Kang Deden

Tidak ada awal, akhir ataupun pertengahan, sebab yang ada hanyalah perjalanan.

Kang Deden

Orang besar ialah orang yang sudah selesai dengan dirinya sendiri.

Kang Deden

Berlarilah mengejar impian. Disana terdapat indahnya kehidupan.

Kang Deden

Berjalanlah, engkau akan mendapatkan banyak pelajaran.

Kang Deden

Tenangkan hatimu, karena itu sumber kebahagiaan.

Minggu, 24 November 2013

Punk Rock Jalanan

sumber photo: dari sini

Saya mengambil gitar dan memetiknya sembari menyanyikan lagi Punk Rock Jalanan. Iya, ini lagu sering saya dengar di kereta-kereta atau di angkot-angkot atau di bus umum. Jadi, ceritanya saya teringat lagu ini dan cari di youtube ternyata ada. Dan nyanyilah saya.

Dulu hampir setiap sore saat menulis berita di sebuah warnet di Kota Tangerang, para pengamen cilik menyanyikan lagu ini, lagu Punk Rock Jalanan. Mereka latihan nyanyi dengan gitar kecil untuk diperagakan di angkot-angkot Kota Tangerang. Diam-diam saya memerhatikan mereka.

Lagu ini juga sering saya temukan dinyanyikan oleh para pengamen yang tergabung dalam Kelompok Pengamen Jalanan (KPJ). KPJ ini ada perkumpulan resminya, biasanya mereka berkumpul di Bulungan dekat Blok M, Jakarta Selatan.

Kalau saya pulang dari Jakarta ke Rangkasbitung menggunakan kereta api, lagu yang dinyanyikan KPJ ini cukup menghibur. Kalau saya punya uang receh, saya kasih pengamen itu, kalau tidak ada cukup senyum saja.

Menurut saya banyak tipe pengamen jalanan. Ada yang mengamen karena mencari uang untuk menghidupi dirinya dan keluarganya. Ada yang menyanyi di bus-bus untuk sekedar iseng mengisi waktu luang sebelum mendapat pekerjaan yang layak.

Ada juga yang mengamen untuk menyalurkan hobinya menyanyi. Ada juga yang mengamen karena ia mengetes mentalnya, iseng-iseng dapat uang juga. Ada juga yang memperaktekkan ilmu tentang menyanyi dan mengamenlah ia. Ada juga yang menjadikan mengamen sebagai modus untuk memeras.

Nah, yang terakhir ini pernah saya alami ketika perjalanan naik kereta api dari Jakarta menuju Madiun. Saat kereta malam itu melintasi daerah Jawa Tengah sekitaran Solo, dan saya tertidur. Tiba-tiba pengamen membangunkan saya dan meminta uang.

“Uangnya mas, saya pengamen,” ujar seorang pengamen yang lengannya penuh dengan tato seraya memaksa. Saya berikan uang receh dengan tanpa ekspresi. Iya kan baru bangun tidur dan masih belum 100 persen sadar.

Pengamen yang enak itu, kalau suaranya merdu, pakai alat musiknya dilengkapi dengan biola atau harmonica. Si pengamen kayak gini ini yang menghanyutkan pendengarnya. Bahkan para penumpang tak segan memberikan uang receh bahkan lembaran ribuan kepada si pengamen.

Pengamen yang sedikit ekslusif juga adanya di bus Damri tujuan Bandara Soekarno Hatta. Selain membawakan lagunya dengan merdu, lagu-lagunya juga lagu barat.

Di Turki ini saya belum pernah menemukan pengamen jalanan yang menyanyi di bus, kereta atau angkot. Para pengamen jalanan ini menyanyi di trotoar-trotoar. Atau pengamen ini menendangkan lagunya di pojok stasiun yang berhadapan dengan tangga jalan.

Sebenarnya kalau saja pengamen jalanan itu serius mendalami musik dan menemukan keberuntungan, ia akan mendapatkan keuntungan lebih dari sekadar mengekpresikan hobinya dalam bermusik, lihat saja semisal Iwan Fals. 

Jumat, 22 November 2013

Pencari Takjil


(Sebuah Cerita Bersambung)

Pencari Takjil #cerbung #1

“Kamu dan Yanda, dimana? Kami di antrean barisan tengah,” Aku menelepon Ali yang dalam perjalanan dari rumahnya menuju Masjid Haji Bayram.

“Kami baru sampai di Masjid, Bang,” jawab Ali sembari ngos-ngosan setelah jalan menanjak.

Tak berapa lama Ali dan Yanda mengangkat tangan dan mengerak-gerakannya untuk memberi isyarat kepadaku dan Genta yang sudah berdiri mengantre setengah jam yang lalu. 

