Saya melanjutkan sekolah di sebuah kampung di Kabupaten
Ponorogo Jawa Timur pada pertangahan tahun 1996. Inginnya sih langsung masuk di
Pondok Modern Darussalam Gontor, tapi karena Gontor buka pendaftarannya di
bulan Syawwal yang jatuh di awal tahun waktu itu, akhirnya saya masuk Pondok
Modern Ar-Risalah sekitar tujuh kilometer dari Gontor.
Tidak lama saya sekolah
di Ar-Risalah, hanya sekitar enam bukan. Selanjutanya saya sekolah di Gontor,
tentu dengan ujian yang super ketat itu. Untungnya saya sudah belajar agama di sekolah agama dulu dan
belajar mengaji sejak sebelum masuk SD yang diajari langsung oleh ibu saya.
Ujian untuk masuk Gontor diantaranya adalah berhitung, bahasa Indonesia, Imla
atau dikte dalam bahasa arab, dan membaca Al-Quran, dan alhamdulilllah-nya saya
suka semua pelajaran yang diujikan itu. Dan ujian pun lancar. Nomor stanbuk
saya di Gontor adalah 23833.
Di pondok Gontor ada kewajiban setiap seminggu sekali untuk
masuk ke perpustakaan. Jadi saya pun meminjam buku untuk dibaca di waktu
senggang selain baca buku pelajaran yang buanyak itu.
Dari sana saya juga
melihat dunia lebih luas lagi. Tentang negara-negara penakluk dunia, tentang
tempat-tempat peninggalan sejarah dunia dan yang lainnya. Dan saya kemudian
membeli buku agenda atau diary untuk saya catat tentang keseharian saya di
pondok.
Di kelas tiga saya masuk club beladiri namanya perbeda alias
persatuan beladiri Darussalam. Tapi hanya setahun saya bertahan di sana. Karena
dalam diri saya ada jiwa seninya yang lebih condong terhadap dunia membaca dan
menulis.
Klub selanjutnya yang saya ikuti adalah teater Islam Darussalam atau
Terisda. Rupanya di dalam Terisda ada juga club naungannya yaitu Himpunan
Peminat Sastra Darussalam atau Hipsadus yang kemudian di kelas lima saya
menjadi ketuanya.
Setiap munggu di Hipsadus kami mengadakan diskusi tentang
buku-buku sastra. Selain itu kami juga setiap hari kamis malam membuat majalah
dinding untuk dipublikasikan pada Jumat pagi hingga kamis depannya.
Dalam
mading itu setiap anggota Hipsadus harus mengirimkan naskahnya, apa pun itu
termasuk puisi, cerpen, cerbung atau catatan sastra lainnya. Dari sinilah saya
mulai menulis, kebanyakan waktu itu yang saya tulis adalah puisi atau catatan
ringan lainnya.
Di Gontor saya membaca banyak novel baik novel terbitan lama
maupun novel terbaru. Bahkan saat saya mengajar, di sana saya bercerita tentang
novel yang saya baca hanya untuk selingan agar tak bosan murid-murid dalam
belajar.
Saat seru-serunya cerita saya berhenti dan melanjutkan pelajaran. Dan
para murid pun kemudian bertanya-tanya, ayo kita lanjutkan ceritanya, dan saya
bilang, saya akan lanjutkan kalau semua murid di kelas ini memperhatikan
pelajaran yang kita pelajari ini.
Apalagi alumni kami di Terisda ada beberapa nama kondang
yang terkenal di Indonesia sebut saja Cak Nun atau Emha Ainun Najib dan pendiri
Terisda sendiri yaitu Habib Khirzin.
Saya akhirnya bertemu dengan Pak Habib
Khirzin saat beliau bertandang ke Istanbul Turki untuk sebuah seminar. Dan kami
bernostalgia tentang Terisda yang didirikannya.
(bersambung)
0 komentar:
Posting Komentar