Senin, 14 Juli 2025

Cinta yang Tak Pernah Terucap (Sebuah Cerpen)

 


Abdi menatap langit senja dari balkon asrama putra. Matahari perlahan tenggelam di balik gedung-gedung tua kampus, meninggalkan jejak jingga di cakrawala. Di tangannya, secangkir kopi hitam mulai mendingin. Ia menghela napas panjang, memikirkan hari-hari yang telah ia lewati bersama Anjani—teman sekelas, sahabat, dan diam-diam, cinta pertamanya.

Mereka bertemu di hari pertama orientasi mahasiswa. Anjani datang terlambat, kerudung merah marunnya berantakan, napasnya terengah-engah, tapi matanya berbinar penuh semangat. Abdi, yang biasanya pendiam, tanpa sadar tersenyum melihatnya. Sejak saat itu, mereka sering duduk bersebelahan di kelas, mengerjakan tugas bersama, dan saling berbagi cerita di bawah pohon flamboyan di taman kampus.

Namun, ada batas tak kasat mata yang selalu mereka jaga. Abdi tak pernah berani berkata lebih dari sekadar “hati-hati di jalan” atau “jangan lupa makan.” Anjani pun hanya membalas dengan senyum dan tatapan yang kadang membuat Abdi ingin menahan waktu. Mereka saling menunggu, berharap salah satu berani memulai. Tapi, kata-kata itu selalu tertahan di ujung lidah.

Semester demi Semester

Waktu berjalan seperti kereta malam yang tak pernah berhenti. Setiap semester, mereka semakin dekat, namun tetap saja, tak ada pengakuan. Abdi selalu menunggu kesempatan, berharap ada momen yang tepat. Tapi setiap kali ia ingin bicara, ia takut kehilangan kenyamanan yang telah mereka bangun.

Anjani pun merasakan hal yang sama. Ia sering menulis diari tentang Abdi—tentang caranya tertawa, cara ia menatap langit, dan bagaimana ia selalu tahu kapan Anjani butuh ditemani. Tapi, ia tak pernah berani menunjukkan isi hatinya. Ia takut, jika kata-kata itu terucap, semuanya akan berubah.

Mereka berdua seperti dua garis sejajar yang berjalan beriringan, saling melirik, tapi tak pernah bersentuhan.

Malam di Taman Kampus

Suatu malam, setelah presentasi kelompok yang melelahkan, Abdi dan Anjani duduk berdua di taman kampus. Angin Bandung membawa aroma tanah basah, dan lampu taman memantulkan bayangan mereka di atas rumput.

“Kalau lulus nanti, kamu mau ke mana?” tanya Anjani pelan.

Abdi terdiam sejenak, menatap langit yang mulai dipenuhi bintang. “Aku belum tahu. Mungkin pulang ke kampung, atau cari kerja di sini. Kamu sendiri?”

Anjani tersenyum, menunduk. “Aku juga belum tahu. Tapi aku ingin tetap di Bandung, kalau bisa.”

Mereka saling menatap, lalu kembali menunduk. Ada jeda panjang yang terasa nyaman sekaligus menyakitkan. Dalam hati, keduanya berharap waktu berhenti di malam itu, agar mereka bisa terus bersama tanpa harus memikirkan masa depan.

Surat yang Tak Pernah Dikirim

Di kamar kosnya, Anjani menulis surat untuk Abdi. Ia menuliskan semua yang selama ini ia pendam—tentang rasa suka, tentang rindu, tentang harapan agar Abdi juga merasakan hal yang sama. Tapi surat itu tak pernah ia berikan. Ia simpan di laci meja, bersama kenangan-kenangan lain yang hanya bisa ia simpan sendiri.

Abdi pun pernah menulis puisi untuk Anjani. Ia tuliskan di halaman belakang buku catatannya, berharap suatu saat Anjani membacanya. Tapi, seperti Anjani, ia tak pernah punya keberanian untuk mengungkapkan.

Menjelang Wisuda

Hari-hari menjelang wisuda, suasana kampus semakin sibuk. Teman-teman mereka mulai membicarakan rencana masa depan, pekerjaan, dan perpisahan. Abdi dan Anjani semakin sering bertemu, seolah ingin memanfaatkan sisa waktu yang ada.

Di hari terakhir kuliah, mereka berjalan berdua di sepanjang koridor fakultas. Tak banyak kata yang terucap, hanya tawa kecil dan cerita-cerita ringan. Di ujung koridor, mereka berhenti.

“Abdi, terima kasih sudah jadi teman yang baik,” kata Anjani pelan.

Abdi tersenyum, menahan perasaan yang menggebu di dadanya. “Kamu juga, Jan. Terima kasih sudah mau bertahan bersamaku sampai sekarang.”

Mereka saling menatap, dan untuk pertama kalinya, Abdi melihat air mata di mata Anjani. Ia ingin memeluknya, ingin berkata bahwa ia juga mencintainya. Tapi, seperti biasa, kata-kata itu hanya berputar di kepalanya.

Hari Wisuda

Di hari wisuda, kampus dipenuhi toga dan bunga. Abdi dan Anjani berfoto bersama, tertawa, dan saling mengucapkan selamat. Di tengah keramaian, mereka berdiri berdua di bawah pohon flamboyan tempat mereka biasa duduk.

“Aku akan merindukan hari-hari di sini,” kata Anjani.

“Aku juga,” jawab Abdi.

Mereka terdiam, membiarkan angin membawa kata-kata yang tak pernah terucap.

Epilog: Menunggu

Setelah wisuda, mereka menjalani hidup masing-masing. Abdi kembali ke kampung halamannya, bekerja di sebuah sekolah kecil. Anjani mendapat pekerjaan di Bandung, melanjutkan hidupnya dengan kenangan tentang Abdi.

Mereka masih saling mengirim pesan, menanyakan kabar, saling mengucapkan selamat ulang tahun. Tapi, tak pernah ada kata cinta di antara mereka. Mereka saling menunggu, berharap suatu hari nanti, salah satu dari mereka cukup berani untuk mengungkapkan perasaan yang selama ini mereka simpan.

Di bawah langit Bandung yang biru, cinta mereka tetap hidup—meski tanpa kata, meski hanya dalam diam.

Cerita ini adalah kisah tentang keberanian yang tertahan, tentang cinta yang memilih menunggu, dan tentang dua hati yang saling mencintai tanpa pernah saling mengungkapkan. Karena kadang, cinta tak selalu butuh kata-kata; cukup dengan saling menunggu, hingga waktu sendiri yang menjawab segalanya.

0 komentar:

Posting Komentar