Ini judul film
India. Artinya: seperti bintang di bumi. Film bertema pendidikan ini berhasil
mengobrak-abrik emosi hingga saya terharu. Saya selalu suka dengan film bertema
pendidikan. Entah kenapa. Mungkin saja karena saya dibesarkan dalam lingkungan
pendidikan. Ibu dan ayah saya adalah guru sekolah dasar. Mereka itulah yang
memberikan pondasi yang sangat dasar dalam pendidikan pada diri saya.
Baiklah. Film
ini saya dapatkan dari teman saya. Saya menonton di sela-sela tumpukan buku
yang tak terbaca (baca: lagi malas belajar. #gakusahditiru). Hitung-hitung
penyegaran atau hiburan. Film ini sebenarnya bukan film baru dan diproduksi
pada tahun 2007. Film ini berbahasa India dan Inggris yang dicampur. Untungnya
saja ada subtitle berbahasa Indonesia.
Sumber photo: http://www.taarezameenpar.com/images/poster1.htm
Film ini terfokus pada anak berusia delapan atau sembilan tahun yang sekolah di kelas 3 SD. Anak ini bernama Awasti Ishaan. Di awal film ini ditunjukkan bahwa Ishaan adalah anak kecil yang ceria dan berbeda dengan anak lainnya. Misalnya, saat ia pulang ke rumah, di depan rumah sudah ditunggu oleh dua anjing yang menyayanginya. Ia bermain-main dengan kedua anjing itu.
Ishaan lahir
dalam keluarga yang penuh disiplin dengan sang ayah yang perfeksionis. Sang
ayah setiap pagi berangkat ke kantor dan pulang di waktu sore atau petang.
Laiknya orang tua yang sibuk. Semantara ibunya tinggal di rumah tanpa pembantu.
Abang Ishaan adalah murid yang berprestasi di sekolahnya. Ayahnya ingin Ishaan
bisa meniru abangnya.
Sudah dua tahun
Ishaan mengulang di kelas 3. Namun, tak ada perubahan. Ia tidak bisa membaca
dan menulis. Semua nilai di mata pelajarannya adalah nol. Sekolahnya sudah
tidak bisa membantu lagi. Kepala sekolah dan guru-gurunya memanggil ayah dan
ibu Ishaan. Saking setresnya sang ayah menampar Ishaan dan memindahkan Ishaan
ke sekolah yang berasrama. Artinya ia harus pisah dengan keluarganya.
Drama dimulai
dari sini. Ia menggambar tentang sebuah perpisahan dengan keluarganya dalam
satu buku gambar kecil. Sebelum pindah ke sekolah yang berasrama ia bermimpi
buruk dengan bermimpi berpisah dengan ibunya dalam sebuah perjalanan. Ia
menangis dan tak mau sekolah berasrama. Ayahnya ngotot agar si anak sekolah
berasrama.
Saat anak ini berada di
sekolah berasrama dan akan berpisah dengan keluarganya, Ishaan menangis. Adegan
ini membawa ingatan saya terbang ke beberapa tahun di tahun 1996. Saat itu saya
baru saja lulus SD dan harus berpisah dengan keluarga saat saya harus belajar
di sekolah berasrama alias pesantren di Ponorogo, Jawa Timur, ratusan kilometer
dari rumah saya di Rangkasbitung, Banten. Saat itu hampir semua anak yang seumuran
saya menangis karena sedih saat ditinggal kedua orangtuanya.
Di dalam mobil
sang ibu tak mau melihat saat berpisah dengan Ishaan. Ibunya menangis.
Sementara ayahnya biasa saja. Bukannya bertambah baik, Ishaan malah bertambah
takut dengan guru-guru barunya di sekolah berasrama itu. Saking takutnya ia
sering melamun dan menangis. Di dalam sekolah ia sering memandang keluar
melihat burung atau yang lainnya. Ia tak bisa berkonsentrasi di kelas saat
pelajaran. Semua gur mengeluh terhadap Ishaan.
Sampai akhirnya
datanglah seorang guru seni yang mengajar di kelas Ishaan. Guru muda ini punya
cara tersendiri dalam mengajar murid-muridnya. Ia tak seperti guru lainnya yang
mengajar dengan cara kolot atau membosankan. Guru seni ini bernama Nikumbh
(yang tertulis di subtitle). Ia terkaget melihat anak muridnya yang tak
bergembira seperti murid-murid lainnya. Di dalam matanya terdapat ketakutan
yang akut. Kata Nikumbh mengomentari mata Ishaan.
