Rabu, 28 Desember 2011

Taare Zameen Par


Ini judul film India. Artinya: seperti bintang di bumi. Film bertema pendidikan ini berhasil mengobrak-abrik emosi hingga saya terharu. Saya selalu suka dengan film bertema pendidikan. Entah kenapa. Mungkin saja karena saya dibesarkan dalam lingkungan pendidikan. Ibu dan ayah saya adalah guru sekolah dasar. Mereka itulah yang memberikan pondasi yang sangat dasar dalam pendidikan pada diri saya.

Baiklah. Film ini saya dapatkan dari teman saya. Saya menonton di sela-sela tumpukan buku yang tak terbaca (baca: lagi malas belajar. #gakusahditiru). Hitung-hitung penyegaran atau hiburan. Film ini sebenarnya bukan film baru dan diproduksi pada tahun 2007. Film ini berbahasa India dan Inggris yang dicampur. Untungnya saja ada subtitle berbahasa Indonesia.


Film ini terfokus pada anak berusia delapan atau sembilan tahun yang sekolah di kelas 3 SD. Anak ini bernama Awasti Ishaan. Di awal film ini ditunjukkan bahwa Ishaan adalah anak kecil yang ceria dan berbeda dengan anak lainnya. Misalnya, saat ia pulang ke rumah, di depan rumah sudah ditunggu oleh dua anjing yang menyayanginya. Ia bermain-main dengan kedua anjing itu.

Ishaan lahir dalam keluarga yang penuh disiplin dengan sang ayah yang perfeksionis. Sang ayah setiap pagi berangkat ke kantor dan pulang di waktu sore atau petang. Laiknya orang tua yang sibuk. Semantara ibunya tinggal di rumah tanpa pembantu. Abang Ishaan adalah murid yang berprestasi di sekolahnya. Ayahnya ingin Ishaan bisa meniru abangnya.

Sudah dua tahun Ishaan mengulang di kelas 3. Namun, tak ada perubahan. Ia tidak bisa membaca dan menulis. Semua nilai di mata pelajarannya adalah nol. Sekolahnya sudah tidak bisa membantu lagi. Kepala sekolah dan guru-gurunya memanggil ayah dan ibu Ishaan. Saking setresnya sang ayah menampar Ishaan dan memindahkan Ishaan ke sekolah yang berasrama. Artinya ia harus pisah dengan keluarganya.

Drama dimulai dari sini. Ia menggambar tentang sebuah perpisahan dengan keluarganya dalam satu buku gambar kecil. Sebelum pindah ke sekolah yang berasrama ia bermimpi buruk dengan bermimpi berpisah dengan ibunya dalam sebuah perjalanan. Ia menangis dan tak mau sekolah berasrama. Ayahnya ngotot agar si anak sekolah berasrama.

Saat anak ini berada di sekolah berasrama dan akan berpisah dengan keluarganya, Ishaan menangis. Adegan ini membawa ingatan saya terbang ke beberapa tahun di tahun 1996. Saat itu saya baru saja lulus SD dan harus berpisah dengan keluarga saat saya harus belajar di sekolah berasrama alias pesantren di Ponorogo, Jawa Timur, ratusan kilometer dari rumah saya di Rangkasbitung, Banten. Saat itu hampir semua anak yang seumuran saya menangis karena sedih saat ditinggal kedua orangtuanya.

Di dalam mobil sang ibu tak mau melihat saat berpisah dengan Ishaan. Ibunya menangis. Sementara ayahnya biasa saja. Bukannya bertambah baik, Ishaan malah bertambah takut dengan guru-guru barunya di sekolah berasrama itu. Saking takutnya ia sering melamun dan menangis. Di dalam sekolah ia sering memandang keluar melihat burung atau yang lainnya. Ia tak bisa berkonsentrasi di kelas saat pelajaran. Semua gur mengeluh terhadap Ishaan.

Sampai akhirnya datanglah seorang guru seni yang mengajar di kelas Ishaan. Guru muda ini punya cara tersendiri dalam mengajar murid-muridnya. Ia tak seperti guru lainnya yang mengajar dengan cara kolot atau membosankan. Guru seni ini bernama Nikumbh (yang tertulis di subtitle). Ia terkaget melihat anak muridnya yang tak bergembira seperti murid-murid lainnya. Di dalam matanya terdapat ketakutan yang akut. Kata Nikumbh mengomentari mata Ishaan.

