Rabu, 04 Juni 2025

ZAHRA DAN CAHAYA DI LANGIT BANDUNG (Sebuah Cerpen)

 Langit Bandung senja itu menggantungkan warna jingga keemasan yang jatuh perlahan di antara kubah masjid kampus. Zahra berdiri di balik tirai jendela asramanya, menatap siluet lelaki yang baru saja melangkah keluar dari masjid setelah memberi pengajian rutin ba’da Maghrib. Lelaki itu, Abdullah, Direktur Pesantren Mahasiswa dan alumnus Al-Azhar Kairo, tampak bersahaja dengan sorban putih yang melingkar rapi di lehernya dan gamis abu yang membentuk citra kharismatik.

Zahra bukan tipe perempuan yang mudah terpikat. Sejak pertama menginjakkan kaki di Universitas Bandung sebagai mahasiswi baru, ia telah menetapkan hati bahwa cinta bukanlah prioritas. Ia ingin menuntaskan cita-citanya sebagai akademisi dan aktivis dakwah, menjunjung nilai-nilai Islam dalam dunia pendidikan. Namun, ada sesuatu yang berbeda pada Abdullah. Bukan sekadar karisma atau tutur lembutnya saat mengisi pengajian, tapi keistiqamahannya dalam membina para santri, kedewasaannya dalam menata program dakwah kampus, dan kesederhanaannya yang memancar kuat.

Zahra mengingat pertama kali ia melihat Abdullah secara langsung. Saat itu, ia tengah mengikuti taklim perdana mahasiswi baru di aula pesantren kampus. Abdullah memimpin langsung. Suaranya tegas, tapi teduh. Setiap kalimat mengandung hikmah. Tak ada satu pun dari peserta yang bermain-main dengan ponsel, semua larut dalam materi dan diskusi. Di penghujung acara, Abdullah membacakan doa dengan khusyuk. Entah mengapa, Zahra merasa hatinya ikut luruh dalam lantunan itu.

Sejak saat itu, Zahra mulai aktif mengikuti setiap kajian yang diisi oleh Abdullah. Ia tak pernah melewatkan satu pun. Bahkan saat hujan deras mengguyur Bandung, Zahra tetap datang ke masjid kampus dengan jas hujan dan sepatu yang basah. Teman-teman asrama sering menggoda, “Kamu naksir, ya?”

Zahra hanya tersenyum dan menggeleng, walau hatinya sendiri tak bisa berdusta.


Setiap malam, Zahra menuliskan catatan harian. Tapi hanya satu nama yang konsisten muncul di setiap paragraf: Abdullah.

"Aku tahu, mencintai diam-diam seperti ini mungkin adalah cara paling bodoh untuk menyimpan harapan. Tapi apakah salah jika aku hanya ingin menyayangi seseorang karena Allah, tanpa meminta ia tahu, tanpa mengganggu jalan hidupnya?"

Ia sadar betul, posisi Abdullah bukan sosok sembarangan. Selain sebagai direktur pelaksana pesantren, ia juga dipercaya oleh rektorat sebagai penanggung jawab program spiritual kampus. Sosok seperti itu tak mungkin memperhatikan mahasiswi biasa sepertinya. Lagi pula, Zahra tak pernah berbicara langsung dengannya. Paling banter hanya mengangguk sopan saat mereka berselisih di lorong masjid atau saat panitia pengajian mengatur tempat duduk.

Di balik diamnya, cinta tumbuh. Tapi Zahra tahu, ia tak boleh menjadikan perasaan ini sebagai sumber fitnah. Ia menjaga jarak, menjaga pandangan, dan menjaga hati dengan doa. Setiap malam, ia menangis dalam tahajud, mengadukan gejolak yang terus bergetar.

“Ya Allah, jika dia memang baik untukku, dekatkanlah dengan cara-Mu. Tapi jika tidak, hilangkan rasa ini seiring waktu.”


Suatu sore, Zahra ditunjuk menjadi koordinator acara Haflah Khataman Mahasantri. Ia terkejut karena Abdullah sendiri yang memilihnya, melalui rekomendasi dari pembina mahasiswi. Ia gugup saat pertama kali masuk ruang kerjanya untuk presentasi persiapan acara. Kantor itu sederhana, penuh buku-buku Islam dan literatur Timur Tengah.

“Silakan duduk, Zahra,” kata Abdullah, lembut.

Zahra merasa lututnya lemas. Ini pertama kalinya mereka berbicara empat mata.

“Terima kasih, Pak Ustaz,” jawabnya pelan.

