Selasa, 27 Mei 2025

FREKUENSI RASA (Sebuah Cerpen)


Setiap malam pukul sembilan, udara Jakarta dipenuhi oleh suara yang dinanti banyak orang. Suara lembut namun tegas yang datang dari radio: Utami, penyiar Radio Swara Citra. Suaranya seolah memiliki sihir tersendiri—menenangkan, mengajak bicara, bahkan membuat para pendengarnya merasa tak sendiri dalam gelap malam yang panjang.

Tak terkecuali Hudi, pemuda 27 tahun yang bekerja sebagai editor audio di sebuah rumah produksi kecil. Baginya, malam hari adalah waktu terindah karena ia bisa mendengarkan suara Utami dari radio tua peninggalan almarhum kakeknya. Suara itu menemaninya saat menyelesaikan proyek-proyek, atau sekadar menyeruput kopi hitam sambil menatap langit-langit kamar.

“Selamat malam, para pendengar setia Swara Citra. Malam ini, kita kembali bersua dalam segmen ‘Nada dan Cerita’. Seperti biasa, saya akan putarkan lagu-lagu pilihan kalian, lengkap dengan pesan yang menyentuh hati. Mulailah malam dengan perasaan yang baik, karena suara hati kita pantas didengar,” suara Utami mengalun.

Hudi, seperti biasa, mengirim pesan ke radio lewat aplikasi resmi. Ia tak pernah mencantumkan nama aslinya, cukup dengan nama samaran: “Pengelana Malam”. Malam itu pun ia menulis, “Kak Utami, putarkan lagu ‘Aku Milikmu Malam Ini’ dari Pongki Barata, buat seseorang yang selalu menemaniku walau ia tak tahu. Suaramu adalah bagian dari malamku.”

Utami selalu membaca pesannya di akhir siaran, dengan suara yang menurun pelan, seolah ikut menyelami rasa si pengirim. Hudi tahu, ia hanya satu dari ratusan pendengar. Tapi ada kehangatan aneh setiap kali Utami menyebut “Pengelana Malam”.

Beberapa bulan berselang, Hudi mendapat undangan seminar komunikasi bertema “Masa Depan Radio di Era Digital” di kampus tempat ia dulu kuliah. Ia datang karena penasaran, apalagi nama pembicara utamanya adalah: Utami Putri Rachman.

Saat masuk ke ruangan seminar, Hudi tertegun. Di atas panggung, berdiri seorang perempuan berkerudung krem, dengan blazer hitam dan senyum yang begitu menenangkan—itu dia, Utami. Tak ada mikrofon yang mampu menyembunyikan kecantikannya yang sederhana, atau aura hangat yang terpancar saat ia berbicara tentang dunia radio yang dicintainya.

“Radio bukan sekadar suara. Ia adalah jembatan rasa. Ia hadir saat orang-orang merasa sendiri, dan tiba-tiba, mereka merasa ditemani,” ujar Utami di salah satu sesi.

Hudi duduk di deretan tengah, hanya berjarak lima baris dari panggung. Dadanya berdebar. Ingin sekali ia berdiri, menyapa, mengatakan bahwa ia adalah “Pengelana Malam”. Tapi keberanian itu menguap bersama udara pendingin ruangan.

Saat sesi tanya jawab, tangan Hudi sempat terangkat. Tapi ketika mikrofon mendekat, ia menunduk dan menggeleng pelan.

Di luar gedung seminar, Hudi berdiri lama. Ia melihat Utami berjalan bersama panitia, masih melayani obrolan para peserta. Lalu ia membuka ponsel, dan kembali menulis pesan seperti biasa.

Malam ini, aku ingin mendengarkan ‘Kisah Romantis’ dari Glenn Fredly. Untuk seseorang yang kutemui dari jauh hari ini. Dia tetap terdengar menakjubkan, seperti suaranya setiap malam. Salam dari Pengelana Malam.

Malam itu, suara Utami mengudara lagi.

“Untuk pesan terakhir malam ini, ada dari ‘Pengelana Malam’. Ia kirimkan lagu 'Kisah Romantis', katanya... untuk seseorang yang ia temui dari jauh hari ini. Wah, semoga seseorang itu bisa tahu bahwa ia begitu berarti. Terima kasih sudah setia di frekuensi ini.”

Utami diam sejenak sebelum melanjutkan.

“Kadang, ada rasa yang hadir diam-diam. Tak banyak kata, hanya pesan singkat dan lagu yang menyimpan makna. Tapi percayalah, kadang yang diam itu justru paling setia.”

Lagu pun mengalun.

Hudi memejamkan mata. Ia tak tahu apakah Utami tahu bahwa “seseorang itu” adalah dirinya. Tapi baginya, selama ia bisa menyapa lewat gelombang udara, itu sudah cukup.

Ia tetap akan menjadi penggemar rahasia, yang setia di frekuensi yang sama.

1 komentar: