Sabtu, 04 Agustus 2012

Ikhlas


(Disampaikan Menjelang Taraweh bersama Masyarakat Indonesia di Rumah Atase Pertahanan KBRI Ankara, Jumat 3 Agustus 2012)

Alhamdulillah, washshalatu ‘ala Rasulillah. Segala puji bagi Allah yang telah memberikan nikmat iman dan Islam, hingga kita masih bisa melaksanakan puasa yang ke-15 dan taraweh yang ke-16 yang insya Allah akan kita laksanakan usai kultum ini. Shalawat serta salam kita berikan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW, karena dengan cahayanya kita bisa melaksanakan perintah Allah SWT. Pada kultum kali ini kita akan membahas tentang ‘Ikhlas’.

Kaligrafi Surat Al-Ikhlas. Photo:  innomuslim.com
Ada sebuah cerita yang pernah diungkapkan oleh ulama baheula, ulama zaman dulu. Ada seorang Kyai yang mempunyai dua santri, yang pertama bernama Ali yang kedua bernama Umar. Suatu ketika Ali pergi ke kebun dan mendapatkan ubi yang sudah siap panen. Ali berpikir, sekiranya ubi ini diberikannya untuk Pak Kyai untuk tabarukan alias meminta berkah, sangat baik dan bagus. Begitu pikirnya.

Ali pun datang ke rumah sang Kyai dengan membawa sekarung ubi. Ubi itu diterima oleh sang Kyai dan dibawanya ke dapur. Pak Kyai lalu berbincang dengan istrinya, apa yang bisa kita berikan kepada si Ali agar tangannya tidak kosong usai dari rumah kita, tanya Kyai kepada istrinya. Begini aja bang, ujar sang istri, kemarin kan, ada pengusaha yang memberi kambing, kita kasih saja ke Ali agar dipelihara dan menghasilkan menfaat yang banyak. Oh begitu, baiklah, kata Pak Kyai.

Pak Kyai memberikan kambing itu kepada si Ali. Dan Ali pun pulang. Di tengah jalan Ali bertemu dengan Umar. Umar bertanya perihal Ali. Dijawablah oleh Ali dengan sejelas-jelasnya. Karena otak dagangnya jalan, Umar berpikir, kalau saja si Ali membawa ubi mendapatkan kambing, bagaimana jika saya membawa durian, pasti diberi lebih baik lagi.

Umar pun datang ke rumah Pak Kyai dengan tiga buah duren yang bagus-bagus. Umar berkata kepada gurunya itu, Pak Kyai saya bawakan durian ini, saya ikhlas, Pak Kyai. Begitu ia katakan. Pak Kyai itu menerima hadiah dari Umar dan membawanya ke dapur.

Lantas Pak Kyai berbincang lagi sama istrinya. Neng, apa yang kita kasih untuk si Umar ini, tanya Kyai sama istrinya. Begini aja bang, kata istri Kyai, kambing pun sudah kita kasih ke si Ali, jadi tinggal ubi saja yang kita punya pemberian si Ali. Jadi, kita kasih saja ubi ke si Umar, agar ia pulang tangannya tidak kosong.

Sang Kyai pun kembali ke ruang tamu dan memberikan ubi itu kepada Umar. Saya berikan ubi ini untuk kamu agar tangan kamu tidak kosong, begitu Pak Kyai bilang kepada Umar. Umar pun kembali ke rumahnya dengan sangat menyesal. Ia berpikir, mengapa saya diberi ubi sementara si Ali diberi kambing, padahal bawaan saya lebih bernilai ketimbang bawaannya si Ali. Keluh si Umar.

Apa hikmah yang kita bisa ambil dari kisah ini. Mungkin begitulah ikhlas tergambar oleh si Ali. Ali tak memiki tujuan apapun dalam memberikan sesuatu kepada gurunya, sementara Umar mempunyai target dengan apa yang diberikannya kepada Sang Kyai. Jadi, kalau kita melakukan sesuatu dengan mengharapkan imbalan dari manusia, maka kita harus siap kecewa.

Apa itu ikhlas? Ikhlas adalah memembersihkan dari segala kotoran, atau memurnikan dari hal-hal yang membuat tercemar. Ikhlas dalam arti yang lebih luas adalah, mensucikan niat kita untuk menyandarkan segala sesuatu hanya kepada Allah SWT. Sebab menurut sabda Rasulullah SAW, semua amal ibadah manusia tidak akan diterima oleh Allah kecuali dengan ikhlas melaksanakannya dan hanya mengharap ridhaNya.

Sederhananya ikhlas yang sering kita dengar adalah jika memberikan sesuatu dengan tangan kanan, maka tangan kita kita tidak mengetahuinya.

Imam Algazali pernah mengatakan, pada hakikatnya semua manusia di dunia ini mati, kecuali orang yang berilmu. Orang yang berilmu pun dianggap tidur, kecuali orang yang mengamalkan ilmunya. Dan orang yang mengamalkan ilmunya bisa tertipu kecuali orang-orang yang ikhlas melaksanakan amal ibadahnya atau amal perbuatannya.

Dulu, tahun 1950-an orang berhaji membutuhkan waktu 6 bulan dengan menggunakan kapal laut. Sekarang cukup satu bulan dengan menggunakan pesawat terbang. Ini adalah buah dari ilmu pengetahuan. Ruang dan waktu bukan sebuah halangan lagi. Saat ini, kita bisa mengetahui seseorang di Mekkah dalam hitungan detik setibanya ia di Mekkah, jika yang bersangkutan menuliskan statusnya di Facebook, Twitter atau BBM-nya. Sangat simpel.

Bagaimana bisa orang berilmu dianggap tidur. Begini, banyak dari kita yang tahu atau mendapatkan ilmu pengetahuan tapi tidak mengamalkannya. Tidak bermanfaat. Jadi disebutlah tidur. Bahkan yang mengamalkan saja bisa tertipu, bagaimana ini? Begini, terkadang kita mengamalkan ilmu kita karena ingin dilihat orang, jadinya riya. Dan seterusnya. Maka, yang paling selamat di dunia dan akhirat adalah orang yang ikhlas mengerjakan dan mengamalkan sesuatu karena Lillahita’ala, hanya karena Allah semata.

Memang ikhlas ini sulit dilaksanakan, tak semudah yang kita bicarakan. Tetapi paling tidak, kita berusaha mengamalkan ikhlas ini, terlebih saat ini kita di bulan Ramadhan yang penuh rahmah, maghfirah dan itqun minannnar. Semoga kita mendapatkan keberkahan di bulan yang suci ini. Amin, ya Rabbal’alamin. Karena ini kultum, saya tutup sekian saja. Mohon maaf jika banyak kesalahan karena datang dari saya pribadi, sementara jika banyak kebenaran datangnya dari Allah SWT. 

0 komentar:

Posting Komentar