Guru saya yang satu ini mendapatkan penganugerahan sebagai Tokoh
Perubahan Republika 2011. Ya, betul, beliau adalah Dr. KH Abdullah Syukri
Zarkasyi, MA. Pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor. Namun sayang pada
pemberian penganugerahan itu Kyai Syukri tidak bisa datang karena sedang
dioperasi di salah satu rumah sakit di Surabaya.
Dr. KH Abdullah Syukri Zarkasyi, MA. Photo: republika.co.id |
Ada dua momen yang tidak bisa saya lupakan bersma Kyai
Syukri. Pertama ketika Silaturrahim Nasional IKPM di Cirebon pada Maret 2012. Ribuan
alumni datang pada acara tersebut untuk temu kangen dan silaturrahim. Acara berakhir
dengan saling bersalaman bersama para pimpinan Gontor yang dilaksanakan di
Istana Keraton Kasepuhan Cirebon.
Saat saya bersalaman dengan Pak Kyai saya sebutkan bahwa
saya alumnus yang sedang belajar di Turki. Kyai Syukri menimpali, oh kamu yang
waktu itu SMS saya, semoga sukses belajarnya. Begitu beberapa kata yang menggetarkan
saya. Ini terjadi sebelum Pak Kyai sakit dan dieporasi. Memang sebelum saya
berangkat saya sms beberapa guru saya untuk meminta doanya.
Tak disangka bahwa Kyai Syukri masih mengingat saya. Bagi saya
ini sebuah penghargaan yang tak ternilai. Mengapa begitu? Sebab, santri Gontor
itu ribuan jumlahnya. Dan Kyai Syukri tidak banyak mengajar di kelas.
Kami, para santri saat belajar di Gontor, sering mendengar
wejangan atau nasehatnya di mimbar masjid atau di aula yang dihadiri ribuan
santri dan ratusan guru. Jadi, sangat senang jika dari ribuan santri itu saya
termasuk yang masih diingat oleh Kyai Syukri. Terlebih saya santri biasa dan
sedikit bandel, hehehe, nanti yah cerita soal ini.
Yang kedua terjadi pada empat tahun lalu di tahun 2008. Saat
itu saya melakukan riset untuk skripsi selama dua bulan di Gontor tentang
Pemikiran Dakwah dan Pola Kaderisasi KH Imam Zarkasyi. KH Imam Zarkasyi adalah
salah satu dari ‘Trimurti’ pendiri Pondok Modern Gontor dan ayahnya Kyai
Syukri.
Ini saya lakukan karena hanya judul skripsi ini saja yang
dikabulkan oleh dekan. Dan dekan saya di Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi (Fidkom) UIN Jakarta ‘memaksa’ saya untuk menulis skripsi yang
serius dengan penelitian yang serius juga. Artinya saya harus datang ke Gontor.
Akhirnya saya berangkat ke Gontor utuk penelitian pada awal
Januari dan berakhir pada awal Maret 2008. Kemudian di akhir Maret saya sidang dan
dinyatakan lulus dari UIN Jakarta. Lumayan tujuh semester saja kuliah di UIN
Jakarta.
Kembali ke cerita awal tentang Kyai Syukri. Untuk bertemu
Kyai Syukri agak susah karena harus mendaftar ke sekretariat pondok untuk
mengatur jadwal pertemuan. Untungnya, teman seangkatan saya ada yang menjadi
salah satu sekretaris pondok dan dia membantu saya dengan sebaik mungkin.
Pertama menghadap Kyai Syukri saya menerangkan diri saya dan
apa tujuan saya datang ke Gontor. Kyai Syukri paham dan ia memberitahukan pada saya
bahwa ada waktunya dimana saya bisa diwawancarai tentang riset yang saya
lakukan.
Maka waktu itu yang bisa saya lakukan adalah bersabar,
sembari mengenang kembali suasana Gontor yang pernah saya tinggali selama tujuh
tahun, enam tahun menjadi santri dan setahun menjadi guru. Saya pun sering
mendatangi beberapa perpustakaan yang ada di Gontor. Dan sejumlah sumber saya
temui di itu perpustakaan.
Yang paling saya tunggu dan saya gemari adalah usai shalat
maghrib berjamaah di masjid Atiq depan rumah Kyai Syukri. Di masjid kuno yang
berada di tengah Gontor ini digunakan untuk sholat para ustadz. Usai shalat itu
biasanya pimpinan Gontor memberikan ceramah. Ceramah Kyai Syukri sangat
menggugah dan membangkitkan semangat pada asatidz atau para guru.
