Hampir setiap megenyam pendidikan saya tinggal di asrama. Mulanya
asrama di Gontor setingkat SMP dan SMA. Kemudian saat kuliah di Ciputat di
asrama Himpunan Mahasiswa Banten (HMB) Jakarta. Terakhir saat sekolah di Ankara,
Turki. Persamaan dari ketiga asrama itu sama-sama hidup bareng orang-orang yang
sebelumnya tidak pernah kita kenali.
Pas awal berasrama, saya tidak kerasan. Sebab harus siap
berbagi dengan orang-orang yang satu kamar dengan kita. Terkadang ada yang
egois. Inginnya menang sendiri. Ada yang memang pelit. Ada yang baik hati. Ada yang
cuek minta ampun. Ada yang sok jagoan. Ada yang sok bijak. Ada juga yang
bawaannya kalem. Ada yang pemalas. Ada yang rajin. Pokoknya, persis seperi
gado-gado. Semua ada menjadi satu dalam satu kamar.
Gedung Saudi di Gontor. Photo: lazuardibirru.org |
Sebelum masuk Gontor, saya masuk pesantren Ar-Risalah,
sekitar tujuh kilometer jarak antara keduanya. Sebab awal ajaran baru di Gontor
adalah bulan Syawwal sementara saya lulus SD sesuai dengan ajaran baru pada
umumnya. Agar tak menganggur maka saya masuk pesantren alumni Gontor itu selama
6 bulan. Di salah satu asrama di sana, ruangannya besar, maka dibagi menjadi
dua kamar. Pembatasnya hanyalah lemari para santri yang tingginya sekitar 120
cm.
Suatu sore, kamar tetangga kami ada yang melempar sesuatu ke
kamar kami. Karena kami tak menerima lemparan itu, maka kami lempar balik
barang itu. Kemudian dibalas lagi. Kami pun membalasnya dengan lebih banyak
lagi. Akhirnya perang pun terjadi. Perang dengan lempar-lemparan barang. Sampai
ada bekas makanan di lempar. Dan kedua kamar itu tak bisa dibedakan dengan
kapal pecah. Akhirnya pengurus asrama memberikan teguran keras kepada kedua
kamar yang membuat onar.
Hal serupa juga terjadi saat saya tinggal di asrama Saudi tiga
lantai dua di Gontor. Gedung Saudi memiliki tiga lantai. Ketiga lantai itu
diisi oleh asrama shighor, atau asrama untuk remaja. Tetiba dari lantai tiga
ada yang membuang pelastik berisi sampah ke lantai satu. Dan orang yang di
lantai satu tak bisa menerima itu, dan mereka mengira bahwa yang melempar itu
orang di lantai dua. Kami yang di lantai dua tak menerima itu.
Kami pun melempar barang lainnya (serupa sampai pelastik) ke
lantai satu dan juga ke lantai tiga. Dari lantai satu melempar ke lantai dua
dan tiga. Dari lantai tiga melempar sesuatu ke lantai dua dan tiga. Kami yang
di lantai dua juga sama. Semua saling lempar-melempar sampah. Bisa kebayang kan
bagaimana ramainya? Seakan-akan Perang Dunia Ketiga dimulai. Tak ada yang bisa
menghentikan pertikaian itu.
Sampai akhirnya datang pihak keamanan pondok mengamankan
peperangan itu. Para pengurus dari ketiga asrama pun dipanggil dan
diinterogerasi. Mereka diberi hukuman yang lumayan berat. Dan kami para anggota
hanya tersenyum dengan kejadian itu. Yang berperang siapa, yang dihukum siapa. Begitulah
nasib pengurus. Tapi pengurus pun menegur kami para anggotanya.
