang menikah dengan orang Turki. Ia bercerita bahwa setiap tahun memang seperti ini. Orang-orang datang dari berbagai sudut untuk melaksanakan shalat tarawih di malam 27 Ramadhan.

Tahun lalu saya tinggal di asrama di daerah Ulus, sebuah kota tua di Ankara. Di Ulus ada sebuah masjid tua yang selalu ramai dikungjungi oleh warga sekitar maupun pelancong asing yang datang ke Ankara. Masjid itu adalah masjid Haji Bayram. Sama. Masjid Bayram ini juga ramai sekali saat malam 27 Ramadhan. Tidak seperti hari-hari sebelum dan sesudahnya. Bahkan, shalat Idul Fitri pun kalah jemaahnya.

Untuk menentukan awal Ramadhan atau Idul Fitri, pemerintah Turki melalui Kementerian Agamanya, menggunakan metode hisab. Artinya, semua yang berkaitan dengan Hijriah atau tanggal bulan Islam sesuai dengan kalender nasional yang sudah ditentukan oleh Kemenag Turki. Di kalender yang beredar di Turki itu tertera kapan malam lailatulqadar atau kadir gecesi yaitu jatuh pada tanggal 26 atau malam 27 Ramadhan.

Apa, sih, sebenarnya lailatulqadar itu? Mari kita baca Alquran surat Alqadr (97) yang berisi 5 ayat. Terjemahannya adalah: “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Alquran) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apa malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan. Pada malam itu turun para malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhan-nya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan hingga terbit fajar”.

Lailatulqadar adalah malam kemuliaan, sebab di malam itu diturunkan Alquran kepada Nabi Muhammad SAW. Alquran adalah mukjizat atau keajaiban yang paling agung bagi Muhammad dan umatnya.

Beberapa hadits Rasulullah SAW banyak yang menerangkan tentang lailatulqadar. Namun dari berbagai hadits tidak ada yang menunjukkan kapan tepatnya datang lailatulqadar. Apakah datang di malam 27 Ramadhan atau di malam Ramadhan lainnya.

Ada memang sebuah hadits yang menerangkan turunnya lailatulqadar di 10 hari terakhir Ramadhan, dimana Nabi Muhammad lebih banyak beritikaf di masjid. Itu pun sama tidak ada waktu yang menunjukkan kapan tepatnya lailatulqadar turun ke bumi.

Mungkin hikmah dari tidak diketahuinya tentang kapan turunnya lailatulqadar ialah agar umat Muslim di dunia berbondong-bondong beribadah pada setiap malam di bulan Ramadhan. Logikanya, jika mendapat lailatulqadar adalah bagai seribu bulan, berarti sama dengan pahala selama 83 tahun 3 bulan. Usia normal manusia yang hidup 60 tahun tidak dapat menandingi keajaiban lailatulqadar ini.

Lantas bagaimana dengan lailatulqadar di Turki yang sudah ditentukan dengan kalender itu, sementara kita tidak tahu kapan datangnya malam kemuliaan itu?

Secara sudut pandang kritis, apakah memang pahala itu bisa disogok dengan satu malam ibadah? Artinya, dengan jarang melakukan shalat tarawih atau shalat lainnya atau ibadah lainnya, dan hanya datang ke masjid pada malam 27 Ramadhan itu bisa mendapatkan lailatulqadar? Jawabannya relatif. Bisa ya, bisa tidak.

Sementara secara sudut pandang positif adalah sebagian besar umat Muslim di Turki semangat berbondong ke masjid untuk ibadah berjamaah shalat tarawih dengan tujuan mendapatkan lailatulqadar, meski hanya satu malam. Paling tidak mereka masih semangat beribadah dan mengharap ridha Allah SWT. Dan kita tidak tahu siapa saja yang mendapatkan ridha dan hidayah dari Allah.

Allah banyak memberikan hikmah kepada kita bagaimana Ia memberikan ampunan dan kasihsayangNya kepada siapa saja yang dikehendakiNya. Misalnya, Allah memberikan hidayah kepada hambaNya yang berlumuran dosa karena ia bertaubat dengan sebaik-baik taubat. Jadi, bisa saja, orang yang hanya sekali shalat mendapatkan lailatulqadar tapi bisa juga bisa sebaliknya. Karena Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.

Namun demikian, jalan yang paling baik bagi kita adalah melaksanakan semua perintahNya dan menjauhi segala laranganNya lillahitaala atau hanya karena Allah SWT. Dan senantiasa beristiqamah dengan semua kebaikan yang dilakukan. Dan tidak lupa banyak berdoa untuk mengharap ridha Allah untuk mendapatkan malam seribu bulan. Dan semoga kita mendapatkan lailatulqadar. Amin, ya, Rabbalalamin. Wallahu’alam bish-shawab.

Senin, 06 Agustus 2012

Guru-guru yang Menginspirasi (4)


Guru saya yang satu ini mendapatkan penganugerahan sebagai Tokoh Perubahan Republika 2011. Ya, betul, beliau adalah Dr. KH Abdullah Syukri Zarkasyi, MA. Pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor. Namun sayang pada pemberian penganugerahan itu Kyai Syukri tidak bisa datang karena sedang dioperasi di salah satu rumah sakit di Surabaya.

Dr. KH Abdullah Syukri Zarkasyi, MA. Photo: republika.co.id
Penganugerahan itu diwakilkan oleh sang adik dan anaknya yang kuliah di Madinah, Arab Saudi. Padahal saat itu perkuliahan di Madinah belum libur, namun ia pulang untuk menjenguk ayahnya dan ikut ke Jakarta bersama pamannya untuk menghadiri acara tersebut. Saya pun datang di acara ini pada Selasa 17 April 2012 malam karena saya ‘dipaksa’ datang oleh bos Republika.

Ada dua momen yang tidak bisa saya lupakan bersma Kyai Syukri. Pertama ketika Silaturrahim Nasional IKPM di Cirebon pada Maret 2012. Ribuan alumni datang pada acara tersebut untuk temu kangen dan silaturrahim. Acara berakhir dengan saling bersalaman bersama para pimpinan Gontor yang dilaksanakan di Istana Keraton Kasepuhan Cirebon.

Saat saya bersalaman dengan Pak Kyai saya sebutkan bahwa saya alumnus yang sedang belajar di Turki. Kyai Syukri menimpali, oh kamu yang waktu itu SMS saya, semoga sukses belajarnya. Begitu beberapa kata yang menggetarkan saya. Ini terjadi sebelum Pak Kyai sakit dan dieporasi. Memang sebelum saya berangkat saya sms beberapa guru saya untuk meminta doanya.

Tak disangka bahwa Kyai Syukri masih mengingat saya. Bagi saya ini sebuah penghargaan yang tak ternilai. Mengapa begitu? Sebab, santri Gontor itu ribuan jumlahnya. Dan Kyai Syukri tidak banyak mengajar di kelas.

Kami, para santri saat belajar di Gontor, sering mendengar wejangan atau nasehatnya di mimbar masjid atau di aula yang dihadiri ribuan santri dan ratusan guru. Jadi, sangat senang jika dari ribuan santri itu saya termasuk yang masih diingat oleh Kyai Syukri. Terlebih saya santri biasa dan sedikit bandel, hehehe, nanti yah cerita soal ini.

Yang kedua terjadi pada empat tahun lalu di tahun 2008. Saat itu saya melakukan riset untuk skripsi selama dua bulan di Gontor tentang Pemikiran Dakwah dan Pola Kaderisasi KH Imam Zarkasyi. KH Imam Zarkasyi adalah salah satu dari ‘Trimurti’ pendiri Pondok Modern Gontor dan ayahnya Kyai Syukri.