Setiap tahun Masjid Haji Bayram menjadi pusat Ramadhan di Ankara. Di halaman masjid bersejarah itu didirikan tenda besar yang disediakan untuk berbuka puasa. Buka puasa gratis yang disediakan oleh pemerintah kota Ankara ini memang menjadi incaran penduduk Ankara yang mencari iftar cuma-cuma. Apalagi bagi kami para pelajar.

Aku melihat jam di tangan masih pukul setengah delapan sore. Sementara waku buka puasa pukul setengah sembilan. Sudah setengah jam kami berdiri mengantre. Panjang antrean kami sekitar 30an meter lebih. Aku dan Genta berada di urutan 15an meter dari pintu gerbang tenda. Sementara Ali dan Yanda berada di barisan lain yang jaraknya 10 meter di belakang kami.

Jam delapan tepat barisan antrean mulai bergerak maju. 10 menit sebelum berbuka, Aku dan Genta sudah dapat jatah makan. Nampan yang sudah penuh dengan empat macam makanan kami bawa menuju pojok tenda yang masih kosong. Aku mengirim pesan pendek kepada Ali agar ia datang ke tempat yang sudah kami sediakan.

“Hai, kamu berasal dari mana?” sapa seorang perempuan putih berkerudung hitam yang berada di hadapanku.

“Aku orang Indonesia,” jawabku dengan senyum.

“Apa yang kamu lakukan disini?”

“Aku pelajar di Universitas Ankara,”

“Temanmu pelajar juga?”

“Iya, di kampus yang sama,”

Genta yang mendengar percakapan kami, ikut tersenyum.

Aku pun bertanya kepada perempuan putih berkerudung hitam, “Kamu berasal dari mana?”

“Aku berasal dari Istanbul,” katanya.

“Ngapain ke Ankara?” kutanya.

“Aku lagi bertandang ke rumah saudaraku di sini,” jawabnya.

Tetiba Ali dan Yanda datang ke meja kami. Dan percakapan aku dan perempuan putih berkerudung hitam itu pun terhenti. Si perempuan putih berkerudung hitam itu berpindah tempat duduk menjauhi kami.

“Aku takut mengganggu kalian,” katanya sambil membawa nampan makanan.

*****

Pencari Takjil #cerbung #2

“Ah, kalian mengganggu aku saja yang sedang berbincang dengan perempuan itu,” kataku pada Ali dan Yanda.

“Iya, kalian ganggu abang kita ini aja,” Genta yang sedari tadi mengutak-atik ponsel pintarnya, angkat bicara.

“Puasa, bang,” kata Yanda.

“Oh, iya, puasa,” kataku.

“Ya, tapi, kan, tetap saja ganggu,” kataku kemudian.

“Udah, ah, bang, mari kita makan. Jangan lupa berdoa, kata ustadz tuh, berdoa sebelum berbuka itu diijabah,” kata Genta yang mengingatkan kami untuk berdoa sebelum berbuka. Kami pun berdoa.

“Eh, tahu nggak, tadi tuh pas aku ngobrol sama perempuan tadi, ada petugas kebersihan yang sudah mengangkut nampan yang sudah kosong,” kataku sambil mengunyah roti.

“Itu berarti ada orang dari yang mengantre makanan untuk berbuka itu tidak berpuasa,” Genta menyahut, sambil menunjukkan photo orang-orang yang makan di hadapannya sebelum azan maghrib di ponselnya kepada Ali dan Yanda.

“Kenapa sih mereka gak puasa,” kata Ali.

“Iya, ya, padahal menunggu setengah jam lagi, apa susahnya,” ucap Yanda sebelum menyeruput air putih.

“Paling nggak mereka menghormati yang berpuasa dan menunggu azan maghrib,” sahut Ali.

“Mungkin mereka memang hanya mencari makan malam saja,” ucapku sambil membawa nampan untuk dibuang.

Kami kemudian mengambil wudhu di lantai bawah. Tempat wudhu di masjid Haji Bayram ini termasuk mewah. Seperti hotel berbintang. Selain luas, bersih, juga terawat dengan baik. Usai sembahyang maghrib kami kembali ke rumah kami di Cebeci. Perjalanan dari Masjid Haji Bayram ke Cebeci sekitar setengah jam hingga empat puluh menit dengan jalan kaki.

*****

Pencari Takjil #cerbung #3

Usai shalat maghrib kami berkeliling masjid yang megah itu. Halamannya dihiasi dengan 
taman dan air mancur. Persis di samping masjid itu ada bangunan tua yang sengaja dipelihara bekas gereja jaman baheula. Bekas gereja ini semakin menguatkan peran pariwisata di kota tua Ulus.

Kami berempat pulang menelusuri jalan yang sudah sepi. Jam di tanganku menunjukkan pukul setengah sepuluh malam. Pertokoan sepanjang jalan sudah tutup. Jalan sepi. Mobil berhenti di lampu merah yang juga sepi dengan kendaraan.