Asrama HMB Jakarta dekat UIN Jakarta |
Saat menjadi mahasiswa di Ciputat berbeda suasana. Asrama HMB
Jakarta diperuntukkan untuk orang-orang Banten yang belajar di Jakarta. Alhamdulillah
tanah dan bangunannya sudah milik HMB. Tanah sudah dibeli sejak tahun 1970-an, saat Ketua Umum HMB Jakarta waktu itu Prof. Dr. M. Amin Suma, sementara bangunan baru berkat sumbangan dari Pemerintah Provinsi Banten.
Di asrama ini kami membuat peraturan sendiri. Ada petugas
harian yang merapikan asrama secara bergantian, kecuali minggu kami kerja bakti
bersama. Saya sempat menjadi ketua asrama perdana, saat bangunan asrama baru
berdiri. Sebelumnya kami mengontrak dari rumah satu ke rumah lainnya.
Di asrama HMB ini rasa kekeluargaan begitu kentara. Kadang kami
babacakan alias makan bersama di atas pelepah daun pisang di hari minggu. Menu makanannya
istimewa, yaitu nasi liwet, ikan asin dan sambal terasi serta dilengkapi dengan
sayur asem. Tak jarang senior kami datang menjadi donator babacakan itu. Di asrama
ini kami berkumpul, bergaul, belajar, berdiskusi, hingga ceng-cengan tak jelas.
Semua harus kuat dengan hinaan yang sebenarnya hanyalah candaan keakraban.
Terakhir adalah asrama di Cebeci, sekitar lima menit jalan
kaki dari kampus Universitas Ankara, kampus Cebeci. Asrama ini berbeda dengan
dua asrama yang pernah saya tempati. Asrama ini memiliki petugas pembersih di
setiap lantainya. Di dua asrama sebelumnya, kami harus membersihkan tempat kami
masing-masing, di asrama ini ada petugasnya sendiri.
Tapi ada yang lebih membedakan yaitu penduduk asramanya. Kalau
di Gontor kami berasrama bareng orang-orang dari Aceh hingga Papua, ada juga
dari negeri tetangga, Malaysia dan Thailand, misalnya. Di sini lebih beragam
lagi, ada dari Turki, ada dari Palestina, dari benua Afrika, Asia, hingga Eropa
bergumul dalam satu tempat. Hanya bahasa yang bisa menyatukan kami. Jika kami
tak bisa berbahasa yang mereka pahami maka susahlah berkomunikasi.
Semangat belajar menjadi kuat saat kita benar-benar tak bisa
bahasa yang mereka bicarakan. Akhirnya dengan sekuat tenaga saya belajar bahasa
Turki. Sebab, tak jarang orang mempermainkan kita disebabkan hanya kita tak
mampu berbahasa. Selain bahasa, juga tentang budaya yang berbeda. Kita harus
kuat dan berani menyikapi ini. Tak boleh semena-mena tapi tak boleh juga
lembek. Di sini kita belajar tentang menghadapi orang yang berbeda segala
sesuatunya dengan kita.
Meski begitu, saya tidak selamanya tinggal di asrama. Di Gontor
misalnya, di kelas akhir saya tingal di koperasi pelajar sebagai pengurus
sekaligus ketuanya. Semuanya terjamin. Begitu pun di Ciputat. Di semester tujuh
saya tidak lagi menetap di asrama. Saya menyewa kost, agar sekolah dan menulis
skripsi fokus dan lancar. Pun di Turki ini, di akhir semester saya juga menetap
di rumah warga Indonesia yang bekerja di Ankara, hingga lulus nanti, insya
Allah, amin.
Asrama bagi saya adalah tempat belajar mengenal sesama. Mengenal
karakter seseorang. Mengenal budaya suatu negeri. Belajar memahami watak dan
kebiasaan seseorang. Belajar memahami ideologi seseorang. Belajar mengingat
hal-hal yang baik, membuang hal yang buruk dan cuek dengan hal yang tidak
bermanfaat. Belajar tenggang rasa. Belajar kebersamaan. Belajar berbagi. Dan belajar
untuk belajar.
0 komentar:
Posting Komentar