Tiba-tiba saya ingin cerita masa kecil
saya yang bersentuhan dengan dunia tulis menulis. Kalau dulu pas bersekolah di
Sekolah Dasar atau SD ada lomba membaca menulis berhitung atau calistung, saya
juaranya dulu pas kelas satu dan dua.
Kegemaran saya dulu adalah mengikuti
lomba cerdas cermat di SD komplek saya atau bertandang ke SD lainnya. Tapi
lupakan itu. Mari kita bercerita dengan dunia membaca dan menulis.
Photo: www.studenthacks.org |
Waktu itu kami para pelajar sekolah
agama diwajibkan bayar iuran perpustakaan sekolah. Saya berpikir, jika saya
bayar dan saya tidak membaca bukunya, maka saya termasuk orang yang merugi.
Buku pertama itu saya habiskan tak
beberapa lama meskipun saya pikir waktu itu buku itu termasuk tebal. Saya
sengaja menyendiri di lantai dua rumah saya yang berada di atas dapur rumah
saya hanya untuk menghabiskan buku itu. Selanjutnya saya pun meminjam buku
lainnya untuk dibaca.
Mulai saat itu khayalan saya tentang
dunia luar mulai berkembang. Dengan membaca saya tahu tentang Kalimantan meski
tidak pergi ke sana. Saya pun membandingkan sungai Barito dengan sungai Ciujung
yang setiap hari saya lewati jika pergi dan pulang dari SD.
Karena saya sekolah pagi di SD dan
sekolah agama di sore hari, teman saya waktu itu bertambah banyak. Apalagi di
sekolah agama yang sekelas dengan saya kebanyakan lebih tua dari saya. Karena
sekolah agama tidak menyaratkan usia minimal untuk calon pelajar.
Saya masuk sekolah agama saat saya
kelas 1 SD. Sementara teman-teman saya sekelas lainnya ada yang kelas 3 SD atau
4 SD bahkan ada yang kelas 1 SMP baru masuk sekolah agama.
Banyak teman, banyak pergaulan dan
banyak pula ilmu yang didapat. Rekan sekalas saya, Rizki namanya, di
sekolah agama yang berbeda sekolah SD-nya mengabari saya untuk berkoresponden
dengan kedutaan besar negara-negara asing di Jakarta.
Dan saya sangat tertarik dengan ide
teman saya itu. Waktu itu saya kelas 4 SD di komplek Multatuli, Rangkasbitung.
Saat itu juga saya layangkan surat
korespondensi kepada kedutaan besar Swiss di Jakarta, Jl HR Rasuna Said Blok X
3/2 Jakarta 12950. Tak disangka pihak kedutaan Swiss membalas surat saya dengan
mengirimkan berkas-berkas tentang negeranya.
Guru-guru di komplek sekolah saya
gempar dan bertanya-tanya, termasuk ibu saya yang juga guru kelas 1 di SD itu.
SD saya adalah SD komplek Multatuli yang di dalamnya ada lima SDN. Dan akhirnya
berkas itu sampai di tangan saya saat saya keluar kelas.
Saya ingin segera pulang ke rumah untuk
membuka paket yang dikirimkan kedutaan Swiss itu. Saya buka dan isinya adalah
sebuah peta besar dan buku besar tentang negara Swiss.
Dari sana saya mulai mengetahui kalau
Swiss bukan hanya penghasil jam yang berkualitas, tetapi juga Swiss merupakan
negara yang hijau dengan perkebunan yang luas.
Lagi-lagi pikiran dan khayalan saya
menerawang ke negera di benua biru itu. Selain Swiss, negara di benua Eropa
yang saya tahu waktu itu adalah Belanda. Karena nama komplek sekolah saya
adalah Multatuli yang lahir dan berkewarganegaraan Belanda.
Nama ‘Multatuli’ di kota saya menjadi
nama jalan protokol juga menjadi nama sebuah komlpek SD yang berada di jalan
protokol itu. Meski sampai saat ini Multatuli masih menjadi buah bibir apakah
dia pahlawan atau penjahat saat berkuasa di Rangkasbitung Lebak Banten itu.
(bersambung)
0 komentar:
Posting Komentar