Kang Deden

Tidak ada awal, akhir ataupun pertengahan, sebab yang ada hanyalah perjalanan.

Kang Deden

Orang besar ialah orang yang sudah selesai dengan dirinya sendiri.

Kang Deden

Berlarilah mengejar impian. Disana terdapat indahnya kehidupan.

Kang Deden

Berjalanlah, engkau akan mendapatkan banyak pelajaran.

Kang Deden

Tenangkan hatimu, karena itu sumber kebahagiaan.

Rabu, 25 Juli 2012

Memaknai Ramadhan



(Disampaikan pada Kajian Keislaman Ibu-ibu DWP KBRI Ankara, Rabu 25 Juli 2012)

Alhamdulillah washshalatu ‘ala Rasulillah. Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmat iman dan Islam kepada kita hingga kita dapat berpuasa di hari keenam di bulan Ramadhan ini. Shalawat serta salam kita hadiahkan kepada Nabi Muhammad SAW, berkat cahaya beliaulah kita dapat berjalan di dalam kehidupan ini dengan terang dan tenang. Karena masih awal Ramadhan, kali ini kita membahas tentang ‘Memaknai Ramadhan’.

Selamat Datang Ramadhan. Photo: diyanet.gov.tr
Suatu ketika Nasrudin Hoja berbincang-bincang dengan hakim kota. Hakim kota, seperti umumnya cendekiawan masa itu, sering berpikir hanya dari satu sisi saja. Hakim memulai, dengan mengatakan, “Seandainya saja, setiap orang mau mematuhi hukum dan etika, ...”

Nasrudin menukas, “Bukan manusia yang harus mematuhi hukum, tetapi justru hukum lah yang harus disesuaikan dengan kemanusiaan.” Hakim mencoba bertaktik, “Tapi coba kita lihat cendekiawan seperti Anda. Kalau Anda memiliki pilihan: kekayaan atau kebijaksanaan, mana yang akan dipilih?” Nasrudin menjawab seketika, “Tentu, saya memilih kekayaan.”

Hakim membalas sinis, “Memalukan. Anda adalah cendekiawan yang diakui masyarakat. Dan Anda memilih kekayaan daripada kebijaksanaan?” Nasrudin balik bertanya, “Kalau pilihan Anda sendiri?” Hakim menjawab tegas, “Tentu, saya memilih kebijaksanaan.” Dan Nasrudin menutup, “Terbukti, semua orang memilih untuk memperoleh apa yang belum dimilikinya.”

Apa hikmah dari kisah di atas? Mungkin yang bisa kita ambil adalah bahwa manusia memiliki banyak keinginan. Memiliki banyak kebutuhan. Memiliki hawa nafsu. Bahkan, jika seseorang sudah memiliki kekayaan pun, ia akan tetap mencari dan membutuhkannya, jika tidak ada rasa syukur pada dirinya.

Lantas apa hubungannya dengan Ramadhan. Sebelum beranjak ke sana kita bahas dulu asal kara Ramadhan yang berasal dari bahasa Arab, Ramadha Yarmadhu, artinya, membakar, menyengat atau sangat panas, atau mengasah. Artinya dalam bulan Ramadhan ini kita membakar hawa nafsu kita. Kita menghentikan keinginan-keinginan kita. Kita mengasah jiwa kita untuk lebih peka.

Menurut Muhbib Adbul Wahab di Republika mengatakan ada sembilan makna penting Ramadhan. Pertama, Syahr al-Qur’an (bulan Alquran), karena pada bulan inilah Alquran pertama kali diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Kedua, Syahr al-Shiyam (bulan pua sa wajib). Ketiga, Syahr al-Tilawah (bulan membaca Alquran), karena pada bulan ini Jibril AS menemui Nabi SAW untuk melakukan tadarus Alquran bersama Nabi dari awal hingga akhir.

Keempat, Syahr al-Rahmah (bulan penuh limpah an rahmat dari Allah SWT). Kelima, Syahr al-Najat (bulan pembebasan dari siksa neraka). Keenam, Syahr al-’Id (bulan yang berujung/ berakhir dengan hari raya). Ketujuh, Syahr al-Judd (bulan kedermawanan), karena bulan ini umat Islam dianjurkan banyak bersedekah, terutama untuk meringankan beban fakir dan miskin. Kedelapan, Syahr al-Shabr (bulan kesabaran). Kesembilan, Syahr Allah (bulan Allah), karena di dalamnya Allah melipatgandakan pahala bagi orang berpuasa.

Firman Allah SWT tentang kewajiban berpuasa tertulis pada Surat Albaqarah [2] ayat 183-188. Terjemahan dari ayat-ayat tersebut adalah: (ayat) 183. Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. 


184. (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, Maka Itulah yang lebih baik baginya. dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu Mengetahui.

185. (beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.

186. Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang aku, Maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.

187. Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah Pakaian bagimu, dan kamupun adalah Pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, Karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma’af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang Telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, Maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.

188. Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu Mengetahui.

Dari ayat tersebut di atas jelas bahwa dikatakan berpuasa memang sudah dilakukan sebelum masa Nabi Mumhammad SAW. Bahkan semenjak Nabi Adam AS puasa sudah pernah dilaksanakan. 

Menurut Fitria Andayani yang saya kutip dari Islam Digest Republika mengatakan ayat di atas tersebut menjelaskan dengan gamblang, betapa puasa adalah ibadah yang telah dikerjakan oleh umat sebelum kaum Nabi Muhammad SAW, bahkan sejak Nabi Adam as turun ke bumi.
Setelah peristiwa buah Khuldi, Nabi Adam ber taubat dan melaksanakan pua sa selama tiga hari dalam satu bulan. Puasa tersebut selanjutnya dikenal dengan nama puasa putih yang dikerjakan setiap tanggal 13,14, dan 15 bulan Islam (Hijriah). Puasa ini dikisahkan dalah HR Bukhari Muslim. “Kekasihku, Rasulullah SAW mewasiatkan kepadaku tiga perkara: puasa tiga hari setiap bulan, dua rakaat shalat dhuha, dan shalat witir sebelum tidur.”

Di pertangahan ayat-ayat tentang puasa tertera satu ayat tentang doa, tepatnya pada ayat 186 dari Albaqarah. Di sana dengan jelas bahwa Allah mengatakan jika manusia bertanya tentang Allah, maka Allah sangat dekat. Allah akan mengabulkan doa jika manusia meminta kepada-Nya. Hal ini juga sesuai dengan sebuah hadits riwayat Tirmizi yang mengatakan, ada tiga orang yang yang doanya pasti diijabah, pertama orang berpuasa hingga ia berbuka, kedua, pemimpin yang adil, dan ketiga, orang yang didzalimi.