Nikumbh penasaran dan akhirnya mendapatkan dan membaca-baca buku catatan Ishaan. Semua bukunya dipenuhi dengan tinta merah. Artinya semuanya pelajaran tak ada yang bagus bagi Ishaan. Nikumbh datang ke rumah Ishaan dan menemui kedua orangtuanya. Ia bertanya kepada kedua orangtua Ishaan, mengapa ia sekolahkan anaknya di sekolah berasrama. Ayahnya menjawab dan bersikeras kalau Ishaan adalah anak idiot, bodoh. Nikumbh menerangkan kalau Ishaan itu mengidap Disleksia.

Disleksia adalah sebuah kondisi ketidakmampuan belajar pada seseorang yang disebabkan oleh kesulitan pada orang tersebut dalam melakukan aktivitas membaca dan menulis. Dalam buku catatan Ishaan, ia kesusahan menulis huruf-huruf dan angka-angka. Banyak yang terbalik. Imajinasi Ishaan lebih pada warna dan khayalan. Dan ini ditunjukan dengan gambar-gambar yang dilukis oleh Ishaan sangat mengagumkan.

Mengetahui hal ini Nikumbh mengawali belajar mengajar di kelas dengan bercerita tentang kegagalan Albert Einstein sang pencipta teori relativitas. Einstein kecil dianggap murid yang bodoh, namun setelah dewasa menjadi orang yang sangat terkenal dengan keilmuan yang dimilikinya. Cerita-cerita heroik ini berhasil menumbuhkan kembali semangat Ishaan.

Kepercayaan diri yang pernah hilang itu kini tumbuh lagi. Ishaan berhasil membuat pesawat mini yang bisa berjalan di atas air. Nikumbh juga mengajarkan Ishaan membaca, menulis dan berhitung dengan metode yang berbeda. Akhirnya Ishaan bisa mengikuti semua palajaran. Di akhir cerita Nikumbh membuat acara lomba menggambar untuk semua murid dan guru di sekolah berasrama itu.

Semua murid dan guru berkumpul di satu tempat seperti ruang teater terbuka. Seperti gedung teater kuno yang berada di Ephesus Izmir atau gedung teater di Pamukkale Turki. Semua peserta diberi satu kertas karton. Meski lomba sudah dimulai namun Ishaan belum juga muncul. Ia keluar asrama di saat orang-orang masih terlelap tidur. Ia mencari inspirasi di danau dekat sekolah. Dan akhirnya datang ke tempat perlombaan menggambar.

Ceritanya sudah bisa ditebak. Ishaan menjadi juara menggambar mengalahkan gurunya. Bahkan gambarnya itu dibuat buku kenangan oleh sekolahnya. Pesan film ini sangat jelas. Di zaman serba kompetisi ini orangtua banyak yang memaksakan kehendaknya di atas kehendak anaknya. Anak dipaksa untuk meraih apa yang diimpikan orangtuanya. Dengan dalih hal itu yang terbaik bagi anaknya. Padahal belum tentu.

Beberapa tahun lalu saat saya mengajar di Ponorogo, Jawa Timur, saya banyak mendapati hal seperti ini. Ada orangtua yang menyekolahkan anaknya ke sekolah berasrama atau pesantren karena berharap anaknya berubah menjadi baik. Dengan bahasa lain pesantren adalah pencetak anak yang baik. Bagi saya, hal itu adalah salah. Karena pendidikan etika bermuara pada lingkungan keluarga. Pesantren atau sekolah manapun hanya membantu anak untuk menemukan apa yang dicita-citakan sang anak.

Kita mungkin masih ingat apa yang dikatakan Jean-Jacques Rousseau, bahwa anak itu seperti kertas putih yang siap menerima tinta apa pun untuk mengisinya. Artinya pendidik yang paling pertamalah yang menentukan akan dibawa kemana anak itu. Dan pendidik yang pertama itu adalah keluarga.

Ankara, 28 Desember 2011


2 komentar:

  1. Sepertinya film ya menarik Mas. Saya juga terinspirasi dari film Three Idiots, film India juga :)

    BalasHapus
  2. Iya, Mas, seperti film Three Idiots yang bertema pendidikan..

    BalasHapus