Saya tidak tahu mengapa harus menulis tentang ini. Tapi
mungkin alasannya adalah karena mereka para pejuang. Bukan orang biasa. Bisa dikatakan
sebagai orang besar. Dan saya pun menulisnya. Sebab, mereka tak mengejar
kekayaan harta. Mereka mengejar kekayaan batin. Hidup mereka untuk mencerdaskan
bangsa. Melalui caranya masing-masing.
Sementara Naim Ali adalah orang yang selalu cuek. Namun
dalam cueknya ia selalu membuat tulisan untuk majalah dinding kami bernama
hipsadus, Himpunan Peminat Sastra Darussalam, dimana saya pernah menjadi
ketuanya. Hipsadus berada dalam atap Terisda. Setiap kamis malam kami
berdiskusi tentang seni dan karya sastra dan memajangkan hasil karya sastra
kami di majalah dinding itu.
Muhammad Rovicky dan Naim Ali. Keduanya sahabat saya. Kami
pernah aktif bersama-sama di Teater Islam Darussalam (Terisda) Gontor. Kelompok
kami dulu memang disebut ‘gila’ karena kami di luar kebiasaan para santri pada
umumnya. Kami selalu berlatih drama, mencoba merasakan bagaimana menjadi ‘orang
lain’. Tetapi tentu saja ‘kegilaan’ kami masih berada dalam rambu-rambu
peraturan pesantren yang ketat.
Latihan fisik di Terisda hampir sama dengan latihan fisik di
Persatuan Beladiri Darussalam, yaitu kelompok tapak suci atau silat. Bahkan
juga latihan fisiknya bisa sama dengan klub olahraga basket dan sepakbola di
Gontor. Tetapi di Terisda kami juga dilatih menulis seperti FP2WS, Itqan atau Darussalam Pos, yaitu klub-klub yang fokus terhadap
pengetahuan dan kepenulisan. Dan di Terisda juga memiliki nilai seni seperti
halnya Aklam yang fokus terhadap
khat, dan Limit yang fokus terhadap
gambar dan lukisan kartun.
Lebih dari itu, di Terisda kami juga melatih jiwa kami untuk
lebih sensitif terhadap kesedihan, kesengsaraan, kekurangan dan
hambatan-hambatan yang diderita orang lain. Kami dilatih untuk mengritisi diri
kami sendiri. Kami dilatih untuk selalu berempati kepada siapa pun. Sebab motto
kami di Terisda yang kini berubah nama menjadi Armada adalah olah raga, olah
rasa dan olah jiwa.
Para santri di Pondok Modern Al-Makkiyah |
Usai lulus dari Gontor kami sudah jarang bertemu secara
fisik. Kecuali di laman media sosial. Akhir Maret 2012 lalu saya bertemu dengan Rovicky di acara
Silaturahim Nasional (Silatnas) Alumni Gontor di Cirebon. Ia masih seperti
dulu. Kurus. Bedanya sekarang dia lebih dewasa. Lebih matang. Terlihat dari
bagaimana ia berbincang bersama saya tentang pesantrennya bernama Pondok Modern
Almakkiyah. Sebuah pesantren baru yang ia dirikan di kampung halamannya di
Jambi.
Rovicky bercerita bagaimana perjuangannya mendirikan sebuah
pesantren dengan modal keyakinan dan ridha Allah semata. Banyak cibiran yang
dialamatkan padanya. Namun ia tetap maju dengan keyakinannya. Ia datang ke Silatnas
di Cirebon bersama seorang paruh baya berumur sekitar 50an tahun. Rupanya orang
yang mendampinginya itu adalah asistennya yang suka rela membantu Rovicky dalam
membangun pondok.
Sebenarnya wajar ‘kegilaan’ menempel di kelompok kami. Karena
orang-orang Terisda akhirnya banyak yang menjadi Pembina gugus depan alias Bindep
dalam kepramukaan di Gontor. Para bindep ini selain ‘urakan’ ia juga mesti bisa
membawa massa dan menjadikan anggota-anggotanya kreatif. Dan bindep itu mesti
bukan orang biasa alias ‘gila’. Rovicky adalah salah satu bindep di angkatan
saya. Ia terkenal aktif di belantara kepramukaan pondok. Meski urakan ia tetap ‘lurus’.
Taman Baca Mahanani |
Beberapa tahun usai lulus Gontor Naim mendirikan
perpustakaan dan taman baca di kampungnya. Taman baca yang beralamat di Jl. Supiturang
Utara 13 Kediri Jawa Timur itu ia beri nama Mahanani. Ia menjadikan kandang
sapi di belakang rumahnya menjadi taman bacaan. Pada awalnya memang anak-anak
kampung sekitarnya tidak berminat untuk datang dan membaca buku meski itu
gratis. Tekadnya kuat, ia bermimpi anak-anak itu bisa membuka cakrawala dunia
melalui membaca.
Naim dan anak-anak di Taman Baca Mahanani |
Naim membeli becak dan membawa buku bacaan di becak itu. Ia
teriakan kepada anak-anak yang bermain tentang membaca dan meminjam buku gratis
darinya. Anak-anak itu menghampiri becak Naim. Dan mereka membaca buku-buku
yang dibawanya. Lama-kelamaan aksi becak Naim ini menjadi perhatian dan
ditunggu-tunggu oleh masyarakatnya. Bahkan aksi Naim beberapa kali menjadi
berita di koran lokal karena ulah nyentriknya itu.
Saya teringat dengan pesan guru kami KH Imam Zarkasyi, bahwa
orang besar itu bukan yang bekerja menjadi menteri di Jakarta atau menjadi
pemimpin politik di Indonesia. Orang besar baginya adalah yang mau mengajar
masyarakatnya meski di surau kecil yang tidak digaji. Yang mengajar tanpa
pamrih. Kita bangsa Indonesia ini butuh banyak orang-orang besar yang mewakafkan diri untuk orang banyak seperti Naim
dan Rovicky ini. Sebab peradaban besar dimulai dengan pendidikan dan ilmu pengetahuan.
0 komentar:
Posting Komentar