Minggu, 12 Februari 2012

Cerita Tentang Menulis (1)


Tiba-tiba saya ingin cerita masa kecil saya yang bersentuhan dengan dunia tulis menulis. Kalau dulu pas bersekolah di Sekolah Dasar atau SD ada lomba membaca menulis berhitung atau calistung, saya juaranya dulu pas kelas satu dan dua. 

Kegemaran saya dulu adalah mengikuti lomba cerdas cermat di SD komplek saya atau bertandang ke SD lainnya. Tapi lupakan itu. Mari kita bercerita dengan dunia membaca dan menulis.

Photo: www.studenthacks.org
Sebenarnya buku yang pertama kali saya baca tuntas adalah buku cerita rakyat yang menceritakan soal sungai Barito di Kalimantan saat saya duduk di kelas 3 SD. Saya meminjam buku itu dari perpustakaan sekolah agama (Madrasah Ibtidaiyah) Al-Husna di Rangkasbitung. 

Waktu itu kami para pelajar sekolah agama diwajibkan bayar iuran perpustakaan sekolah. Saya berpikir, jika saya bayar dan saya tidak membaca bukunya, maka saya termasuk orang yang merugi.


Buku pertama itu saya habiskan tak beberapa lama meskipun saya pikir waktu itu buku itu termasuk tebal. Saya sengaja menyendiri di lantai dua rumah saya yang berada di atas dapur rumah saya hanya untuk menghabiskan buku itu. Selanjutnya saya pun meminjam buku lainnya untuk dibaca. 

Mulai saat itu khayalan saya tentang dunia luar mulai berkembang. Dengan membaca saya tahu tentang Kalimantan meski tidak pergi ke sana. Saya pun membandingkan sungai Barito dengan sungai Ciujung yang setiap hari saya lewati jika pergi dan pulang dari SD.


Karena saya sekolah pagi di SD dan sekolah agama di sore hari, teman saya waktu itu bertambah banyak. Apalagi di sekolah agama yang sekelas dengan saya kebanyakan lebih tua dari saya. Karena sekolah agama tidak menyaratkan usia minimal untuk calon pelajar. 

Saya masuk sekolah agama saat saya kelas 1 SD. Sementara teman-teman saya sekelas lainnya ada yang kelas 3 SD atau 4 SD bahkan ada yang kelas 1 SMP baru masuk sekolah agama.


Banyak teman, banyak pergaulan dan banyak pula ilmu yang didapat. Rekan sekalas saya, Rizki namanya,  di sekolah agama yang berbeda sekolah SD-nya mengabari saya untuk berkoresponden dengan kedutaan besar negara-negara asing di Jakarta. 

Dan saya sangat tertarik dengan ide teman saya itu. Waktu itu saya kelas 4 SD di komplek Multatuli, Rangkasbitung.


Saat itu juga saya layangkan surat korespondensi kepada kedutaan besar Swiss di Jakarta, Jl HR Rasuna Said Blok X 3/2 Jakarta 12950. Tak disangka pihak kedutaan Swiss membalas surat saya dengan mengirimkan berkas-berkas tentang negeranya. 

Guru-guru di komplek sekolah saya gempar dan bertanya-tanya, termasuk ibu saya yang juga guru kelas 1 di SD itu. SD saya adalah SD komplek Multatuli yang di dalamnya ada lima SDN. Dan akhirnya berkas itu sampai di tangan saya saat saya keluar kelas.


Saya ingin segera pulang ke rumah untuk membuka paket yang dikirimkan kedutaan Swiss itu. Saya buka dan isinya adalah sebuah peta besar dan buku besar tentang negara Swiss. 

Dari sana saya mulai mengetahui kalau Swiss bukan hanya penghasil jam yang berkualitas, tetapi juga Swiss merupakan negara yang hijau dengan perkebunan yang luas.


Lagi-lagi pikiran dan khayalan saya menerawang ke negera di benua biru itu. Selain Swiss, negara di benua Eropa yang saya tahu waktu itu adalah Belanda. Karena nama komplek sekolah saya adalah Multatuli yang lahir dan berkewarganegaraan Belanda. 

Nama ‘Multatuli’ di kota saya menjadi nama jalan protokol juga menjadi nama sebuah komlpek SD yang berada di jalan protokol itu. Meski sampai saat ini Multatuli masih menjadi buah bibir apakah dia pahlawan atau penjahat saat berkuasa di Rangkasbitung Lebak Banten itu.


(bersambung)

0 komentar:

Posting Komentar