Sewaktu kecil saya sering ke langgar setiap sore 15 menit
sebelum azhan maghrib berkumandang. Kami anak-anak kecil waktu itu bergantian
atau berjamaah bershalawatan dengan pengeras suara di langgar. Langgar atau
surau bagi kami adalah tempat bertemu, berinteraksi, shalat, mengaji sekaligus
bermain. Hanya ada dua kata waktu itu: menikmati kehidupan!
Jika bulan puasa tiba, kami pun anak-anak kecil meramaikan
langgar untuk berjamaah shalat tarawih, meski jemaah tarawih setiap hari terus menyusut.
Usai tarawih kami melanjutkan untuk membaca Alquran di langgar dengan pengeras
suara hingga sahur atau azhan subuh. Puncaknya adalah malam takbiran, hampir
semua orang bersuka cita malam itu, tak terkecuali anak-anak kecil seperti
kami. Kami bergantian membaca takbir juga dengan pengeras suara.
Gambar: www.streamzon3.web.id |
Budaya pengajian di langgar, mushalla atau masjid sudah ada
sejak dulu kala. Jadi, risih juga ketika wakil presiden Boediono mengatakan
tentang pengaturan azan yang mengganggu telinga. Bagi saya budaya reliji di
kampung-kampung seperti di kampung saya ini sangatlah baik. Ini merupakan
bagian dari pengajaran agama semenjak dini.
Pengajian di langgar atau mushalla di kampung-kampung
kebanyakan guru-gurunya adalah sukarela alias tidak digaji. Bagi saya mereka
adalah orang-orang besar yang tenaga dan waktunya dicurahkan untuk mencerdaskan
umat tanpa pamrih. Mereka berkeyakinan bahwa hadiah yang paling besar adalah
langsung dating dari Allah seperti rezeki yang tak terduga yang dijanjikan
kepada orang-orang yang bertakwa.
Langgar adalah bangunan kecil baik yang terbuat dari bilik
maupun bangunan permanen yang digunakan untuk shalat dan mengaji. Ukuran lebih
besar dari langgar adalah mushalla yang berfungsi sama yaitu mengaji dan shalat
berjamaah. Lebih besar lagi disebut dengan masjid. Sebuah bangunan yang
berfungsi untuk shalat dan mengaji yang bisa disebut masjid adalah jika bisa
digunakan untuk shalat jumat berjamaah. Artinya paling sedikit masjid mampu
menampung 40 jemaah, yaitu syarat sah shalat jumat.
Dulu zaman Nabi Muhammad fungsi masjid bukan hanya untuk
mengaji dan shalat. Lebih dari itu. Masjid digunakan untuk bermusyawarah,
berembuk, mencari solusi masalah, berniaga bahkan sampai mengatur strategi
peperengan. Artinya, masjid digunakan sebagai pusat kehidupan, terlebih di kota
kesayangan Nabi yaitu di Madinah, Arab Saudi.
Di kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta juga
menjadikan masjid lebih dari tempat ibadah wajib. Masjid juga dijadikan sarana untuk melakukan
resepsi pernikahan, pameran dan pasar. Masjid Ni’matul Ittihad di Pondong
Pinang, Jakarta Selatan, misalnya. Di masjid itu lantai satu biasa digunakan
untuk resepsi pernikahan. Di hari jumat di sekitar masjid itu disulap menjadi
pasar tumpah. Segala macam dijual di sana.
Masjid Alwasilah
yang berada dekat dengan rumah saya dulunya adalah langgar. Setelah langgar itu
diperbarui maka menjadilah mushalla. Beberapa tahun kemudian masyarakat di
kampung kami bersepakat untuk merenovasi mushalla kami menjadi masjid. Kini masjid
itu sudah bagus dan berlantai dua dan setiap pekannya digunakan shalat Jumat. Sebelum
menjadi masjid, warga kampung kami harus berangkat shalat jumat ke masjid
tetangga kampung kami.
Menurut sejarah,
penyebaran Islam di Jakarta dan sekitarnya pun menggunakan langgar. Langgar yang
sudah ramai dengan jemaahnya maka masyarakat sekitarnya mengubahnya menjadi
mushalla. Jika mushalla sudah membludak maka dijadikan masjid. Begitupun seharusnya
iman kita, harus selalu berubah menjadi lebih baik dari waktu ke waktu. Wallahu’alam.
0 komentar:
Posting Komentar