“Kenapa itu mobil berhenti, padahal tidak ada kendaraan lain,” ungkap Genta kepada kami.

“Itu mungkin yang dinamakan sadar berlalulintas,” kata Yanda.

“Dia mah caper aja kali,” kata Ali. “Iya, kan, Bang?” tambahnya sambil melirik ke arahku.

“Iya kali. Bisa aja dia caper sekaligus pengen belajar sadar berlalulintas,” jawabku sekenanya, karena aku masih kepikiran mengapa orang-orang yang lama berdiri mengantre makanan, tetapi mereka tidak berpuasa.

“Kalau di kampung saya, kalau sudah malam, terus lampu merah menyala, tetapi tidak ada kendaraan, maka ia akan nyelonong aja,” kata Ali.

Kami pun tiba di rumah di Cebeci. Sebelum sampai rumah, kami melihat pertunjukan di salah satu taman. Pemain musik mendendangkan lagu khas Turki. Beberapa orang berjoget beriringan dengan lagu yang diputar.

“Udah yuk pulang aja, udah malam,” kataku, “capek jalan seharian.”

*****

Pencari Takjil #cerbung #4

Adzan isya berkumandang saat beberapa menit kami tiba di rumah. Kami yang sudah lelah berjalan bulak balik Cebeci Masjid Bayram malas pergi ke masjid untuk shalat isya dan taraweh.

“Kita shalat jemaahnya agak maleman aja yah” ujar Genta kepada kami. Kami pun mengiyakannya.

Ghani dan Yanda mengambil laptopnya masing-masing dan memutar film yang ada di laptopnya.

“Besok-besok aku malas berbuka di masjid Haji Bayram,” kataku.

“Aku kan pengen ngerasain buka gratis, Bang,” kata Genta yang tahun lalu merasakan suasana puasa di kota Trabzon, utara Turki.

“Aku juga belum pernah buka puasa gitu juga di Turki, kan ini tahun pertama,” ujar Ali yang berasal dari Aceh itu.

“Kupikir, mending kita buka puasa di rumah saja. Kita masak sore sebelum berbuka,” kataku, 

“kita bisa isi itu kulkas dengan bahan masakan.”

“kecuali kalau ada yang menawarkan buka puasa dengan menu masakan Indonesia, Bang,” kata Yanda.

“Ide bagus,” kataku sembari membuka buku untuk dibaca.

*****

Pencari Takjil #cerbung #5

Aku terbangun pukul 2 pagi setelah Yanda membangunkanku. Yanda dan Ali sudah masak untuk kami sahur. Mereka mulai memasak satu jam sebelum saya dibangunkan.

Keesokan harinya, pasokan makanan dalam kulkas kami sudah tidak ada. Aku lupa mengecek sesudah kami berbuka. Aku baru mengecek kulkas pukul 23.30 malam. Itu berarti toko-toko dan warung-warung sudah tutup. Hanya warung kacang-kacangan saja yang masih buka.

“Gimana kita sahur kali ini,” tanyaku.

“Tenang, Bang, di rumahku masih ada stok makanan. Nanti jam 2  kita ke rumah aku dan masak di sana,” ungkap Yanda.

“Baiklah,” kataku sambil menarik selimut. Tidak lupa mengingatkan Yanda dan Ali untuk membangunkanku sebelum sahur.

Ali, Ghani, Haris, Genta dan Aku sudah hendak tidur. Tinggal Yanda yang masih membuka laptop untuk menonton film.

Aku yang pertama dibangunkan oleh Yanda. Kemudian teman-teman yang lain pun dibangunkannya. Aku yang masih setengah sadar langsung mengajak Yanda untuk ke rumahnya karena melihat jam sudah menunjukkan jam setengah tiga. Sementara imsak pukul setengah empat.

Jarak antara rumah Ali yang kami tempati itu dengan rumah Yanda sekitar 300 meter. Ali, Ghani, Haris dan Genta sudah bangun dari tidurnya tapi mereka masih duduk di atas kasurnya.

“Kalian menyusul dengan segera ya. Aku dan Yanda menyiapkan masakan dulu,” kataku pada mereka, dan mereka mangangguk-angguk.

Aku belum pernah sebelumnya ke rumah Yanda. Walaupun dekat. Kami lebih nyaman di rumah Ali yang sudah tidak lagi dihuni teman-temannya yang orang Turki. Karena mereka berlibur ke kampung halamannya masing-masing.

Tapi pagi itu kami harus ke rumah Yanda untuk memasak santapan sahur. Yanda sudah memencet tombol 5 di lift yang kami masuki. Dalam lift itu juga sudah dipencet lantai 3. Entah oleh siapa. Aku tak terlalu mengambil pusing. Karena aku pun tak tahu di lantai berapa Yanda tinggal.

