Tulisan tiga tahun yang lalu ini merupakan laporan jurnalistik terbaik yang pernah saya tulis saat masih menjadi wartawan di Republika. Setiap jurnalis biasanya memiliki tulisan terbaiknya. Mengapa tulisan ini terbaik menurut saya? karena, pertama, liputan itu merupakan liputan bencana.
Kedua, saat liputan Situ Gintung ini saya menetap di tempat bencana selama tujuh hari tujuh malam tidak pernah keluar dari lokasi bencana. Ketiga, karena menetap maka saya mendapatkan berita 'eksklusif' yang tidak dimuat di media lain, baru dua atau tiga hari kemudian ada beberpa koran yang memuat laporan serupa. Keempat, saat wawancara saya sempat merinding dengar ceritanya.
Kelima, selain menjadi wartawan, saya juga berperan sebagai relawan dan 'korban' waktu dan perasaan, hehehe. Namun yang pasti dari kisah ajaib ini saya percaya bahwa Keajaiban pasti datang kepada siapa saja yang melakukan kebaikan yang tulus dan terus menerus, serta menyerahkan segalanya kepada Sang Pencipta. Dengan kata lain: Ikhlas. Berikut laporannya:
Keajaiban Datang Saat 'Tsunami'
Sudah lama shalat Tahajud menjadi kebiasaan Taryono (39 tahun). Tak ketinggalan, shalat malam itu juga dilakukan warga RT 04/08 Kelurahan Cireundeu, Kecamatan Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, ini pada Jumat (27/3/2009) dini hari sekitar pukul 02.00 WIB.
Selama hampir setengah jam, Taryono khusyuk menunaikan shalat tersebut. Rasa kantuk yang teramat sangat tak mampu membuatnya tetap melek. Akhirnya, seusai shalat yang dilanjutkan dengan berzikir, pria asal Ngawi, Jawa Timur, ini pun kembali ke peraduan. Taryono terbangun lagi saat azan Subuh berkumandang. Dia kemudian membangunkan keluarganya untuk menunaikan shalat Subuh berjamaah. Tapi, karena keterbatasan tempat, Taryono mengajak keluarganya shalat sendiri-sendiri.
Sesaat hendak shalat, tiba-tiba dia mendengar seseorang berteriak, ''Maling-maling.'' Dengan gerak refleks, Taryono bergegas keluar rumah, membatalkan niatnya semula untuk menunaikan shalat Subuh.Anehnya, setelah melongok ke kanan ke kiri, Taryono tak mendapati asal sumber suara tersebut. Seakan-akan ditelan bumi, teriakan tadi seketika lenyap. Suasana pun kembali sunyi.
Pada saat itulah, bukannya teriakan ''Maling'' yang didengarnya, tapi suara bergemuruh yang terdeteksi kupingnya. Suara gemuruh itu didengarnya laksana gelombang air yang berjalan kencang. Lantai rumahnya pun bergetar karena hal tersebut. ''Getaran itu seperti ada sesuatu yang akan keluar dari dalam tanah,'' tutur karyawan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Ahmad Dahlan itu.
Dia menemukan jawaban asal gemuruh itu saat gulungan air datang menghantam pintu belakang rumahnya. Tanpa dia sadari, arus air bah yang deras itu membuatnya terhanyut. Taryono timbul tenggelam diseret air bah yang berasal dari jebolnya tanggul Situ Gintung.
Nasib Taryono cukup beruntung karena tubuhnya tersangkut di pohon salam yang tak jauh dari rumahnya. ''Ketinggian air waktu itu sudah mencapai empat sampai lima meter,'' katanya.Namun, pohon itu tak kuat menahannya. Dia pun kembali terlempar dan terimpit ke gulungan sampah yang datang bersamaan dengan tumpahan tak kurang dari dua juta meter kubik air Situ Gintung. ''Air itu datang lagi dan bertambah deras,'' kenangnya.
