Senin, 14 Januari 2013

Jangan Ucapkan Terimakasih! (India-8)



Setibanya di penginapan Assam dari Bandara Internasional Indira Gandhi New Delhi, si sopir taksi meminta kami tips alias tambahan biaya ongkos taksi. Kami tetap memberikan ongkos yang sudah disepakati di bandara sebelum kami naik taksi itu. Setelah sedikit berdiskusi dengan sopir taksi, akhirnya ia mau menerima ongkos yang telah ditentukan. Dan saya ucapkan terimakasih padanya.

Tiba-tiba seorang panitia mengingatkan kami agar jangan mengucapkan terimakasih padanya; pada sopir taksi itu. Nanti, ujarnya, dia akan besar kepala dan meminta jatah lagi. Saya mengernyitkan dahi bertanya dalam diri mengapa dia mengatakan seperti itu. Bagi saya ucapan terimakasih itu hukumnya wajib setelah orang itu memberi bantuan kepada kita meski kita juga membayarnya.

Paling tidak, menurut saya, ucapan terimakasih adalah sebuah penghargaan kepada seseorang yang telah membantu kita. Sebab kita tidak bisa berbuat apapun tanpa bantuan orang lain. Manusia itu makhluk lemah. Meski kita memiliki banyak uang tetapi jika tidak ada yang mau membantu kita akhirnya uang juga bukan segalanya.

Budaya berterimakasih bagi saya adalah budaya yang baik. Kita ambil permisalan di Turki, setiap bertemu orang, biasanya orang Turki akan menyapa temannya dengan bertanya apa kabar dan dijawab dengan terimakasih dan baik. Bahkan kata terimakasih dalam bahasa Turki ada tiga macamnya, Tesekkur Etmek, Tesekkurler dan Sagol. Memang ini terkesan basa-basi. Tetapi hal seperti inilah yang mempererat hubungan antar teman, bahkan dengan orang yang belum dikenal.

Budaya terimakasih adalah budaya egaliter. Persamaan derajat. Tidak ada yang merasa paling besar dan sebaliknya. Semuanya sama. Sama-sama manusia. Sama-sama makhluk Tuhan. Budaya terimakasih ini juga yang ditanamkan ibu saya sedari kecil. Saya selalu diingatkan olehnya agar selalu mengucapkan terimakasih kepada siapapun yang membantu saya. Sekecil apapun bantuan itu.

Dalam sebuah seminar dalam rangkaian Simposium Internasional PPI Dunia, salah seorang pembicara, Aat Soeratin Natawisastra, menerangkan tentang budaya India. Aat mengatakan seraya bertanya kepada peserta, berapa persen orang India yang menikah seperti ‘Siti Nurbaya’ alias nikah paksa? Saya menyeletuk, 80 persen. Asumsi saya menyetuk ini karena di India sistem kasta alias perbedaan status sosial sangat menonjol.

Pemateri mengiyakan celetukan saya. “Betul, sekitar 80 hingga 90 persen yang seperti Siti Nurbaya itu,” ungkapnya. Jadi, banyak dari warga India yang berpacaran tapi tidak sampai pada pernikahan. Berpadu kasih alias berpacaran adalah hal lain jika disandingkan dengan pernikahan. Dua jalan yang berbeda. Berpacaran dengan siapa dan menikah dengan siapa lagi.

Mengapa bisa begitu? Karena jika orang yang berkasta tinggi tidak mungkin menikah dengan kasta yang lebih rendah darinya. Begitu juga sebaliknya. Padahal soal hati siapa yang tahu. Tapi menikah di India lebih dari sekadar soal hati. Ini soal status sosial.

Ada beberapa kasta di negeri yang memilki penduduk lebih dari satu miliar ini. Ada kasta Brahmin yang tertinggi sebagai guru spiritual, lalu Ksatria sebagai orang yang duduk di pemerintahan, kemudian Vaisya sebagai pedagang, petani dan pelukis, selanjutnya Sudra sebagai buruh dan terendah Pariah yaitu buruh kasar.

Budaya hierarki ini sebenarnya bukan hanya di India, di beberapa negara di sekitar India juga menerapkan budaya yang sama. Namun berbeda bentuknya. Di Kabul Afganistan, misalnya. Kaum perempuan tidak punya hak apapun dalam kehidupannya. Termasuk dalam menentukan dengan siapa dia akan menikah. Begitupun di Pakistan. Hampir sama. Jadi ini bukan soal agama namun lebih kepada soal budaya yang memang sudah demikian adanya.

Akhirnya terjawab pula pertanyaan saya mengapa panitia itu mengatakan jangan mengucapkan terimakasih kepada orang India. Ini disebabkan budaya strata sosial atau budaya kasta di India masih dijunjung tinggi. Perbedaan dan pembedaan kasta menjadi tolok ukur bagaimana seseorang berbahasa dan berkomunikasi. Misalnya jangan mengucapakan terimakasih kepada orang yang berkasta lebih rendah.

Meski demikian, saya mengonfirmasi tentang budaya terimakasih ini kepada sahabat saya yang sudah lama tinggal di India namanya Susanto. Dia membantah soal ini. “Tidak juga demikian,” ucapnya. Sebab orang India juga senang dengan ucapan terimakasih, terlebih jika ucapan itu berbahasa India. Dan saya katakan padanya, “Shukriya, Mas Susanto.”

(bersambung)

0 komentar:

Posting Komentar