Kamis, 02 Agustus 2012

Ke Pusat Jakarta dengan Bemo



Tetiba saja saya ingin menulis tentang bemo. Kendaraan roda tiga ini sudah susah untuk kita temui di Jakarta. Hanya di tempat khusus saja kendaraan antik ini dioperasikan.

Bemo. Photo: jakartadailyphoto.com
Saat saya pulang ke Indonesia untuk riset tesis saya beberapa bulan lalu, saya tinggal di Jakarta di bilangan Lentang Agung, di Jakarta Selatan. Berbagai perpustakaan saya datangi, termasuk perpustakaan Freedom Institut di Jalan Proklamasi No. 41 Menteng Jakarta Pusat. Dan saya mendapatkan beberapa buku yang saya cari di perpustakaan ini.

Memang saat kembali ke Jakarta, setelah hampir dua setengah tahun di Turki, saya harus mengingat kembali jalan-jalan di Jakarta termasuk angkutan apa yang harus saya gunakan untuk menuju suatu tempat. Beruntung saya punya kakak yang setiap hari bergelut dengan jalanan Jakarta. Maksudnya, kakak saya ini hafal betul jalan-jalan di Jakarta.

Jadi, ketika saya tidak tahu jalan, saya tinggal menelepon atau mengirim pesan padanya, dan dia segera menjawabnya. Jawabannya bukan hanya satu saja, dia terkadang memberikan jawaban alternatif jalan mana saja yang cepat dan macet. Termasuk jawaban arah jalan menuju perpustakaan freedom itu.

Jarang sekali angkutan umum yang melintasi Jalan Proklamasi itu, apalagi jalur di depan kawasan patung proklamasi itu hanya satu arah. Yang ada hanyalah bemo. Rutenya dari Lenteng Agung, tempat saya, ke Pasar Minggu naik bus atau angkot. Dari Pasar Minggu ke Manggarai naik bus metromini, dari Manggarai naik bemo .

Dari ketiga moda transportasi itu harganya sama Rp. 2000. Jadi dari Lenteng Agung menuju perpustakaan Freedom menghabiskan ongkos sebesar Rp. 6000. Murah yah, cuma lama di jalan, hehe. Saya hanya ingin bercerita tentang kendaraan terakhir yang saya tumpangi yaitu bemo.

Bemo alias becak motor memang sudah lama ada di Jakarta sejak tahun 1962. Ini berbeda dengan bajaj. Bemo bisa dinaiki oleh tujuh penumpang, enam di belakang dengan posisi tiga penumpang saling berhadapan, dan satu di depan bareng si sopir. Jadi sekali narik, si sopir bisa meraup uang sebanyak Rp.14 ribu.

Jangan dikira ini bemo sedikit penumpangnya. Banyak yang antre untuk mendapatkan duduk di bemo, apalagi yang akan naik dari kawasan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo atau RSCM. Banyak sekali. Suatu ketika saya pulang dari kampus UI Salemba setelah membeli sejumlah buku, dan meunggu Bemo, rupanya Bemo yang saya setop di RSCM itu sudah penuh. Akhirnya saya sedikit berjalan ke belakang untuk mendapatkan Bemo yang kosong. Dan berhasil.

Yang paling saya suka adalah saya naik bemo di bagian depan. Sendiri saja. Ya, bareng sopir pastinya. Meski sempit tapi saya menikmatinya. Melihat Jakarta dari dekat. Sangat dekat malah. Bayangkan, bemo itu kecil dan pendek, jalannya pun lambat. Di lampu merah saat berhenti misalnya, kita bisa melihat para pengais rejeki, dari pengamen, peminta-minta, penjual minuman, anak jalanan, pengendara motor, penumpang bis, penumpang taksi, pengendara mobil probadi dan yang lainnya.

Di sinilah titik pusat Jakarta. Jakarta terkadang tak menghiraukan kaum lemah. Semua sibuk dengan urusan masing-masing. Dan saya juga sibuk mengamati dari bemo yang saya tumpangi. Saya belajar dari sopir bemo yang begitu menikmati pekerjaannya. Meski di samping kanan kiri di jalanan banyak mobil mewah ia tetap santai. Tidak banyak menggerutu. Ia sadar dengan kekuatan bemo yang memang hanya segitu.

Tapi saya kurang nyaman kalau dapat tempat duduk di bagian belakang bemo. Mengapa? Ya, karena harus berhadapan dengan penumpang lainnya dengan sangat dekat, sebab lutut kami saling beradu. Apalagi jika barang bawaan kita banyak. Seperti saya membeli buku banyak itu. Sudah sempit barang banyak pula.

Kalau tidak hati-hati, kita bisa salah menyetop bajaj yang kita kira bemo. Sebab bentuknya sangat mirip. Apa bedanya? Bemo bentuknya lebih panjang ke belakang ketimbang bajaj. Bajaj kebanyak warna catnya merah kekuningan sementara bemo kebanyakam biru. Cuma bentuknya sama yaitu tiga roda, satu di depan dua di belakang. Bajaj tarifnya seperti taksi atau ojek. Tidak ada patokan untuk ongkos bajaj. Sementara bemo sudah pasti hanya Rp.2000 saja.

Bajaj, di bagian depan hanya untuk sopir saja, sementara penumpang di belakang dengan maksimum tiga orang, itu pun sudah kebanyakan. Kalau bemo depan satu penumpang belakang enam penumpang dengan rute khusus, Manggarai Salemba pp, misalnya. sementara bajaj untuk semua jurusan di Jakarta asalkan si sopir mau mengantar itu penumpang.

Saya tidak tahu mengapa bemo ini masih beroperasi di tengah susahnya mencari onderdil atau suku cadangnya. Belum lagi harus bersaing dengan moda kendaraan lain semisal bajaj, ojek dan yang lainnya. Meski begitu saya tetap menggunakan bemo menuju pusat Jakarta, sebagai alternatif kendaraan yang ditawarkan.

0 komentar:

Posting Komentar