Tak banyak orang yang mau dan melakukan perlawanan terhadap
keinginan keluarga dan budaya setempat. Apalagi soal keyakinan. Ini yang
dilakukan Hasanuddin (biasa dipanggil Hasan) terhadap keluarga dan budaya masyarakatnya
di suku pedalaman Baduy. Sejak kecil Hasan sudah tidak diasuh oleh kedua orang
tauanya karena ia masuk Islam.
Hasan, yang sampai kini tidak tahu kapan dirinya dilahirkan
ke bumi ini, mengaku diasuh oleh bapak ‘pulung’ alias bapak angkatnya sejak
kecil. Namun ia bercerita teman-temannya yang sekolah kini sudah di kelas dua
SMA. Artinya umur dia berkisar 17 tahun, dengan asumsi 12 tahun lulus SD, 15
tahun lulus SMP, dan dua tahun kemudian di kelas dua SMA.
Perumahan di suku Baduy. Photo: www.gudangwisata.com |
Hasan ikut dalam rombongan keluarga kami ketika kami
berangkat menuju bandara di Cengkareng untuk mengantar saya kembali ke Turki. Ia
membantu dan menemani kami dalam perjalanan dari Rangkasbitung ke Cengkareng. Kok,
bisa Hasan ikut rombongan kami? Begini ceritanya…
Hasan sekarang adalah santri di pesantren Bani Ali di
Rancasema, sekitar 200 meter dari rumah saya. Ia diminta oleh abang saya yang pimpinan
pesantren Bani Ali itu untuk ikut dalam rombongan kami. Ia mengaku baru 5 bulan
menjadi santri di pesantren kami. Sebelumnya ia menjadi santri di pesantren di
wilayah Baduy.
Dulu, cerita Hasan, saat KH Zaenal Arifin, pimpinan
pesantren Bani Ali, pernah mengisi ceramah di pesantren dan di kampungnya di
wilayah Baduy. Usai ceramah ia berbincang dengan Kiai Zaenal. Singkat cerita
akhirnya Hasan ikut ke Rancasema dan menjadi santri di kampung kami. Ia pun
sering menjadi Muazin di masjid kampung kami. Sekali lagi, saat azan suaranya
bagus.
Ditanya mengapa ia bisa begitu bagus saat azan di masjid,
dengan rendah hati ia bilang bahwa ini adalah takdir. Mungkin juga takdir
itulah yang membawanya ke kampung kami. Saat berbincang dengan saya di bandara ia
selalu memalingkan wajahnya. Saya tidak tahu, apa itu memang kebiasaan orang
Baduy saat berbincang-bincang atau memang dia takut dengan saya, hehehe. Tak tahulah.
Hasan mengaku ayah dan keluarganya sampai kini belum juga
masuk Islam dan tinggal di Baduy. Ayahnya, tutur Hasan, masih memegang teguh
keyakinan leluhur Baduy. Mungkin, ayahnya belum mendapatkan hidayah. Sebab,
menurutnya, sang ayah banyak keinginan jika ia masuk Islam. “Ayah maunya kalau
masuk Islam udah punya sawah sendiri dan yang lainnya,” ujarnya.
Warga baduy terbagi menjadi dua, baduy dalam dan baduy luar.
Suku baduy berada di kecamatan Leuwidamar
Kabupaten Lebak, Banten. Masih banyak masyarakat baduy sampai saat ini masih
memegang teguh keyakinan leluhurnya yaitu Sunda Wiwitan. Hanya sebagian kecil saja yang sudah masuk
Islam. Itupun dengan perjuangan yang berat.
Beruntung saya bisa
berbincang dengan Hasan. Saya belajar darinya arti sebuah ketegasan dan
kekokohan sebuah keyakinan. Bahkan, untuk berpisah dengan keluarga
sekalipun. Sampai- sampai ia
jarang bertemu orang tua kandungnya dan kedua adiknya. “Adik saya sebesar
Fawwaz (keponakan saya yang berumur 7 tahun-red), dan satu lagi masih kecil,
tetapi saya tidak lagi bertemu mereka,” tandasnya. Dan memang hidayah datangnya
langsung dari Allah SWT. Wallahu’alam.
0 komentar:
Posting Komentar