Ceramah Kyai Syukri bagi saya seperti oleh-oleh yang dibawa
oleh seorang bapak untuk anak-anaknya. Oleh-oleh itu bukanlah suatu benda atau barang
namun ilmu yang bermanfaat bagi para guru. Sebuah nasehat yang mencerahkan. Ceramah
Kyai Syukri begitu menarik, sampai-sampai kita tidak sadar begitu cepat waktu
berlalu dan tiba-tiba ceramah selesai.
Beberapa kali saya menghadap untuk mewawancarai Kyai Syukri.
Namun belum juga ada waktu yang tepat. Dan beliau menyuruh saya kembali ke
kamar saya. Beruntung saya sempat mengabdi alias mengajar di Gontor ini, jadi
masih banyak teman saya yang menjadi guru di sana. Saya pun tinggal di kamar
teman seangkatan saya. Makan di dapur guru. Semua serba gratis. Hehehe, dasar
mahasiswa kere.
Suatu petang usai shalat berjamaah di masjid Atiq saya
menghadap Kyai Syurki dan saat itu tidak ada guru yang menghadap atau meminta
arahan. Dan Pak Kyai siap untuk diwawancara. Saya meminta ijin untuk mengambil
peralatan wawancara, sebuah rekaman dan alat tulis. Setiba di rumahnya saya
diminta masuk ke dalam mobil, kemudian Kyai Syukri mengikuti.
Saya mewawancarai Pak Kyai di dalam mobil, sementara sembari
menjawab pertanyaan beliau menyetir mobil. Hanya kami berdua di dalam mobil
itu. Mungkin saja, proses wawancara yang dilakukan di dalam mobil bisa membuat
suasana nyaman dan fokus.
Kecepatan mobil berkisar di angka 20 atau 30 kilometer perjam. Jalan
lambat alias santai. Dalam wawancara itu Pak Kyai banyak bercerita tentang
ayahnya, tentang pondok, tentang dakwah, tentang alumni yang sukses dan
lainnya.
Saat bercerita alumni yang sukses dan alumni yang bisa
bersekolah S2 dan S3 di luar negeri, Kyai Syukri mengatakan pada saya suatu
saat kamu juga akan belajar S2 atau S3 di luar negeri. Langsung saya aminkan
waktu itu. Dengan suara maupun dalam hati. Dan Alhamdulillah perkataannya itu
adalah doa. Dan doa itu kini terkabul saat saya belajar S2 Journalism di Turki.
Memang doa Pak Kyai itu sangat ampuh.
Teman saya yang mengabdi menjadi guru di Gontor selama enam
tahu bercerita, dia tidak pernah mendapatkan perihal seperti saya meski sudah
lama di Gontor. Sementara saya yang lulus tahun 2002 kemudian mengabdi di tahun
2003 lalu kuliah di Jakarta mendapatkan kesempatan yang baik bisa bertemu dan
berbincang dengan durasi yang cukup lama dengan Pak Kyai. Alhamdulillah, saya katakan
padanya.
Satu hal yang sampai kini kita bisa contoh semangat dan
perjuangan Kyai Syukri. Setelah sukses dioperasi di Surabaya, Pak Syukri
kembali ke Gontor. Beberapa hari lalu, meski di atas kursi roda, beliau masih
semangat mengikuti lari pagi bersama para guru. Subhanallah.
Dengan semangat inilah, Pak Syurki dan para pimpinan Gontor
mampu memperluas perjuangan pendidikan dengan mendirikan pondok cabang Gontor
di seluruh Indonesia. Mulai Aceh hingga Sulawesi. Mimpi beliau adalah membangun
ribuan Gontor, tujuannya hanya untuk menegakkan kalimat Allah.
Dalam sebuah ceramah di masjid Atiq, Kyai Syukri bercerita saat
ia belajar di IAIN Jakarta, yang sekarang menjadi UIN Jakarta dan tinggal di
kost di bilangan Ciputat. Suatu sore beliau duduk di pelataran kost dan
memandangi pemandangan sekitar sembari merenung bagaimana agar ia bisa kuliah
di Mesir. Tak lama kemudian Kyai Syukri pun berangkat ke Mesir hingga
menamatkan kuliah S2-nya di Universitas Al-Azhar, Kairo.
Dan kebiasaan itu saya tiru. Usai kembali ke Ciputat dari
penelitian di Gontor saya sesekali duduk di teras kost di Ciputat dan merenung,
seandainya saya bisa kuliah di luar negeri. Tercapai juga, Alhamdulillah.
Pun ketika di Turki, saban sore saya duduk di teras rumah di
daerah Cankaya dengan segelas teh hangat. Dengan menyeruput teh saya melihat Atakule (seperti monas
di Jakarta) sembari merenung apa yang akan saya lakukan sekembalinya ke tanah
air.
0 komentar:
Posting Komentar