Lift lantai 3 terbuka. Lalu Yanda memencet bel rumah. Agak lama pintu rumah itu terbuka. Ada anak muda yang membukakan pintu itu. Yanda dengan tenang membuka sandal dan masuk tanpa salam.

Si anak muda yang membukakan pintu itu tanpa ekspresi. Aku mengikuti Yanda yang membuka sandal dan hendak masuk rumah sebelum si anak muda itu bertanya kepada Yanda.

“Kamu siapa? Tanya orang Turki yang membukakan pintu.

Yanda melihat sekeliling rumah itu. Ia baru sadar kalau itu bukanlah rumahnya setelah melihat ada yang janggal di rumah itu.

“Oh maaf aku salah masuk rumah,” kata Yanda kepada anak muda itu.

Saya menyengir melihat tingkah Yanda yang keki karena salah. Kami pamit kepada anak muda itu. Kami kembali ke lift dan tertawa bersama. Hahaha. Saya pun akhirnya sadar 100 persen.

*****
(Bersambung)

Sujud Terakhir di Padang Arafah


(Sebuah Cerita Pendek)

Berhaji adalah impian terbesar istriku, Aminah. Padahal aku hanya seorang kuli bangunan yang bekerja jika ada seseorang yang ingin membangun atau merenovasi rumah. Jika tidak bekerja, waktuku lebih banyak untuk menolong tetangga yang membutuhkan bantuanku. Dengan upah yang seadanya, atau hanya ucapan terimakasih. Batinku mengatakan aku harus mampu mewujudkan impian terbesar istriku itu. Aku tak tahu pasti bagaimana mewujudkannya.
Sehabis shalat subuh berjamaah, aku sering mendengar ceramah kuliah subuh di masjid depan rumahku. Kuliah subuh yang dilaksanakan saban akhir pekan itu, Ustadz Hasan yang ceramah banyak bercerita tentang orang-orang yang mampu beribadah haji meski secara harta sangat kekurangan. Sebab, kata Ustadz Hasan, ibadah haji adalah wajib bagi yang mampu. Ia pun meyakinkan kami, para jemaah kuliah subuh, bahwa ibadah haji bermula dari niat yang kuat karena Allah semata.
Istriku yang juga mendengar ceramah kuliah subuh dari rumah itu berkata padaku saat aku pulang ke rumah.
“Pak, ceramah Ustadz Hasan itu sangat bagus, ya,” kata Aminah padaku. Ia kemudian mengutip isi ceramah Ustadz Hasan.
“Haji itu bukan hanya untuk orang yang mampu secara harta,” katanya lagi sembari mencium tangan kananku.
“Yang paling penting berhaji itu yang mampu secara batin, kuat niatnya,” katanya dan kemudian diam sebentar lalu berkata lagi “Kita bisa nggak, ya, Pak, pergi haji,” tanya istriku.
Aku tersenyum dan menjawab sederhana namun dengan keyakinan,
“Insya Allah, Bu. Mari kita perbanyak berusaha dan perkuat doa.”
*****
Kalimat-kalimat istriku terngiang dalam hati dan pikiranku. Aku bertambah semangat untuk bekerja. Upah hasil dari kerjaku bukan hanya aku berikan untuk istri dan kedua anakku yang masih kecil, tetapi juga aku sisihkan untuk aku dan istriku berhaji.
Aku tidak tahu kapan impian terbesar istriku itu akan terwujud. Yang aku yakin bahwa Allah akan mengabulkan doa bagi hambanya yang meminta. Aku kuatkan ibadahku. Ini sesuai anjuran Ustadz Hasan, jika kita ingin mendapatkan sesuatu, maka dekatkanlah diri kita pada Pemilik jagat alam jaya, Allah SWT.
Semenjak percakapan di subuh itu, Aminah lebih giat beribadah daripada aku. Ia nyaris tidak pernah meninggalkan shalat wajib bahkan shalat tahajjud dan shalat dhuha ia lakukan. Terkadang, jika aku terlalu lelah untuk bangun malam, Aminah dengan halus membangunkanku hingga terbangun dan malaksanakan shalat tahajud.
Kami shalat tahajud berdua hampir setiap malam. Aminah pun mencari pekerjaan untuk menambah tabungan haji kami. Ia menjadi tukang cuci pakaian tetangga kami. Wajahnya selalu ceria saat kami berbincang tentang haji.
Suatu malam aku bermimpi. Dalam mimpi itu aku dan istriku melaksanakan shalat di sebuah tenda besar. Orang-orang yang ada dalam mimpi itu kebanyakan menggunakan pakaian serba putih. Mimpi itu, pikirku, adalah rangkaian prosesi haji. Kemudian aku ceritakan mimpi itu pada istriku.
“Semoga saja mimpi itu benar, ya, Pak. Dan kita akan berangkat haji bersama. Amin” kata istriku, dan aku pun mengamininya.
*****
Sudah sepuluh tahun kami tidak putus melaksanakan amalan-amalan wajib dan sunnah. Kadang aku menyisihkan uang receh untuk para pengemis di jalan setiap aku berangkat untuk bekerja. Saat itu tabungan kami sudah hampir bisa menghajikan satu orang.
Suatu hari mandorku yang selalu mengawasi para kuli bangunan mengundang aku ke rumahnya. Pak Usep, mandorku, bercerita ia ingin berhaji bersama istrinya. Namun karena istrinya meninggal dunia dan ia tak memiliki seorang anak pun, maka Pak Usep megajak aku berhaji bersamanya.
Sebelum menyetujui permintaannya, aku menanyakan sesuatu, apakah boleh berhaji bersama istriku dengan biaya tabunganku, Pak Usep tidak keberatan. Semua persyaratan haji telah didaftarkan. Pak Usep, aku dan istriku akan berangkat haji beberapa tahun ke depan. Mendengar berita keberangkatan haji ini, istriku senang bukan kepalang.
*****
Pesawat Garuda yang membawa jemaah haji asal Jakarta baru saja mendarat di bandara King Abdul Aziz, Jeddah, Arab Saudi. Tidak tampak wajah lelah di muka istriku, Aminah. Meski persiapan dan perjalanan haji dari Jakarta begitu menyita waktu dan menguras tenaga. Namun, Aminah tetap ceria. Tak lupa ia membaca Alquran saat kami menunggu bus menuju Mekkah. Setibanya di Mekkah kami menuju pemondokan dan kemudian langsung menuju Masjidil Haram untuk melaksanakan umroh.
