Senin, 06 Agustus 2012

Guru-guru yang Menginspirasi (4)


Guru saya yang satu ini mendapatkan penganugerahan sebagai Tokoh Perubahan Republika 2011. Ya, betul, beliau adalah Dr. KH Abdullah Syukri Zarkasyi, MA. Pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor. Namun sayang pada pemberian penganugerahan itu Kyai Syukri tidak bisa datang karena sedang dioperasi di salah satu rumah sakit di Surabaya.

Dr. KH Abdullah Syukri Zarkasyi, MA. Photo: republika.co.id
Penganugerahan itu diwakilkan oleh sang adik dan anaknya yang kuliah di Madinah, Arab Saudi. Padahal saat itu perkuliahan di Madinah belum libur, namun ia pulang untuk menjenguk ayahnya dan ikut ke Jakarta bersama pamannya untuk menghadiri acara tersebut. Saya pun datang di acara ini pada Selasa 17 April 2012 malam karena saya ‘dipaksa’ datang oleh bos Republika.

Ada dua momen yang tidak bisa saya lupakan bersma Kyai Syukri. Pertama ketika Silaturrahim Nasional IKPM di Cirebon pada Maret 2012. Ribuan alumni datang pada acara tersebut untuk temu kangen dan silaturrahim. Acara berakhir dengan saling bersalaman bersama para pimpinan Gontor yang dilaksanakan di Istana Keraton Kasepuhan Cirebon.

Saat saya bersalaman dengan Pak Kyai saya sebutkan bahwa saya alumnus yang sedang belajar di Turki. Kyai Syukri menimpali, oh kamu yang waktu itu SMS saya, semoga sukses belajarnya. Begitu beberapa kata yang menggetarkan saya. Ini terjadi sebelum Pak Kyai sakit dan dieporasi. Memang sebelum saya berangkat saya sms beberapa guru saya untuk meminta doanya.

Tak disangka bahwa Kyai Syukri masih mengingat saya. Bagi saya ini sebuah penghargaan yang tak ternilai. Mengapa begitu? Sebab, santri Gontor itu ribuan jumlahnya. Dan Kyai Syukri tidak banyak mengajar di kelas.

Kami, para santri saat belajar di Gontor, sering mendengar wejangan atau nasehatnya di mimbar masjid atau di aula yang dihadiri ribuan santri dan ratusan guru. Jadi, sangat senang jika dari ribuan santri itu saya termasuk yang masih diingat oleh Kyai Syukri. Terlebih saya santri biasa dan sedikit bandel, hehehe, nanti yah cerita soal ini.

Yang kedua terjadi pada empat tahun lalu di tahun 2008. Saat itu saya melakukan riset untuk skripsi selama dua bulan di Gontor tentang Pemikiran Dakwah dan Pola Kaderisasi KH Imam Zarkasyi. KH Imam Zarkasyi adalah salah satu dari ‘Trimurti’ pendiri Pondok Modern Gontor dan ayahnya Kyai Syukri.

Ini saya lakukan karena hanya judul skripsi ini saja yang dikabulkan oleh dekan. Dan dekan saya di Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi (Fidkom) UIN Jakarta ‘memaksa’ saya untuk menulis skripsi yang serius dengan penelitian yang serius juga. Artinya saya harus datang ke Gontor.

Akhirnya saya berangkat ke Gontor utuk penelitian pada awal Januari dan berakhir pada awal Maret 2008. Kemudian di akhir Maret saya sidang dan dinyatakan lulus dari UIN Jakarta. Lumayan tujuh semester saja kuliah di UIN Jakarta.

Kembali ke cerita awal tentang Kyai Syukri. Untuk bertemu Kyai Syukri agak susah karena harus mendaftar ke sekretariat pondok untuk mengatur jadwal pertemuan. Untungnya, teman seangkatan saya ada yang menjadi salah satu sekretaris pondok dan dia membantu saya dengan sebaik mungkin.

Pertama menghadap Kyai Syukri saya menerangkan diri saya dan apa tujuan saya datang ke Gontor. Kyai Syukri paham dan ia memberitahukan pada saya bahwa ada waktunya dimana saya bisa diwawancarai tentang riset yang saya lakukan.

Maka waktu itu yang bisa saya lakukan adalah bersabar, sembari mengenang kembali suasana Gontor yang pernah saya tinggali selama tujuh tahun, enam tahun menjadi santri dan setahun menjadi guru. Saya pun sering mendatangi beberapa perpustakaan yang ada di Gontor. Dan sejumlah sumber saya temui di itu perpustakaan.

Yang paling saya tunggu dan saya gemari adalah usai shalat maghrib berjamaah di masjid Atiq depan rumah Kyai Syukri. Di masjid kuno yang berada di tengah Gontor ini digunakan untuk sholat para ustadz. Usai shalat itu biasanya pimpinan Gontor memberikan ceramah. Ceramah Kyai Syukri sangat menggugah dan membangkitkan semangat pada asatidz atau para guru.

