Adalah
paman saya seorang purnawirawan polisi yang mengajarkan arti kejujuran dan
keteguhan hati. Kami menyebutnya Apa Entoh (almarhum, Allahummaghfirlahu). Nama
aslinya adalah Tohiris. Meski ia bukan perwira, namun polisi, di mana saja
pasti mendapat cobaan yang sama. Banyak tawaran menerima “uang” atau “sesuatu”
yang memang bukan haknya sebagai pekerja di kepolisian.
Apa
Entoh adalah anak pertama dari keluarga ibu saya. Sementara ibu saya anak
bungsu dari empat bersaudara. Ibu saya sempat ikut bersama abangnya yang
pertama itu yang bertugas di Curug, Kabupaten Tangerang. Ibu saya bersekolah
menengah pertama di Tangerang dan melanjutkan SPG setingkat SMA di Rangkasbitung.
Suatu
hari, ibu saya pulang ke Rangkasbitung dari Tangerang. Apa Entoh menitipkan
adiknya itu ke sopir bus. Di tengah jalan saat ibu saya mau membayar ongkos,
kondektur busnya menolak bayaran itu. Meski dipaksa tetap saja ia menolaknya.
Saat
ibu kembali ke Tangerang, Apa Entoh bertanya bagaimana perjalanan kemarin. Ibu menjawab
dengan seadanya. Lantas, Apa Entoh marah bukan main. Ia memarahi ibu yang tidak
membayar ongkos. “Lain kali, harus bayar. Gak boleh gratis. Kita ini bukan
siapa-siapa,” ujar Apa Entoh seperti ditirukan ibu saya. Usai kejadian itu,
jika ibu saya pulang ia katakan pada sopir kalau adiknya harus tetap bayar
ongkos bus.
Bukan
hanya kepada adik-adiknya ia berkeras mengajarkan pendirian dan idealisme. Kepada
anak-anaknya pun begitu. Suatu ketika anak pertamanya usai lulus menjadi
sarjana ingin mendaftar menjadi PNS sebagai guru. Di lingkungan waktu itu
tersiar jika anak polisi akan mudah jika ingin masuk menjadi PNS. Namun, Apa Entoh
menolaknya. Ia katakan pada anaknya, kalau mau daftar PNS datang saja sendiri. “Tak
usah dengan ayah,” ujarnya.
Atau
cerita lainnya ketika Apa Entoh mendapat hadiah dari seorang pengusaha China. Pengusaha
itu memberikan hadiah berupa alat-alat mainan anak-anak yang dipasang di pekarangan
rumah, karena ia merasa Apa Entoh sebagai polisi telah menolongnya dalam suatu
kasus. Padahal, Apa Entoh membantunya karena ia merasa bahwa si pengusaha dalam
posisi yang benar dan layak dibantu.
Anak-anaknya
sangat senang melihat ada seperangkat alat permainan di halaman rumahnya. Namun,
saat Apa Entoh melihat itu, ia sangat marah. “Kalian tidak usah menggunakan
itu, ayah mau mengembalikannya,” ungkapnya pada anak-anaknya. Akhirnya seperangkat
alat permainan itu dibawa kembali oleh si pengusaha. Hingga akhir hayat, Apa
Entoh tetap begitu. Dan banyak para pelayat yang datang ke rumahnya. Baik rekan
kerja, sahabat hingga pengusaha.
Wajar
jika ibu saya begitu kehilangan sosok sang abang yang begitu bersahaja. Ia banyak
belajar darinya. Bahkan saking nge-fans dan hormatnya, usai lulus dari SPG ibu
saya ingin mendaftar menjadi polisi wanita (polwan) seperti abangnya. Namun,
hal itu ditolak oleh sang abang. “Jangan jadi polisi, cukup abang saja. Kamu sebaiknya
menjadi guru saja,” begitu nasihatnya. Akhirnya ibu saya menjadi guru di
Rangkasbitung.
(bersambung)
0 komentar:
Posting Komentar