Air mataku menetes saat pertama kali melihat kabah. Aku berpikir kabah inilah yang menjadi titik pusat arah shalat dari berbagai penjuru dunia. Sesaat kulirik Aminah, ia pun menangis. Kami shalat sunnah dan berdoa di depan kabah lalu tawaf, sa’i dan tahallul. Prosesi umroh sudah selesai kami lakukan.
Hari-hari selanjutnya, aku dan Aminah lebih sering berdua untuk beribadah sebanyak-banyaknya di Masjidil Haram. Terkadang, usai makan malam di pemondokan, kami kembali ke Masjidil Haram untuk beribadah lanjutan. Pernah suatu malam, kami menginap di Masjidil Haram, aku dan Aminah bergantian tidur sambil duduk di atas sejadah.
*****
Waktu ibadah haji tiba. Tanggal delapan Dzulhijjah semua jemaaah haji meninggalkan pemondokan dan menuju Padang Arafah untuk wukuf. Di dalam bus perjalanan menuju Padang Arafah, Ustadz Hafiz, ketua rombongan kami, menganjurkan para jemaah haji untuk memperbanyak talbiyah, Labbaik Allahumma labbaik..
Setibanya di Padang Arafah Ustadz Hafiz mengajak pada jemaah untuk memperanyak ibadah zikir dan membaca Alquran. Sebelum shalat dzuhur dan ashar yang di jama’, Ustadz Hafiz berkhutbah di hadapan jemaah haji. Kemudian kami pun berjamaah melaksanakan kedua shalat fardhu itu. Usai shalat aku menoleh ke belakang, tempat istriku melaksanakan shalat. Namun Aminah masih sujud, sementara yang jemaah lainnya sudah selesai shalat.
Aku menghampiri Aminah. Sebab ia tidak bergerak. Aku berpikir, mungkin saja istriku sujud sembari memanjatkan doa. Sebab berdoa saat sujud terakhir itu diijabah. Tetapi aku mulai ragu, lama sekali istriku bersujud. Aku usap badannya tapi bergeming. Aku goyangkan, badan istriku terjatuh. Aku periksa nadinya sudah tak berdetak.
Aku tak tahu istriku meninggal dunia atau hanya pingsan. Yang pasti Aminah sudah tak bergerak. Matanya tertutup. Aku baringkan tubuhnya. Pak Usep yang sedari tadi melihat gerak-gerikku bertanya tentang Aminah. Aku menggelengkan kepala tanda bingung. Sementara itu Ustadz Hafiz masih memimpin zikir dan berdoa usai shalat.
Usai berdoa Ustadz Hafiz menghampiriku karena melihat Aminah sedang terbaring. Ustadz Hafiz bertanya,
“Apa yang sudah terjadi pada Bu Aminah, Pak?”
Aku ceritakan kejadian sebelum khutbah dimulai, tiba-tiba saja Aminah tidak enak badan namun ia tetap mendengarkan khutbah dan melaksanakan slahat dzuhur dan ashar. Namun tiba-tiba Aminah tidak bergerak lagi saat sujud shalat ashar. Tubuh Aminah jatuh setelah aku goyangkan, kemudian aku baringkan tubuh Aminah di sebelahku.
Kemudian Ustadz Hafiz memeriksa detak nadi di tangan Aminah. Raut muka Ustadz Hafiz berubah.
“Bapak harus sabar,” kata Ustadz Hafiz. Ia berdiam sebentar kemudian melanjutkan perkataannya, “Ibu Aminah, istri Bapak sudah meninggal dunia.”
Aku memeluk istriku. Air mata tiba-tiba menetes di pipiku. Aku hanya diam membisu. Aku tidak percaya dengan apa yang telah terjadi. Aku tidak pernah terpikir kalau istriku, yang sangat aku cintai, yang selalu membangunkanku di malam hari untuk shalat tahajjud, meninggal saat wukuf di Padang Arafah tepat saat impian terbesarnya terwujud.
Aku tiba-tiba teringat mimpiku belasan tahun lalu. Dalam mimpi itu, aku dan istriku pergi berhaji dan wukuf di Padang Arafah. Istriku sujud lama sekali. Kemudian aku mencoba mengingat kembali apa setelahnya. Ternyata aku menggendong istriku sampai ke Mekkah.
Aku pandang Ustadz Hafiz dengan tatapan kosong. Aku bertanya padanya, “Apa yang harus aku lakukan, Ustadz?”
Ustadz Hafiz menarik nafas sebelum ia berkata.
“Ini memang dilema,” katanya kemudian berdiam sejenak dan aku masih menyimak.
“Menurut ajaran Islam, jika seorang Muslim meninggal dunia, maka keluarga atau orang-orang yang ada di sekitarnya dianjurkan untuk segera memakamkan jenazahnya. Sementara untuk melaksanakan pemandian dan pengurusan jenazah jemaah haji itu berada di rumah sakit di Mekkah. Jika kita ingin mengurus jenazah saat ini, maka kita harus keluar Padang Arafah. Itu artinya haji kita batal, karena kita tidak melaksanakan wukuf di Padang Arafah” ujar Ustadz Hafiz.
“Solusi yang paling baik adalah, kita membiarkan Ibu Aminah terbaring di tenda di Padang Arafah ini hingga prosesi wukuf selesai. Kemudian ketika jemaah haji bergerak ke Muzdalifah lalu ke Mina untuk jumrah dan terakhir kembali ke Mekkah, Bapak bisa menggendong istri bapak hingga ke Mekkah. Maka setelah Bapak melaksanakan tahallul prosesi haji selesai,” usul Ustadz Hafiz.
Aku mengangguk setuju akan usulan Ustadz Hafiz. Aku memang sangat mencintai istriku, Aminah. Tapi aku juga ingin hajiku sempurna. Aku kuatkan tekad untuk menyelesaikan hajiku baru kemudian mengurus jenazah istriku setibanya di Mekkah dan memakamkannya di kota yang penuh dengan sejarah itu.
Ustadz Hafiz membuyarkan lamunanku dengan berkata,
“Insya Allah, istri Bapak, Ibu Aminah menjadi Hajjah Mabrurah.”
Aku membatin dan kemudian berkata,
“Amin, ya Rabbal ‘alamin. Terimakasih banyak Ustadz.”
*****

