Sabtu, 21 Juli 2012

Asrama, Belajar Mengenal Sesama


Hampir setiap megenyam pendidikan saya tinggal di asrama. Mulanya asrama di Gontor setingkat SMP dan SMA. Kemudian saat kuliah di Ciputat di asrama Himpunan Mahasiswa Banten (HMB) Jakarta. Terakhir saat sekolah di Ankara, Turki. Persamaan dari ketiga asrama itu sama-sama hidup bareng orang-orang yang sebelumnya tidak pernah kita kenali.

Pas awal berasrama, saya tidak kerasan. Sebab harus siap berbagi dengan orang-orang yang satu kamar dengan kita. Terkadang ada yang egois. Inginnya menang sendiri. Ada yang memang pelit. Ada yang baik hati. Ada yang cuek minta ampun. Ada yang sok jagoan. Ada yang sok bijak. Ada juga yang bawaannya kalem. Ada yang pemalas. Ada yang rajin. Pokoknya, persis seperi gado-gado. Semua ada menjadi satu dalam satu kamar.

Gedung Saudi di Gontor. Photo:  lazuardibirru.org

Sebelum masuk Gontor, saya masuk pesantren Ar-Risalah, sekitar tujuh kilometer jarak antara keduanya. Sebab awal ajaran baru di Gontor adalah bulan Syawwal sementara saya lulus SD sesuai dengan ajaran baru pada umumnya. Agar tak menganggur maka saya masuk pesantren alumni Gontor itu selama 6 bulan. Di salah satu asrama di sana, ruangannya besar, maka dibagi menjadi dua kamar. Pembatasnya hanyalah lemari para santri yang tingginya sekitar 120 cm.

Suatu sore, kamar tetangga kami ada yang melempar sesuatu ke kamar kami. Karena kami tak menerima lemparan itu, maka kami lempar balik barang itu. Kemudian dibalas lagi. Kami pun membalasnya dengan lebih banyak lagi. Akhirnya perang pun terjadi. Perang dengan lempar-lemparan barang. Sampai ada bekas makanan di lempar. Dan kedua kamar itu tak bisa dibedakan dengan kapal pecah. Akhirnya pengurus asrama memberikan teguran keras kepada kedua kamar yang membuat onar.

Hal serupa juga terjadi saat saya tinggal di asrama Saudi tiga lantai dua di Gontor. Gedung Saudi memiliki tiga lantai. Ketiga lantai itu diisi oleh asrama shighor, atau asrama untuk remaja. Tetiba dari lantai tiga ada yang membuang pelastik berisi sampah ke lantai satu. Dan orang yang di lantai satu tak bisa menerima itu, dan mereka mengira bahwa yang melempar itu orang di lantai dua. Kami yang di lantai dua tak menerima itu.

Kami pun melempar barang lainnya (serupa sampai pelastik) ke lantai satu dan juga ke lantai tiga. Dari lantai satu melempar ke lantai dua dan tiga. Dari lantai tiga melempar sesuatu ke lantai dua dan tiga. Kami yang di lantai dua juga sama. Semua saling lempar-melempar sampah. Bisa kebayang kan bagaimana ramainya? Seakan-akan Perang Dunia Ketiga dimulai. Tak ada yang bisa menghentikan pertikaian itu.

Sampai akhirnya datang pihak keamanan pondok mengamankan peperangan itu. Para pengurus dari ketiga asrama pun dipanggil dan diinterogerasi. Mereka diberi hukuman yang lumayan berat. Dan kami para anggota hanya tersenyum dengan kejadian itu. Yang berperang siapa, yang dihukum siapa. Begitulah nasib pengurus. Tapi pengurus pun menegur kami para anggotanya.

