Sungguh, saya selalu senang jika berlebaran. Entah itu
jika dirayakan di kampung halaman atau di perantauan. Bukan pula karena baju
baru, sebab ada pengharapan baru yang selalu disajikan dalam berlebaran. Bahwa saling
memberi, berkurban, berbagi, memaafkan dan air muka yang berserilah yang
menghapus segala rasa menjadi kebahagiaan.
Tadi pagi saya shalat Ied di masjid dekat rumah yang
saya tumpangi. Usai shalat saya ikut berbaris untuk bersalaman dengan imam dan
para jemaah. Dari semua jamaah shalat Ied itu hanya saya yang orang asing. Tetapi
senyum tulus dari saudara-saudara muslim Turki itu menghangatkan pagi yang
dingin.
Dan saya teringat pertama kali merayakan Idul Kurban
di perantauan. Sejak lulus SD tahun 1996 saya merantau dari Rangkasbitung ke
Ponorogo untuk menuntut ilmu. Sejak saat itu sampai sekarang, perayaan Idul
Adha kebanyakan saya rayakan di perantauan. Hanya sesekali saja dirayakan di
kampung halaman ketika saya kuliah di Jakarta.
Di Gontor dulu, kami para santri sangat senang jika
lebaran kurban tiba. Sebab tiga hari berturut-turut menu makanan di dapur umum
adalah daging kurban. Kami menyebutnya dengan, yaumul malhamah, hari-hari
berdaging. Macam-macam menu daging yang disajikan, mulai dari gulai, sate hingga semur
daging. Bahkan kami hampir merasa bosan dengan menu itu.
Saat merantau ke Jakarta saya ingin merasakan aroma berlebaran di ibukota. Tahun 2003 saya dan beberapa teman melaksanakan shalat Ied
di Masjid Istiqlal. Kami berangkat dari Pondok Pinang, sehabis shalat Isya. Kemudian
menikmati malam takbiran di kota macet itu. Kami juga menikmati malam takbiran
di Tugu Monas sebelum beranjak ke Masjid Istiqlal.
Sampai masjid Istiqlal tengah malam. Rupanya sudah
banyak orang yang berada di dalam masjid itu. Ada yang shalat, membaca Alquran,
bahkan ada juga yang tertidur. Kami berempat waktu itu menghabiskan pagi menjelang
subuh dengan mengobrol sembari merebahkan badan di atas sajadah.
Tiba-tiba, sekitar pukul dua pagi, petugas masjid
membangunkan kami yang tertidur, kemudian menyuruh kami keluar dari masjid. Bahkan
orang yang sedang membaca Alquran pun diperintahkan untuk keluar dari masjid. Sebab,
menurut marbot masjid, bahwa masjid Istiqlal akan dibersihkan untuk shalat Ied.
Adzan Subuh berkumandang. Kami pun mengambil air
wudhu. Pintu masuk masjid Istiqlal dilengkapi dengan pintu X-Ray dan petugas
keamanan. Ini dilakukan karena Presiden RI juga akan melangsungkan Shalat Ied di masjid
terbesar di Asia Tenggara itu. Saya rasa, shalat di Istiqlal lebih lama
tinimbang shalat Ied di tempat lain yang pernah saya rasakan.
Berbeda dengan di Turki, waktu shalat Ied di sini
selalu berbeda-beda, menyesuaikan musim dan jam berapa terbitnya matahari. Tadi pagi, shalat
Ied di Ankara dilaksanakan pada pukul 07.39. Sementara shalat Ied Fitri pada
pukul sekitar pukul 06.30.
Pada tahun ini juga shalat Ied Fitri berbeda dengan
beberapa waktu sebelumnya. Masyarakat dan pelajar Indonesia melaksanakan shalat Ied Fitri
di Wisma KBRI Ankara. Lapangan tenis disulap menjadi hamparan karpet dan
sajadah.
Namun untuk shalat Ied Kurban, KBRI tidak lagi
melakukannya, karena banyak dari staf KBRI yang merayakan liburan dan cuti,
bahkan ada yang mudik ke kampung halaman. Apalagi liburan lebaran haji di Turki
lebih lama ketimbang liburan lebaran Syawwal yang digunakan untuk jalan-jalan.
Dari semua itu yang paling berkesan pada perayaan
lebaran Kurban yaitu saat saya berada di Mekkah untuk berhaji. Tidak ada shalat
Ied di sana. Sebab di hari yang sama para jemaah haji melaksanakan jumrah dan
kembali ke Makkah untuk melaksanakan tahallul dan thawaf.
Saat lebaran inilah kita dihalalkan untuk
bersenang-senang dan berbagi kesenangan. Bahkan bisa dikatakan bahwa orang fakir
miskin pun tidak boleh untuk tidak senang. Semuanya harus senang. Maka berkurban
adalah sarana mendekatkan diri kepada Allah SWT dan sesama manusia.
Di akhir tulisan ini, dari hati yang paling dalam saya ingin mengucapkan,
Selamat Hari Raya Idul Kurban. Taqabbalallu minna wa minkum, wa kullu sanah wa
antum bikhair, amin ya Rabbal ‘alamin.
0 komentar:
Posting Komentar