Ini saya lakukan karena hanya judul skripsi ini saja yang dikabulkan oleh dekan. Dan dekan saya di Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi (Fidkom) UIN Jakarta ‘memaksa’ saya untuk menulis skripsi yang serius dengan penelitian yang serius juga. Artinya saya harus datang ke Gontor.

Akhirnya saya berangkat ke Gontor utuk penelitian pada awal Januari dan berakhir pada awal Maret 2008. Kemudian di akhir Maret saya sidang dan dinyatakan lulus dari UIN Jakarta. Lumayan tujuh semester saja kuliah di UIN Jakarta.

Kembali ke cerita awal tentang Kyai Syukri. Untuk bertemu Kyai Syukri agak susah karena harus mendaftar ke sekretariat pondok untuk mengatur jadwal pertemuan. Untungnya, teman seangkatan saya ada yang menjadi salah satu sekretaris pondok dan dia membantu saya dengan sebaik mungkin.

Pertama menghadap Kyai Syukri saya menerangkan diri saya dan apa tujuan saya datang ke Gontor. Kyai Syukri paham dan ia memberitahukan pada saya bahwa ada waktunya dimana saya bisa diwawancarai tentang riset yang saya lakukan.

Maka waktu itu yang bisa saya lakukan adalah bersabar, sembari mengenang kembali suasana Gontor yang pernah saya tinggali selama tujuh tahun, enam tahun menjadi santri dan setahun menjadi guru. Saya pun sering mendatangi beberapa perpustakaan yang ada di Gontor. Dan sejumlah sumber saya temui di itu perpustakaan.

Yang paling saya tunggu dan saya gemari adalah usai shalat maghrib berjamaah di masjid Atiq depan rumah Kyai Syukri. Di masjid kuno yang berada di tengah Gontor ini digunakan untuk sholat para ustadz. Usai shalat itu biasanya pimpinan Gontor memberikan ceramah. Ceramah Kyai Syukri sangat menggugah dan membangkitkan semangat pada asatidz atau para guru.

Ceramah Kyai Syukri bagi saya seperti oleh-oleh yang dibawa oleh seorang bapak untuk anak-anaknya. Oleh-oleh itu bukanlah suatu benda atau barang namun ilmu yang bermanfaat bagi para guru. Sebuah nasehat yang mencerahkan. Ceramah Kyai Syukri begitu menarik, sampai-sampai kita tidak sadar begitu cepat waktu berlalu dan tiba-tiba ceramah selesai.

Beberapa kali saya menghadap untuk mewawancarai Kyai Syukri. Namun belum juga ada waktu yang tepat. Dan beliau menyuruh saya kembali ke kamar saya. Beruntung saya sempat mengabdi alias mengajar di Gontor ini, jadi masih banyak teman saya yang menjadi guru di sana. Saya pun tinggal di kamar teman seangkatan saya. Makan di dapur guru. Semua serba gratis. Hehehe, dasar mahasiswa kere.

Suatu petang usai shalat berjamaah di masjid Atiq saya menghadap Kyai Syurki dan saat itu tidak ada guru yang menghadap atau meminta arahan. Dan Pak Kyai siap untuk diwawancara. Saya meminta ijin untuk mengambil peralatan wawancara, sebuah rekaman dan alat tulis. Setiba di rumahnya saya diminta masuk ke dalam mobil, kemudian Kyai Syukri mengikuti.

Saya mewawancarai Pak Kyai di dalam mobil, sementara sembari menjawab pertanyaan beliau menyetir mobil. Hanya kami berdua di dalam mobil itu. Mungkin saja, proses wawancara yang dilakukan di dalam mobil bisa membuat suasana nyaman dan fokus.

Kecepatan mobil berkisar di angka 20 atau 30 kilometer perjam. Jalan lambat alias santai. Dalam wawancara itu Pak Kyai banyak bercerita tentang ayahnya, tentang pondok, tentang dakwah, tentang alumni yang sukses dan lainnya.

