Langit mendung menggantung di atas kampus Universitas Nusantara. Edward berdiri di bawah pohon flamboyan, mengenakan jaket almamater biru tuanya yang mulai memudar. Di tangannya, selebaran kampanye tergenggam erat—dengan wajahnya yang tersenyum kaku dan slogan: “BEM Bersih, Mahasiswa Bangkit!”
Ia menatap kosong ke arah gedung rektorat. Dalam pikirannya, tidak hanya debat calon ketua BEM sore ini yang menghantui, tetapi juga pertemuan singkat dengan seorang mahasiswi bernama Indah—yang entah mengapa, justru lebih menggetarkan hatinya daripada seluruh panggung orasi yang pernah ia tapaki.
Edward bukan orang baru dalam dunia aktivisme kampus. Ia dikenal vokal, tegas, bahkan kadang keras. Ia berdiri melawan pungutan liar, menolak komersialisasi pendidikan, dan berani menyuarakan pendapat meskipun harus berhadapan langsung dengan birokrasi.
Tapi sejak memasuki arena pemilihan ketua BEM, atmosfernya berubah. Intrik, sindiran, bahkan fitnah mulai beredar. Dan Edward tahu, sebagian besar bersumber dari pesaing utamanya—Andre, aktivis populer dari fakultas ekonomi.
Hari itu, di koridor fakultas ilmu komunikasi, ia melihat Andre sedang tertawa lepas bersama beberapa simpatisannya. Edward melewati mereka dengan wajah dingin. Namun sesaat kemudian, sebuah suara lembut menghentikannya.
"Mas Edward."
Ia menoleh. Seorang perempuan berkerudung biru muda berdiri sambil membawa beberapa lembar kertas. Wajahnya tenang, matanya teduh. Dialah Indah, mahasiswi yang pernah ia lihat mengisi diskusi tentang etika kepemimpinan dalam Islam.
"Ada yang bisa saya bantu?" tanya Edward, mencoba menyembunyikan kekakuannya.
Indah tersenyum. "Saya cuma mau bilang, jangan terlalu larut dalam permainan. Politik kampus memang keras, tapi jangan sampai mengeras hati. Termasuk terhadap Mas Andre."
Edward mengernyit. "Dia sudah melewati batas. Fitnah, manipulasi, framing. Dia bukan sekadar lawan, tapi musuh."
Indah menunduk sejenak, lalu menatap Edward dengan lembut.
"Jangan pernah punya rasa dendam kepada kandidat lainnya, Mas. Sebab kita tidak tahu masa depan. Mungkin hari ini dia lawan, besok dia teman seperjuangan."
Kata-kata itu menghantam Edward lebih keras dari orasi apapun yang pernah ia dengar. Ia terpaku, mulutnya setengah terbuka, namun tak mampu membantah.
Hari-hari selanjutnya, Edward membawa kata-kata itu ke dalam batinnya. Setiap ia hendak membalas sindiran Andre, bayangan wajah Indah muncul dan menahannya. Setiap ia ingin memprovokasi balasan atas narasi kotor yang ditujukan padanya, ia ingat pesan itu: "Kita tidak tahu masa depan."
Lambat laun, ia mulai mengubah strategi. Ia tidak lagi menyerang Andre secara pribadi. Ia fokus pada program kerja, integritas, dan visi. Di setiap debat, ia mulai bicara lebih tenang, meski tetap tegas. Ia memilih jalan damai, bukan karena lemah, tetapi karena ingin menang tanpa menumbuhkan kebencian.
Indah tak pernah muncul lagi secara langsung. Tapi pesan singkatnya di pikiran Edward terus menuntun.
Sampai akhirnya hari pemilihan tiba. Mahasiswa memadati lapangan utama. Kotak suara berdiri kokoh di tengah, dijaga oleh panitia. Kampanye ditutup, suara-suara telah diberikan.
Malam itu, hasil diumumkan. Edward memenangkan suara terbanyak, selisih tipis dari Andre. Sorak-sorai membahana. Tapi yang lebih mengejutkan, bukan kemenangan itu—melainkan ketika Andre menghampiri Edward dan menjabat tangannya dengan tulus.
“Selamat, Edward. Kau layak memimpin.”
Edward tertegun. Ia menatap Andre, dan untuk pertama kalinya melihat bukan musuh, tapi sesama pejuang yang pernah berbeda langkah.
“Terima kasih, Andre. Aku harap kita tetap bisa berjuang bersama.”
Andre mengangguk.
Di antara kerumunan yang bersorak, Edward melihat sosok yang ia kenal. Indah berdiri di dekat pagar taman, mengenakan jaket angkatan dan memeluk beberapa kertas. Ia tersenyum kecil ke arahnya, lalu berbalik pergi.
Edward mengejar.
“Indah,” panggilnya.
Gadis itu menoleh, sedikit kaget.
“Kau benar tentang Andre,” ujar Edward. “Aku hampir tenggelam dalam dendam. Tapi... kata-katamu menyelamatkan aku. Dan lebih dari itu... entah kenapa, aku merasa seperti menemukan cahaya.”
Indah tersenyum, matanya berbinar. “Aku cuma menyampaikan apa yang menurutku benar.”
Edward menelan ludah. Jantungnya berdebar lebih cepat dari saat debat publik.
“Indah... setelah semua ini selesai, maukah kau... kita ngobrol lagi? Bukan tentang kampus atau pemilu. Tapi tentang kita. Tentang mimpi, dan langkah yang ingin kita ambil bersama?”
Indah tak langsung menjawab. Ia menatap Edward lama. Lalu tersenyum.
“Mungkin. Asal kau tetap jadi Edward yang tidak membenci, dan tidak lupa daratan setelah jadi ketua BEM.”
Mereka tertawa bersama.
Langit malam kembali cerah. Di tengah hiruk-pikuk kampus, dua insan berdiri menatap arah yang sama. Mungkin bukan hanya panggung yang akan Edward pimpin, tapi juga hatinya sendiri—yang kini menemukan arah karena sebuah nasihat sederhana, dari seorang perempuan yang bernama Indah.
0 komentar:
Posting Komentar