Udara senja Teluk Bayur mengalir lembut dari laut, menyisakan bau asin yang menempel di kulit dan debur ombak yang bersahut di kejauhan. Di bawah pohon ketapang yang menggugurkan daunnya perlahan, sebuah rumah makan sederhana berdiri. Plangnya sudah kusam, namun tetap kokoh bertuliskan: “Sate Padang Mak Upiak – Sejak 1998.”
Anindi duduk di bangku kayu panjang, mengenakan sweater krem dan celana jins yang sudah beberapa kali digulung di ujungnya. Tangannya meremas-remas ujung lengan sweater, menahan dingin sekaligus resah. Di hadapannya, piring kosong menunggu sate yang belum dipesan. Ia melirik arloji kecil di tangannya. Pukul 18.45.
“Early birthday,” gumamnya, nyaris seperti doa yang tertelan angin. “Katanya sebelum jam 12 malam mau datang.”
Andi. Nama yang berulang kali ia ucap dalam doa, dalam harap, dalam pesan singkat yang hanya dibaca dua centang biru. Sejak tiga bulan lalu Andi bertugas ke luar kota, ke daerah pedalaman Sumatera untuk pekerjaan dokumentasi budaya. Sulit sinyal, katanya. Sibuk di lapangan, katanya. Tapi Andi sudah janji—janji yang direkam suara, diketik huruf demi huruf, dan disimpan Anindi dalam hati:
> “Aku nggak akan telat datang buat early birthday kamu. Sebelum jam 12 malam, aku harus udah duduk di sebelah kamu, pesen sate yang biasa. Sepuluh tusuk, pake kuah banyak.”
Rumah makan itu bukan tempat sembarangan. Di situlah mereka dulu saling menatap untuk pertama kali tanpa berkata, hanya tertawa melihat kuah sate yang tumpah ke baju. Sejak itu, setiap ulang tahun Anindi, mereka selalu makan sate di tempat yang sama. Andi menyebutnya ritual tahunan. Tapi tahun ini berbeda. Ia pergi.
Anindi menatap lampu jalan yang berpendar lembut di balik jendela. Pelayan datang menawarkan menu, namun ia hanya tersenyum dan berkata, “Nanti aja ya, tunggu teman saya.”
Jam menunjukkan 19.20. Ia membuka ponsel, tidak ada pesan baru. Foto Andi tersimpan sebagai wallpaper. Ia ingat betul wajah itu—dengan alis yang sedikit miring ketika tertawa, dan mata yang selalu menyipit saat menahan air mata.
Ia membuka galeri, menatap foto terakhir mereka: duduk berdampingan dengan sate di tangan, gigi mengunyah tanpa malu. Ia tersenyum kecil, tapi cepat-cepat menyeka mata yang terasa hangat.
Tiba-tiba ponsel bergetar. Satu pesan masuk.
> Andi (18.35): “Di jalan. Macet di Pelabuhan. Tunggu aku ya.”
Anindi membaca ulang pesan itu tiga kali. Macet? Di pelabuhan? Ah, tentu saja. Kapal ferry sering tiba tak sesuai jadwal. Tapi setidaknya, Andi menjawab.
Pukul 20.50.
Anindi mulai menggoyangkan kaki, duduk lalu berdiri, duduk lagi. Beberapa pelanggan lain sudah selesai makan. Mak Upiak, sang pemilik rumah makan, menghampirinya. Perempuan tua dengan keriput ramah itu menatapnya dengan iba.
“Kamu mau saya bungkusin sate-nya aja, nak?” tanyanya.
Anindi menggeleng. “Belum, Mak. Saya masih nunggu…”
Mak Upiak tersenyum dan menepuk bahu Anindi. “Kalau dia janji datang, dia pasti datang.”
Pukul 21.35.
Langit mulai menitikkan gerimis. Pelan, lalu deras, lalu kembali pelan. Anindi pindah ke meja dekat jendela yang lebih terlindung. Ia memesan teh hangat, hanya agar bisa memegang cangkir dan menghangatkan jemarinya.
Pukul 22.10.
Angin laut makin kencang. Anindi mulai merasa lelah. Tapi masih bertahan. Kalau Andi bilang akan datang sebelum pukul 00.00, maka ia akan percaya. Setidaknya untuk satu jam lima puluh menit lagi.
Hingga tiba-tiba, dari balik jendela, sebuah motor bebek berhenti. Helm dilepas. Rambut berantakan. Jaket lusuh. Tapi wajahnya…
“Andi!” seru Anindi, berdiri begitu cepat hingga hampir menjatuhkan teh di mejanya.
Andi tertawa lebar, berjalan cepat menghampiri. “Maaf, maaf banget. Ferry-nya telat, macet di pelabuhan, dan hujan—”
“Bodo amat hujan!” potong Anindi. “Kamu datang. Itu cukup.”
Mereka duduk, tertawa kecil di antara napas yang masih tersengal. Mak Upiak datang membawa dua piring sate.
“Lho, saya nggak pesen, Mak,” ujar Anindi.
Mak Upiak tersenyum lebar. “Tadi sore anak itu telepon dari warung tetangga. Katanya, kalau sebelum jam dua belas belum datang, sate-nya tetap keluar. Saya masakin dua porsi, kayak biasa.”
Andi tertawa, lalu menatap Anindi. “Janji adalah janji, Ndik. Meskipun harus terjang hujan dan pelabuhan macet.”
Mereka menyantap sate dalam diam yang nyaman. Kuah kuning kental memenuhi piring. Aroma daging dan rempah mencairkan segala penat yang menggantung sejak sore.
Jam menunjukkan 23.55.
Andi mengeluarkan sesuatu dari tas selempangnya—sebuah kotak kecil, dibungkus sederhana. “Ini hadiah early birthday kamu. Tapi bukanya harus pas lewat tengah malam.”
Anindi menerimanya dengan mata berbinar. “Kamu tahu, aku nyaris putus asa nungguin kamu.”
“Tapi kamu tetap nunggu,” bisik Andi.
Ia mengangguk pelan. “Karena satu tusuk sate, satu janji.”
Pukul 00.00.
“Selamat ulang tahun, Anindi.”
“Terima kasih, Andi.”
Dan di antara debur ombak Teluk Bayur yang tak pernah lelah menyapa malam, janji yang dibawa angin dan sate hangat itu pun menemukan tempatnya: di hati dua insan yang saling menunggu.
0 komentar:
Posting Komentar