Saat bercerita alumni yang sukses dan alumni yang bisa bersekolah S2 dan S3 di luar negeri, Kyai Syukri mengatakan pada saya suatu saat kamu juga akan belajar S2 atau S3 di luar negeri. Langsung saya aminkan waktu itu. Dengan suara maupun dalam hati. Dan Alhamdulillah perkataannya itu adalah doa. Dan doa itu kini terkabul saat saya belajar S2 Journalism di Turki. Memang doa Pak Kyai itu sangat ampuh.

Teman saya yang mengabdi menjadi guru di Gontor selama enam tahu bercerita, dia tidak pernah mendapatkan perihal seperti saya meski sudah lama di Gontor. Sementara saya yang lulus tahun 2002 kemudian mengabdi di tahun 2003 lalu kuliah di Jakarta mendapatkan kesempatan yang baik bisa bertemu dan berbincang dengan durasi yang cukup lama dengan Pak Kyai. Alhamdulillah, saya katakan padanya.

Satu hal yang sampai kini kita bisa contoh semangat dan perjuangan Kyai Syukri. Setelah sukses dioperasi di Surabaya, Pak Syukri kembali ke Gontor. Beberapa hari lalu, meski di atas kursi roda, beliau masih semangat mengikuti lari pagi bersama para guru. Subhanallah.

Dengan semangat inilah, Pak Syurki dan para pimpinan Gontor mampu memperluas perjuangan pendidikan dengan mendirikan pondok cabang Gontor di seluruh Indonesia. Mulai Aceh hingga Sulawesi. Mimpi beliau adalah membangun ribuan Gontor, tujuannya hanya untuk menegakkan kalimat Allah.

Dalam sebuah ceramah di masjid Atiq, Kyai Syukri bercerita saat ia belajar di IAIN Jakarta, yang sekarang menjadi UIN Jakarta dan tinggal di kost di bilangan Ciputat. Suatu sore beliau duduk di pelataran kost dan memandangi pemandangan sekitar sembari merenung bagaimana agar ia bisa kuliah di Mesir. Tak lama kemudian Kyai Syukri pun berangkat ke Mesir hingga menamatkan kuliah S2-nya di Universitas Al-Azhar, Kairo.

Dan kebiasaan itu saya tiru. Usai kembali ke Ciputat dari penelitian di Gontor saya sesekali duduk di teras kost di Ciputat dan merenung, seandainya saya bisa kuliah di luar negeri. Tercapai juga, Alhamdulillah.

Pun ketika di Turki, saban sore saya duduk di teras rumah di daerah Cankaya dengan segelas teh hangat. Dengan menyeruput teh saya melihat Atakule (seperti monas di Jakarta) sembari merenung apa yang akan saya lakukan sekembalinya ke tanah air.

(bersambung)

Sabtu, 04 Agustus 2012

Ikhlas


(Disampaikan Menjelang Taraweh bersama Masyarakat Indonesia di Rumah Atase Pertahanan KBRI Ankara, Jumat 3 Agustus 2012)

Alhamdulillah, washshalatu ‘ala Rasulillah. Segala puji bagi Allah yang telah memberikan nikmat iman dan Islam, hingga kita masih bisa melaksanakan puasa yang ke-15 dan taraweh yang ke-16 yang insya Allah akan kita laksanakan usai kultum ini. Shalawat serta salam kita berikan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW, karena dengan cahayanya kita bisa melaksanakan perintah Allah SWT. Pada kultum kali ini kita akan membahas tentang ‘Ikhlas’.

Kaligrafi Surat Al-Ikhlas. Photo:  innomuslim.com
Ada sebuah cerita yang pernah diungkapkan oleh ulama baheula, ulama zaman dulu. Ada seorang Kyai yang mempunyai dua santri, yang pertama bernama Ali yang kedua bernama Umar. Suatu ketika Ali pergi ke kebun dan mendapatkan ubi yang sudah siap panen. Ali berpikir, sekiranya ubi ini diberikannya untuk Pak Kyai untuk tabarukan alias meminta berkah, sangat baik dan bagus. Begitu pikirnya.