Nikumbh
penasaran dan akhirnya mendapatkan dan membaca-baca buku catatan Ishaan. Semua
bukunya dipenuhi dengan tinta merah. Artinya semuanya pelajaran tak ada yang
bagus bagi Ishaan. Nikumbh datang ke rumah Ishaan dan menemui kedua
orangtuanya. Ia bertanya kepada kedua orangtua Ishaan, mengapa ia sekolahkan
anaknya di sekolah berasrama. Ayahnya menjawab dan bersikeras kalau Ishaan
adalah anak idiot, bodoh. Nikumbh menerangkan kalau Ishaan itu mengidap
Disleksia.
Disleksia adalah
sebuah kondisi ketidakmampuan belajar pada seseorang yang disebabkan oleh
kesulitan pada orang tersebut dalam melakukan aktivitas membaca dan menulis.
Dalam buku catatan Ishaan, ia kesusahan menulis huruf-huruf dan angka-angka.
Banyak yang terbalik. Imajinasi Ishaan lebih pada warna dan khayalan. Dan ini
ditunjukan dengan gambar-gambar yang dilukis oleh Ishaan sangat mengagumkan.
Mengetahui hal
ini Nikumbh mengawali belajar mengajar di kelas dengan bercerita tentang
kegagalan Albert Einstein sang pencipta teori relativitas. Einstein kecil
dianggap murid yang bodoh, namun setelah dewasa menjadi orang yang sangat
terkenal dengan keilmuan yang dimilikinya. Cerita-cerita heroik ini berhasil
menumbuhkan kembali semangat Ishaan.
Kepercayaan diri
yang pernah hilang itu kini tumbuh lagi. Ishaan berhasil membuat pesawat mini
yang bisa berjalan di atas air. Nikumbh juga mengajarkan Ishaan membaca,
menulis dan berhitung dengan metode yang berbeda. Akhirnya Ishaan bisa
mengikuti semua palajaran. Di akhir cerita Nikumbh membuat acara lomba
menggambar untuk semua murid dan guru di sekolah berasrama itu.
Semua murid dan
guru berkumpul di satu tempat seperti ruang teater terbuka. Seperti gedung
teater kuno yang berada di Ephesus Izmir atau gedung teater di Pamukkale Turki.
Semua peserta diberi satu kertas karton. Meski lomba sudah dimulai namun Ishaan
belum juga muncul. Ia keluar asrama di saat orang-orang masih terlelap tidur.
Ia mencari inspirasi di danau dekat sekolah. Dan akhirnya datang ke tempat
perlombaan menggambar.
Ceritanya sudah
bisa ditebak. Ishaan menjadi juara menggambar mengalahkan gurunya. Bahkan
gambarnya itu dibuat buku kenangan oleh sekolahnya. Pesan film ini sangat
jelas. Di zaman serba kompetisi ini orangtua banyak yang memaksakan kehendaknya
di atas kehendak anaknya. Anak dipaksa untuk meraih apa yang diimpikan
orangtuanya. Dengan dalih hal itu yang terbaik bagi anaknya. Padahal belum
tentu.
Beberapa tahun
lalu saat saya mengajar di Ponorogo, Jawa Timur, saya banyak mendapati hal seperti ini.
Ada orangtua yang menyekolahkan anaknya ke sekolah berasrama atau pesantren
karena berharap anaknya berubah menjadi baik. Dengan bahasa lain pesantren
adalah pencetak anak yang baik. Bagi saya, hal itu adalah salah. Karena
pendidikan etika bermuara pada lingkungan keluarga. Pesantren atau sekolah
manapun hanya membantu anak untuk menemukan apa yang dicita-citakan sang anak.
Kita mungkin
masih ingat apa yang dikatakan Jean-Jacques Rousseau, bahwa anak itu seperti
kertas putih yang siap menerima tinta apa pun untuk mengisinya. Artinya
pendidik yang paling pertamalah yang menentukan akan dibawa kemana anak itu.
Dan pendidik yang pertama itu adalah keluarga.
Ankara, 28
Desember 2011
Sepertinya film ya menarik Mas. Saya juga terinspirasi dari film Three Idiots, film India juga :)
BalasHapusIya, Mas, seperti film Three Idiots yang bertema pendidikan..
BalasHapus