Ceramah Kyai Syukri bagi saya seperti oleh-oleh yang dibawa oleh seorang bapak untuk anak-anaknya. Oleh-oleh itu bukanlah suatu benda atau barang namun ilmu yang bermanfaat bagi para guru. Sebuah nasehat yang mencerahkan. Ceramah Kyai Syukri begitu menarik, sampai-sampai kita tidak sadar begitu cepat waktu berlalu dan tiba-tiba ceramah selesai.

Beberapa kali saya menghadap untuk mewawancarai Kyai Syukri. Namun belum juga ada waktu yang tepat. Dan beliau menyuruh saya kembali ke kamar saya. Beruntung saya sempat mengabdi alias mengajar di Gontor ini, jadi masih banyak teman saya yang menjadi guru di sana. Saya pun tinggal di kamar teman seangkatan saya. Makan di dapur guru. Semua serba gratis. Hehehe, dasar mahasiswa kere.

Suatu petang usai shalat berjamaah di masjid Atiq saya menghadap Kyai Syurki dan saat itu tidak ada guru yang menghadap atau meminta arahan. Dan Pak Kyai siap untuk diwawancara. Saya meminta ijin untuk mengambil peralatan wawancara, sebuah rekaman dan alat tulis. Setiba di rumahnya saya diminta masuk ke dalam mobil, kemudian Kyai Syukri mengikuti.

Saya mewawancarai Pak Kyai di dalam mobil, sementara sembari menjawab pertanyaan beliau menyetir mobil. Hanya kami berdua di dalam mobil itu. Mungkin saja, proses wawancara yang dilakukan di dalam mobil bisa membuat suasana nyaman dan fokus.

Kecepatan mobil berkisar di angka 20 atau 30 kilometer perjam. Jalan lambat alias santai. Dalam wawancara itu Pak Kyai banyak bercerita tentang ayahnya, tentang pondok, tentang dakwah, tentang alumni yang sukses dan lainnya.

Saat bercerita alumni yang sukses dan alumni yang bisa bersekolah S2 dan S3 di luar negeri, Kyai Syukri mengatakan pada saya suatu saat kamu juga akan belajar S2 atau S3 di luar negeri. Langsung saya aminkan waktu itu. Dengan suara maupun dalam hati. Dan Alhamdulillah perkataannya itu adalah doa. Dan doa itu kini terkabul saat saya belajar S2 Journalism di Turki. Memang doa Pak Kyai itu sangat ampuh.

Teman saya yang mengabdi menjadi guru di Gontor selama enam tahu bercerita, dia tidak pernah mendapatkan perihal seperti saya meski sudah lama di Gontor. Sementara saya yang lulus tahun 2002 kemudian mengabdi di tahun 2003 lalu kuliah di Jakarta mendapatkan kesempatan yang baik bisa bertemu dan berbincang dengan durasi yang cukup lama dengan Pak Kyai. Alhamdulillah, saya katakan padanya.

Satu hal yang sampai kini kita bisa contoh semangat dan perjuangan Kyai Syukri. Setelah sukses dioperasi di Surabaya, Pak Syukri kembali ke Gontor. Beberapa hari lalu, meski di atas kursi roda, beliau masih semangat mengikuti lari pagi bersama para guru. Subhanallah.

Dengan semangat inilah, Pak Syurki dan para pimpinan Gontor mampu memperluas perjuangan pendidikan dengan mendirikan pondok cabang Gontor di seluruh Indonesia. Mulai Aceh hingga Sulawesi. Mimpi beliau adalah membangun ribuan Gontor, tujuannya hanya untuk menegakkan kalimat Allah.

Dalam sebuah ceramah di masjid Atiq, Kyai Syukri bercerita saat ia belajar di IAIN Jakarta, yang sekarang menjadi UIN Jakarta dan tinggal di kost di bilangan Ciputat. Suatu sore beliau duduk di pelataran kost dan memandangi pemandangan sekitar sembari merenung bagaimana agar ia bisa kuliah di Mesir. Tak lama kemudian Kyai Syukri pun berangkat ke Mesir hingga menamatkan kuliah S2-nya di Universitas Al-Azhar, Kairo.

Dan kebiasaan itu saya tiru. Usai kembali ke Ciputat dari penelitian di Gontor saya sesekali duduk di teras kost di Ciputat dan merenung, seandainya saya bisa kuliah di luar negeri. Tercapai juga, Alhamdulillah.

Pun ketika di Turki, saban sore saya duduk di teras rumah di daerah Cankaya dengan segelas teh hangat. Dengan menyeruput teh saya melihat Atakule (seperti monas di Jakarta) sembari merenung apa yang akan saya lakukan sekembalinya ke tanah air.

(bersambung)

0 komentar:

Posting Komentar