Ali pun datang ke rumah sang Kyai dengan membawa sekarung ubi. Ubi itu diterima oleh sang Kyai dan dibawanya ke dapur. Pak Kyai lalu berbincang dengan istrinya, apa yang bisa kita berikan kepada si Ali agar tangannya tidak kosong usai dari rumah kita, tanya Kyai kepada istrinya. Begini aja bang, ujar sang istri, kemarin kan, ada pengusaha yang memberi kambing, kita kasih saja ke Ali agar dipelihara dan menghasilkan menfaat yang banyak. Oh begitu, baiklah, kata Pak Kyai.

Pak Kyai memberikan kambing itu kepada si Ali. Dan Ali pun pulang. Di tengah jalan Ali bertemu dengan Umar. Umar bertanya perihal Ali. Dijawablah oleh Ali dengan sejelas-jelasnya. Karena otak dagangnya jalan, Umar berpikir, kalau saja si Ali membawa ubi mendapatkan kambing, bagaimana jika saya membawa durian, pasti diberi lebih baik lagi.

Umar pun datang ke rumah Pak Kyai dengan tiga buah duren yang bagus-bagus. Umar berkata kepada gurunya itu, Pak Kyai saya bawakan durian ini, saya ikhlas, Pak Kyai. Begitu ia katakan. Pak Kyai itu menerima hadiah dari Umar dan membawanya ke dapur.

Lantas Pak Kyai berbincang lagi sama istrinya. Neng, apa yang kita kasih untuk si Umar ini, tanya Kyai sama istrinya. Begini aja bang, kata istri Kyai, kambing pun sudah kita kasih ke si Ali, jadi tinggal ubi saja yang kita punya pemberian si Ali. Jadi, kita kasih saja ubi ke si Umar, agar ia pulang tangannya tidak kosong.

Sang Kyai pun kembali ke ruang tamu dan memberikan ubi itu kepada Umar. Saya berikan ubi ini untuk kamu agar tangan kamu tidak kosong, begitu Pak Kyai bilang kepada Umar. Umar pun kembali ke rumahnya dengan sangat menyesal. Ia berpikir, mengapa saya diberi ubi sementara si Ali diberi kambing, padahal bawaan saya lebih bernilai ketimbang bawaannya si Ali. Keluh si Umar.

Apa hikmah yang kita bisa ambil dari kisah ini. Mungkin begitulah ikhlas tergambar oleh si Ali. Ali tak memiki tujuan apapun dalam memberikan sesuatu kepada gurunya, sementara Umar mempunyai target dengan apa yang diberikannya kepada Sang Kyai. Jadi, kalau kita melakukan sesuatu dengan mengharapkan imbalan dari manusia, maka kita harus siap kecewa.

Apa itu ikhlas? Ikhlas adalah memembersihkan dari segala kotoran, atau memurnikan dari hal-hal yang membuat tercemar. Ikhlas dalam arti yang lebih luas adalah, mensucikan niat kita untuk menyandarkan segala sesuatu hanya kepada Allah SWT. Sebab menurut sabda Rasulullah SAW, semua amal ibadah manusia tidak akan diterima oleh Allah kecuali dengan ikhlas melaksanakannya dan hanya mengharap ridhaNya.

Sederhananya ikhlas yang sering kita dengar adalah jika memberikan sesuatu dengan tangan kanan, maka tangan kita kita tidak mengetahuinya.

Imam Algazali pernah mengatakan, pada hakikatnya semua manusia di dunia ini mati, kecuali orang yang berilmu. Orang yang berilmu pun dianggap tidur, kecuali orang yang mengamalkan ilmunya. Dan orang yang mengamalkan ilmunya bisa tertipu kecuali orang-orang yang ikhlas melaksanakan amal ibadahnya atau amal perbuatannya.

