Setibanya di penginapan Assam dari Bandara Internasional
Indira Gandhi New Delhi, si sopir taksi meminta kami tips alias tambahan biaya
ongkos taksi. Kami tetap memberikan ongkos yang sudah disepakati di bandara
sebelum kami naik taksi itu. Setelah sedikit berdiskusi dengan sopir taksi,
akhirnya ia mau menerima ongkos yang telah ditentukan. Dan saya ucapkan
terimakasih padanya.
Tiba-tiba seorang panitia mengingatkan kami agar
jangan mengucapkan terimakasih padanya; pada sopir taksi itu. Nanti, ujarnya,
dia akan besar kepala dan meminta jatah lagi. Saya mengernyitkan dahi bertanya
dalam diri mengapa dia mengatakan seperti itu. Bagi saya ucapan terimakasih itu
hukumnya wajib setelah orang itu memberi bantuan kepada kita meski kita juga membayarnya.
Paling tidak, menurut saya, ucapan terimakasih
adalah sebuah penghargaan kepada seseorang yang telah membantu kita. Sebab kita
tidak bisa berbuat apapun tanpa bantuan orang lain. Manusia itu makhluk lemah.
Meski kita memiliki banyak uang tetapi jika tidak ada yang mau membantu kita
akhirnya uang juga bukan segalanya.
Budaya berterimakasih bagi saya adalah budaya yang
baik. Kita ambil permisalan di Turki, setiap bertemu orang, biasanya orang
Turki akan menyapa temannya dengan bertanya apa kabar dan dijawab dengan
terimakasih dan baik. Bahkan kata terimakasih dalam bahasa Turki ada tiga
macamnya, Tesekkur Etmek, Tesekkurler dan Sagol. Memang ini terkesan basa-basi.
Tetapi hal seperti inilah yang mempererat hubungan antar teman, bahkan dengan
orang yang belum dikenal.
Budaya terimakasih adalah budaya egaliter. Persamaan
derajat. Tidak ada yang merasa paling besar dan sebaliknya. Semuanya sama.
Sama-sama manusia. Sama-sama makhluk Tuhan. Budaya terimakasih ini juga yang
ditanamkan ibu saya sedari kecil. Saya selalu diingatkan olehnya agar selalu
mengucapkan terimakasih kepada siapapun yang membantu saya. Sekecil apapun
bantuan itu.
Dalam sebuah seminar dalam rangkaian Simposium
Internasional PPI Dunia, salah seorang pembicara, Aat Soeratin Natawisastra,
menerangkan tentang budaya India. Aat mengatakan seraya bertanya kepada peserta,
berapa persen orang India yang menikah seperti ‘Siti Nurbaya’ alias nikah paksa?
Saya menyeletuk, 80 persen. Asumsi saya menyetuk ini karena di India sistem kasta
alias perbedaan status sosial sangat menonjol.
Pemateri mengiyakan celetukan saya. “Betul, sekitar
80 hingga 90 persen yang seperti Siti Nurbaya itu,” ungkapnya. Jadi, banyak
dari warga India yang berpacaran tapi tidak sampai pada pernikahan. Berpadu
kasih alias berpacaran adalah hal lain jika disandingkan dengan pernikahan. Dua
jalan yang berbeda. Berpacaran dengan siapa dan menikah dengan siapa lagi.
Mengapa bisa begitu? Karena jika orang yang berkasta
tinggi tidak mungkin menikah dengan kasta yang lebih rendah darinya. Begitu
juga sebaliknya. Padahal soal hati siapa yang tahu. Tapi menikah di India lebih
dari sekadar soal hati. Ini soal status sosial.
Ada beberapa kasta di negeri yang memilki penduduk
lebih dari satu miliar ini. Ada kasta Brahmin yang tertinggi sebagai guru
spiritual, lalu Ksatria sebagai orang yang duduk di pemerintahan, kemudian
Vaisya sebagai pedagang, petani dan pelukis, selanjutnya Sudra sebagai buruh
dan terendah Pariah yaitu buruh kasar.
Budaya hierarki ini sebenarnya bukan hanya di India,
di beberapa negara di sekitar India juga menerapkan budaya yang sama. Namun berbeda
bentuknya. Di Kabul Afganistan, misalnya. Kaum perempuan tidak punya hak apapun
dalam kehidupannya. Termasuk dalam menentukan dengan siapa dia akan menikah.
Begitupun di Pakistan. Hampir sama. Jadi ini bukan soal agama namun lebih
kepada soal budaya yang memang sudah demikian adanya.
Akhirnya terjawab pula pertanyaan saya mengapa
panitia itu mengatakan jangan mengucapkan terimakasih kepada orang India. Ini disebabkan
budaya strata sosial atau budaya kasta di India masih dijunjung tinggi.
Perbedaan dan pembedaan kasta menjadi tolok ukur bagaimana seseorang berbahasa
dan berkomunikasi. Misalnya jangan mengucapakan terimakasih kepada orang yang
berkasta lebih rendah.
Meski demikian, saya mengonfirmasi tentang budaya
terimakasih ini kepada sahabat saya yang sudah lama tinggal di India namanya
Susanto. Dia membantah soal ini. “Tidak juga demikian,” ucapnya. Sebab orang
India juga senang dengan ucapan terimakasih, terlebih jika ucapan itu berbahasa
India. Dan saya katakan padanya, “Shukriya, Mas Susanto.”
(bersambung)
0 komentar:
Posting Komentar