Asrama HMB Jakarta dekat UIN Jakarta

Saat menjadi mahasiswa di Ciputat berbeda suasana. Asrama HMB Jakarta diperuntukkan untuk orang-orang Banten yang belajar di Jakarta. Alhamdulillah tanah dan bangunannya sudah milik HMB. Tanah sudah dibeli sejak tahun 1970-an, saat Ketua Umum HMB Jakarta waktu itu Prof. Dr. M. Amin Suma, sementara bangunan baru berkat sumbangan dari Pemerintah Provinsi Banten.

Di asrama ini kami membuat peraturan sendiri. Ada petugas harian yang merapikan asrama secara bergantian, kecuali minggu kami kerja bakti bersama. Saya sempat menjadi ketua asrama perdana, saat bangunan asrama baru berdiri. Sebelumnya kami mengontrak dari rumah satu ke rumah lainnya.

Di asrama HMB ini rasa kekeluargaan begitu kentara. Kadang kami babacakan alias makan bersama di atas pelepah daun pisang di hari minggu. Menu makanannya istimewa, yaitu nasi liwet, ikan asin dan sambal terasi serta dilengkapi dengan sayur asem. Tak jarang senior kami datang menjadi donator babacakan itu. Di asrama ini kami berkumpul, bergaul, belajar, berdiskusi, hingga ceng-cengan tak jelas. Semua harus kuat dengan hinaan yang sebenarnya hanyalah candaan keakraban.

Terakhir adalah asrama di Cebeci, sekitar lima menit jalan kaki dari kampus Universitas Ankara, kampus Cebeci. Asrama ini berbeda dengan dua asrama yang pernah saya tempati. Asrama ini memiliki petugas pembersih di setiap lantainya. Di dua asrama sebelumnya, kami harus membersihkan tempat kami masing-masing, di asrama ini ada petugasnya sendiri.

Tapi ada yang lebih membedakan yaitu penduduk asramanya. Kalau di Gontor kami berasrama bareng orang-orang dari Aceh hingga Papua, ada juga dari negeri tetangga, Malaysia dan Thailand, misalnya. Di sini lebih beragam lagi, ada dari Turki, ada dari Palestina, dari benua Afrika, Asia, hingga Eropa bergumul dalam satu tempat. Hanya bahasa yang bisa menyatukan kami. Jika kami tak bisa berbahasa yang mereka pahami maka susahlah berkomunikasi.
Tempat tidur saya di Asrama Cebeci.

Semangat belajar menjadi kuat saat kita benar-benar tak bisa bahasa yang mereka bicarakan. Akhirnya dengan sekuat tenaga saya belajar bahasa Turki. Sebab, tak jarang orang mempermainkan kita disebabkan hanya kita tak mampu berbahasa. Selain bahasa, juga tentang budaya yang berbeda. Kita harus kuat dan berani menyikapi ini. Tak boleh semena-mena tapi tak boleh juga lembek. Di sini kita belajar tentang menghadapi orang yang berbeda segala sesuatunya dengan kita.

Meski begitu, saya tidak selamanya tinggal di asrama. Di Gontor misalnya, di kelas akhir saya tingal di koperasi pelajar sebagai pengurus sekaligus ketuanya. Semuanya terjamin. Begitu pun di Ciputat. Di semester tujuh saya tidak lagi menetap di asrama. Saya menyewa kost, agar sekolah dan menulis skripsi fokus dan lancar. Pun di Turki ini, di akhir semester saya juga menetap di rumah warga Indonesia yang bekerja di Ankara, hingga lulus nanti, insya Allah, amin.

Asrama bagi saya adalah tempat belajar mengenal sesama. Mengenal karakter seseorang. Mengenal budaya suatu negeri. Belajar memahami watak dan kebiasaan seseorang. Belajar memahami ideologi seseorang. Belajar mengingat hal-hal yang baik, membuang hal yang buruk dan cuek dengan hal yang tidak bermanfaat. Belajar tenggang rasa. Belajar kebersamaan. Belajar berbagi. Dan belajar untuk belajar.

0 komentar:

Posting Komentar