Tentu di bulan Ramadhan ini Allah lebih dekat dengan hambaNya. Karena dalam sebuah hadits riwayat Bukhori Muslim dikatakan, jika datang Ramadhan, maka Allah membuka pintu-pintu surga, dan menutup pintu-pintu neraka, dan mengikat para syaitan. Pertanyaanya, mengapa meski sudah dibelenggu itu syaitan tetap saja kita berbuat maksiat, misalnya?

Mungkin jawabannya adalah, karena manusia diciptakan dengan sebaik-baik ciptaan, yaitu diberi akal dan pikiran serta hati untuk memilih jalan yang benar atau yang salah. Dan juga, menurut Rasulullah, jihad yang paling besar adalah jihad melawan hawa nafsu yang berada dalam diri manusia. Artinya kita sehari-hari memang selalu berperang dengan diri kita, berperang dengan hawa nafsu kita.

Dalam sebuah hadits juga diriwayatkan oleh Muslim. Rasulullah SAW bersabda, “Setiap amalan kebaikan yang dilakukan oleh manusia akan dilipatgandakan dengan sepuluh kebaikan yang semisal hingga tujuh ratus kali lipat. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), ‘Kecuali amalan puasa. Amalan puasa tersebut adalah untuk-Ku. Aku sendiri yang akan membalasnya. Disebabkan dia telah meninggalkan syahwat dan makanan karena-Ku. Bagi orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kebahagiaan yaitu kebahagiaan ketika dia berbuka dan kebahagiaan ketika berjumpa dengan Rabbnya. Sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada bau minyak kasturi.”

Dari hadits di atas kita tahu bahwa hanya puasa saja yang Allah berikan pahala khusus. Mengapa? Karena orang yang berpuasa meninggalkan berbagai syahwat dan kesenangannya. Kedua, karena orang yang berpuasa hanya diketahui oleh Allah dan orang yang berpuasa itu. Di sinilah letak ujian kejujuran dan keikhlasan hanya untuk Allah. Maka balasannya hanya Allah yang Mahamengetahui.

Di akhir kajian ini, saya ingin menyampaikan, ada tiga fase dalam bulan Ramadhan, fase pertama adalah di 10 hari pertama bulan Ramadhan disebut fase Rahmah atau kasih sayang. Kedua, 10 hari kedua adalah Maghfirah atau ampunan, dan fase ketiga di 10 hari terakhir adalah Itqun minannar atau pembebasan dari api neraka. Juga di setiap Ramadhan ada bonus yang diibaratkan seperti ibadah yang lebih baik daripada 1000 bulan yaitu malam Lailatulqadar.

Semoga kita semua dapat menjalankan ibadah puasa Ramadhan dengan ikhlas karena Allah semata, dan juga kita dapat melaksanakan ibadah yang wajib dan sunah hingga kita mendapat derajat takwa. Di akhir kata saya memohon maaf jika banyak kesalahan karena datangnya dari saya pribadi, sementara jika banyak kebenaran itu datangnya mutlak dari Allah SWT. Wallahua'lam.

Senin, 23 Juli 2012

Bintang di Langit Hatiku


Meski banyak bintang
Yang bersinar di
Langit sana

Namun, yang bersinar
Di langit hatiku
Cuma kamu

Nazar boncuk yang berbentuk
Bintang, bermakna hanya kamu
yang menyinari hari-hariku

Rangkasbitung, 22 April 2012

Minggu, 22 Juli 2012

Sarung Tradisi Indonesia


Hari ini saya ditanya sama teman di BBM, tentang mengapa baju orang Turki itu modelnya bagus-bagus. Saya jawab, Turki merupakan negara yang mengadopsi kebudayaan barat dalam soal fashion atau gaya berpakaian. Bahkan orang-orang asal negara tetangganya, semisal Iran, Irak, Suriah, dll, datang ke Turki hanya untuk membeli pakaian.

Saat ini kita susah menemukan orang Turki mengenakan baju jubah ala orang Arab. Orang Turki sering menggunakan kemeja dan jas, meski ia hanya seorang penjaga warung makan. Tradisi ini dimulai sejak Turki menjadi negara republik tahun 1923. Dulunya di bawah kesultanan Turki Usmani moda berpakaian di Turki hampir mirip dengan kawasan Arab dan timur tengah.

Sarung
Semenjak jadi Republik, Turki mengubah bahasa dan budayanya, termasuk soal pakaian. Yang tadinya berjubah menjadi berjas dan berdasi. Ini dapat dilihat dari film Hur Adam alias Manusia Bebas yang rilis pada tahun 2011. Di Film itu digambarkan bagaimana perubahan mendasar yang terjadi di semenangjung Anatolia ini.

Saat shalat berjamaah atau shalat tarawih di masjid, orang-orang Turki mengenakan baju kesehariannya, atasan kemeja (dengan berjas) atau kaos dan bawahan celana panjang kain atau jeans. Anak-anak kebanyakan mengenakan kaos dan training, baik yang panjang maupun setengah panjang yang penting melebihi lutut.

Tak ada satupun yang menggunakan sarung di masjid itu. Begitupun saya. Padahal saya pecinta sarung sejati. Kalau saya di rumah di Rangkasbitung, pakaian favorit saya adalah sarung. Simpel, adem dan nyaman. Kebiasaan menggunakan sarung terbawa pas saya tinggal di asrama Cebeci di Ankara. Orang-orang asing bertanya, pakaian apa ini, dan saya bilang ini sarung, pakaian tradisi Indonesia.

Tradisi sarungan ini sangat membudaya di Indonesia. Bukan hanya di pesantren modern dan salaf, sarung juga digunakan oleh bapak-bapak untuk ke masjid atau ibu-ibu untuk shalat sebagai bawahan mukena. Bahkan, di pesantren modern pemakaian sarung dimodifikasi dengan jas. Atasannya kemeja berjas dan bawahannya sarung.

Pakaian sebagai tradisi juga ada di Arab Saudi. Orang di sana kebanyakan menggunakan jubah untuk beribadah dan kegiatan lainnya. Jadi mudah untuk mengenali orang Indonesia di Mekkah. Kalau orang itu menggunakan sarung dan baju koko, plus berpeci, itu tidak lain dan tidak bukan adalah orang Indonesia.

Pun begitu dengan mukena yang biasa digunakan untuk shalat bagi kaum wanita. Wanita Turki tidak menggunakan mukena untuk shalat. Mereka menggunakan baju yang menutupi semua aurat yang menjadi syarat sah shalat. Cerita teman yang menggunakan mukena saat bertarawih mengatakan, orang Turki banyak yang bertanya pakaian apakah itu, dijawablah ini mukena biasa kami gunakan untuk shalat.

