Kamis, 10 Mei 2012

Hasan, Islam dan Baduy


Tak banyak orang yang mau dan melakukan perlawanan terhadap keinginan keluarga dan budaya setempat. Apalagi soal keyakinan. Ini yang dilakukan Hasanuddin (biasa dipanggil Hasan) terhadap keluarga dan budaya masyarakatnya di suku pedalaman Baduy. Sejak kecil Hasan sudah tidak diasuh oleh kedua orang tauanya karena ia masuk Islam.

Hasan, yang sampai kini tidak tahu kapan dirinya dilahirkan ke bumi ini, mengaku diasuh oleh bapak ‘pulung’ alias bapak angkatnya sejak kecil. Namun ia bercerita teman-temannya yang sekolah kini sudah di kelas dua SMA. Artinya umur dia berkisar 17 tahun, dengan asumsi 12 tahun lulus SD, 15 tahun lulus SMP, dan dua tahun kemudian di kelas dua SMA.

Perumahan di suku Baduy. Photo: www.gudangwisata.com
Oleh bapak angkatnya, Sarif nama Hasan sebelum diganti, dimasukkan ke pesantren salaf yang mempelajari berbagai ilmu keislaman di wilayah baduy luar. Di pesantren itu juga dia belajar membaca Alquran. Bahkan suara azannya tak kalah bagus dengan azan maghrib yang disiarkan setiap hari di tivi-tivi.

Hasan ikut dalam rombongan keluarga kami ketika kami berangkat menuju bandara di Cengkareng untuk mengantar saya kembali ke Turki. Ia membantu dan menemani kami dalam perjalanan dari Rangkasbitung ke Cengkareng. Kok, bisa Hasan ikut rombongan kami? Begini ceritanya…

Hasan sekarang adalah santri di pesantren Bani Ali di Rancasema, sekitar 200 meter dari rumah saya. Ia diminta oleh abang saya yang pimpinan pesantren Bani Ali itu untuk ikut dalam rombongan kami. Ia mengaku baru 5 bulan menjadi santri di pesantren kami. Sebelumnya ia menjadi santri di pesantren di wilayah Baduy.

Dulu, cerita Hasan, saat KH Zaenal Arifin, pimpinan pesantren Bani Ali, pernah mengisi ceramah di pesantren dan di kampungnya di wilayah Baduy. Usai ceramah ia berbincang dengan Kiai Zaenal. Singkat cerita akhirnya Hasan ikut ke Rancasema dan menjadi santri di kampung kami. Ia pun sering menjadi Muazin di masjid kampung kami. Sekali lagi, saat azan suaranya bagus.

Ditanya mengapa ia bisa begitu bagus saat azan di masjid, dengan rendah hati ia bilang bahwa ini adalah takdir. Mungkin juga takdir itulah yang membawanya ke kampung kami. Saat berbincang dengan saya di bandara ia selalu memalingkan wajahnya. Saya tidak tahu, apa itu memang kebiasaan orang Baduy saat berbincang-bincang atau memang dia takut dengan saya, hehehe. Tak tahulah.

Hasan mengaku ayah dan keluarganya sampai kini belum juga masuk Islam dan tinggal di Baduy. Ayahnya, tutur Hasan, masih memegang teguh keyakinan leluhur Baduy. Mungkin, ayahnya belum mendapatkan hidayah. Sebab, menurutnya, sang ayah banyak keinginan jika ia masuk Islam. “Ayah maunya kalau masuk Islam udah punya sawah sendiri dan yang lainnya,” ujarnya.

Warga baduy terbagi menjadi dua, baduy dalam dan baduy luar. Suku baduy berada di kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak, Banten. Masih banyak masyarakat baduy sampai saat ini masih memegang teguh keyakinan leluhurnya yaitu Sunda Wiwitan. Hanya sebagian kecil saja yang sudah masuk Islam. Itupun dengan perjuangan yang berat.

Beruntung saya bisa berbincang dengan Hasan. Saya belajar darinya arti sebuah ketegasan dan kekokohan sebuah keyakinan. Bahkan, untuk berpisah dengan keluarga sekalipun. Sampai- sampai ia jarang bertemu orang tua kandungnya dan kedua adiknya. “Adik saya sebesar Fawwaz (keponakan saya yang berumur 7 tahun-red), dan satu lagi masih kecil, tetapi saya tidak lagi bertemu mereka,” tandasnya. Dan memang hidayah datangnya langsung dari Allah SWT. Wallahu’alam.

0 komentar:

Posting Komentar