Awalnya, pertemuan mereka tak lebih dari obrolan ringan di depan kelas.
Neesa, mahasiswi tingkat dua jurusan Komunikasi, duduk di bangku taman kampus sambil memegang buku catatan. Angin sore mengibaskan ujung jilbabnya, ketika tiba-tiba seorang pria dengan kemeja kotak-kotak mendekat.
“Boleh duduk?” tanya Reezal, menunjuk kursi panjang di sebelahnya.
“Silakan,” jawab Neesa, singkat tapi ramah.
Sejak itu, mereka mulai sering berpapasan—di perpustakaan, kantin, atau sekadar bertegur sapa di lorong fakultas. Entah bagaimana, obrolan mereka selalu mengalir, dari topik kuliah sampai musik indie yang keduanya sukai.
Waktu berjalan, pertemanan itu berubah menjadi ikatan yang lebih kuat. Mereka saling mengirim pesan tengah malam untuk mengeluhkan tugas kuliah, berbagi foto kucing lucu, bahkan saling mengingatkan untuk makan saat sedang sibuk.
Reezal menjadi saksi saat Neesa menangis karena nilainya turun di semester lima.
“Kalau orang lain lihat kamu cuma mahasiswi pintar, aku lihat kamu juga pejuang,” kata Reezal malam itu.
Neesa membalas dengan cengiran tipis, meski matanya sembab. “Terima kasih, Zal.”
Begitu pun sebaliknya, Neesa adalah tempat Reezal bercerita tentang keluarganya yang sering menuntut lebih. Saat Reezal merasa lelah, Neesa selalu punya kalimat sederhana yang menenangkan,
“Kadang, kita cuma butuh istirahat, bukan menyerah.”
Kedekatan itu membuat orang-orang di sekitar mulai berasumsi. Beberapa teman mereka bahkan berbisik-bisik, “Kayaknya mereka pacaran deh.” Tapi bagi Neesa, Reezal hanyalah sahabat—atau setidaknya, itu yang selalu ia katakan pada dirinya.
Hari itu, selepas sidang proposal skripsi, Reezal mengajak Neesa duduk di sudut kafe dekat kampus. Hujan rintik-rintik membasahi kaca jendela, dan aroma kopi hangat memenuhi udara.
“Neesa…” suara Reezal terdengar berbeda, sedikit berat, seakan menahan sesuatu.
Neesa menoleh, menunggu kelanjutannya.
“Aku nggak tahu cara bilangnya tanpa bikin suasana aneh… tapi aku rasa aku nggak bisa terus pura-pura jadi cuma sahabat. Aku suka sama kamu.”
Kalimat itu jatuh seperti batu ke dalam hati Neesa. Ia mengedip beberapa kali, mencoba menyusun jawaban yang tepat.
“Zal…” Neesa menarik napas panjang. “Aku hargai keberanian kamu. Tapi aku… nggak bisa. Aku nggak punya perasaan yang sama.”
Reezal terdiam. Matanya mencari-cari sesuatu di wajah Neesa—mungkin tanda bahwa ini hanya bercanda. Tapi tatapan itu tak ia temukan.
“Kenapa?” suaranya nyaris tak terdengar.
“Bukan karena kamu nggak cukup baik. Kamu salah satu orang terbaik yang pernah aku kenal. Cuma… aku takut hubungan ini berubah kalau kita coba lebih dari teman,” ucap Neesa pelan.
Reezal tersenyum hambar, mencoba menyembunyikan kecewa yang menyesak di dadanya. “Aku ngerti. Maaf udah bikin suasana nggak nyaman.”
Sejak hari itu, hubungan mereka tetap ada, tapi tak lagi sama. Obrolan yang dulu mengalir kini terasa hati-hati. Pesan singkat yang dulu datang tanpa jeda, mulai jarang masuk.
Beberapa bulan berlalu. Skripsi mereka selesai, wisuda di depan mata. Namun di antara toga dan bunga, Neesa merasa ada sesuatu yang masih mengganjal.
Ia mengingat malam-malam di mana ia tersenyum membaca pesan Reezal, sore-sore di taman kampus saat mereka berbicara tentang mimpi masing-masing, dan tatapan Reezal yang selalu penuh perhatian.
Yang tak pernah ia akui, bahkan pada dirinya sendiri, adalah bahwa ia pernah—walau sebentar—membuka hati untuknya.
Neesa ingat suatu malam, ketika Reezal membawakan sup hangat saat ia sakit. Bukan hanya supnya yang membuat hangat, tapi cara Reezal memastikan ia makan, cara ia duduk diam menemaninya menonton film, tanpa ponsel, tanpa tergesa. Malam itu, hati Neesa sempat berbisik: mungkin dia orangnya.
Tapi bisikan itu segera ia tutup rapat dengan alasan-alasan logis—takut kehilangan sahabat, takut patah hati, takut Reezal hanyalah fase singkat di hidupnya.
Setelah wisuda, mereka jarang bertemu. Pekerjaan membawa keduanya ke kota yang berbeda. Namun suatu sore, Neesa sedang berjalan di pusat perbelanjaan ketika ia melihat sosok familiar—Reezal, dengan kemeja putih, tertawa bersama dua temannya.
Mereka saling menyapa, lalu memutuskan duduk di sebuah kedai teh. Percakapan mengalir, sedikit canggung di awal, lalu perlahan kembali hangat seperti dulu.
Ketika jam menunjukkan pukul delapan malam, Reezal berkata, “Aku harus pulang. Ada kerjaan besok pagi.”
Neesa mengangguk, tapi sebelum Reezal bangkit, ia berkata, “Zal… ada sesuatu yang mau aku bilang.”
Reezal menatapnya, menunggu.
“Aku nggak tahu ini penting atau nggak buat kamu sekarang, tapi… aku pernah membuka hati untuk kamu.”
Alis Reezal terangkat, rautnya tak bisa ditebak. “Pernah?”
Neesa tersenyum samar. “Iya. Waktu itu aku cuma terlalu takut. Takut kalau kita gagal, aku kehilangan sahabat yang paling aku percaya. Jadi aku bilang ‘nggak’ waktu kamu mengungkapkan perasaan.”
Hening. Hanya suara denting sendok di meja sebelah.
Reezal akhirnya berkata, “Aku nggak nyangka kamu bakal ngomong gitu.” Ia tertawa kecil, tapi bukan tawa bahagia—lebih seperti tawa seseorang yang baru mengerti sebuah teka-teki yang terlambat.
“Aku cuma nggak mau kamu pergi tanpa tahu itu,” lanjut Neesa.
Reezal menatapnya lama, lalu berkata pelan, “Neesa… terima kasih. Tapi sekarang aku udah nggak di titik yang sama lagi. Perasaanku udah berubah.”
Neesa mengangguk, berusaha tersenyum. “Aku ngerti. Nggak apa-apa.”
Malam itu mereka berpisah di depan pintu kedai. Neesa berjalan pulang dengan langkah ringan tapi hati berat. Ia tahu kesempatan itu sudah lewat, dan mungkin tak akan kembali.
Namun di tengah kesedihan yang samar, ia merasa lega. Karena akhirnya, ia tak lagi menyimpan rahasia itu sendirian.
Dan meski jalannya tak berujung bersama, Neesa akan selalu mengingat bahwa di satu waktu, di satu masa, ia pernah membuka hati—dan itu cukup.
0 komentar:
Posting Komentar