Kamis, 19 Juli 2012

Kebersamaan Puasa


Dulu pas awal belajar puasa saya minta ijin sama ibu saya untuk buka terlebih dahulu karena sudah sangat tidak kuat menahan lapar. Padahal jam dinding yang digantung di dapur menunjukkan pukul 17.00 WIB. Artinya hanya tinggal satu jam lagi menuju waktu berbuka. Saya pun kenyang, makan sebelum waktu maghrib.



Usai kenyang tak lantas saya senang. Sebab beberapa menit kemudian adzan maghrib menggema dari toa masjid dekat rumah kami. Yang saya rasa waktu itu hanyalah penyesalan. Sesal yang tak berujung. Sangat menyesal. Sejak saat itu saya tak mau lagi meminta ijin untuk berbuka sebelum waktunya.


Mungkin, pikir ibu saya, latihan puasa memang tak perlu dipaksakan. Ia harus dirasakan dan dinikmati oleh si pelaksana puasa. Hingga berpuasa itu datang dari lubuk hati. Ikhlas karena Allah.  




Photo:  http://armylookfashion.com
Meski begitu saya jarang berpuasa di kampung halaman. Yang paling ‘ngangeni’ adalah buka puasa bersama di rumah bareng keluarga. Sejak kelas lima KMI di Gontor atau setingkat kelas dua SMA, saya jarang berpuasa Ramadhan di rumah tercinta. Bahkan saat kenaikan kelas lima ke kelas enam di KMI kami para santri harus bermukim di sana dan tidak diperbolehkan pulang.


Saat kelulusan kelas enam KMI kami masih merasakan puasa di pondok selama 15 hari. Dua minggu terakhir bulan Ramadhan baru kami merasakannya di rumah.  Kalau pas kuliah di Ciputat saya sering pulang ke Rangkasbitung pas puasa Ramadhan.


Ohya pas SD hingga kelas tiga KMI setingkat kelas tiga SMP, Ramadhan bagi saya dan saudara saya adalah waktu yang istimewa. Kami sering datang ke masjid agung Rangkasbitung untuk mengikuti lomba cerdas cermat keagamaan. Selain mendatangi masjid agung, ada juga masjid-masjid besar yang mengadakan lomba cerdas cermat serupa. Dan kami biasanya tak pernah absen untuk lomba itu.


Dan lawan kami pasti orangnya itu lagi itu lagi. Misalnya, Iyan Fitriana. Iyan ini adalah mantan ketua BEM Fak Syariah dan Hukum UIN Jakarta. Dulunya, dia satu sekolah agama bareng kami. Dan dia menjadi musuh yang selalu menantang kami di perlombaan cerdas cermat itu. Iyan kini menjadi aktivis terkemuka di kota Rangkasbitung.


Saat awal menjadi jurnalis di Republika tahun 2008, saat itu adalah puasa Ramadhan. Saya bertugas di Tangerang. Ini makin menjadi. Saya jarang sekali pulang ke Rangkasbitung. Bahkan tak jarang buka bersama di tempat liputan. Atau buka puasa di warnet D’Frog di bilangan kota Tangerang. Sesekali buka bersama di Pokja wartawan Tangerang.


Tahun 2009 lebih menarik. Saya bertugas di desk Dialog Jumat dan keislaman. Saya bertugas lebih banyak di kantor Republika. Sesekali saja liputan ke lapangan atau menemui kiai, ulama atau guru besar keislaman untuk wawancara. Selebihnya di kantor.


Nah, setiap hari ada buka puasa gratis di sana. Hehehe. Saya senang. Lebih dari itu, di mushala Republika lantai tiga juga kami biasa melaksanakan shalat taraweh berjamaah. Yah, kadang kebagian jadi petugas taraweh.


Sementara 2010 dan 2011 saya berpuasa Ramadhan di Ankara, Turki. Pengalaman puasa di sini pun berbeda dengan di Indonesia. Sebenarnya soal taraweh hampir sama dengan kita. Misalnya, ada yang taraweh 8 rakaat ada juga yang 20 rakaat. Tergantung si makmum ingin ikut yang mana. Setiap minggu juga kami warga Indonesia melaksanakan buka puasa bersama sekaligus taraweh di wisma KBRI.


Besok Jumat 20 Juli 2012 kita akan masuk awal bulan Ramadhan 1433 Hijriyah, insya Allah. Dan saya akan merasakan puasa wajib ini untuk ketiga kalinya di Turki. Pastinya setiap tahun berbeda suasananya. Minimal orang-orangnya pun ada yang berubah.


Namun yang pasti awal puasa dan lebaran di Turki ini tak ada perbedaan. Tak ada khilafiyah. Yang ada hanyalah sama-sama memulai buasa bareng, sama-sama berlebaran bareng. Semuanya dilaksanakan dengan kebersamaan bukan dengan keberbedaan.


Rasanya ingin saya di Indonesia pun seperti ini. Tak ada lagi perbedaan penetapan awal puasa dan Idul Fitri. Sebab, diantara hikmah puasa adalah tenggang rasa. Dan dengan tenggang rasa dapat menyepakati satu metode penetapan awal puasa dengan memilih metode Hisab atau Rukyah.


Jikalau saja para petinggi Nahdhatul Ulama, Muhammadiyah serta ormas lainnya bersama menteri Agama RI bersatu padu untuk menyepakati satu metode, niscaya Ramadhan akan dimulai serentak, begitu pula dengan lebaran. Ah indahnya. Seandainya!


Ankara, Jelang Ramadhan 1433/19 Juli 2012.

0 komentar:

Posting Komentar