Di tengah rasa panik, Taryono melafalkan dua kalimat syahadat sebanyak tiga kali. Ketinggian air terus bertambah hingga menutup atap rumahnya, setinggi 10 meter.Lagi-lagi, dia timbul tenggelam diseret derasnya air. Dalam gelapnya malam, dia sempat melihat gulungan kasur yang lambat laun mendekatinya. Dengan sisa tenaga yang ada, diraihnya kasur tipis tersebut.
Usahanya memang tak mudah. Kasur setebal tiga sentimeter itu terdorong mengikuti aliran arus air yang bergelombang. Putus asa sempat menghinggapinya.Dia pun berkata dalam hati, ''Ya Allah, jika saat ini Engkau memanggil saya, saya ikhlas.'' Taryono mengucapkan itu lirih sambil membaca syahadat tiga kali untuk kedua kalinya.
Setelah itu, Taryono merasa ada sesuatu yang mendorongnya menaiki kasur lipat tersebut. ''Saya tersungkur di atas kasur dengan posisi tengkurap,'' cerita Taryono.Ajaibnya, kasur tipis itu kuat menahan badannya tetap berada di atas gelombang air. Tidak berhenti di situ, kasur tersebut membawanya memotong derasnya air.
''Kasur itu membawa saya ke tepian jalan raya,'' ungkapnya. Padahal, antara rumahnya dan tepian jalan raya itu berjarak tak kurang dari 35 meter.Taryono sampai di tepian jalan dalam kondisi pakaian yang sudah tak utuh lagi. Tubuhnya penuh luka, pun demikian dengan kaki dan tangannya. Sebagai ungkapan rasa bahagia, dia lantas bersujud syukur di tepian jalan raya.
Saat itu, waktu menunjukkan sekitar pukul 05.30. Kendati telah selamat, Taryono tetap tak menyadari apa yang telah terjadi. Ia seakan-akan linglung atas musibah yang dialami. ''Bahkan, saya sempat bertanya ke orang-orang lain yang selamat, kejadiannya seperti apa.''Dia panik setelah tersadar istri dan anaknya tiada di sampingnya. ''Saya baru sadar kalau anak dan istri saya ternyata hilang,'' tuturnya sembari mengucurkan air mata.
Dia pun mengobok-obok kawasan yang porak-poranda dilanda air bah tersebut. Usahanya tak sia-sia. Sekitar pukul 07.00 WIB, ia menemukan Iwin Tyah Kencono Wulan (35), istrinya, dalam keadaan selamat dan masih berada di daerah itu.Sama dengan Taryono, Iwin selamat lantaran menaiki kasur yang malam itu dipakainya untuk tidur. Bahkan, kasur itu masih dengan sepreinya.
Rasa senang yang tak terkira membuatnya teringat jika belum melaksanakan shalat Subuh. Saat itu juga, dia langsung shalat. ''Kalau masalah keterlambatan shalat, saya serahkan kepada Allah saja,'' ungkapnya. Setengah jam kemudian, Riza (11), anaknya, ditemukan. Riza bahkan ditemukan dalam kondisi tanpa luka. Kejadian selamatnya Riza pun penuh kemukjizatan.
Menurut Taryono, anaknya tak ikut terseret arus karena tersangkut di pohon dukuh yang berada sekitar dua meter di depan rumahnya. ''Anehnya, pohon dukuh yang sebesar paha saya itu masih kokoh berdiri. Sementara pohon rambutan selebar pinggang saya tumbang. Ini merupakan mukjizat dari Allah SWT,'' ujar Taryono.
Kebahagiaan Taryono terhenti saat dia mengetahui, adik iparnya, Sukamto (35), meninggal karena dihantam air Situ Gintung. Jenazah Sukamto kemudian dibawa dan dikebumikan di Ngawi. Sedangkan, istri Sukamto yang juga adik Taryono, Retno (25), sampai saat ini belum ditemukan.
