Senin, 07 Mei 2012

Langgar, Mushalla dan Masjid


Sewaktu kecil saya sering ke langgar setiap sore 15 menit sebelum azhan maghrib berkumandang. Kami anak-anak kecil waktu itu bergantian atau berjamaah bershalawatan dengan pengeras suara di langgar. Langgar atau surau bagi kami adalah tempat bertemu, berinteraksi, shalat, mengaji sekaligus bermain. Hanya ada dua kata waktu itu: menikmati kehidupan!

Jika bulan puasa tiba, kami pun anak-anak kecil meramaikan langgar untuk berjamaah shalat tarawih, meski jemaah tarawih setiap hari terus menyusut. Usai tarawih kami melanjutkan untuk membaca Alquran di langgar dengan pengeras suara hingga sahur atau azhan subuh. Puncaknya adalah malam takbiran, hampir semua orang bersuka cita malam itu, tak terkecuali anak-anak kecil seperti kami. Kami bergantian membaca takbir juga dengan pengeras suara.

Gambar: www.streamzon3.web.id
Sekarang, saat tulisan ini ditulis, anak-anak kecil sedang ramai belajar membaca Alquran di rumah tetangga saya. Mereka mengaji dengan suara yang keras dan lantang. Terkadang guru ngajinya sesekali menyentak murid yang belajar mengaji jika bacaannya salah melulu. Sebab usai maghrib kebiasaan di kampung kami adalah mengaji. Anak-anak dilarang untuk bermain sebelum mereka mengaji
Budaya pengajian di langgar, mushalla atau masjid sudah ada sejak dulu kala. Jadi, risih juga ketika wakil presiden Boediono mengatakan tentang pengaturan azan yang mengganggu telinga. Bagi saya budaya reliji di kampung-kampung seperti di kampung saya ini sangatlah baik. Ini merupakan bagian dari pengajaran agama semenjak dini.

Pengajian di langgar atau mushalla di kampung-kampung kebanyakan guru-gurunya adalah sukarela alias tidak digaji. Bagi saya mereka adalah orang-orang besar yang tenaga dan waktunya dicurahkan untuk mencerdaskan umat tanpa pamrih. Mereka berkeyakinan bahwa hadiah yang paling besar adalah langsung dating dari Allah seperti rezeki yang tak terduga yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa.

Langgar adalah bangunan kecil baik yang terbuat dari bilik maupun bangunan permanen yang digunakan untuk shalat dan mengaji. Ukuran lebih besar dari langgar adalah mushalla yang berfungsi sama yaitu mengaji dan shalat berjamaah. Lebih besar lagi disebut dengan masjid. Sebuah bangunan yang berfungsi untuk shalat dan mengaji yang bisa disebut masjid adalah jika bisa digunakan untuk shalat jumat berjamaah. Artinya paling sedikit masjid mampu menampung 40 jemaah, yaitu syarat sah shalat jumat.

Dulu zaman Nabi Muhammad fungsi masjid bukan hanya untuk mengaji dan shalat. Lebih dari itu. Masjid digunakan untuk bermusyawarah, berembuk, mencari solusi masalah, berniaga bahkan sampai mengatur strategi peperengan. Artinya, masjid digunakan sebagai pusat kehidupan, terlebih di kota kesayangan Nabi yaitu di Madinah, Arab Saudi.

Di kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta juga menjadikan masjid lebih dari tempat ibadah wajib. Masjid juga dijadikan sarana untuk melakukan resepsi pernikahan, pameran dan pasar. Masjid Ni’matul Ittihad di Pondong Pinang, Jakarta Selatan, misalnya. Di masjid itu lantai satu biasa digunakan untuk resepsi pernikahan. Di hari jumat di sekitar masjid itu disulap menjadi pasar tumpah. Segala macam dijual di sana.

Masjid Alwasilah yang berada dekat dengan rumah saya dulunya adalah langgar. Setelah langgar itu diperbarui maka menjadilah mushalla. Beberapa tahun kemudian masyarakat di kampung kami bersepakat untuk merenovasi mushalla kami menjadi masjid. Kini masjid itu sudah bagus dan berlantai dua dan setiap pekannya digunakan shalat Jumat. Sebelum menjadi masjid, warga kampung kami harus berangkat shalat jumat ke masjid tetangga kampung kami.

Menurut sejarah, penyebaran Islam di Jakarta dan sekitarnya pun menggunakan langgar. Langgar yang sudah ramai dengan jemaahnya maka masyarakat sekitarnya mengubahnya menjadi mushalla. Jika mushalla sudah membludak maka dijadikan masjid. Begitupun seharusnya iman kita, harus selalu berubah menjadi lebih baik dari waktu ke waktu. Wallahu’alam.

0 komentar:

Posting Komentar