Tetiba saja saya ingin menulis tentang bemo. Kendaraan roda tiga ini sudah susah
untuk kita temui di Jakarta. Hanya di tempat khusus saja kendaraan antik ini
dioperasikan.
Bemo. Photo: jakartadailyphoto.com |
Saat saya pulang ke Indonesia untuk riset tesis
saya beberapa bulan lalu, saya tinggal di Jakarta di bilangan Lentang Agung, di Jakarta Selatan. Berbagai
perpustakaan saya datangi, termasuk perpustakaan Freedom Institut di Jalan
Proklamasi No. 41 Menteng Jakarta Pusat. Dan saya mendapatkan beberapa buku yang saya cari di perpustakaan ini.
Memang saat kembali ke Jakarta, setelah hampir dua
setengah tahun di Turki, saya harus mengingat kembali jalan-jalan di Jakarta
termasuk angkutan apa yang harus saya gunakan untuk menuju suatu tempat. Beruntung
saya punya kakak yang setiap hari bergelut dengan jalanan Jakarta. Maksudnya,
kakak saya ini hafal betul jalan-jalan di Jakarta.
Jadi, ketika saya tidak tahu jalan, saya tinggal
menelepon atau mengirim pesan padanya, dan dia segera menjawabnya. Jawabannya bukan
hanya satu saja, dia terkadang memberikan jawaban alternatif jalan mana saja
yang cepat dan macet. Termasuk jawaban arah jalan menuju perpustakaan freedom
itu.
Jarang sekali angkutan umum yang melintasi Jalan
Proklamasi itu, apalagi jalur di depan kawasan patung proklamasi itu hanya satu
arah. Yang ada hanyalah bemo. Rutenya dari Lenteng Agung, tempat saya, ke Pasar
Minggu naik bus atau angkot. Dari Pasar Minggu ke Manggarai naik bus metromini,
dari Manggarai naik bemo .
Dari ketiga moda transportasi itu harganya sama Rp.
2000. Jadi dari Lenteng Agung menuju perpustakaan Freedom menghabiskan ongkos
sebesar Rp. 6000. Murah yah, cuma lama di jalan, hehe. Saya hanya ingin
bercerita tentang kendaraan terakhir yang saya tumpangi yaitu bemo.
Bemo alias becak motor memang sudah lama ada di
Jakarta sejak tahun 1962. Ini berbeda dengan bajaj. Bemo bisa dinaiki oleh
tujuh penumpang, enam di belakang dengan posisi tiga penumpang saling
berhadapan, dan satu di depan bareng si sopir. Jadi sekali narik, si sopir bisa
meraup uang sebanyak Rp.14 ribu.
Jangan dikira ini bemo sedikit penumpangnya. Banyak yang
antre untuk mendapatkan duduk di bemo, apalagi yang akan naik dari kawasan
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo atau RSCM. Banyak sekali. Suatu ketika saya
pulang dari kampus UI Salemba setelah membeli sejumlah buku, dan meunggu Bemo,
rupanya Bemo yang saya setop di RSCM itu sudah penuh. Akhirnya saya sedikit
berjalan ke belakang untuk mendapatkan Bemo yang kosong. Dan berhasil.
Yang paling saya suka adalah saya naik bemo di
bagian depan. Sendiri saja. Ya, bareng sopir pastinya. Meski sempit tapi saya
menikmatinya. Melihat Jakarta dari dekat. Sangat dekat malah. Bayangkan, bemo
itu kecil dan pendek, jalannya pun lambat. Di lampu merah saat berhenti
misalnya, kita bisa melihat para pengais rejeki, dari pengamen, peminta-minta, penjual
minuman, anak jalanan, pengendara motor, penumpang bis, penumpang taksi,
pengendara mobil probadi dan yang lainnya.
Di sinilah titik pusat Jakarta. Jakarta terkadang
tak menghiraukan kaum lemah. Semua sibuk dengan urusan masing-masing. Dan saya
juga sibuk mengamati dari bemo yang saya tumpangi. Saya belajar dari sopir bemo
yang begitu menikmati pekerjaannya. Meski di samping kanan kiri di jalanan
banyak mobil mewah ia tetap santai. Tidak banyak menggerutu. Ia sadar dengan
kekuatan bemo yang memang hanya segitu.
Tapi saya kurang nyaman kalau dapat tempat duduk di
bagian belakang bemo. Mengapa? Ya, karena harus berhadapan dengan penumpang lainnya
dengan sangat dekat, sebab lutut kami saling beradu. Apalagi jika barang bawaan
kita banyak. Seperti saya membeli buku banyak itu. Sudah sempit barang banyak
pula.
Kalau tidak hati-hati, kita bisa salah menyetop
bajaj yang kita kira bemo. Sebab bentuknya sangat mirip. Apa bedanya? Bemo bentuknya
lebih panjang ke belakang ketimbang bajaj. Bajaj kebanyak warna catnya merah
kekuningan sementara bemo kebanyakam biru. Cuma bentuknya sama yaitu tiga roda,
satu di depan dua di belakang. Bajaj tarifnya seperti taksi atau ojek. Tidak ada
patokan untuk ongkos bajaj. Sementara bemo sudah pasti hanya Rp.2000 saja.
Bajaj, di bagian depan hanya untuk sopir saja,
sementara penumpang di belakang dengan maksimum tiga orang, itu pun sudah
kebanyakan. Kalau bemo depan satu penumpang belakang enam penumpang dengan rute
khusus, Manggarai Salemba pp, misalnya. sementara bajaj untuk semua jurusan di Jakarta
asalkan si sopir mau mengantar itu penumpang.
Saya tidak tahu mengapa bemo ini masih beroperasi di
tengah susahnya mencari onderdil atau suku cadangnya. Belum lagi harus bersaing
dengan moda kendaraan lain semisal bajaj, ojek dan yang lainnya. Meski begitu
saya tetap menggunakan bemo menuju pusat Jakarta, sebagai alternatif kendaraan
yang ditawarkan.
0 komentar:
Posting Komentar