Minggu, 12 Februari 2012

Cerita Tentang Menulis (3)


Saya melanjutkan sekolah di sebuah kampung di Kabupaten Ponorogo Jawa Timur pada pertangahan tahun 1996. Inginnya sih langsung masuk di Pondok Modern Darussalam Gontor, tapi karena Gontor buka pendaftarannya di bulan Syawwal yang jatuh di awal tahun waktu itu, akhirnya saya masuk Pondok Modern Ar-Risalah sekitar tujuh kilometer dari Gontor. 

Tidak lama saya sekolah di Ar-Risalah, hanya sekitar enam bukan. Selanjutanya saya sekolah di Gontor, tentu dengan ujian yang super ketat itu. Untungnya saya sudah belajar agama di sekolah agama dulu dan belajar mengaji sejak sebelum masuk SD yang diajari langsung oleh ibu saya. 
Photo: www.fanpop.com

Ujian untuk masuk Gontor diantaranya adalah berhitung, bahasa Indonesia, Imla atau dikte dalam bahasa arab, dan membaca Al-Quran, dan alhamdulilllah-nya saya suka semua pelajaran yang diujikan itu. Dan ujian pun lancar. Nomor stanbuk saya di Gontor adalah 23833.

Di pondok Gontor ada kewajiban setiap seminggu sekali untuk masuk ke perpustakaan. Jadi saya pun meminjam buku untuk dibaca di waktu senggang selain baca buku pelajaran yang buanyak itu. 

Dari sana saya juga melihat dunia lebih luas lagi. Tentang negara-negara penakluk dunia, tentang tempat-tempat peninggalan sejarah dunia dan yang lainnya. Dan saya kemudian membeli buku agenda atau diary untuk saya catat tentang keseharian saya di pondok.

Di kelas tiga saya masuk club beladiri namanya perbeda alias persatuan beladiri Darussalam. Tapi hanya setahun saya bertahan di sana. Karena dalam diri saya ada jiwa seninya yang lebih condong terhadap dunia membaca dan menulis. 

Klub selanjutnya yang saya ikuti adalah teater Islam Darussalam atau Terisda. Rupanya di dalam Terisda ada juga club naungannya yaitu Himpunan Peminat Sastra Darussalam atau Hipsadus yang kemudian di kelas lima saya menjadi ketuanya.

Setiap munggu di Hipsadus kami mengadakan diskusi tentang buku-buku sastra. Selain itu kami juga setiap hari kamis malam membuat majalah dinding untuk dipublikasikan pada Jumat pagi hingga kamis depannya. 

Dalam mading itu setiap anggota Hipsadus harus mengirimkan naskahnya, apa pun itu termasuk puisi, cerpen, cerbung atau catatan sastra lainnya. Dari sinilah saya mulai menulis, kebanyakan waktu itu yang saya tulis adalah puisi atau catatan ringan lainnya.

Di Gontor saya membaca banyak novel baik novel terbitan lama maupun novel terbaru. Bahkan saat saya mengajar, di sana saya bercerita tentang novel yang saya baca hanya untuk selingan agar tak bosan murid-murid dalam belajar. 

Saat seru-serunya cerita saya berhenti dan melanjutkan pelajaran. Dan para murid pun kemudian bertanya-tanya, ayo kita lanjutkan ceritanya, dan saya bilang, saya akan lanjutkan kalau semua murid di kelas ini memperhatikan pelajaran yang kita pelajari ini.

Apalagi alumni kami di Terisda ada beberapa nama kondang yang terkenal di Indonesia sebut saja Cak Nun atau Emha Ainun Najib dan pendiri Terisda sendiri yaitu Habib Khirzin. 

Saya akhirnya bertemu dengan Pak Habib Khirzin saat beliau bertandang ke Istanbul Turki untuk sebuah seminar. Dan kami bernostalgia tentang Terisda yang didirikannya.

(bersambung)

0 komentar:

Posting Komentar