Selasa, 26 Maret 2013

Bukan Orang Biasa

Saya tidak tahu mengapa harus menulis tentang ini. Tapi mungkin alasannya adalah karena mereka para pejuang. Bukan orang biasa. Bisa dikatakan sebagai orang besar. Dan saya pun menulisnya. Sebab, mereka tak mengejar kekayaan harta. Mereka mengejar kekayaan batin. Hidup mereka untuk mencerdaskan bangsa. Melalui caranya masing-masing.

Muhammad Rovicky dan Naim Ali. Keduanya sahabat saya. Kami pernah aktif bersama-sama di Teater Islam Darussalam (Terisda) Gontor. Kelompok kami dulu memang disebut ‘gila’ karena kami di luar kebiasaan para santri pada umumnya. Kami selalu berlatih drama, mencoba merasakan bagaimana menjadi ‘orang lain’. Tetapi tentu saja ‘kegilaan’ kami masih berada dalam rambu-rambu peraturan pesantren yang ketat.

Latihan fisik di Terisda hampir sama dengan latihan fisik di Persatuan Beladiri Darussalam, yaitu kelompok tapak suci atau silat. Bahkan juga latihan fisiknya bisa sama dengan klub olahraga basket dan sepakbola di Gontor. Tetapi di Terisda kami juga dilatih menulis seperti FP2WS, Itqan atau Darussalam Pos, yaitu klub-klub yang fokus terhadap pengetahuan dan kepenulisan. Dan di Terisda juga memiliki nilai seni seperti halnya Aklam yang fokus terhadap khat, dan Limit yang fokus terhadap gambar dan lukisan kartun.

Lebih dari itu, di Terisda kami juga melatih jiwa kami untuk lebih sensitif terhadap kesedihan, kesengsaraan, kekurangan dan hambatan-hambatan yang diderita orang lain. Kami dilatih untuk mengritisi diri kami sendiri. Kami dilatih untuk selalu berempati kepada siapa pun. Sebab motto kami di Terisda yang kini berubah nama menjadi Armada adalah olah raga, olah rasa dan olah jiwa.
Para santri di Pondok Modern Al-Makkiyah
Usai lulus dari Gontor kami sudah jarang bertemu secara fisik. Kecuali di laman media sosial. Akhir Maret  2012 lalu saya bertemu dengan Rovicky di acara Silaturahim Nasional (Silatnas) Alumni Gontor di Cirebon. Ia masih seperti dulu. Kurus. Bedanya sekarang dia lebih dewasa. Lebih matang. Terlihat dari bagaimana ia berbincang bersama saya tentang pesantrennya bernama Pondok Modern Almakkiyah. Sebuah pesantren baru yang ia dirikan di kampung halamannya di Jambi.

Rovicky bercerita bagaimana perjuangannya mendirikan sebuah pesantren dengan modal keyakinan dan ridha Allah semata. Banyak cibiran yang dialamatkan padanya. Namun ia tetap maju dengan keyakinannya. Ia datang ke Silatnas di Cirebon bersama seorang paruh baya berumur sekitar 50an tahun. Rupanya orang yang mendampinginya itu adalah asistennya yang suka rela membantu Rovicky dalam membangun pondok.

Sebenarnya wajar ‘kegilaan’ menempel di kelompok kami. Karena orang-orang Terisda akhirnya banyak yang menjadi Pembina gugus depan alias Bindep dalam kepramukaan di Gontor. Para bindep ini selain ‘urakan’ ia juga mesti bisa membawa massa dan menjadikan anggota-anggotanya kreatif. Dan bindep itu mesti bukan orang biasa alias ‘gila’. Rovicky adalah salah satu bindep di angkatan saya. Ia terkenal aktif di belantara kepramukaan pondok. Meski urakan ia tetap ‘lurus’.
Taman Baca Mahanani
Sementara Naim Ali adalah orang yang selalu cuek. Namun dalam cueknya ia selalu membuat tulisan untuk majalah dinding kami bernama hipsadus, Himpunan Peminat Sastra Darussalam, dimana saya pernah menjadi ketuanya. Hipsadus berada dalam atap Terisda. Setiap kamis malam kami berdiskusi tentang seni dan karya sastra dan memajangkan hasil karya sastra kami di majalah dinding itu.

Beberapa tahun usai lulus Gontor Naim mendirikan perpustakaan dan taman baca di kampungnya. Taman baca yang beralamat di Jl. Supiturang Utara 13 Kediri Jawa Timur itu ia beri nama Mahanani. Ia menjadikan kandang sapi di belakang rumahnya menjadi taman bacaan. Pada awalnya memang anak-anak kampung sekitarnya tidak berminat untuk datang dan membaca buku meski itu gratis. Tekadnya kuat, ia bermimpi anak-anak itu bisa membuka cakrawala dunia melalui membaca.
Naim dan anak-anak di Taman Baca Mahanani
Naim membeli becak dan membawa buku bacaan di becak itu. Ia teriakan kepada anak-anak yang bermain tentang membaca dan meminjam buku gratis darinya. Anak-anak itu menghampiri becak Naim. Dan mereka membaca buku-buku yang dibawanya. Lama-kelamaan aksi becak Naim ini menjadi perhatian dan ditunggu-tunggu oleh masyarakatnya. Bahkan aksi Naim beberapa kali menjadi berita di koran lokal karena ulah nyentriknya itu.

Saya teringat dengan pesan guru kami KH Imam Zarkasyi, bahwa orang besar itu bukan yang bekerja menjadi menteri di Jakarta atau menjadi pemimpin politik di Indonesia. Orang besar baginya adalah yang mau mengajar masyarakatnya meski di surau kecil yang tidak digaji. Yang mengajar tanpa pamrih. Kita bangsa Indonesia ini butuh banyak orang-orang besar yang mewakafkan diri untuk orang banyak seperti Naim dan Rovicky ini. Sebab peradaban besar dimulai dengan pendidikan dan ilmu pengetahuan. 

0 komentar:

Posting Komentar