Abdullah tersenyum kecil. “Saya dengar dari Ibu Yuliani, kamu cukup aktif dan disiplin. Kita butuh figur seperti itu untuk acara sekelas Haflah. Bisa dijelaskan rencana kegiatannya?”

Zahra pun menjelaskan dengan suara gemetar namun terstruktur. Ia memaparkan susunan acara, susunan panitia, dan daftar undangan.

Abdullah mendengarkan dengan seksama. Tidak sekali pun ia menyela, hanya sesekali mencatat.

“Bagus,” katanya akhirnya. “Saya lihat kamu cukup matang dalam persiapan. Terus terang saya senang melihat ada mahasiswi yang bukan hanya cerdas, tapi juga punya ruh tanggung jawab.”

Zahra nyaris meneteskan air mata. Tapi ia tahan. Ia hanya menjawab dengan senyum penuh rasa syukur.

Sejak hari itu, intensitas interaksi mereka meningkat. Meski tetap dalam batas syar’i, Zahra merasa seperti dibawa angin lembut yang menghapus jarak. Setiap instruksi Abdullah dalam grup panitia ia baca berulang. Setiap pujian, sekecil apa pun, menjadi kebahagiaan tak ternilai.

Namun, semakin dekat, semakin besar pula luka yang ia takuti: kehilangan harapan.


Haflah Khataman berlangsung sukses. Semua berjalan lancar. Bahkan Abdullah menyampaikan apresiasi khusus kepada Zahra di hadapan seluruh peserta.

“Koordinator kita, Saudari Zahra, bekerja luar biasa,” kata Abdullah saat sambutan. “Semoga menjadi teladan bagi teman-teman mahasiswi lain dalam tanggung jawab dan keikhlasan.”

Tepuk tangan bergema. Zahra tersenyum, tapi matanya berkaca. Apresiasi itu seperti cahaya terakhir sebelum malam panjang.

Dua minggu setelah acara, desas-desus muncul. Beberapa teman mulai membicarakan bahwa Abdullah sedang dalam proses taaruf dengan seorang dosen muda dari Fakultas Syariah.

Zahra kaget. Ia menutup pintu kamarnya dan menangis sejadi-jadinya.

“Ya Allah, aku tak pernah ingin memiliknya. Tapi mengapa perih ini terasa seperti kehilangan?”

Ia menulis di buku hariannya:

“Aku hanya ingin mencintainya dalam diam. Tapi dunia terlalu keras untuk membiarkan cinta tumbuh tanpa ekspektasi.”

Malam itu, Zahra bersujud lebih lama dari biasanya. Ia merelakan semuanya. Ia ingin membunuh harapan dengan kerelaan. Bahwa cinta tak harus memiliki. Bahwa mencintai seseorang karena Allah adalah tentang menginginkan yang terbaik baginya, meski itu berarti tak bersamanya.


Tahun berlalu. Zahra lulus dengan predikat cumlaude dan langsung mendapat beasiswa S2 di luar negeri. Sebelum keberangkatannya, ia menyempatkan diri mengunjungi masjid kampus. Di sana, ia duduk diam dalam shaf pertama, seperti masa-masa dulu.

Abdullah keluar dari ruang imam setelah Maghrib. Ia mengenali Zahra, lalu mendekat dan menyapanya, “Apa kabar, Zahra?”

Zahra tersenyum. “Alhamdulillah baik, Ustaz. Saya akan berangkat S2 besok.”

Abdullah mengangguk bangga. “Masya Allah, semoga ilmu yang kamu cari menjadi cahaya untuk ummat.”

“Insya Allah,” jawab Zahra, lirih.

Mereka berbincang sebentar, dalam nuansa formal dan hangat. Lalu Abdullah berkata, “Kalau tidak keberatan, boleh saya titip buku ini untuk kamu baca selama di sana?”

Zahra menerima buku itu. Di halaman pertama, tertulis:

"Untuk Zahra, semoga tetap menjadi perempuan yang kuat, meski tak semua rasa perlu diucap. – A."

Zahra menatap langit malam Bandung dari halaman masjid. Air matanya menetes, bukan karena sedih, tapi karena merasa didengar Tuhan. Cinta diamnya memang tak menjadi kisah indah penuh romansa. Tapi ia tahu, cinta itu telah menjadikannya pribadi yang lebih dewasa, lebih sabar, dan lebih ikhlas.

Dan mungkin, dalam sunyi itu, Allah telah mencatat cinta yang tulus, lebih dari sekadar kisah dunia.




0 komentar:

Posting Komentar