Selesai

Kamis, 21 November 2013

Cinta Mengubah Keakuan



Tidak, tidak perlu kau katakan
Bahwa kau jatuh cinta
Ia hanya butuh bahasa rasa
Yang terucap dari laku bertingkah

Sebab, terkadang ketika cinta
Kau ungkap dengan bahasa kata
Itu memudarkan cinta
Yang seharusnya tidak

Kalau saja cinta mesti terbahasa
Bagaimana orang yang mencinta
Mengungkapkan rasa pada orang yang dicinta
Padahal ia tak mampu berkata

Alangkah tak adilnya itu cinta
Kalau hanya dimiliki paraji kata
Pengumbar rasa yang berbisa
Beracun yang dapat melumpuhkan

Tidak, tidak demikian
Kalau kau cinta
Ungkapkan saja dengan mata
Sapa ia dengan suka cita

Berikan cintamu perhatian
Dengan hati seluas samudera
Agar ia bisa berkelana
Menengok yang tak ada di darat

Jangan kau pinta itu cinta
Agar kau rela dengan itu rasa
Jika tidak demikian
Itu bukanlah cinta

Ingatlah tak ada ego dalam cinta
Cinta memberi bukan menerima
Cinta mengubah keakuan
Menjadi kekamuan dan kekitaan


Ankara, 20 Nopember 2013

Jumat, 15 November 2013

Ungkapan Kelulusan



Alhamdulillah saya lulus dari Universitas Ankara dan orang yang paling pertama berhak menerima penghargaan kelulusan adalah ibu dan ayah saya. 

