Jumat, 13 Juli 2012

Guru-guru yang Menginspirasi (2)




Ayah adalah guru saya yang paling berpengaruh. Ayah saya pensinan PNS sebagai guru SD. Pendidikan terakhirnya Sekolah Pendidikan Guru (SPG) atau setara dengan SMA saat ini. Meski begitu, keinginan tentang pendidikan anak yang baik ia perjuangkan. Dengan 4 orang anak ia yang hanya pegawai negeri sipil biasa, mampu menyekolahkan keempatnya ke jenjang sarjana.


Ayah saya adalah saksi saat saya lulus dari Pondok Gontor. Ia senang bukan kepalang. Saat itu perjuangannya menyekolahkan anak terakhir berujung manis. Meski ia tetap harus membiayai untuk kuliah kami. Bagaimana dengan gaji yang pas-pasan ia mampu menyekolahkan anak-anaknya? Sebelum cerita tentang itu saya ingin berbagi kisah saat ayah bekerja di Jakarta tahun 70-an.

Ayah adalah anak pertama di keluarganya. Ayahnya ayah saya hanya pedagang serabutan, jadinya tak mampu membiayai sekolah anak-anaknya. Ayah saya cerita, saat ia sekolah ia membiayai sekolahnya sendiri. Caranya dengan membawa kelapa dari kampung ke pasar di kota. Sekitar 10 km jarak antara kampung ayah dan pasar di kota Rangkasbitung. Dan jarak itu ia tempuh dengan jalan kaki. Hasil penjualannya ia bayarkan untuk sekolah dan menghidupi adik-adiknya.

Usai lulus dari SPG ayah merantau ke Jakarta bagian utara di Tanjung Priok. Ia bekerja apa saja yang penting menghasilkan dan halal tentunya. Pernah bekerja sebagai penjual sekaligus pemasang tirai dan hordeng jendela di Jakarta. Pernah ia memasang dan menghias jendela di salah satu gedung mewah di kawasan Bundaran HI.

Di sela kesibukannya di Jakarta, ayah mendapat kabar bahwa ada pendaftaran CPNS di kabupaten Lebak. Ia pun kembali ke Rangkasbitung untuk melamar kerja sebagai guru SD. Saat ia akan kembali ke Rangkasbitang, ada sekelompok penjambret di stasiun Kampung Bandan yang mengambil tasnya yang berisi berkas ijazah.

Para penjambret itu lari dan loncat dari kereta saat kereta mulai bergerak maju. Ayah saya langsung mengejar dan lompat dari kereta. Ia berhadapan dengan para penjambret. Karena ijazah adalah segalanya bagi ayah, ia lantas mengambil tas itu dan menghajar para penjambret. Tak ada rasa takut waktu itu. Dan para pecundang itu kemudian lari meninggalkan ayah yang sudah memegang kembali berkas ijazahnya.

Usai menjadi PNS ayah menikah dengan ibu saya. Mereka membeli sebidang tanah di Rancasema, satu kilometer dari pusat kota Rangkasbitung. Kami tinggal di rumah itu sejak tahun 80-an awal hingga kini. Untuk membiayai sekolah anak-anaknya, ia tidak hanya mengandalkan gajinya sebagi guru. Ia juga berbisnis. Pernah saat saya SD, ayah saya mengikuti seminar sepekan di Bandung untuk para guru yang berwirausaha.

Ayah saya sempat punya truk untuk berbisnis pasir atau batu bata. Ia juga penjual kayu batangan. Agar kayu kuat, cerita ayah, kayu harus direndam dalam lumpur. Beberapa lemari di rumah adalah buatan sendiri dari kayu yang menumpuk di belakang rumah kami. Pelajaran kreatif yang berujung hemat inilah yang ia berikan pada kami. Soal disiplin jangan ditanya. Sama saja dengan ibu saya.

Meski hanya lulusan SPG dan bukan sarjana, namun impiannya begitu tinggi. Ia ingin memiliki sekolah yang bagus bagi masyarakat kami yang tidak bisa bersekolah. Ia ingin masyarakat di lingkungan kami pun banyak yang mengenyam pendidikan. Karena ia yakin hanya dengan pendidikan dan ilmu pengetahuan nasib manusia bisa berubah. “Semua ada ilmunya, agar hidup kita menjadi mudah,” kata-kata ini yang sering ia ucapkan pada saya.


(bersambung)

0 komentar:

Posting Komentar