Dulu, tahun 1950-an orang berhaji membutuhkan waktu 6 bulan dengan menggunakan kapal laut. Sekarang cukup satu bulan dengan menggunakan pesawat terbang. Ini adalah buah dari ilmu pengetahuan. Ruang dan waktu bukan sebuah halangan lagi. Saat ini, kita bisa mengetahui seseorang di Mekkah dalam hitungan detik setibanya ia di Mekkah, jika yang bersangkutan menuliskan statusnya di Facebook, Twitter atau BBM-nya. Sangat simpel.

Bagaimana bisa orang berilmu dianggap tidur. Begini, banyak dari kita yang tahu atau mendapatkan ilmu pengetahuan tapi tidak mengamalkannya. Tidak bermanfaat. Jadi disebutlah tidur. Bahkan yang mengamalkan saja bisa tertipu, bagaimana ini? Begini, terkadang kita mengamalkan ilmu kita karena ingin dilihat orang, jadinya riya. Dan seterusnya. Maka, yang paling selamat di dunia dan akhirat adalah orang yang ikhlas mengerjakan dan mengamalkan sesuatu karena Lillahita’ala, hanya karena Allah semata.

Memang ikhlas ini sulit dilaksanakan, tak semudah yang kita bicarakan. Tetapi paling tidak, kita berusaha mengamalkan ikhlas ini, terlebih saat ini kita di bulan Ramadhan yang penuh rahmah, maghfirah dan itqun minannnar. Semoga kita mendapatkan keberkahan di bulan yang suci ini. Amin, ya Rabbal’alamin. Karena ini kultum, saya tutup sekian saja. Mohon maaf jika banyak kesalahan karena datang dari saya pribadi, sementara jika banyak kebenaran datangnya dari Allah SWT. 

Kamis, 02 Agustus 2012

Ke Pusat Jakarta dengan Bemo



Tetiba saja saya ingin menulis tentang bemo. Kendaraan roda tiga ini sudah susah untuk kita temui di Jakarta. Hanya di tempat khusus saja kendaraan antik ini dioperasikan.

Bemo. Photo: jakartadailyphoto.com
Saat saya pulang ke Indonesia untuk riset tesis saya beberapa bulan lalu, saya tinggal di Jakarta di bilangan Lentang Agung, di Jakarta Selatan. Berbagai perpustakaan saya datangi, termasuk perpustakaan Freedom Institut di Jalan Proklamasi No. 41 Menteng Jakarta Pusat. Dan saya mendapatkan beberapa buku yang saya cari di perpustakaan ini.

Memang saat kembali ke Jakarta, setelah hampir dua setengah tahun di Turki, saya harus mengingat kembali jalan-jalan di Jakarta termasuk angkutan apa yang harus saya gunakan untuk menuju suatu tempat. Beruntung saya punya kakak yang setiap hari bergelut dengan jalanan Jakarta. Maksudnya, kakak saya ini hafal betul jalan-jalan di Jakarta.

Jadi, ketika saya tidak tahu jalan, saya tinggal menelepon atau mengirim pesan padanya, dan dia segera menjawabnya. Jawabannya bukan hanya satu saja, dia terkadang memberikan jawaban alternatif jalan mana saja yang cepat dan macet. Termasuk jawaban arah jalan menuju perpustakaan freedom itu.

Jarang sekali angkutan umum yang melintasi Jalan Proklamasi itu, apalagi jalur di depan kawasan patung proklamasi itu hanya satu arah. Yang ada hanyalah bemo. Rutenya dari Lenteng Agung, tempat saya, ke Pasar Minggu naik bus atau angkot. Dari Pasar Minggu ke Manggarai naik bus metromini, dari Manggarai naik bemo .