Adapun adik Taryono lainnya, Iwan (30), selamat dari amukan tumpahan Situ Gintung yang laksana tsunami itu. Kuku kaki Iwan sebelah kanan dan kiri copot, tubuhnya pun tersayat.Hingga Ahad (30/3), Sukamto dan keluarga masih tinggal di pengungsian di gedung Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ). Sukamto dan puluhan korban lainnya, sampai saat ini, masih menunggu uluran tangan para dermawan untuk membantu membangun kembali rumahnya yang hancur akibat gulungan tsunami Situ Gintung.
Kedua, saat liputan Situ Gintung ini saya menetap di tempat bencana selama tujuh hari tujuh malam tidak pernah keluar dari lokasi bencana. Ketiga, karena menetap maka saya mendapatkan berita 'eksklusif' yang tidak dimuat di media lain, baru dua atau tiga hari kemudian ada beberpa koran yang memuat laporan serupa. Keempat, saat wawancara saya sempat merinding dengar ceritanya.
Kelima, selain menjadi wartawan, saya juga berperan sebagai relawan dan 'korban' waktu dan perasaan, hehehe. Namun yang pasti dari kisah ajaib ini saya percaya bahwa Keajaiban pasti datang kepada siapa saja yang melakukan kebaikan yang tulus dan terus menerus, serta menyerahkan segalanya kepada Sang Pencipta. Dengan kata lain: Ikhlas. Berikut laporannya:
*****
Keajaiban Datang Saat 'Tsunami'
Sudah lama shalat Tahajud menjadi kebiasaan Taryono (39 tahun). Tak ketinggalan, shalat malam itu juga dilakukan warga RT 04/08 Kelurahan Cireundeu, Kecamatan Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, ini pada Jumat (27/3/2009) dini hari sekitar pukul 02.00 WIB.
Mobil terdampar di atas kuburan usai dihantam 'tsunami' Situ Gintung |
Sesaat hendak shalat, tiba-tiba dia mendengar seseorang berteriak, ''Maling-maling.'' Dengan gerak refleks, Taryono bergegas keluar rumah, membatalkan niatnya semula untuk menunaikan shalat Subuh.Anehnya, setelah melongok ke kanan ke kiri, Taryono tak mendapati asal sumber suara tersebut. Seakan-akan ditelan bumi, teriakan tadi seketika lenyap. Suasana pun kembali sunyi.
Pada saat itulah, bukannya teriakan ''Maling'' yang didengarnya, tapi suara bergemuruh yang terdeteksi kupingnya. Suara gemuruh itu didengarnya laksana gelombang air yang berjalan kencang. Lantai rumahnya pun bergetar karena hal tersebut. ''Getaran itu seperti ada sesuatu yang akan keluar dari dalam tanah,'' tutur karyawan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Ahmad Dahlan itu.
Tentara sebagai relawan dan warga yang berwisata bencana. Ada-ada ajah! |
Nasib Taryono cukup beruntung karena tubuhnya tersangkut di pohon salam yang tak jauh dari rumahnya. ''Ketinggian air waktu itu sudah mencapai empat sampai lima meter,'' katanya.Namun, pohon itu tak kuat menahannya. Dia pun kembali terlempar dan terimpit ke gulungan sampah yang datang bersamaan dengan tumpahan tak kurang dari dua juta meter kubik air Situ Gintung. ''Air itu datang lagi dan bertambah deras,'' kenangnya.
Di tengah rasa panik, Taryono melafalkan dua kalimat syahadat sebanyak tiga kali. Ketinggian air terus bertambah hingga menutup atap rumahnya, setinggi 10 meter.Lagi-lagi, dia timbul tenggelam diseret derasnya air. Dalam gelapnya malam, dia sempat melihat gulungan kasur yang lambat laun mendekatinya. Dengan sisa tenaga yang ada, diraihnya kasur tipis tersebut.