Dulu, pas kuliah di Ciputat, ada teman mahasiswi bertanya pada temannya, apakah kamu punya mukena? Temannya menjawab, “Mukena, mu-kagak, emang gue pikirin,”. Dan tertawalah kami yang mendengar percakapan itu.

Sarung atau mukena hanyalah pakaian biasa. Atau pakaian yang sudah membudaya di Indonesia. Seperti halnya jubah di kawasan Arab Saudi dan sekitarnya. Jubah bagi mereka digunakan bukan hanya untuk sholat di masjid, namun untuk kegiatan keseharian mereka, bekerja hingga main bola.

Namun, yang penting adalah pakaian hanya soal fisik, sebab ada yang terpenting lainnya yaitu soal niat dan hati. Sebab, Allah tidak melihat manusia dari pakaian dan hartanya, melainkan melihat dari hati dan amalan ibadah yang ikhlas karena Allah semata. Wallahua’lam.

Sabtu, 21 Juli 2012

Asrama, Belajar Mengenal Sesama


Hampir setiap megenyam pendidikan saya tinggal di asrama. Mulanya asrama di Gontor setingkat SMP dan SMA. Kemudian saat kuliah di Ciputat di asrama Himpunan Mahasiswa Banten (HMB) Jakarta. Terakhir saat sekolah di Ankara, Turki. Persamaan dari ketiga asrama itu sama-sama hidup bareng orang-orang yang sebelumnya tidak pernah kita kenali.

Pas awal berasrama, saya tidak kerasan. Sebab harus siap berbagi dengan orang-orang yang satu kamar dengan kita. Terkadang ada yang egois. Inginnya menang sendiri. Ada yang memang pelit. Ada yang baik hati. Ada yang cuek minta ampun. Ada yang sok jagoan. Ada yang sok bijak. Ada juga yang bawaannya kalem. Ada yang pemalas. Ada yang rajin. Pokoknya, persis seperi gado-gado. Semua ada menjadi satu dalam satu kamar.

Gedung Saudi di Gontor. Photo:  lazuardibirru.org

Sebelum masuk Gontor, saya masuk pesantren Ar-Risalah, sekitar tujuh kilometer jarak antara keduanya. Sebab awal ajaran baru di Gontor adalah bulan Syawwal sementara saya lulus SD sesuai dengan ajaran baru pada umumnya. Agar tak menganggur maka saya masuk pesantren alumni Gontor itu selama 6 bulan. Di salah satu asrama di sana, ruangannya besar, maka dibagi menjadi dua kamar. Pembatasnya hanyalah lemari para santri yang tingginya sekitar 120 cm.

Suatu sore, kamar tetangga kami ada yang melempar sesuatu ke kamar kami. Karena kami tak menerima lemparan itu, maka kami lempar balik barang itu. Kemudian dibalas lagi. Kami pun membalasnya dengan lebih banyak lagi. Akhirnya perang pun terjadi. Perang dengan lempar-lemparan barang. Sampai ada bekas makanan di lempar. Dan kedua kamar itu tak bisa dibedakan dengan kapal pecah. Akhirnya pengurus asrama memberikan teguran keras kepada kedua kamar yang membuat onar.

Hal serupa juga terjadi saat saya tinggal di asrama Saudi tiga lantai dua di Gontor. Gedung Saudi memiliki tiga lantai. Ketiga lantai itu diisi oleh asrama shighor, atau asrama untuk remaja. Tetiba dari lantai tiga ada yang membuang pelastik berisi sampah ke lantai satu. Dan orang yang di lantai satu tak bisa menerima itu, dan mereka mengira bahwa yang melempar itu orang di lantai dua. Kami yang di lantai dua tak menerima itu.

Kami pun melempar barang lainnya (serupa sampai pelastik) ke lantai satu dan juga ke lantai tiga. Dari lantai satu melempar ke lantai dua dan tiga. Dari lantai tiga melempar sesuatu ke lantai dua dan tiga. Kami yang di lantai dua juga sama. Semua saling lempar-melempar sampah. Bisa kebayang kan bagaimana ramainya? Seakan-akan Perang Dunia Ketiga dimulai. Tak ada yang bisa menghentikan pertikaian itu.

Sampai akhirnya datang pihak keamanan pondok mengamankan peperangan itu. Para pengurus dari ketiga asrama pun dipanggil dan diinterogerasi. Mereka diberi hukuman yang lumayan berat. Dan kami para anggota hanya tersenyum dengan kejadian itu. Yang berperang siapa, yang dihukum siapa. Begitulah nasib pengurus. Tapi pengurus pun menegur kami para anggotanya.

Asrama HMB Jakarta dekat UIN Jakarta

Saat menjadi mahasiswa di Ciputat berbeda suasana. Asrama HMB Jakarta diperuntukkan untuk orang-orang Banten yang belajar di Jakarta. Alhamdulillah tanah dan bangunannya sudah milik HMB. Tanah sudah dibeli sejak tahun 1970-an, saat Ketua Umum HMB Jakarta waktu itu Prof. Dr. M. Amin Suma, sementara bangunan baru berkat sumbangan dari Pemerintah Provinsi Banten.

Di asrama ini kami membuat peraturan sendiri. Ada petugas harian yang merapikan asrama secara bergantian, kecuali minggu kami kerja bakti bersama. Saya sempat menjadi ketua asrama perdana, saat bangunan asrama baru berdiri. Sebelumnya kami mengontrak dari rumah satu ke rumah lainnya.

Di asrama HMB ini rasa kekeluargaan begitu kentara. Kadang kami babacakan alias makan bersama di atas pelepah daun pisang di hari minggu. Menu makanannya istimewa, yaitu nasi liwet, ikan asin dan sambal terasi serta dilengkapi dengan sayur asem. Tak jarang senior kami datang menjadi donator babacakan itu. Di asrama ini kami berkumpul, bergaul, belajar, berdiskusi, hingga ceng-cengan tak jelas. Semua harus kuat dengan hinaan yang sebenarnya hanyalah candaan keakraban.

Terakhir adalah asrama di Cebeci, sekitar lima menit jalan kaki dari kampus Universitas Ankara, kampus Cebeci. Asrama ini berbeda dengan dua asrama yang pernah saya tempati. Asrama ini memiliki petugas pembersih di setiap lantainya. Di dua asrama sebelumnya, kami harus membersihkan tempat kami masing-masing, di asrama ini ada petugasnya sendiri.

Tapi ada yang lebih membedakan yaitu penduduk asramanya. Kalau di Gontor kami berasrama bareng orang-orang dari Aceh hingga Papua, ada juga dari negeri tetangga, Malaysia dan Thailand, misalnya. Di sini lebih beragam lagi, ada dari Turki, ada dari Palestina, dari benua Afrika, Asia, hingga Eropa bergumul dalam satu tempat. Hanya bahasa yang bisa menyatukan kami. Jika kami tak bisa berbahasa yang mereka pahami maka susahlah berkomunikasi.
Tempat tidur saya di Asrama Cebeci.