Dari ketiga moda transportasi itu harganya sama Rp. 2000. Jadi dari Lenteng Agung menuju perpustakaan Freedom menghabiskan ongkos sebesar Rp. 6000. Murah yah, cuma lama di jalan, hehe. Saya hanya ingin bercerita tentang kendaraan terakhir yang saya tumpangi yaitu bemo.

Bemo alias becak motor memang sudah lama ada di Jakarta sejak tahun 1962. Ini berbeda dengan bajaj. Bemo bisa dinaiki oleh tujuh penumpang, enam di belakang dengan posisi tiga penumpang saling berhadapan, dan satu di depan bareng si sopir. Jadi sekali narik, si sopir bisa meraup uang sebanyak Rp.14 ribu.

Jangan dikira ini bemo sedikit penumpangnya. Banyak yang antre untuk mendapatkan duduk di bemo, apalagi yang akan naik dari kawasan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo atau RSCM. Banyak sekali. Suatu ketika saya pulang dari kampus UI Salemba setelah membeli sejumlah buku, dan meunggu Bemo, rupanya Bemo yang saya setop di RSCM itu sudah penuh. Akhirnya saya sedikit berjalan ke belakang untuk mendapatkan Bemo yang kosong. Dan berhasil.

Yang paling saya suka adalah saya naik bemo di bagian depan. Sendiri saja. Ya, bareng sopir pastinya. Meski sempit tapi saya menikmatinya. Melihat Jakarta dari dekat. Sangat dekat malah. Bayangkan, bemo itu kecil dan pendek, jalannya pun lambat. Di lampu merah saat berhenti misalnya, kita bisa melihat para pengais rejeki, dari pengamen, peminta-minta, penjual minuman, anak jalanan, pengendara motor, penumpang bis, penumpang taksi, pengendara mobil probadi dan yang lainnya.

Di sinilah titik pusat Jakarta. Jakarta terkadang tak menghiraukan kaum lemah. Semua sibuk dengan urusan masing-masing. Dan saya juga sibuk mengamati dari bemo yang saya tumpangi. Saya belajar dari sopir bemo yang begitu menikmati pekerjaannya. Meski di samping kanan kiri di jalanan banyak mobil mewah ia tetap santai. Tidak banyak menggerutu. Ia sadar dengan kekuatan bemo yang memang hanya segitu.

Tapi saya kurang nyaman kalau dapat tempat duduk di bagian belakang bemo. Mengapa? Ya, karena harus berhadapan dengan penumpang lainnya dengan sangat dekat, sebab lutut kami saling beradu. Apalagi jika barang bawaan kita banyak. Seperti saya membeli buku banyak itu. Sudah sempit barang banyak pula.

Kalau tidak hati-hati, kita bisa salah menyetop bajaj yang kita kira bemo. Sebab bentuknya sangat mirip. Apa bedanya? Bemo bentuknya lebih panjang ke belakang ketimbang bajaj. Bajaj kebanyak warna catnya merah kekuningan sementara bemo kebanyakam biru. Cuma bentuknya sama yaitu tiga roda, satu di depan dua di belakang. Bajaj tarifnya seperti taksi atau ojek. Tidak ada patokan untuk ongkos bajaj. Sementara bemo sudah pasti hanya Rp.2000 saja.

Bajaj, di bagian depan hanya untuk sopir saja, sementara penumpang di belakang dengan maksimum tiga orang, itu pun sudah kebanyakan. Kalau bemo depan satu penumpang belakang enam penumpang dengan rute khusus, Manggarai Salemba pp, misalnya. sementara bajaj untuk semua jurusan di Jakarta asalkan si sopir mau mengantar itu penumpang.

Saya tidak tahu mengapa bemo ini masih beroperasi di tengah susahnya mencari onderdil atau suku cadangnya. Belum lagi harus bersaing dengan moda kendaraan lain semisal bajaj, ojek dan yang lainnya. Meski begitu saya tetap menggunakan bemo menuju pusat Jakarta, sebagai alternatif kendaraan yang ditawarkan.