Sebab, mereka rela berpuasa rasa, jiwa dan raga. Mereka ikhlas menahan rindu dan cinta untuk bertemu. Sebab ujian cinta adalah perpisahan, dan obat rindu adalah pertemuan. Dan mereka melakukannya dengan ridha karena Allah semata.

Saya tidak tahu berapa ratus bahkan ribuan kali ibu dan ayah saya menangis di atas sejadah hanya untuk mendoakan anak-anaknya yang sedang belajar di perantauan.

Pun saya tak tahu, sudah berapa sekaan air mata saat mereka merindukan orang yang dicintainya. Sudah berapa kali pula mereka bersabar di kala orang-orang bergembira berkumpul bersama keluarganya dengan lengkap.

Saya pernah melihat ibu saya bercakap dengan abang saya yang tidak pulang saat lebaran beberapa tahun silam, ia terlihat memaksakan diri untuk tersenyum, meski air muka dan air matanya menguraikan lain. Air mata itu berkaca-kaca, tanda ingin menangis.

Saya jadi tak enak hati saat menyaksikan itu. Perasaan sang ibu memang sangat peka terhadap anaknya. Ia tak berani untuk mengungkapkan rasa sedih, di saat orang-orang bersuka ria.

Di depan kami, mereka memang terlihat tegar dan kuat saat melepas kepergian kami untuk belajar di perantauan. Mereka pun tak ingin memperlihatkan kerinduan pada anak-anaknya secara frontal. Mereka selau mengiyakan permintaan kami untuk terus belajar.

Walaupun saya tahu, di dasar hatinya ada penolakan kecil agar mereka tak ditinggalkan anak-anaknya. Tapi mereka tahu, mereka harus siap merelakan dan melawan itu semua, demi anak-anaknya, demi masa depan orang terkasihnya.

Saya mungkin bisa menafsirkan, saat saya tidak boleh berangkat untuk belajar ke Mesir selulus dari Gontor. Saat itu ibu saya menolak permintaan saya tanpa alasan yang jelas. Ia hanya ingin saya belajar di Jakarta untuk studi S1.

Penafsiran saya adalah ibu saya tidak mau terlalu jauh dengan anak-anaknya. Sudah cukup 7 tahun anaknya belajar jauh dari tempat kelahirannya. Ini cukup beralasan, saat di Jakarta, hampir setiap akhir pekan ibu saya menelepon dan menanyakan apakan ananda pulang di akhir pekan atau tidak.

Jika saya tidak ada kegiatan, maka saya pulang di akhir pekan ke Rangkasbitung. Ini terjadi hingga saya bekerja menjadi wartawan Republika. Namun jika sibuk saya terpaksa tidak pulang ke rumah di akhir pekan.

Hingga akhirnya saya mendapatkan beasiswa untuk belajar ke Turki. Senang tidak senang ibu melihat ini. Senang karena anaknya bisa melanjutkan studi S2 di negeri orang. Tak senang karena kami harus berpisah untuk waktu yang lama bagi para pecinta.

Akhirnya, saya ingin mengungkapkan satu hal, bahwa semua yang saya dapat dan raih hingga detik ini adalah jerih payah perjuangan ibu dan ayah saya. Merekalah yang telah berhasil mendidik kami anak-anaknya. Kami bangga lahir dari rahim ibu kami yang sempurna. Ya, cintanya sempurna dan tak terbatas untuk kami.

Pengorbanan, perjuangan, keuletan, cinta dan kasih sayang mereka yang tak bertepi ini adalah obat mujarab saat kami rapuh dan tumbang. Dan saya merasakan dahsyatnya doa mereka.

Dan terakhir, seperti diungkap di awal, kelulusan master journalism ini untuk kedua orangtua saya dan keluarga tercinta. Sejuta terimakasih untuk mereka semua. I love you full. Ben sizi cok cok seviyorum. 


Ankara 2013

Lihatlah Langit




Lihatlah langit pada malam
Kau akan rasakan kenyamanan
Tiada kesombongan yang
Terungkap dalam langit pekat

Langit merendahkan hatinya 
Agar bintang dan bulan
Dapat bersinar dan berbinar
Hiasi dinginnya malam

Tapi jangan pernah kau coba
Memandang langit pada siang
Saat mentari tampakkan dirinya
Sombong tak terkira

Sebagian manusia gunakan
Kacamata hitam agar 
Matanya tak rusak diterjang
Kejamnya mentari yang bersinar

Ankara, malam, 19 September 2013

Cinta Diuji Waktu



Kawan, semua butuh waktu

Dan tak ada sesuatu 
Yang lebih menarik
Selain terlebih dulu diuji



Bahkan, Tuhan selalu 
Menguji hambanya 
Jika lulus naik derajat
Bila tidak, tetap di tempat



Sadarlah akan hal ini
Bangun dari jatuh
Akan lebih asyik
Tinimbang tiada badai



Pun begitu dengan cinta, kawan
Cinta yang teruji itu
Dapat terlihat dari
Waktu dan tempat



Sebab cinta mengenal setia
Ia selalu bergemuruh dalam dada
Jika bukan, maka coba
Tanyakan kembali apa benar itu cinta?