Semangat belajar menjadi kuat saat kita benar-benar tak bisa bahasa yang mereka bicarakan. Akhirnya dengan sekuat tenaga saya belajar bahasa Turki. Sebab, tak jarang orang mempermainkan kita disebabkan hanya kita tak mampu berbahasa. Selain bahasa, juga tentang budaya yang berbeda. Kita harus kuat dan berani menyikapi ini. Tak boleh semena-mena tapi tak boleh juga lembek. Di sini kita belajar tentang menghadapi orang yang berbeda segala sesuatunya dengan kita.

Meski begitu, saya tidak selamanya tinggal di asrama. Di Gontor misalnya, di kelas akhir saya tingal di koperasi pelajar sebagai pengurus sekaligus ketuanya. Semuanya terjamin. Begitu pun di Ciputat. Di semester tujuh saya tidak lagi menetap di asrama. Saya menyewa kost, agar sekolah dan menulis skripsi fokus dan lancar. Pun di Turki ini, di akhir semester saya juga menetap di rumah warga Indonesia yang bekerja di Ankara, hingga lulus nanti, insya Allah, amin.

Asrama bagi saya adalah tempat belajar mengenal sesama. Mengenal karakter seseorang. Mengenal budaya suatu negeri. Belajar memahami watak dan kebiasaan seseorang. Belajar memahami ideologi seseorang. Belajar mengingat hal-hal yang baik, membuang hal yang buruk dan cuek dengan hal yang tidak bermanfaat. Belajar tenggang rasa. Belajar kebersamaan. Belajar berbagi. Dan belajar untuk belajar.

Kamis, 19 Juli 2012

Kebersamaan Puasa


Dulu pas awal belajar puasa saya minta ijin sama ibu saya untuk buka terlebih dahulu karena sudah sangat tidak kuat menahan lapar. Padahal jam dinding yang digantung di dapur menunjukkan pukul 17.00 WIB. Artinya hanya tinggal satu jam lagi menuju waktu berbuka. Saya pun kenyang, makan sebelum waktu maghrib.



Usai kenyang tak lantas saya senang. Sebab beberapa menit kemudian adzan maghrib menggema dari toa masjid dekat rumah kami. Yang saya rasa waktu itu hanyalah penyesalan. Sesal yang tak berujung. Sangat menyesal. Sejak saat itu saya tak mau lagi meminta ijin untuk berbuka sebelum waktunya.


Mungkin, pikir ibu saya, latihan puasa memang tak perlu dipaksakan. Ia harus dirasakan dan dinikmati oleh si pelaksana puasa. Hingga berpuasa itu datang dari lubuk hati. Ikhlas karena Allah.  




Photo:  http://armylookfashion.com
Meski begitu saya jarang berpuasa di kampung halaman. Yang paling ‘ngangeni’ adalah buka puasa bersama di rumah bareng keluarga. Sejak kelas lima KMI di Gontor atau setingkat kelas dua SMA, saya jarang berpuasa Ramadhan di rumah tercinta. Bahkan saat kenaikan kelas lima ke kelas enam di KMI kami para santri harus bermukim di sana dan tidak diperbolehkan pulang.


Saat kelulusan kelas enam KMI kami masih merasakan puasa di pondok selama 15 hari. Dua minggu terakhir bulan Ramadhan baru kami merasakannya di rumah.  Kalau pas kuliah di Ciputat saya sering pulang ke Rangkasbitung pas puasa Ramadhan.


Ohya pas SD hingga kelas tiga KMI setingkat kelas tiga SMP, Ramadhan bagi saya dan saudara saya adalah waktu yang istimewa. Kami sering datang ke masjid agung Rangkasbitung untuk mengikuti lomba cerdas cermat keagamaan. Selain mendatangi masjid agung, ada juga masjid-masjid besar yang mengadakan lomba cerdas cermat serupa. Dan kami biasanya tak pernah absen untuk lomba itu.


Dan lawan kami pasti orangnya itu lagi itu lagi. Misalnya, Iyan Fitriana. Iyan ini adalah mantan ketua BEM Fak Syariah dan Hukum UIN Jakarta. Dulunya, dia satu sekolah agama bareng kami. Dan dia menjadi musuh yang selalu menantang kami di perlombaan cerdas cermat itu. Iyan kini menjadi aktivis terkemuka di kota Rangkasbitung.


Saat awal menjadi jurnalis di Republika tahun 2008, saat itu adalah puasa Ramadhan. Saya bertugas di Tangerang. Ini makin menjadi. Saya jarang sekali pulang ke Rangkasbitung. Bahkan tak jarang buka bersama di tempat liputan. Atau buka puasa di warnet D’Frog di bilangan kota Tangerang. Sesekali buka bersama di Pokja wartawan Tangerang.


Tahun 2009 lebih menarik. Saya bertugas di desk Dialog Jumat dan keislaman. Saya bertugas lebih banyak di kantor Republika. Sesekali saja liputan ke lapangan atau menemui kiai, ulama atau guru besar keislaman untuk wawancara. Selebihnya di kantor.


Nah, setiap hari ada buka puasa gratis di sana. Hehehe. Saya senang. Lebih dari itu, di mushala Republika lantai tiga juga kami biasa melaksanakan shalat taraweh berjamaah. Yah, kadang kebagian jadi petugas taraweh.


Sementara 2010 dan 2011 saya berpuasa Ramadhan di Ankara, Turki. Pengalaman puasa di sini pun berbeda dengan di Indonesia. Sebenarnya soal taraweh hampir sama dengan kita. Misalnya, ada yang taraweh 8 rakaat ada juga yang 20 rakaat. Tergantung si makmum ingin ikut yang mana. Setiap minggu juga kami warga Indonesia melaksanakan buka puasa bersama sekaligus taraweh di wisma KBRI.


Besok Jumat 20 Juli 2012 kita akan masuk awal bulan Ramadhan 1433 Hijriyah, insya Allah. Dan saya akan merasakan puasa wajib ini untuk ketiga kalinya di Turki. Pastinya setiap tahun berbeda suasananya. Minimal orang-orangnya pun ada yang berubah.


Namun yang pasti awal puasa dan lebaran di Turki ini tak ada perbedaan. Tak ada khilafiyah. Yang ada hanyalah sama-sama memulai buasa bareng, sama-sama berlebaran bareng. Semuanya dilaksanakan dengan kebersamaan bukan dengan keberbedaan.


