Ayah adalah guru saya yang paling berpengaruh. Ayah saya pensinan PNS sebagai guru SD. Pendidikan terakhirnya Sekolah Pendidikan Guru (SPG) atau setara dengan SMA saat ini. Meski begitu, keinginan tentang pendidikan anak yang baik ia perjuangkan. Dengan 4 orang anak ia yang hanya pegawai negeri sipil biasa, mampu menyekolahkan keempatnya ke jenjang sarjana.
Ayah saya adalah saksi saat saya lulus dari Pondok Gontor. Ia
senang bukan kepalang. Saat itu perjuangannya menyekolahkan anak terakhir
berujung manis. Meski ia tetap harus membiayai untuk kuliah kami. Bagaimana dengan
gaji yang pas-pasan ia mampu menyekolahkan anak-anaknya? Sebelum cerita tentang
itu saya ingin berbagi kisah saat ayah bekerja di Jakarta tahun 70-an.
Ayah adalah anak pertama di keluarganya. Ayahnya ayah saya
hanya pedagang serabutan, jadinya tak mampu membiayai sekolah anak-anaknya. Ayah
saya cerita, saat ia sekolah ia membiayai sekolahnya sendiri. Caranya dengan
membawa kelapa dari kampung ke pasar di kota. Sekitar 10 km jarak antara kampung
ayah dan pasar di kota Rangkasbitung. Dan jarak itu ia tempuh dengan jalan kaki. Hasil penjualannya ia bayarkan untuk sekolah dan
menghidupi adik-adiknya.
Usai lulus dari SPG ayah merantau ke Jakarta bagian utara di
Tanjung Priok. Ia bekerja apa saja yang penting menghasilkan dan halal tentunya. Pernah bekerja
sebagai penjual sekaligus pemasang tirai dan hordeng jendela di Jakarta. Pernah
ia memasang dan menghias jendela di salah satu gedung mewah di kawasan Bundaran
HI.
Di sela kesibukannya di Jakarta, ayah mendapat kabar bahwa
ada pendaftaran CPNS di kabupaten Lebak. Ia pun kembali ke Rangkasbitung untuk
melamar kerja sebagai guru SD. Saat ia akan kembali ke Rangkasbitang, ada sekelompok
penjambret di stasiun Kampung Bandan yang mengambil tasnya yang berisi berkas
ijazah.
Para penjambret itu lari dan loncat dari kereta saat kereta
mulai bergerak maju. Ayah saya langsung mengejar dan lompat dari kereta. Ia berhadapan
dengan para penjambret. Karena ijazah adalah segalanya bagi ayah, ia lantas
mengambil tas itu dan menghajar para penjambret. Tak ada rasa takut waktu itu. Dan
para pecundang itu kemudian lari meninggalkan ayah yang sudah memegang kembali
berkas ijazahnya.
Usai menjadi PNS ayah menikah dengan ibu saya. Mereka membeli
sebidang tanah di Rancasema, satu kilometer dari pusat kota Rangkasbitung. Kami tinggal
di rumah itu sejak tahun 80-an awal hingga kini. Untuk membiayai sekolah anak-anaknya, ia
tidak hanya mengandalkan gajinya sebagi guru. Ia juga berbisnis. Pernah saat
saya SD, ayah saya mengikuti seminar sepekan di Bandung untuk para guru yang
berwirausaha.
Ayah saya sempat punya truk untuk berbisnis pasir atau batu
bata. Ia juga penjual kayu batangan. Agar kayu kuat, cerita ayah, kayu harus
direndam dalam lumpur. Beberapa lemari di rumah adalah buatan sendiri dari kayu
yang menumpuk di belakang rumah kami. Pelajaran kreatif yang berujung hemat
inilah yang ia berikan pada kami. Soal disiplin jangan ditanya. Sama saja
dengan ibu saya.
Meski hanya lulusan SPG dan bukan sarjana, namun impiannya
begitu tinggi. Ia ingin memiliki sekolah yang bagus bagi masyarakat kami yang
tidak bisa bersekolah. Ia ingin masyarakat di lingkungan kami pun banyak yang
mengenyam pendidikan. Karena ia yakin hanya dengan pendidikan dan ilmu
pengetahuan nasib manusia bisa berubah. “Semua ada ilmunya, agar hidup kita
menjadi mudah,” kata-kata ini yang sering ia ucapkan pada saya.
(bersambung)
(bersambung)
0 komentar:
Posting Komentar