Jika benar cinta
Ia akan berdiri dengan gagah
Meski berada di ujung jurang
Sebab cinta memberi kekuatan



Dan jika itu cinta
Ia rela berkorban agar
Cintanya tetap hadir
Meski tak terlihat kasat mata



Ujian cinta akan jadikan
Cinta itu kuat dan abadi
Seperti orang tak berjumpa
Akan bertambah cintanya



Ankara, waktu Ashar, 15 September 2013 

Lampu Kota




Hey kamu lihatlah
Aku melirik jendela 
Setelah sekian lama
Melihat layar dunia maya

Jendela itu bagai pigura
Yang lukisannya 
Menyesuaikan suasana
Petang pagi siang atau senja

Dan ini malam
Jendela kami berlukiskan
Lampulampu yang berkedipan
Hiasi malam yang tentram

Ankara, jelang tengah malam, 15 September 2013

Waktu Menjawab




Jika lelah dan tak ada lagi kata-kata untuk menjawab semua pertanyaan hari ini, tenang saja, sebab waktu akan menjawab semuanya.

Jika jatuh dan tak ada lagi tangan yang bisa mengangkatmu hari ini, tenang saja, tetap bangun di atas kakimu. 

Jika tumbang dari peperangan dahsyat, tenang saja, ada waktu untuk atur strategi agar bisa menumbangkan peperangan di lain waktu.


Ankara 2012

Ke Rangkasbitung adalah Pulang



Ke Rangkasbitung adalah pulang
Sebab..

Pulang adalah tenang
Pulang adalah senang
Pulang adalah menang
Setelah lama berjuang

Rangkasbitung adalah rumah
Sebab..

Rumah adalah tempat paling ramah
Rumah adalah tempat kembali arah
Rumah adalah tempat bersarang berkah
Usai melaksanakan semua titah

Ankara, 2013

Merugi




Tahukah siapa yang paling merugi?
Yaitu orang yang setiap hari
Memikirkan dunia dan lupa akan akhirat


Ankara 2013

Mencinta dan Dicinta



Ada kalanya
Pilihan terbaik
Adalah mencinta
Bukan dicinta

Mencinta itu
Urusanku
Dicinta itu
Urusanmu

Sebab mencinta adalah
Memberi cinta
Dan dicinta
Diberi cinta

Contohlah Tuhan
Yang maha Pemurah
Ia memberi cinta
Tanpa memintanya

Hanya makhluk bodoh
Yang tak cinta pada Tuhannya

Ankara, 5 Agustus 2013

Langit Menanda



Langit itu indah dipandang
Disana bersemayam pasangan
Matahari dan bulan
Dilengkapi galaksi bebintangan

Awan hanyalah perias cuaca 
Agar manusia biasa
Melihatnya tak bosan
Dengan pola rutinitas harian

Ohya, perbintangan berguna
Untuk mengarahkan jalan
Agar tak menyesat
Di tengah hamparan samudera

Matahari sejak dulu menjadi
Penanda pergantian hari
Meski waktu sinar tak selalu sama
Di tempat berbeda

Bahkan rembulan dijadikan penanda
Bagi orang yang berpuasa
Untuk menikmati kemenangan
Usai peperangan lahir batin

Rembulan pun penanda umat
Muhammad rayakan kejayaan
Idul fitri nan suci setelah 
Menahan hawa nafsu sebulan

Indahnya pergantian bulan matahari
Selalu dibarengi dengan ingat Ilahi
Dirikan sholat pada maghrib
Isya shubuh dhuhur dan ashr

Belajarlah pada langit
Penanda yang meninggi
Ia ajarkan cinta hakiki
Penaung bumi dan galaksi

Ia rela meski suatu 
Ketika terhalang awan 
Meski halilintar menambah
Hiasan wajahnya

Meski bulan meredupkan 
cahaya langit malam
Dan mentari cerahkan
Di kala siang

Para malaikat suci
Bersemayan di langit
Yang miliki tujuh lapis
Dan sesekali turun ke bumi

Catat dan jaga insan
Yang bersujud sepertiga malam
Untuk sabar dan syukur atas nikmat
Karunia pada Tuhan pencipta alam 

Di bawah langit Ankara, 16 Juli 2012