Rasanya ingin saya di Indonesia pun seperti ini. Tak ada lagi perbedaan penetapan awal puasa dan Idul Fitri. Sebab, diantara hikmah puasa adalah tenggang rasa. Dan dengan tenggang rasa dapat menyepakati satu metode penetapan awal puasa dengan memilih metode Hisab atau Rukyah.


Jikalau saja para petinggi Nahdhatul Ulama, Muhammadiyah serta ormas lainnya bersama menteri Agama RI bersatu padu untuk menyepakati satu metode, niscaya Ramadhan akan dimulai serentak, begitu pula dengan lebaran. Ah indahnya. Seandainya!


Ankara, Jelang Ramadhan 1433/19 Juli 2012.

Senin, 16 Juli 2012

Langit Menanda

Langit itu indah dipandang
Disana bersemayam pasangan
Matahari dan bulan
Dilengkapi galaksi bebintangan

Awan hanyalah perias cuaca
Agar manusia biasa
Melihatnya tak bosan
Dengan pola rutinitas harian

Ohya, perbintangan berguna
Untuk mengarahkan jalan
Agar tak menyesat
Di tengah hamparan samudera

Matahari sejak dulu menjadi
Penanda pergantian hari
Meski waktu sinar tak selalu sama
Di tempat berbeda

Bahkan rembulan dijadikan penanda
Bagi orang yang berpuasa
Untuk menikmati kemenangan
Usai peperangan lahir batin

Rembulan pun penanda umat
Muhammad rayakan kejayaan
Idul fitri nan suci setelah
Menahan hawa nafsu sebulan

Indahnya pergantian bulan matahari
Selalu dibarengi dengan ingat Ilahi
Dirikan sholat pada maghrib
Isya shubuh dhuhur dan ashr

Belajarlah pada langit
Penanda yang meninggi
Ia ajarkan cinta hakiki
Penaung bumi dan galaksi

Ia rela meski suatu
Ketika terhalang awan
Meski halilintar menambah
Hiasan wajahnya

Meski bulan meredupkan
cahaya langit malam
Dan mentari cerahkan
Di kala siang

Para malaikat suci
Bersemayan di langit
Yang miliki tujuh lapis
Dan sesekali turun ke bumi

Catat dan jaga insan
Yang bersujud sepertiga malam
Untuk sabar dan syukur atas nikmat
Karunia pada Tuhan pencipta alam

Di bawah langit Ankara, 16 Juli 2012.

Minggu, 15 Juli 2012

Guru-guru yang Menginspirasi (3)


Adalah paman saya seorang purnawirawan polisi yang mengajarkan arti kejujuran dan keteguhan hati. Kami menyebutnya Apa Entoh (almarhum, Allahummaghfirlahu). Nama aslinya adalah Tohiris. Meski ia bukan perwira, namun polisi, di mana saja pasti mendapat cobaan yang sama. Banyak tawaran menerima “uang” atau “sesuatu” yang memang bukan haknya sebagai pekerja di kepolisian.

Apa Entoh adalah anak pertama dari keluarga ibu saya. Sementara ibu saya anak bungsu dari empat bersaudara. Ibu saya sempat ikut bersama abangnya yang pertama itu yang bertugas di Curug, Kabupaten Tangerang. Ibu saya bersekolah menengah pertama di Tangerang dan melanjutkan SPG setingkat SMA di Rangkasbitung.

Suatu hari, ibu saya pulang ke Rangkasbitung dari Tangerang. Apa Entoh menitipkan adiknya itu ke sopir bus. Di tengah jalan saat ibu saya mau membayar ongkos, kondektur busnya menolak bayaran itu. Meski dipaksa tetap saja ia menolaknya.

Saat ibu kembali ke Tangerang, Apa Entoh bertanya bagaimana perjalanan kemarin. Ibu menjawab dengan seadanya. Lantas, Apa Entoh marah bukan main. Ia memarahi ibu yang tidak membayar ongkos. “Lain kali, harus bayar. Gak boleh gratis. Kita ini bukan siapa-siapa,” ujar Apa Entoh seperti ditirukan ibu saya. Usai kejadian itu, jika ibu saya pulang ia katakan pada sopir kalau adiknya harus tetap bayar ongkos bus.

Bukan hanya kepada adik-adiknya ia berkeras mengajarkan pendirian dan idealisme. Kepada anak-anaknya pun begitu. Suatu ketika anak pertamanya usai lulus menjadi sarjana ingin mendaftar menjadi PNS sebagai guru. Di lingkungan waktu itu tersiar jika anak polisi akan mudah jika ingin masuk menjadi PNS. Namun, Apa Entoh menolaknya. Ia katakan pada anaknya, kalau mau daftar PNS datang saja sendiri. “Tak usah dengan ayah,” ujarnya.

Atau cerita lainnya ketika Apa Entoh mendapat hadiah dari seorang pengusaha China. Pengusaha itu memberikan hadiah berupa alat-alat mainan anak-anak yang dipasang di pekarangan rumah, karena ia merasa Apa Entoh sebagai polisi telah menolongnya dalam suatu kasus. Padahal, Apa Entoh membantunya karena ia merasa bahwa si pengusaha dalam posisi yang benar dan layak dibantu.

Anak-anaknya sangat senang melihat ada seperangkat alat permainan di halaman rumahnya. Namun, saat Apa Entoh melihat itu, ia sangat marah. “Kalian tidak usah menggunakan itu, ayah mau mengembalikannya,” ungkapnya pada anak-anaknya. Akhirnya seperangkat alat permainan itu dibawa kembali oleh si pengusaha. Hingga akhir hayat, Apa Entoh tetap begitu. Dan banyak para pelayat yang datang ke rumahnya. Baik rekan kerja, sahabat hingga pengusaha.

Wajar jika ibu saya begitu kehilangan sosok sang abang yang begitu bersahaja. Ia banyak belajar darinya. Bahkan saking nge-fans dan hormatnya, usai lulus dari SPG ibu saya ingin mendaftar menjadi polisi wanita (polwan) seperti abangnya. Namun, hal itu ditolak oleh sang abang. “Jangan jadi polisi, cukup abang saja. Kamu sebaiknya menjadi guru saja,” begitu nasihatnya. Akhirnya ibu saya menjadi guru di Rangkasbitung.

(bersambung)

Jumat, 13 Juli 2012

Jalan tanpa Motor


Ankara. Di sini saya tinggal hampir tiga tahun sejak Oktober 2009. Pertama kali yang saya terheran adalah di beberapa kota di Turki, terutama Ankara, jarang saya temui sepede motor. Orang-orang di sini jarang menggunakan motor mungkin disebabkan tak kuat menahan dingin saat musim dingin.

