Minggu, 15 Juli 2012

Guru-guru yang Menginspirasi (3)


Adalah paman saya seorang purnawirawan polisi yang mengajarkan arti kejujuran dan keteguhan hati. Kami menyebutnya Apa Entoh (almarhum, Allahummaghfirlahu). Nama aslinya adalah Tohiris. Meski ia bukan perwira, namun polisi, di mana saja pasti mendapat cobaan yang sama. Banyak tawaran menerima “uang” atau “sesuatu” yang memang bukan haknya sebagai pekerja di kepolisian.

Apa Entoh adalah anak pertama dari keluarga ibu saya. Sementara ibu saya anak bungsu dari empat bersaudara. Ibu saya sempat ikut bersama abangnya yang pertama itu yang bertugas di Curug, Kabupaten Tangerang. Ibu saya bersekolah menengah pertama di Tangerang dan melanjutkan SPG setingkat SMA di Rangkasbitung.

Suatu hari, ibu saya pulang ke Rangkasbitung dari Tangerang. Apa Entoh menitipkan adiknya itu ke sopir bus. Di tengah jalan saat ibu saya mau membayar ongkos, kondektur busnya menolak bayaran itu. Meski dipaksa tetap saja ia menolaknya.

Saat ibu kembali ke Tangerang, Apa Entoh bertanya bagaimana perjalanan kemarin. Ibu menjawab dengan seadanya. Lantas, Apa Entoh marah bukan main. Ia memarahi ibu yang tidak membayar ongkos. “Lain kali, harus bayar. Gak boleh gratis. Kita ini bukan siapa-siapa,” ujar Apa Entoh seperti ditirukan ibu saya. Usai kejadian itu, jika ibu saya pulang ia katakan pada sopir kalau adiknya harus tetap bayar ongkos bus.

Bukan hanya kepada adik-adiknya ia berkeras mengajarkan pendirian dan idealisme. Kepada anak-anaknya pun begitu. Suatu ketika anak pertamanya usai lulus menjadi sarjana ingin mendaftar menjadi PNS sebagai guru. Di lingkungan waktu itu tersiar jika anak polisi akan mudah jika ingin masuk menjadi PNS. Namun, Apa Entoh menolaknya. Ia katakan pada anaknya, kalau mau daftar PNS datang saja sendiri. “Tak usah dengan ayah,” ujarnya.

Atau cerita lainnya ketika Apa Entoh mendapat hadiah dari seorang pengusaha China. Pengusaha itu memberikan hadiah berupa alat-alat mainan anak-anak yang dipasang di pekarangan rumah, karena ia merasa Apa Entoh sebagai polisi telah menolongnya dalam suatu kasus. Padahal, Apa Entoh membantunya karena ia merasa bahwa si pengusaha dalam posisi yang benar dan layak dibantu.

Anak-anaknya sangat senang melihat ada seperangkat alat permainan di halaman rumahnya. Namun, saat Apa Entoh melihat itu, ia sangat marah. “Kalian tidak usah menggunakan itu, ayah mau mengembalikannya,” ungkapnya pada anak-anaknya. Akhirnya seperangkat alat permainan itu dibawa kembali oleh si pengusaha. Hingga akhir hayat, Apa Entoh tetap begitu. Dan banyak para pelayat yang datang ke rumahnya. Baik rekan kerja, sahabat hingga pengusaha.

Wajar jika ibu saya begitu kehilangan sosok sang abang yang begitu bersahaja. Ia banyak belajar darinya. Bahkan saking nge-fans dan hormatnya, usai lulus dari SPG ibu saya ingin mendaftar menjadi polisi wanita (polwan) seperti abangnya. Namun, hal itu ditolak oleh sang abang. “Jangan jadi polisi, cukup abang saja. Kamu sebaiknya menjadi guru saja,” begitu nasihatnya. Akhirnya ibu saya menjadi guru di Rangkasbitung.

(bersambung)

0 komentar:

Posting Komentar