Usahanya memang tak mudah. Kasur setebal tiga sentimeter itu terdorong mengikuti aliran arus air yang bergelombang. Putus asa sempat menghinggapinya.Dia pun berkata dalam hati, ''Ya Allah, jika saat ini Engkau memanggil saya, saya ikhlas.'' Taryono mengucapkan itu lirih sambil membaca syahadat tiga kali untuk kedua kalinya.
Setelah itu, Taryono merasa ada sesuatu yang mendorongnya menaiki kasur lipat tersebut. ''Saya tersungkur di atas kasur dengan posisi tengkurap,'' cerita Taryono.Ajaibnya, kasur tipis itu kuat menahan badannya tetap berada di atas gelombang air. Tidak berhenti di situ, kasur tersebut membawanya memotong derasnya air.
Dua wartawan Republika, Yasmina dan Yogi, membantu peliputan di Situ Gintung |
''Kasur itu membawa saya ke tepian jalan raya,'' ungkapnya. Padahal, antara rumahnya dan tepian jalan raya itu berjarak tak kurang dari 35 meter.Taryono sampai di tepian jalan dalam kondisi pakaian yang sudah tak utuh lagi. Tubuhnya penuh luka, pun demikian dengan kaki dan tangannya. Sebagai ungkapan rasa bahagia, dia lantas bersujud syukur di tepian jalan raya.
Saat itu, waktu menunjukkan sekitar pukul 05.30. Kendati telah selamat, Taryono tetap tak menyadari apa yang telah terjadi. Ia seakan-akan linglung atas musibah yang dialami. ''Bahkan, saya sempat bertanya ke orang-orang lain yang selamat, kejadiannya seperti apa.''Dia panik setelah tersadar istri dan anaknya tiada di sampingnya. ''Saya baru sadar kalau anak dan istri saya ternyata hilang,'' tuturnya sembari mengucurkan air mata.
Dia pun mengobok-obok kawasan yang porak-poranda dilanda air bah tersebut. Usahanya tak sia-sia. Sekitar pukul 07.00 WIB, ia menemukan Iwin Tyah Kencono Wulan (35), istrinya, dalam keadaan selamat dan masih berada di daerah itu.Sama dengan Taryono, Iwin selamat lantaran menaiki kasur yang malam itu dipakainya untuk tidur. Bahkan, kasur itu masih dengan sepreinya.
Rasa senang yang tak terkira membuatnya teringat jika belum melaksanakan shalat Subuh. Saat itu juga, dia langsung shalat. ''Kalau masalah keterlambatan shalat, saya serahkan kepada Allah saja,'' ungkapnya. Setengah jam kemudian, Riza (11), anaknya, ditemukan. Riza bahkan ditemukan dalam kondisi tanpa luka. Kejadian selamatnya Riza pun penuh kemukjizatan.
Menurut Taryono, anaknya tak ikut terseret arus karena tersangkut di pohon dukuh yang berada sekitar dua meter di depan rumahnya. ''Anehnya, pohon dukuh yang sebesar paha saya itu masih kokoh berdiri. Sementara pohon rambutan selebar pinggang saya tumbang. Ini merupakan mukjizat dari Allah SWT,'' ujar Taryono.
Kalau ini, kami sedang berkumpul di mall depan kantor kami sehabis liputan. |
Adapun adik Taryono lainnya, Iwan (30), selamat dari amukan tumpahan Situ Gintung yang laksana tsunami itu. Kuku kaki Iwan sebelah kanan dan kiri copot, tubuhnya pun tersayat.Hingga Ahad (30/3), Sukamto dan keluarga masih tinggal di pengungsian di gedung Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ). Sukamto dan puluhan korban lainnya, sampai saat ini, masih menunggu uluran tangan para dermawan untuk membantu membangun kembali rumahnya yang hancur akibat gulungan tsunami Situ Gintung.
0 komentar:
Posting Komentar