Bus Ego. Photo: haber2000.com
Tentu ini berbeda dengan Jakarta. Dimana saya tinggal di sana sejak 2003 hingga 2009. Jakarta memang bisa disebut dengan kota sepeda motor. Pasalnya dengan uang 500 ribu rupiah saja kita sudah bisa membelinya dengan cara kredit.

Ya. Saya ingin cerita tentang sepeda motor di Turki. Sebenarnya memang tetap ada pengguna motor di Turki. Namun, bukan milik pribadi kebanyakan, sebab para pengguna itu mengendarai motor sebagai alat untuk mengirim barang pesanan konsumen. Itu pun terbatas. Tidak semua pemilik warung atau kuliner memiliki motor untuk pengiriman makanannya.

Dan menariknya, para pengguna motor di Turki dilengkapi dengan berbagai peralatan 'tempur' seperi penutup tangan yang tebal di stang motor, penutup kaki di bagian bawah, dan lainnya. Meski saat itu musim panas.

Teman saya, Taner asal Kapadokya, mengatakan, orang Turki tidak terbiasa dengan sepeda motor. "Kami lebih memilih transportasi publik," ujarnya di suatu sore. Memang, transportasi publik di Turki sudah bisa dibilang nyaman dan teratur untuk para penggunannya.

Bus kota, baik yang negeri, seperti busway di Jakarta, atau yang swasta tertata dengan rapi. Di sini hanya diberikan dua pilihan bus besar, satu dolmus, seperti angkot tapi besarnya seperti bus tanggung, dan taksi yang warnanya hanya kuning.

Selain itu, di berbagai kota di Turki juga dilengkapi dengan metro atau kereta bawah tanah, tramway dan sejenisnya. Ini pun moda pilihan transportasi publik lainnya di sini. Ini yang membuat nyaman dengan banyak pilihan transportasi publik. Bagaimana dengan tarifnya?

Di Ankara. Untuk naik bus dan metro dikenakan tarif sebesar 1, 75 TL atau sekitar Rp. 8.750. (1TL=Rp.5000). Sementara dolmus sebesar 2TL. Untuk pelajar dapat potongan harga naik bus sebesar 1,3 TL.

Situasi di salah satu stasiun Metro. Photo: ankarauni.wordpress.com
Untuk menggunakan transportasi publik milik pemerintah, kita harus membeli ego. Ego ini bisa digunakan untuk bus maupun untuk metro atau kereta bawah tanah. Transportasi publik di sini sudah terintegrasi dengan baik.


Saat ini, demi kenyamanan publik, pemerintah Ankara sedang membangun jalan atau rel untuk kereta bawah tanah yang akan menyambungkan pusat kota Kizilay ke Bandara Esenboga yang berada di ujung Ankara. Juga membangun beberapa tujuan lain yang memang volume lalu lintasnya tinggi. Dan hampir semua kota besar di Turki sudah membangun transportasi publik yang terintegrasi.

Guru-guru yang Menginspirasi (2)




Ayah adalah guru saya yang paling berpengaruh. Ayah saya pensinan PNS sebagai guru SD. Pendidikan terakhirnya Sekolah Pendidikan Guru (SPG) atau setara dengan SMA saat ini. Meski begitu, keinginan tentang pendidikan anak yang baik ia perjuangkan. Dengan 4 orang anak ia yang hanya pegawai negeri sipil biasa, mampu menyekolahkan keempatnya ke jenjang sarjana.


Ayah saya adalah saksi saat saya lulus dari Pondok Gontor. Ia senang bukan kepalang. Saat itu perjuangannya menyekolahkan anak terakhir berujung manis. Meski ia tetap harus membiayai untuk kuliah kami. Bagaimana dengan gaji yang pas-pasan ia mampu menyekolahkan anak-anaknya? Sebelum cerita tentang itu saya ingin berbagi kisah saat ayah bekerja di Jakarta tahun 70-an.

Ayah adalah anak pertama di keluarganya. Ayahnya ayah saya hanya pedagang serabutan, jadinya tak mampu membiayai sekolah anak-anaknya. Ayah saya cerita, saat ia sekolah ia membiayai sekolahnya sendiri. Caranya dengan membawa kelapa dari kampung ke pasar di kota. Sekitar 10 km jarak antara kampung ayah dan pasar di kota Rangkasbitung. Dan jarak itu ia tempuh dengan jalan kaki. Hasil penjualannya ia bayarkan untuk sekolah dan menghidupi adik-adiknya.

Usai lulus dari SPG ayah merantau ke Jakarta bagian utara di Tanjung Priok. Ia bekerja apa saja yang penting menghasilkan dan halal tentunya. Pernah bekerja sebagai penjual sekaligus pemasang tirai dan hordeng jendela di Jakarta. Pernah ia memasang dan menghias jendela di salah satu gedung mewah di kawasan Bundaran HI.

Di sela kesibukannya di Jakarta, ayah mendapat kabar bahwa ada pendaftaran CPNS di kabupaten Lebak. Ia pun kembali ke Rangkasbitung untuk melamar kerja sebagai guru SD. Saat ia akan kembali ke Rangkasbitang, ada sekelompok penjambret di stasiun Kampung Bandan yang mengambil tasnya yang berisi berkas ijazah.

Para penjambret itu lari dan loncat dari kereta saat kereta mulai bergerak maju. Ayah saya langsung mengejar dan lompat dari kereta. Ia berhadapan dengan para penjambret. Karena ijazah adalah segalanya bagi ayah, ia lantas mengambil tas itu dan menghajar para penjambret. Tak ada rasa takut waktu itu. Dan para pecundang itu kemudian lari meninggalkan ayah yang sudah memegang kembali berkas ijazahnya.

Usai menjadi PNS ayah menikah dengan ibu saya. Mereka membeli sebidang tanah di Rancasema, satu kilometer dari pusat kota Rangkasbitung. Kami tinggal di rumah itu sejak tahun 80-an awal hingga kini. Untuk membiayai sekolah anak-anaknya, ia tidak hanya mengandalkan gajinya sebagi guru. Ia juga berbisnis. Pernah saat saya SD, ayah saya mengikuti seminar sepekan di Bandung untuk para guru yang berwirausaha.

Ayah saya sempat punya truk untuk berbisnis pasir atau batu bata. Ia juga penjual kayu batangan. Agar kayu kuat, cerita ayah, kayu harus direndam dalam lumpur. Beberapa lemari di rumah adalah buatan sendiri dari kayu yang menumpuk di belakang rumah kami. Pelajaran kreatif yang berujung hemat inilah yang ia berikan pada kami. Soal disiplin jangan ditanya. Sama saja dengan ibu saya.

