Suatu ketika
saat menemani tamu yang datang dari Jakarta ke Ankara dan tinggal di hotel
bertanya pada saya, apakah ada sarapan di hotel ini, saya jawab ada di lantai
dasar. Tamu itu mengatakan bahwa menu pagi di hotel adalah breakfast bukan
sarapan. Artinya yang disediakan untuk makan pagi adalah roti, keju, telur dan
yang lainnya dan bukan nasi dan lauk pauknya.
Teman saya
yang baru tinggal di asrama suatu pagi mengajak saya untuk makan. Dia mengajak
saya ke restoran asrama yang biasa menyediakan nasi, sayuran, ayam, daging, dan
lainnya. Sebab ia belum tahu kalau restoran itu hanya dibuka dari siang hingga
malam. Dan untuk menu pagi hanya menyediakan roti, telur, keju, madu, buah
zaytun dll. Teman saya hanya tersenyum kecut.
Bagi kita
yang sekolah di luar Indonesia, hal yang harus dibiasakan adalah menerima
makanan asing di lidah kita. Bagi sebagian orang ini tidak mudah, sebagian lagi
ini bukan masalah besar. Bagi saya menerima makanan asing di lidah saya tidak
begitu susah, karena menurut saya adalah bagaimana perut ini bisa diisi agar
bertenaga untuk melaksanakan kegiatan.
Tetapi tidak
bagi teman saya, Syamwil misalnya. Ia agak kesusahan untuk memakan makanan
asing. Saat makan siang di restoran kampus, ia hanya makan yang hanya diterima
lidahnya saja. Dan ia berikan makanan lainya ke rekannya yang berada di
sampingnya. Inı terjadi saat pertama-tama ia berada di Turki.
Tulisan ini
sebenarnya diilhami saat pagi tadi membaca koran berbahasa Turki sambil
menyantap menu kahvalti. Ingatan saya tertuju pada masa dimana saya kuliah S1
dan ngekost di kawasan Ciputat. Setiap pagi saya membaca koran yang dikirim
oleh sang loper. Sembari membaca koran itu saya menunggu pedagang nasi uduk
yang keliling kost-kost mahasiswa. Nasi uduk dengan lauk gorengan tahu atau
tempe menjadi makanan favorit kami setiap pagi beberapa tahun lalu.
Untuk
menemukan makanan Indonesia di Turki agak susah memang. Berbeda dengan di Mesir
atau Arab Saudi atau negara lainnya. Di Mesir misalnya, kita tidak akan
kesusahan mencari ayam bakar, masakan Padang, bubur ayam atau sate Madura.
Karena selain belajar, sebagian mahasiswa di sana juga berwirausaha dengan
mendirikan restoran masakan Indonesia. Atau untuk makanan instan kita bisa beli
mie instan di warung-warung yang tersebar di mana-mana.
Inilah yang
berbeda dengan di Turki. Sampai saat ini belum ada satu pun restoran Indonesia,
khususnya di Ankara. Yang ada hanyalah restoran China atau Thailand yang
sedikit mirip dengan masakan Indonesia. Bahkan untuk mie instant saja susah
mendapatkannya di mall atau pusat perbelanjaan. Bukan karena tidak ada. Tapi
karena, jika ada mie instant itu langsung habis diborong sama orang Indonesia. Dan saya jarang kebagian.
Mengenaskan.
Mie instant
ini sebenarnya penggemarnya bukan hanya orang Indonesia. Suatu ketika saya
membawa beberapa bungkus mie instant untuk temen saya orang Kirgistan dan
Albania. Tujuan saya hanya untuk memperkenalkan masakan Indonesia. Tidak
disangka kedua temen saya itu menyukainya. Bahkan orang Albania itu selalu
menagih mie instant jika kami bertemu. Walah repotnya. Bukan karena gak mau
ngasih, cuma mie instant ini susah didapat.
Lantas
bagaimana jika kita kangen dengan masakan Indonesia. Banyak jalan menuju Roma.
Banyak cara juga untuk mendapatkannya. Salah satunya adalah membeli bahan
masakan dan dimasak dengan resep masakan Indonesia. Ini agak repot memang,
karena tidak semua bahan masakan itu dijual di sini. Yang paling mudah adalah
menghadiri undangan dari KBRI dalam suatu acara yang menyediakan jamuan
makanan. Undangan ini pun jarang adanya. Namun yang pasti hanya ada dua rasa
masakan Indonesia di sini, yang pertama adalah enak dan kedua enak sekali.
0 komentar:
Posting Komentar