Hujan turun sejak pagi, membasahi halaman sekolah tempat Leyla mengajar. Langit berwarna kelabu pucat, dan aroma tanah basah menyeruak dari sela jendela yang tak tertutup rapat. Di ruang guru, ia duduk menatap lembar absensi kelas barunya. Matanya berhenti di satu nama yang membuat jantungnya berdegup aneh — Leyla Bayana.
Nama itu seolah menatap balik padanya, memanggil masa lalu yang sudah ia kubur dalam-dalam.
Lima belas tahun telah berlalu sejak ia terakhir kali mendengar nama Bay. Waktu telah membuat segalanya tampak jauh dan kabur, tapi bukan hilang. Bay adalah cinta yang tak pernah benar-benar selesai — hanya berpindah wujud, menjadi sepotong kenangan yang diam-diam masih hangat di dada.
Kini, Leyla adalah seorang guru bahasa Indonesia di sebuah sekolah swasta di pinggiran kota. Ia sudah menikah dengan Arif, seorang dosen yang lembut dan tenang. Mereka memiliki seorang anak laki-laki berusia sembilan tahun, Damar. Hidupnya sederhana, damai, dan nyaris tanpa drama. Tapi di sudut hatinya, ada ruang kecil yang tak pernah ditinggali siapa pun — ruang bernama masa lalu.
Hari pertama masuk sekolah, Leyla membaca nama-nama siswa dengan suara pelan. Ia sampai pada nama itu, dan sesuatu dalam dirinya berhenti berdetak.
“Leyla... Bayana.”
Seorang gadis kecil mengangkat tangan. “Saya, Bu.”
Leyla menatapnya. Wajah mungil itu memiliki tatapan mata yang anehnya sangat familiar — teduh, tapi menyimpan kedalaman.
“Nama yang indah,” ujar Leyla, tersenyum.
Gadis itu tersenyum malu. “Kata Ayah, nama ini nama orang yang dulu ia kagumi.”
Seolah waktu berhenti. Nada polos anak kecil itu seperti panah yang menembus dada.
Leyla hanya membalas dengan senyum samar, lalu melanjutkan membaca nama berikutnya. Tapi sepanjang jam pelajaran, pikirannya tak pernah benar-benar kembali.
Bayana.
Bay.
Dua suku kata yang dulu membuat hidupnya penuh warna, kini kembali mengetuk pintu hatinya dengan cara yang lembut sekaligus menyakitkan.
---
Malam itu, Leyla duduk di ruang keluarga, menunggu suaminya pulang dari kampus. Damar sudah tertidur. Hujan kembali turun, dan di luar jendela, lampu jalan memantulkan cahaya redup di atas genangan air.
Ia membuka buku puisinya yang lama — buku yang dulu selalu ia bawa saat masih kuliah, saat Bay masih menulis puisi untuknya di halaman belakang kampus. Di sana masih tertulis tinta yang mulai pudar:
Jika suatu hari aku tak bisa bersamamu, semoga namamu tetap hidup dalam setiap hal yang kucintai.
Leyla menutup buku itu cepat-cepat, takut suaminya tiba-tiba masuk dan melihat wajahnya yang kini digenangi air mata. Ia mencintai Arif — sungguh mencintai — tapi cinta, seperti waktu, punya cara sendiri untuk menggandakan diri. Ada cinta yang menjadi rumah, dan ada cinta yang menjadi langit: jauh, tapi tak pernah benar-benar hilang.
---
Beberapa minggu kemudian, sepulang sekolah, Leyla mendapati seseorang menunggunya di gerbang. Lelaki itu berdiri di bawah payung hitam, menunduk sedikit. Saat ia mendekat, matanya nyaris tak percaya.
Bay.
Rambutnya sudah sedikit beruban, tapi sorot matanya masih sama — hangat, tulus, dan menenangkan.
“Leyla,” ucapnya pelan, seolah takut jika suara itu akan membuat kenangan berjatuhan.
Leyla hanya tersenyum kecil. “Sudah lama sekali, Bay.”
“Lima belas tahun,” jawabnya lirih. “Anakku... Leyla Bayana, muridmu. Dunia kecil sekali, ya?”
Leyla tertawa, tapi suaranya getar. “Dunia atau takdir?”
Bay menunduk. “Mungkin keduanya.”
Mereka berjalan sebentar di halaman sekolah yang mulai sepi. Hujan mengguyur lagi, dan bau tanah basah menyelimuti udara. Tak ada kata-kata besar yang perlu diucapkan. Cukup tatapan — dua orang yang tahu bahwa mereka pernah saling memiliki meski sebentar.
“Kenapa kau beri namanya begitu?” tanya Leyla akhirnya, suaranya nyaris tenggelam oleh hujan.
Bay menarik napas panjang. “Karena aku ingin sesuatu darimu tetap hidup. Dulu aku terlalu muda, terlalu takut, dan terlalu patuh pada pilihan yang bukan dari hatiku. Tapi saat anakku lahir, aku ingin memperbaiki sesuatu. Aku ingin mengenangmu tanpa melanggar janji pada hidupku sekarang. Maka aku pilih nama itu. Leyla — malam yang tenang. Karena kau dulu selalu menenangkan hidupku.”
Leyla menunduk. Air matanya menetes diam-diam, bercampur dengan hujan yang membasahi wajahnya.
“Aku juga sudah menikah, Bay,” katanya pelan. “Suamiku baik, anakku lucu. Aku bahagia. Tapi entah kenapa, mendengar namamu lagi... rasanya seperti pulang sebentar.”
Bay tersenyum getir. “Aku senang mendengarnya. Aku pun bahagia dengan keluargaku. Tapi mungkin memang begini takdirnya, kita harus belajar mencintai dari jauh — tanpa merusak apa pun, tanpa merebut siapa pun.”
Mereka berdiri di bawah hujan cukup lama, tanpa kata. Dunia di sekitar terasa berhenti, hanya suara air yang jatuh di genting dan detak jantung yang tak bisa dibohongi.
Ketika akhirnya Bay berpamitan, Leyla menatap punggungnya menjauh bersama gadis kecil yang bernama sama dengannya. Ada perih yang lembut, bukan luka, tapi kenangan yang tak mau pergi.
---
Malam itu, di rumah, Leyla menatap anaknya yang tidur lelap. Ia tersenyum dan membelai rambut Damar. Dalam hatinya, ia tahu hidupnya sudah cukup. Tapi di balik cukup itu, ada satu kenyataan yang tak bisa ia tolak:
Cinta tak selalu mati meski tak dimiliki. Kadang, ia hidup dalam bentuk nama, dalam seorang anak yang tumbuh, dalam hujan yang turun, dalam hati yang diam-diam mengingat.
Ia menatap ke luar jendela, melihat bayangan dirinya di kaca yang berkabut, lalu berbisik pelan:
“Bahkan anakmu pun diberi namaku, Bay... mungkin memang begini cara Tuhan membuat kita tetap ada — bukan bersama, tapi saling mengingat di hati yang paling dalam."





0 komentar:
Posting Komentar