Meski hanya lulusan SPG dan bukan sarjana, namun impiannya begitu tinggi. Ia ingin memiliki sekolah yang bagus bagi masyarakat kami yang tidak bisa bersekolah. Ia ingin masyarakat di lingkungan kami pun banyak yang mengenyam pendidikan. Karena ia yakin hanya dengan pendidikan dan ilmu pengetahuan nasib manusia bisa berubah. “Semua ada ilmunya, agar hidup kita menjadi mudah,” kata-kata ini yang sering ia ucapkan pada saya.


(bersambung)

Selasa, 10 Juli 2012

Dari Simit hingga Gocekan Bola Ibu-ibu


(Catatan Perlombaan HUT RI ke-67 di Ankara)

Ada yang berbeda dengan perlombaan untuk merayakan hari ulang tahun (HUT) kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-67 di Ankara, Turki yang disponsori oleh KBRI Ankara. Baru kali ini kita mengadakan lomba makan simit, sejenis donat namun lebih keras dan ukurannya lebih besar. 

Persiapan Lomba Simit
Tidak selesai di situ, karena simit dinilai lebih keras maka kami ganti yang sedikit mirip dengan simit yaitu acma. Dan agar meriah, acma itu diolesi dengan cokelat. Alhasil, muka para peserta belepotan dengan cokelat. Hehe.

Lomba makan simit tersinspirasi oleh lomba makan kerupuk. Karena di Turki ini susah mendapatkan kerupuk, akhirnya panitia memutuskan untuk lomba simit ini. Di milis, ada yang berkomentar, sebaiknya tetap lomba kerupuk, atau ada juga yang melemparkan ide untuk lomba makan keripik maicih yang level 10 saja. Hahaha. Ada-ada saja.

Upacara Pembukaan Perlombaan HUT RI ke-67
Jangan dianggap gampang lomba ini. Sebab ada tingkat kesulitannya, misalnya, perut harus kosong, setidaknya tidak kenyang, sebab simit atau acma ini termasuk golongan makanan yang mengenyangkan. Apalagi bagi yang lolos untuk mengikuti final lomba makan sejenis roti ini. Dan pemenangnya adalah yang biasa makan banyak dan cepat. Selamat yah.

Selain itu, para peserta juga harus mengunyah dengan cepat agar ia juara. Dan dianggap gagal jika simit dipegang dan jatuh. Ada anak kecil yang protes karena ia dianulir menjadi juara pertama karena ia tidak sengaja memegang simit. Panitia bersikeras tetap pada peraturan. Dan ia pun sadar. Inilah pelajaran sportivitas bagi anak-anak yang mengikuti lomba 17-an.

Tarik tambang. Tarik teruss.
Selain lomba individual, kali ini lebih banyak lomba grup. Yaitu, lomba tarik tambang, lomba volley, lomba futsal, lomba tenis meja ganda. Pada perlombaan grup ini berlaku narasi tentang keberuntungan yaitu: “gimana amal perbuatan” hehe. Jadi, jika dalam grup itu terkumpul yang jago di bidangnya, maka dipastikan ia akan menjuarai perlombaan tersebut.

Tarik tambang, misalnya. Yang beruntung di sini adalah orang-orang yang kuat tenaganya dan besar badannya. Dan menanglah mereka. Saya tidak beruntung di perlombaan ini. Karena grup kami semuanya standar (padahal alasan saja, hehe). Sementara volley grup kami hanya sampai di semifinal. Kalau ini aspek ketidakberuntungan dalam bermain. Sebab kedua grup seimbang.

Panitia sok sibuk.
Juga lomba tenis meja. Grup kami hanya sampai penyisihan saja. Karena saking banyaknya peserta. Dan yang penting sih, kami tidak ingin terlalu capek karena keesokannya ada lomba futsal. Ah, ngeles lagi ajah. Hahaha.  Kalau lomba balap karung, kesulitannya hanya tanah yang digunakan untuk lomba tidak datar tapi sedikit miring karena posisi wisma Dubes RI memang berada di puncak Oran. Ini semua lomba di hari pertama.

Lomba di hari kedua tidak kalah meriah. Sebab, pada perlombaan ini grup saya keluar sebagai juara pertama lomba futsal. Hehehe. Saya beruntung berada di grup yang ahli dalam futsal, ada Ibnu Sina, Khairir, Ishak, Pak Santo, Pak Bahrun, Unal Abi dan Tayland Abi dan tentunya saya juga. 

Saking serunya, final futsal kali ini berakhir dengan skor 3 sama dan dilanjutkan dengan tendangan penalti. Awalnya grup kami kalah 3-2, namun kami bisa menyamakan kedudukan. Hingga dua kali putaran dan selanjutnya wasit meniupkan peluit panjang dengan kemenangan di grup kami.

Di sela lomba futsal ada lomba kelereng yang diikuti oleh semuanya, baik laki-laki maupun perempuan. Loma dilaksanakan di lapangan fustal. Selain itu ada juga lomba memasukan pulpen ke dalam botol. Peserta lomba ini adalah ibu-ibu. Siapa cepat dia juara.

Ibu-ibu semangat ikut lomba kelereng.
Dan yang paling menarik adalah lomba futsal ibu-ibu. Menariknya adalah di mana ada bola di sana ibu-ibu berkumpul. Ada yang mencoba menggocek bola, namun bola lepas karena diseruduk oleh ibu-ibu lainnya. itu seperti arisan. Berkumpul di satu tempat. Ada yang memang terbiasa menendang bola dengan keras dan akhirnya berujung gol. Namun, final futsal ibu-ibu juga dilakukan dengan tendangan penalti. 

Tim futsal ibu-ibu. 

Perlombaan HUT RI ke-67 ini adalah perayaan kemerdekaan. Dalam perlombaan ini ada anak melawan bapaknya yang berbeda grup, ada senior melawan junior dan yang lainnya. Tak ada perbedaan. Inilah sejatinya kemerdekaan. Merdeka adalah ketika kita sama-sama dapat meraih apa yang kita inginkan tanpa melihat status. Merdeka! Hidup Indonesia!


Guru-guru yang Menginspirasi (1)


Banyak sekali guru yang menginspirasi saya, pertama kali adalah ibu dan ayah saya. Ibu saya adalah guru pertama saya. Ia mengajarkan membaca, menulis, berhitung alias calistung, yang berefek bagi saya untuk menyukai Matematika dan Bahasa Indonesia sampai sekarang. 

Dan yang terpenting adalah ia mengajarkan kepada saya membaca Alquran, kejujuran dan sopan santun yang menjadi penuntun hidup bagi saya sampai saat ini. Bapak saya adalah guru kehidupan tentang sebuah kesabaran dan keuletan.

Suatu ketika saat saya dan saudara kembar saya pulang kampung saat liburan akhir tahun kelas tiga di Pondok Modern Gontor (setara kelas 3 SMP), kami ingin sekali menikmati tontonan sebuah televisi. Sayangnya tipi di rumah kami rusak. 

Saudara kembar saya ngambek dan merengek ke ibu saya agar tipi diservis atau beli yang baru. Saya hanya diam mengamini celoteh saudara kembar saya waktu itu. Dan saya merasa berdosa sekali waktu itu. Maafkanlah ibu.

Lantas ibu saya bilang, dengan kata-katanya yang datang dari hati yang terdalam, seingat saya begini ia ucapkan, "Dadan, Deden, bukannya Mamah (sebutan untuk ibu kami di rumah) tidak mau membelikan tipi baru buat kalian, tetapi bagi mamah, kesuksesan sekolah kalian lebih berarti dari segala hal apapun. Perlu kalian ketahui, uang Apa (sebutan untuk bapak kami di rumah) dan Mamah habis untuk menyekolahkan kalian berdua ditambah dua kakak kalian," ucapnya sembari airmata menetes di pipinya.

Tak terasa air mata kami pun tumpah seketika. Tak ada drama. Saya dan saudara kembar saya pun menangis bersalah. Dan kami juga menangis tentang sebuah syukur bahwa kami memiliki ibu yang sangat baik. Tentu sangat baik. 

Sebagai guru SD waktu itu, ia paham bagaimana tentang tontonan tipi yang tidak atau jarang mendidik itu. Jadi, jika ingin kami menonton, kami datang ke rumah tetangga hanya untuk menonton tipi. Keinginan menonton tipi di rumah ini beralasan, sebab di Gontor pun kami tidak bisa menonton tipi. Hanya fokus untuk belajar.

Selain kesederhanaan, ibu kami juga mengajarkan tentang disiplin. Setiap akhir pekan, misalnya, kami sekeluarga melaksanakan kerja bakti membersihkan rumah. Ada yang mendapat bagian membersihkan seluruh jendela rumah. Ada yang bertugas menyapu halaman. Ada yang bertugas mengepel lantai, dan yang lainnya. 

Atau sebuah peraturan lainnya, misalnya, tak boleh bolos sekolah tanpa alasan. Saat kami SD ada di antara kami dihukum dengan harus mendekam di kamar, tidak boleh keluar sama sekali, hingga berjanji untuk tidak bolos kelas lagi. Karena hukuman itu akhirnya ia masuk kelas dan lulus dari sekolah agama.

(bersambung)

Menanam Cinta (7)




tak pernah aku merasa seperti ini
tak berdaya akan indahnya cinta


aku tak tumbang dengan
penilaian orang-orang


keadaan tenang dalam diri
adalah kemenangan sejati


aku tumbang jika cinta Tuhan
tak ada lagi untukku


maka dalam tiap doa
tak lupa kupanjatkan 


akan sebuah cinta yang abadi
cinta pada Tuhan Pemilik Cinta


juga tentang cinta pada sesama
terkhusus cinta padamu


ah, seandainya saja kau tahu itu



Menanam Cinta (6)


aku melihat wajahmu cukup lelah
sudahlah tak usah kau paksakan


serahkan semuanya pada
Sang Pencipta Kehidupan


berbagilah dengan sesama
terlebih pada yang kau cinta


cinta tak akan 
membuatmu lelah


menghindar dari masalah
adalah masalah baru


namun dengan cinta
kau dapat mengenyahkannya


sebab dari cinta
kita dapat belajar


tentang berbagi rasa
asa, cinta dan dunia

Menanam Cinta (5)


kau bilang komitmen
kubilang cinta


tak usah terburu-buru
hadirkan dulu cinta


kemudian kita berkomitmen
agar tak salah arah


cinta yang sama
akan membawa menuju


pelabuhan impian kita
yang direstui alam semesta

Menanam Cinta (4)


semua belum berakhir
saat Tuhan hadir 


dalam kebersamaan kita
dalam hubungan kita


cinta yang tertanam itu
kupikir datang dari 


cinta Pemilik Cinta
sebuah hadiah tak terkira


kuingin kita tersadar
akan cinta yang tertanam


dengan tidak sengaja
mungkin kamu tidak sadar


adanya benih yang tertanam itu
aku pun begitu

Menanam Cinta (3)


pernah memang aku tak menyapamu
itu bukan karena tak ingin


kadang waktu memaksa kita
untuk menyendiri


mengenali waktu, mendalami hari
merenung tentang kita


waktu memberikan ruang 
agar kita berpirir ulang


saat itu aku terlena dengan 
alam pikiranku sendiri


dan tersadar bahwa aku
membutuhkanmu, membutuhkan kebersamaan


kebersamaan yang sebenarnya
yang didambakan semua insan


apakah kamu mengetahui
akan hal ini, cinta?


cinta yang tertanam sudah
lama tak terurus


namun ia menyadarkan
akan sebuah hubungan 


hubungan yang akan menghubungkan
semua pojok keinginan


dan kau mungkin jawaban
yang kucari selama ini


hingga ujung waktu nanti
saat kau menyadari tentang ini

Menanam Cinta (2)


dulu memang kita hanya bercanda
aku pun tak menaruh harap


mengapa benih itu hadir
dan menjadi besar dalam hati


aku sempat menghentikan 
kedekatan yang intim ini


tapi entah, suatu hari
temanmu mengetuk hatiku


agar aku ingat lagi 
tentangmu, tentang kita


tentang sapaan yang 
selalu kau jawab, 


atau saat kau minta pandangan
kuberikan tanpa alang-aling


pun sebaliknya, pernyataanmu
mengusik tanganku untun mengetik


juga hapalan tentang pertemuan 
yang mungkin saja aku lupa


dan ingatanmu terjaga
dengan baik, tentang kita


saat pertemuan terakhir
kita bagai sahabat lama


yang jarang bertemu fisik
namun kita selalu bersama


kau selalu menjawab pertanyaanku
meski itu hanya pernyataan


harusnya kau diam saja
tapi kau tidak bisa


mungkin karena kau sudah tahu
tantangku, tentangmu, tentang kita

Menanam Cinta (1)


ada cinta yang menyapa
entah dari mana datangnya


lain kali kalau cinta datang
harusnya bilang dulu ya


tapi aku tak bisa mengelak
aku berbalik arah untuk hentikan


mengapa saat kusudah menghapusmu
dan kau kembali lagi menggoda


kau selalu hadir entah 
saat aku diam atau bersua


usai pertemuan itu
kau selalu menyapa anganku


jika engkau jawaban
maka aku adalah pertanyaan


teruntukmu wahai hatiku
jangan kau dusta


berucap jujur dalam cinta
memang tak selalu mudah


ada keberanian yang 
dikuatkan oleh hati


menanam cinta memang sejatinya
bersama, agar tak ada yang egois